Monday, May 30, 2005

EKONOM(I) TERJAJAH DAN EKONOMI PANCASILA

Awan Santosa




Dalam tiga tahun terakhir, terbit dua buku yang sama-sama mengejutkan. Buku pertama yang terbit tahun 2002 ditulis oleh John Pilger, jurnalis Australia yang tinggal di Inggris, dengan judul The New Rulers of The World (Verso, 2002). Buku yang dikutip Kwik Kian Gie dalam Kongres Indonesia Raya tahun 2004 ini di antaranya mengulas fakta dibalik dimulainya liberalisasi ekonomi Indonesia sejak tahun 1967. Pilger yang merujuk analisis dokumen historis Jeffrey Winters dan Brad Sampson mengungkap latar belakang diadakannya Konperensi Jenewa 1967 (awal Orde Baru) yang disponsori oleh Time-Life Corporation.

Konperensi yang disebutnya sebagai “pertemuan merancang pengambilalihan Indonesia” itu diikuti oleh korporat raksasa Barat dan ekonom-ekonom top Indonesia yang kemudian dikenal sebagai “Berkeley Mafia”. Konperensi 3 hari itu berbuah “kaplingisasi” kekayaan alam di Indonesia. Freeport mendapat gunung tembaga di Papua Barat, Konsorsium Eropa menguasai nikel di Papua Barat, Alcoa mendapat bagian terbesar bouksit di Indonesia, dan kelompok perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatera, Papua Barat, dan Kalimantan.

Buku kedua, yang terbit dua tahun sesudahnya, ditulis oleh John Perkins dengan judul Confessions of an Economic Hit Man (Berret-Koehler, 2004), tidak kalah menghebohkan. Perkins menulis “pengakuan dosanya” sebagai mantan “agen” ekonomi Pemerintah (AS) yang dalam kurun waktu 1971-1980 ikut “menjerumuskan” beberapa negara Asia dan Amerika Selatan seperti Panama, Equador, Colombia, Iran, termasuk Indonesia (sebagai “korban pertamanya”), dalam kubangan (jebakan) utang luar negeri dan ketergantungan politik-ekonomi kepada korporat dan pemerintah AS.

Perkins yang berpredikat sebagai “pemukul ekonomi” atau “Economic Hit Man” (EHM), megemban dua misi, yaitu memastikan bahwa utang LN yang diberikan akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek konstruksi raksasa milik perusahaan konsultan Perkins dan korporat-korporat AS, dan kemudian “membangkrutkan” negara pengutang agar selamanya tunduk pada kreditor. Proyek-proyek raksasa ini didisain untuk memenuhi kepentingan-kepentingan ekonomi-politik mereka seperti tersedianya pangkalan militer, suara di PBB, akses atas minyak, dan akses terhadap sumber daya alam lainnya.

Perkins memaparkan bahwa korporatokrasi yang dikembangkan melalui misi-misi EHM lebih berbahaya dari sekedar suatu konspirasi. Sistem ini tidak dikendalikan oleh segelintir kecil orang, melainkan oleh konsep yang sudah diterima layaknya kitab suci, bahwa setiap pertumbuhan ekonomi pasti bermanfaat bagi setiap manusia. Makin tinggi pertumbuhan ekonomi, makin besar pula manfaat yang diperoleh. Korporat, bank, dan pemerintah, sebagai agen korporatokrasi, menggunakan kekuasaan dan modal mereka untuk memastikan bahwa sekolah, bisnis, dan media, selalu mendukung konsep yang salah ini. Mereka menggiring kita untuk percaya bahwa kebudayaan global AS adalah mesin dahsyat yang membutuhkan peningkatan konsumsi (bahan bakar dan pemeliharaan), termasuk meningkatnya biaya hidup yang harus dipenuhi berapapun besarnya.

Dalam kasus Indonesia, EHM menjalankan kepentingan korporat dan pemerintah AS dengan dalih menjaga Indonesia dari pengaruh komunis yang masih eksis di Vietnam, Laos, dan Kamboja (1971-1975). EHM meyakinkan bahwa pembangunan sistem perlistrikan terpadu di Jawa merupakan kunci mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Perkins, sebagai “ekonom”, bertugas untuk memperkirakan kenaikan pertumbuhan ekonomi dengan perkiraan kuantitaif-matematis, yang kemudian menjadi legitimasi bagi Indonesia untuk memperoleh utang luar negeri.

Utang diberikan dengan syarat proyek dikerjakan oleh konsultan dan korporat yang diajukan oleh tim EHM, setelah nilai utang digelembungkan (mark-up) dari nilai riil proyeknya. Dengan cara ini, industri minyak dan perusahaan-perusahaan kaitannya (pelabuhan, pipa, dan konstruksi) makin tergantung pada sistem perlistrikan yang disediakan oleh tim EHM. Fakta selanjutnya kita tahu bahwa Indonesia disebut sebagai salah satu keajaiban pertumbuhan ekonomi Asia (East Asian economic miracle), yang ironisnya makin terjebak utang (debt-trap), berpredikat negara terkorup, sehingga kebijakan ekonomi-politiknya banyak tergantung pada negara-negara (lembaga) asing seperti CGI, IMF, dan Bank Dunia.


Bukan Sekedar Konspirasi

Kedua buku itu telah menginspirasi dua hal. Pertama, sangat tepat untuk menjawab skeptisisme ekonom neoklasik perihal neoliberalisme, setidaknya yang diwakili oleh ekonom LPEM UI, Chatib Basri dan M. Ikhsan (Gatra, April 2005), dan kedua, menjawab pertanyaan mengapa kita perlu mengembangkan dan menyebarluaskan ideologi, sistem, dan ilmu ekonomi Pancasila. Perlu diketahui bahwa Ekonomi Pancasila dikembangkan Prof. Mubyarto dkk sebagai alternatif terhadap ilmu ekonomi konvensional (neoklasik-Barat) yang menjadi mainstream dalam pendidikan ekonomi kita. Di samping itu ekonomi Pancasila juga diposisikan untuk membendung berkembangnya ideologi dan sistem ekonomi kapitalis-neoliberal di Indonesia.

Lalu, apa hubungan buku Pilger dan Perkins dengan Chatib Basri dan M. Ikhsan? Kaitannya akan nampak jika kita membaca pernyataan kedua ekonom ini dalam majalah Gatra edisi no 23 tahun XI (hal. 136). Mereka sama-sama mengelak disebut sebagai penganut paham neoliberalisme. Chatib Basri menyatakan bahwa ia “tidak mempunyai ideologi”, karena ia bertumpu pada kebijakan yang masuk akal tanpa basis ideologi, termasuk kepercayaannya pada peran negara dalam mensubsidi sektor pendidikan dan kesehatan. Sementara Ikhsan menyatakan bahwa neoliberalisme “hanya ada dalam angan-angan”, karena masyarakat Indonesia masih gandrung pada teori konspirasi. Pikiran adanya intervensi asing, termasuk oleh IMF dan lembaga donor, dianggapnya sebagai pengaruh teori konspirasi. Dalam acara Diskusi Kenaikan BBM (SCTV) kedua ekonom ini memang mengungkapkan hal yang sama untuk menanggapi kritik-kritik Revrisond Baswir dari PUSTEP-UGM perihal kepentingan asing (agen neolib) dalam liberalisasi pasar migas di Indonesia.

Sebagai ekonom yang sarannya sangat didengar pemerintah, saya harap mereka sudah membaca kedua buku tersebut. Jika memang iya, dan mereka masih tidak mau mengakui adanya intervensi asing di Indonesia dengan menuduh pikiran yang berbeda sebagai akibat teori konspirasi, salahkah jika banyak orang menilai mereka sebagai penganut neoliberalisme? Sejarah ekonomi bangsa yang sarat dengan eksploitasi dan sub-ordinasi asing sejak zaman VOC, tanam paksa, perkebunan-perkebunan kapitalis-liberal, kapitalis negara Orde Baru, Krismon 97, hingga datangnya IMF dengan LoI dan Program Penyesuaian Struktural, seharusnya mudah menjadi pelajaran “pahit” bahwa yang terjadi bukan sekedar konspirasi, melainkan hegemoni dan (neo) imperialisme.

Perspektif sejarah mengajarkan bahwa evolusi peradaban manusia, yang ditandai dengan kemajuan ekonomi, tidak serta merta diikuti evolusi kesadaran moral, politik, dan sosial-budaya, bahkan seringkali berlaku sebaliknya. Ekonom neolib yang juga seorang fundamentalis pasar cenderung mengabaikan (menyisihkan) analisis moral, politik, sosial, dan budaya (kelembagaan) dalam analisis ekonomi mereka yang makin positivistik, teknis, dan kuantitatif. Pengingkaran terhadap dianutnya ideologi tertentu adalah wujud dari ideologi itu sendiri. Itulah ideologinya market fundamentalis yang bertolakbelakang dengan ideologi Ekonomi Pancasila.

Ekonom memerlukan ideologi agar ia tidak ahistoris dan gagap dalam merancang masa depan bangsanya. Hal ini karena ideologi merupakan refleksi atau respon terhadap kondisi kesejarahan yang kemudian menjadi gagasan tentang masa depan. Sebagai contoh, nasionalisme lahir melawan penjajahan, demokrasi lahir dari dominasi dan otoritarianisme, dan sosialisme lahir dari penghisapan dan penindasan (Dawam Rahardjo, 2005). Keengganan ekonom neolib untuk mengaitkan ekonomi dengan ideologi bangsa (Pancasila) dalam perspektif ini dapat dipahami sebagai penolakan mereka untuk belajar dari sejarah bangsa sendiri, dan tidak ingin merancang masa depan bangsa secara mandiri. Mereka makin terpukau pada globalisme ajaran pasar bebas, sehingga tidak mewaspadai globalisasi ekonomi yang dikendalikan oleh korporat dan pemerintah negara maju.


Revolusi Mindset

Pelajaran lain dari buku Pilger dan Perkins, dan tentu saja menilik cara berpikir ekonomi kedua ekonom UI tersebut adalah, bahwa kita harus melakukan “revolusi mindset” melalui pengembangan ilmu ekonomi Ekonomi Pancasila. Mayoritas ekonom dan teknokrat sementara ini masih skeptis terhadap keberadaan (eksistensi) dan urgensi Ekonomi Pancasila sebagai alternatif ekonomi konvensional. Padahal, gugatan terhadap ilmu tersebut sudah dilakukan melalui tulisan-tulisan (buku-buku) pemikir utama Ekonomi Pancasila yaitu Prof. Mubyarto, Prof. Sri-Edi Swasono, dan Prof. Dawam Rahardjo sejak tahun 80-an.

Gugatan senada telah dilontarkan pakar-pakar ekonomi dunia seperti Paul Ormerod (The Death of Economics), Steve Keen (Debunking Economics), Stiglitz (The Roaring Nineties), Paul Ekins (Real-Life Economics), Nelson (Economics as Religion), dan dapat pula dirujuk pada pemikiran Gunnar Myrdal, Heilbroner, Amartya Sen, T.M. Lunati, A. Etzioni, Umer Capra, Ted Trainer, dan L.C. Thurow, dan ilmuwan atau aktivis dunia lainnya.

Buku Pilger dan Perkins menunjukkan betapa pentingnya pendekatan multidisiplin yang merupakan pendekatan yang secara konsisten diterapkan ajaran Ekonomi Pancasila. Ekonomi Pancasila menganalisis fenomena dan masalah ekonomi tidak sekedar dari kajian ekonomi an sich, melainkan mengaitkannya dengan analisis sejarah, politik, filsafat moral/etika, sosiologi, dan antropologi, yang terang-terangan diabaikan dalam pendekatan ekonomi neoklasik-Barat. Masalah-masalah struktural ekonomi berupa ketimpangan, eksploitasi, dan sub-ordinasi terhadap pelaku ekonomi rakyat (kaum miskin) hanya bisa dilihat apabila pendekatan (kacamata) yang digunakan adalah kacamata ekonomi-historis, ekonomi politik, ekonomi sosiologi, dan ekonomi antropologi. Sayangnya pendekatan ekonomi kelembagaan yang multidipliner ini telah diabaikan dalam pendidikan ekonomi kita.

Pendekatan multidisiplin dan transdisiplin dimungkinkan jika ilmu ekonomi tidak sekedar mengasumsikan manusia sebagai homo economicus, melainkan juga sebagai homo socius dan homo ethicus. Dengan begitu, analisis ekonomi tidak seharusnya dipusatkan kepada individu yang selalu mengejar kepentingan pribadi (self-interest), berorientasi keuntungan pribadi (profit orientation), dan selalu bersaing bebas (free-competition).

Sebagai homo ethicus dan homo socius, manusia memiliki pertimbangan moral/etika (agama) dan sosial yang mendorongnya untuk tidak mau dikendalikan pasar yang materialistis, melainkan mengutamakan kepentingan bersama dalam suatu tatanan masyarakat yang berasas kekeluargaan (brotherhood) dan kebersamaan (mutualism). Kesejahteraan sosial tidak dapat dianggap sebagai manifestasi kesejahteraan individu yang masing-masing mengejar kepentingan mereka sendiri (Swasono, 2005). Itulah asumsi dasar yang dibangun dalam ilmu ekonomi Pancasila.

Pendekatan dan asumsi di atas dibangun atas keyakinan bahwa ilmu ekonomi tidaklah bebas nilai (value-free), melainkan justru sarat nilai (value-ladden-istilah Gunnar Myrdal-). Sistem dan ilmu ekonomi sangat terkait dengan ideologi, sejarah, sistem nilai, dan sistem sosial-budaya (kelembagaan) masyarakat di mana sistem dan ilmu itu dikembangkan. Oleh karena itu dominasi paradigma positivistik yang menganggap kebenaran, relevansi, dan manfaat ilmu ekonomi konvensional (neoklasik-Barat) bersifat universal harus ditolak.

Positivisme hanya mengarahkan pendidikan ekonomi kita untuk semata-mata berorientasi Barat (Amerika), yang memiliki sejarah, ideologi, sistem nilai, dan sistem sosial-budaya, yang jelas berbeda dengan Indonesia. Oleh karena itu, sistem dan Ilmu ekonomi Indonesia harus digali dan dikembangkan berpijak pada realitas ekonomi (real-life economy) masyarakat Indonesia sendiri pula. Berdasar itulah ekonomi Pancasila dikembangkan melalui penelitian-penelitian lapangan tentang ekonomi rakyat Indonesia.

Untuk itu, pola pendidikan yang mendukung pengembangan ilmu ekonomi Pancasila adalah pendidikan yang menghadapkan peserta didik pada masalah-masalah ekonomi riil yang dihadapi rakyat Indonesia. Pola pendidikan seperti ini dikenal sebagai pendidikan hadap masalah (problem-posing education), yang merupakan alternatif bagi pola pendidikan yang hanya mendorong peserta didik untuk menghapal sebanyak mungkin materi untuk diujikan di akhir semester, yang disebut sebagai pendidikan gaya bank (banking education). Problem-posing education dilakukan dengan mengajak peserta didik untuk melakukan kajian (kunjungan) lapangan ke pelaku ekonomi rakyat seintensif mungkin. Mereka dapat juga diajak berdiskusi dan mengkritisi isu-isu ekonomi aktual (lokal dan nasional), terutama masalah-masalah yang dihadapi pelaku ekonomi rakyat, untuk bersama-sama mencari cara-cara pemecahannya.

Terakhir, buku Pilger dan Perkins, serta mindset dua ekonom UI di atas, makin menunjukkan kegunaan (nilai manfaat) pengembangan Ekonomi Pancasila. Pendidikan ekonomi berbasis ilmu ekonomi konvensional (Barat) mendorong tumbuh-kembangnya mindset kapitalis-neoliberal, yang sejalan dengan cita-cita sistem kapitalis-neoliberal yaitu terbentuknya masyarakat berkelimpahan barang dan jasa (affluent society).

Pendidikan ekonomi konvensional tidak mampu mendobrak ketimpangan (ketidakdilan) struktural, kemiskinan struktural, kerusakan alam (lingkungan), meluasnya degradasi moral, dan merenggangnya kohesivitas sosial. Pendidikan seperti ini tidak mampu melihat faktor-faktor di luar ekonomi (politik, sosial, budaya) dan fakta-fakta politik-ideologis yang mengabaikan nalar teoritik-keilmuan, yang sangat berpengaruh dalam kebijakan ekonomi. Akibat lebih pahit berbentuk pikiran kita yang makin terjajah (terhegemoni) dan ekonomi kita yang tereksploitasi (rekolonialisasi) oleh kekuatan korporatokrasi imperium global (Mubyarto, 2005).

Ekonomi Pancasila dikembangkan untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang terwujud dalam tatanan masyarakat adil dan makmur. Tujuan ini tidak akan sekedar menjadi utopia manakala landasan sistem dan ilmu Ekonomi Pancasila yaitu ekonomika etik (bukan materialistik), humanistik (anti eksploitasi dan sub-ordinasi), nasionalistik (bukan pasar bebas), dan kerakyatan (demokrasi ekonomi) digunakan dalam pengembangan sistem dan pendidikan ekonomi di Indonesia. Ini membutuhkan revolusi mindset bangsa yang sejauh ini makin kagum pada kemajuan fisik-material ekonomi Barat, yang ditopang oleh nilai-nilai hedonisme dan individualisme.

Pendidikan Ekonomi Pancasila berupaya membangun mindset pendidik dan peserta didik yang peka terhadap isu-isu (masalah) ketuhanan (agama, moral, dan etika), kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan. Kepekaan ini membuat kita memiliki gagasan-gagasan sendiri tentang masa depan ekonomi bangsa. Larut dan takluk pada imperium global hanya membuat bangsa Indonesia kehilangan jatidiri dan tak ubahnya seperti “kuli di negeri sendiri”. Inilah perjuangan panjang yang berpegang tidak saja pada semangat dunia yang lain adalah mungkin (another world is possible), melainkan juga ilmu ekonomi yang lain adalah mungkin (another economics is possible). Dalam bahasa lain, pendidikan ekonomi alternatif adalah tak terelakkan. Itulah pendidikan Ekonomi Pancasila.


Yogyakarta, 28 Mei 2005

BACAAN


Gatra, majalah, Edisi No 23 Tahun XI, April 2005

Mubyarto, 1998, Ekonomi Pancasila : Lintasan Pemikiran Mubyarto, Aditya Media, Yogyakarta
________ , 2002, A Development Alternative for Indonesia, Gama Press, Yogyakarta
________ , 2002, Ekonomi Pancasila : Landasan Pikir, Visi, dan Misi Pendirian PUSTEP-UGM, BPFE, Yogyakarta
________ , 2004, Neoliberalisme dan Krisis Ilmu Ekonomi, Aditya Media, Yogyakarta
________ , 2004, Ekonomi Pasar Populis, Aditya Media, Yogyakarta
________ , 2004, Pendidikan Ekonomi Kita, Aditya Media, Yogyakarta
________ , 2004, Teknokrat dan Ekonomi Pancasila, Aditya Media, Yogyakarta

Perkins, John, 2004, Confession of an Economic Hit Man, Berret-Koehler Pub. Inc, San Fransisco

Pilger, John, 2002, The New Rulers of The World, Verso, London

Rahardjo, Dawam, 2004, Ekonomi Pancasila : Jalan Lurus Menuju Masyarakat Adil dan Makmur, Aditya Media, Yogyakarta
_______ , Ekonomi Pancasila dalam Tinjauan Filsafat Ilmu, Sistem, dan Konstitusi, makalah Kuliah Ekstrakurikuler Ekonomi Pancasila, 9 April 2005

Swasono, Sri-Edi, 2003, Ekspose Ekonomika : Mewaspadai Globalisme dan Pasar Bebas, PUSTEP-UGM, Yogyakarta
________ , 2004, Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan : Mutualism and Brotherhood, UNJ-Press, Jakarta
________ , 2005, Daulat Pasar vs Daulat Rakyat, PUSTEP-UGM, Yogyakarta

Sunday, May 29, 2005

EKONOMI PANCASILA MAJU TERUS

Awan Santosa


Belum reda duka karena kepergian Pak Muby, guru sekaligus ayah ideologis, pada hari Selasa, 24 Mei 2005 di RS Sardjito karena sakit paru-paru basah dan jantung yang diderita beliau, ketika muncul tulisan Mas Tony Prasetyantono berjudul “Perginya Legenda Ekonomi Pancasila’ (Kompas, 25 Mei 2005). Tulisan itu begitu kuat menginspirasi tanggapan saya karena berisi pertanyaan kritis, akan berlalu dan sirnakah gagasan dan perjuangan mewujudkan ide Ekonomi Pancasila seiring kepergian Pak Muby? Ungkapannya bahwa masa depan ide Ekonomi Pancasila akan menjadi tanda tanya besar pasca Mubyarto pun layak dijawab.

Benar bahwa Ekonomi Pancasila sering diidentikkan dengan Pak Muby, begitupun sebaliknya. Pak Muby-lah yang paling konsisten berpikir, menulis, dan menyuarakan ide Ekonomi Pancasila sejak tahun 1980 dalam Seminar Nasional Ekonomi Pancasila di UGM hingga saat terakhir hayat beliau. Namun, perikatan Pak Muby dengan gagasannya pun telah melahirkan anak-anak ideologis, yang saya yakin kelak akan mampu menjadi kader-kader penerus Ekonomi Pancasila. Staf ahli Pustep-UGM lah yang kiranya berkompeten dan mapan secara akademik dalam mengawal proses transformasi intelektualitas dan ideologisasi yang diwariskan pak Muby.

Ada baiknya Mas Tony, yang sedang studi di ANU, mengkonfirmasi perkembangan pemikiran Ekonomi Pancasila di tanah air. Kealpaan Mas Toni dalam memetakan aliran pemikiran ekonom bagi saya akan memupus kekhawatiran diabaikannya potensi 9 orang staf ahli Pustep-UGM, sebagai generasi ketiga pejuang Ekonomi Pancasila. Subjektif memang, saya menganggap semangat pemikiran ekonomi Bung Hatta sebagai manifestasi generasi pertama ide Ekonomi Pancasila (meskipun beliau tidak menggunakan istilah itu). Generasi keduanya adalah Pak Muby sendiri, beserta Pak Sri-Edi Swasono dan Pak Dawam Rahardjo.

Kaderisasi Jalan Terus

Di saat yang sama, transformasi kesadaran dan komitmen yang menjadi ruh pergerakan Ekonomi Pancasila sedang berlangsung. Anak-anak muda yang bermind-set Ekonomi Pancasila pun mulai bermunculan. Hingga saat terakhir hidupnya, gagasan Pak Muby belum diterima luas oleh teknokrat dan ekonom arus utama. Meski begitu, Pak Muby pergi di tengah optimisme akan kebangkitan ide Ekonomi Pancasila. Selain menulis dan berbicara di forum-forum seminar, sejak tiga bulan yang lalu beliau pun membuka program Kuliah Ekstrakurikuler Ekonomi Pancasila sebagai media pengembangan dan penyebarluasan ideologi, ilmu, dan sistem Ekonomi Pancasila.

Program yang diorganisir bersama anak-anak muda dari kelompok Sekolah Ekonomi Rakyat (SER) dan baru akan berakhir bulan Agustus nanti ini diharapkan menjadi “ruang persalinan” bagi kelahiran generasi keempat pejuang Ekonomi Pancasila. Saya berkali-kali menerima email dan berdiskusi secara langsung dengan mahasiswa-mahasiswa yang concern untuk terlibat dalam kancah perjuangan mewujudkan ide Ekonomi Pancasila. Bagi saya, mereka lah masa depan Ekonomi Pancasila. Konsolidasi antargenerasi diperlukan untuk menopang bangunan perjuangan Ekonomi Pancasila sehingga makin sistematis-terorganisasi, dengan semangat regenerasi dan kaderisasi pada kaum muda.

Keberadaan sosok-sosok pejuang yang gigih, seperti yang ditunjukkan Pak Muby, memang mutlak ada sebagai prasyarat tumbuh-kembangnya Ekonomi Pancasila. Namun, itu saja tidak lah cukup. Semangat dan isi yang terkandung dalam gagasan Ekonomi Pancasila itu sendiri jugalah yang akan selalu menjadi sumber inspirasi bagi siapa saja yang peduli pada masa depan ekonomi rakyat Indonesia. Jika kita mau mengakui bahwa carut marut masalah struktural ekonomi hanya dapat dipecahkan dengan konsep yang utuh (komprehensif), konstitusional, dan visioner, maka itulah tempat bagi bersemainya mindset, ilmu, dan sistem Ekonomi Pancasila.

Sebuah Pendekatan Alternatif

Pengamatan sebagian orang terhadap isi Ekonomi Pancasila seringkali tidak lagi up-to date., atau bahkan terlalu simplistis. Pengembangan Ekonomi Pancasila memang berpijak pada kesadaran bahwa aneka masalah ekonomi bangsa tidak cukup dipecahkan dengan ilmu ekonomi an sich. Kita perlu ekonomi-politik, ekonomi-sosiologi, ekonomi-antropologi, dan ekonomi-lingkungan, sehingga Ekonomi Pancasila menggunakan pendekatan multidisiplin. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan manakala ada kesediaan untuk mengubah asumsi dasar manusia, tidak sekedar sebagai homo economicus (seperti dalam ekonomi neoklasik), melainkan juga sebagai homo socius dan homo ethicus sekaligus.

Sebagai homo ethicus dan homo socius, manusia memiliki pertimbangan moral/etika (agama) dan sosial yang mendorongnya untuk tidak mau dikendalikan pasar yang materialistis, melainkan mengutamakan kepentingan bersama dalam suatu tatanan masyarakat yang berasas kekeluargaan (brotherhood) dan kebersamaan (mutualism). Kesejahteraan sosial tidak dapat dianggap sebagai manifestasi kesejahteraan individu yang masing-masing mengejar kepentingan mereka sendiri (Swasono, 2005). Itulah asumsi dasar yang dibangun dalam ilmu ekonomi Pancasila.

Pendekatan dan asumsi di atas dibangun atas keyakinan bahwa ilmu ekonomi tidaklah bebas nilai (value-free), melainkan justru sarat nilai (value-ladden-istilah Gunnar Myrdal-). Sistem dan ilmu ekonomi sangat terkait dengan ideologi, sejarah, sistem nilai, dan sistem sosial-budaya (kelembagaan) masyarakat di mana sistem dan ilmu itu dikembangkan. Oleh karena itu dominasi paradigma positivistik yang menganggap kebenaran, relevansi, dan manfaat ilmu ekonomi konvensional (neoklasik-Barat) bersifat universal ditolak oleh (pemikir) Ekonomi Pancasila..

Positivisme hanya mengarahkan pendidikan ekonomi kita untuk semata-mata berorientasi Barat (Amerika), yang memiliki sejarah, ideologi, sistem nilai, dan sistem sosial-budaya, yang jelas berbeda dengan Indonesia. Oleh karena itu, sistem dan Ilmu ekonomi Indonesia harus digali dan dikembangkan berpijak pada realitas ekonomi (real-life economy) masyarakat Indonesia sendiri pula. Berdasar itulah Ekonomi Pancasila dikembangkan melalui penelitian-penelitian lapangan tentang ekonomi rakyat Indonesia dan pola-pola pendidikan hadap masalah (problem-posing education).

Optimis Merajut Masa Depan

Ekonomi Pancasila telah dikukuhkan Pak Muby untuk melawan berkembangnya paham kapitalis-neoliberal yang makin merasuk dalam sendi-sendi kebijakan ekonomi pemerintah dan pengajaran ekonomi di setiap tingkatan. Ekonomi Pancasila juga menolak globalisasi ekonomi dalam wujudnya sekarang yang sekedar kepanjangan neoliberalisme dan imperium (korporatokrasi) global dengan agenda pasar bebasnya (Mubyarto, 2005). Pasar bebas makin menjauhkan upaya pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang dicita-citakan dalam Ekonomi Pancasila. Tatanan ekonomi kapitalistik yang terbentuk pun makin meminggirkan ekonomi rakyat yang menjadi concern Ekonomi Pancasila.

Prasyarat tumbuh kembang Ekonomi Pancasila itu masih ada, dan mungkin di masa-mendatang akan makin ada. Selama kita percaya bahwa, ilmu dan sistem ekonomi harus berlandaskan moral dan etika (ketuhanan), ketimpangan harus dilawan dengan pemerataan, kepentingan ekonomi nasional harus diperjuangkan, ekonomi rakyat harus diberdayakan, dan keadilan sosial harus diwujudkan, maka ini akan menjadi ladang yang luas bagi tumbuh-suburnya Ekonomi Pancasila. Pun, selama kita sadar bahwa ilmu ekonomi tidak mampu berdiri sendiri, manusia bukan saja makhluk ekonomi, dan ilmu ekonomi tidak boleh bebas nilai, maka ini akan menjadi air penyiram bagi mekarnya pemikiran-pemikiran Ekonomi Pancasila.

Selama kita ingin merancang masa depan yang lebih baik, dengan tidak mau tunduk begitu saja pada paham dan kepentingan ekonomi asing (imperium global), tidak sudi sekedar menjadi kuli di negeri sendiri, tidak rela diperdaya ajaran-ajaran ekonomi yang mendewakan pasar bebas, pertumbuhan ekonomi, investasi asing, dan utang luar negeri, maka itu akan menjadi energi yang akan senantiasa menyalakan semangat untuk mewujudkan dan menerapkan Ekonomi Pancasila. Dan apabila kita tidak alpa dengan jati diri bangsa yang termaktub dalam Pancasila, Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945, maka Ekonomi Pancasila akan menjadi amanat konstitusi yang perlu diejawantahkan bersama-sama segenap elemen bangsa Indonesia.

Kiranya tidak perlu lagi ada keraguan perihal kelanjutan Ekonomi Pancasila, kecuali karena keraguan diri kita sendiri dalam menjawab tantangan zaman dan menuntaskan masalah-masalah struktural ekonomi bangsa. Ekonomi Pancasila adalah milik bangsa Indonesia. Ia bukan sekedar warisan Pak Muby untuk staf-stafnya di Pustep-UGM, melainkan warisan beliau untuk bangsa Indonesia. Jadi, mari kita berpikir, menulis, dan berdiskusi Ekonomi Pancasila. Itulah cara bijak untuk terlibat dalam kancah perjuangan mengembangkan ideologi, ilmu, dan sistem Ekonomi Pancasila. Selamat jalan Pak Muby, Bapak Ekonomi Pancasila, guru sekaligus ayah yang senantiasa mengajarkan sikap optimis dan rasa percaya diri. Kini saatnya menunjukkan optimisme tersebut dengan tidak ragu bersuara lantang, Ekonomi Pancasila maju terus!


Yogyakarta, 27 Mei 2005

Sunday, May 22, 2005

DUGEMNOMIC

Awan Santosa



Pasar bebas makin merajai denyut malam di kota-kota besar, tak terkecuali di Jogja. Pasar bebas, yang dipuja kaum neoliberal, menjelma di tempat-tempat hiburan malam, dari kelas elit sampai kelas jelata. Pemodal yang selalu bergairah memburu rente bertemu manusia-manusia “lapar”, yang setiap keinginannya mesti dipenuhi. Kebebasan menjadi dewa bagi perilaku ekonomi yang makin meminggirkan Tuhan. Tidak ada kamus etika, moral, dan norma dalam cara meraup uang dan media meneguk kepuasan bagi mereka.

Pasar bebas menumbuhkan klub malam yang menjadi ajang menghamburkan uang. Ia lah yang mampu mematok harga aqua Rp 7.500, air es Rp 9.000, bir Rp 25.000, di klub yang relatif “murahan”. Ia juga lah yang memiliki keperkasaan mengobral sambil mengeksploitasi perempuan. Tubuh, suara, dan gerakan dinominalkan dalam geliat sexy dancer, kontes rok mini, dan semacamnya. Semua demi menuruti “kebutuhan manusia yang tak terbatas”, sehingga terus dan terus mencari sarana pemuasan pribadi. Tak peduli makin menjadi Machiavelis.

Jogja masih kota budaya dan kota pendidikan, namun pasar bebas tidak peduli hal itu. Dia terus saja mengepakkan sayap hegemoninya. Bahkan makin ahli menyelinap di ruang-ruang kelas dan mengisi otak-otak penuntut ilmu dengan ajarannya. Ia selalu meyakinkan bahwa manusia adalah makhluk ekonomi (homo economicus) yang harus mengejar kepentingannya sendiri. Kita diajarkan untuk meraup laba sebanyak-banyaknya dengan terus bersaing sebebas-bebasnya.

Pasar bebas memojokkan Jogja yang makin mengalami hipokrisi alias berkepribadian ganda. Pendidikan dimajukan namun perilaku ekonomi dibebaskan. Pagi kuliah moral, yang dicampaknya di bak sampah ketika masuk klub malam. Begitu juga, budaya diagung-agungkan tapi hedonisme makin tumbuh subur. Etika dilestarikan namun ekonomisme dipeluk makin erat. Sampai kapan kita bertahan dengan kontradiksi-kontradiksi ini?

Kuliah “Ekonomika Etik” dalam program Kuliah Esktrakurikuler Ekonomi Pancasila (KEEP) tanggal 23 April yang lalu makin mengilhami saya perihal fenomena ini. Makin “glamour”nya Jogja di malam hari, dalam perspektif ekonomika etik akan membawa implikasi mengerikan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Pangkal masalah dan dampaknya bukan sekedar pada meluasnya degradasi moral. Ini adalah tentang matinya kemanusiaan, hilangnya nasionalisme, rapuhnya demokrasi ekonomi, dan jalan yang tidak lagi lurus menuju keadilan. Mengapa bisa begitu?

Luka perih orang miskin seakan makin disayat-sayat tatkala gaya hidup mewah dan efek pamer dipampangkan di depan mereka. Matinya kemanusiaan terjadi ketika kepekaan untuk berbagi tenggelam di balik glamournya pesta-pesta malam. Murungnya wajah gadis cilik di perempatan jalan-jalan Jogja tak lagi mengusik perasaan mereka. Mestikah menunggu dahsyatnya “bencana kemanusiaan” seperti terjadi di daerah lain? Beberapa siswa di Jawa Barat nekat bunuh diri karena tidak mampu membayar uang sekolah. Banyak anak putus sekolah dan gedung sekolah yang rusak,... )bersambung)

Wednesday, May 18, 2005

EKONOMI RAKYAT DALAM BAHAYA

Isu-Isu Ekonomi-Politik Strategis Ekonomi Rakyat dan Pasar bebas

Awan Santosa



Peta politik nasional telah berubah seiring kemenangan SBY-Kalla dalam Pilpres 2004. Kini, kesempatan rakyat untuk melihat realisasi janji “perubahan” yang selalu dicanangkan SBY-Kalla. Mampukah kabinet baru yang mereka pimpin menjawab tantangan isu-isu strategis (fundamental-struktural) terkait dengan peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat? Mudah-mudahan SBY-Kalla dan kabinetnya mau (sudah?) membaca tulisan Bung Hatta “Ekonomi Rakyat Dalam Bahaya” (Daulat Rakyat, 1934), sehingga pemerintahan baru benar-benar terinspirasi untuk peduli terhadap masalah-masalah ekonomi-politik strategis faktual yang mengancam (membahayakan) kedaulatan dan kesejahteraan ekonomi rakyat Indonesia. Butir-butir isu strategis berikut merupakan tantangan (untuk dijawab) pemerintahan SBY-Kalla jika ingin membuktikan keberpihakannya terhadap ekonomi rakyat, bukannya kepada ekonomi konglomerat.

1. Amandemen Pasal 33 UUD 45
Korporat pemilik modal berkolaborasi dengan birokrat oportunis dan intelektual (ekonom) berhaluan neo-liberal berhasil memenangkan ideologi (kepentingan) mereka untuk me-liberalisasi sistem ekonomi Indonesia (Mubyarto, 2002). Mereka yang memuja pasar bebas ini telah menyingkirkan koperasi dari UUD 1945. Membonceng agenda reformasi sistem politik (dan dalih “tidak ada Penjelasan di UUD negara-negara lain”) mereka menghapus seluruh Penjelasan UUD 1945 secara membabi buta. Tidak hanya koperasi yang mereka kerdilkan. Makna demokrasi ekonomi pun telah mereka telikung. Tidak ada lagi konsepsi “produksi dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat”, “kemakmuran bersama yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang”, dan “jika tampuk produksi ditangan orang seorang, maka rakyat yang banyak akan ditindasinya”.

Demokrasi ekonomi masuk ke pasal baru (pasal 4) dengan tafsir buram, disejajarkan dengan makna kemandirian, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan. Telah terjadi pelumpuhan kekuatan rakyat, di mana kedaulatan (ekonomi) rakyat berganti dengan kedaulatan pasar (Swasono, 2003). Patut disadari bahwa mudah menghancurkan ekonomi (ekonomi rakyat) suatu negara dengan mengobrak-abrik sistem konstitusi (perundang-undangan) di negara tersebut. Ironisnya, sedikit suara dan gerakan yang melawan agenda ini . Gerakan koperasi (sebagai korban) rupanya masih sibuk dengan masalah-masalah fungsional (usaha-internal) mereka sendiri sehingga alpa dengan masalah struktural (fundamental) yang (kelak) “menjegal” gerakan mereka.

2. Privatisasi
Agenda yang mereka disain selanjutnya adalah privatisasi (swastanisasi) BUMN, penjualan aset-aset strategis negara (milik rakyat) dengan dalih efisiensi dan pengurangan intervensi pemerintah yang mendistorsi pasar. Privatisasi berubah menjadi “rampokisasi” karena dilakukan terhadap BUMN-BUMN yang kinerjanya lebih baik, terutama di sektor non keuangan (Baswir, 2002).

Privatisasi ditandai beralihnya kepemilikan tampuk produksi ke pihak asing (Indosat). Akibatnya, pola produksi dan pola konsumsi nasional akan dibentuk oleh kebebasan kekuatan pasar internasional sehingga tidak lagi menerima prioritas pengutamaan kepentingan nasional. Indonesia akan lebih dikuasai pihak asing dan kembali menjadi koloni atau jajahan pihak asing (Sritua, 2001). Nasionalisme ekonomi telah dianggap sebagai barang usang yang patut digudangkan. Ekonomi rakyat kehilangan akses dan kontrol terhadap sumber daya alam mereka (hutan, air, dan tambang). Privatisasi harus segera diganti dengan agenda demokratisasi ekonomi.

3. Liberalisasi-Pasar Bebas
Globalisasi ekonomi yang dikendalikan kaum fundamentalis pasar ternyata makin merusak tatanan sistem ekonomi nasional, sehingga merugikan kepentingan nasional yang merupakan prinsip utama interaksi ekonomi dengan negara lain. Demikian pula, globalisasi ekonomi seperti ini makin memperpuruk pelaksanaan demokrasi ekonomi, karena hanya melayani kepentingan pemilik modal dan mengabaikan ekonomi rakyat. Globalisasi tidak mampu memecahkan masalah struktural ekonomi Indonesia, bahkan mengokohkannya, dalam wujud struktur ekonomi yang makin timpang dan terfragmentasi.

Pasar bebas mengharuskan dihilangkannya proteksi perdagangan internasional (subsidi, tarif, dan kuota). Akibatnya, Indonesia dibanjiri impor beras, gula, ayam, dan buah-buahan yang mengancam kehidupan petani lokal. Ironisnya, negara-negara maju (AS, Inggris, dan Jepang) adalah negara-negara yang paling protektif terhadap petani mereka (melalui subsidi). Indonesia dipaksa (dibodohi) untuk bersaing secara tidak adil (un-fair trade). Liberalisasi ekonomi (pasar bebas) hanya menghasilkan “ekonomi perang” yang memunculkan adikuasa ekonomi (the winner take all the place) melalui politik-ekonomi imperialisme gaya baru.

Bangsa kita digiring untuk sekedar menjadi bangsa konsumen (menikmati produk murah –sesaat-) atau paling banter “bangsa makelar” (menjual produk asing –impor-), yang melupakan upaya membangun industri nasional dan kewirausahaan (enterpreneurship) berbasis ekonomi rakyat. Pasar rakyat berhadapan dengan super mall, sedangkan investasi ekonomi rakyat dikalahkan investasi pemodal besar (asing).

4. Hak Cipta
Komodifikasi produk lokal melalui hak cipta telah memenangkan negara-negara maju yang kaya modal, SDM, dan teknologi-informasi. Produksi tempe telah ada yang dipatenkan di AS, kecap dan tahu di Jepang, ragam batik di Jerman dan Inggris, dan keranjang rotan di Singapura (Sritua Arief, 2001). Biodiversifikasi (keanekaragaman hayati) terancam karena kita ketinggalan inovasi dan pengetahuan dari mereka. Hal ini dapat menyingkirkan penguasaan rakyat atas sumber-sumber ekonomi tersebut. Kita harus berani menentang dan melawan segala bentuk-bentuk rekayasa kesepakatan penganut globalisme yang merugikan kepentingan nasional, khususnya yang mengancam kehidupan ekonomi rakyat.

4. Subsidi Ekonomi Rakyat ke Korporasi Raksasa
Kesejahteraan petani sampai hari ini tidak meningkat secara signifikan. Harga produk pertanian anjlok, harga pupuk mahal, dan harga kebutuhan hidup makin tinggi. Produk murah mereka adalah hasil paksaan sistem ekonomi yang masih mengandalkan tingkat upah buruh yang rendah. Buruh (kota) menikmati sedikit surplus perusahaan sehingga daya beli mereka disangga oleh harga murah produk sektor informal (ekonomi rakyat). Artinya, petani kita (ekonomi rakyat) telah mensubsidi korporat raksasa, ekonomi perdesaan mensubsidi ekonomi perkotaan. Sebuah sistem dan pola hubungan (dialektik) ekonomi yang timpang, tidak adil, dan eksploitatif terhadap ekonomi rakyat di perdesaan.

Fakta lain, ekonomi rakyat kita telah mensubsidi ekonomi konglomerat pemilik bank yang direkapitalisasi senilai Rp 650 trilyun dengan dana APBN. Sementara, untuk mengalokasikan anggaran Rp 8,5 trilyun bagi ekonomi rakyat harus melalui proses pembahasan lama yang menunjukkan lemahnya kemauan politik untuk membangun ekonomi nasional berbasis ekonomi rakyat. Pada waktu krismon 1997/98, ekonomi rakyat terbukti memiliki daya tahan yang tinggi. Di saat perusahaan besar (konglomerat) bertumbangan sehingga menjadi beban pemerintah ekonomi rakyat tetap eksis karena memiliki kemandirian (tidak tergantung utang) dan kehati-hatian dalam berusaha.

“Rakyat kita mengenal budaya tolong menolong, gotong royong, termasuk mampu mengemban prinsip “shared–poverty” sebagai ujud nyata berlakunya sistem “social safety net” Indonesia yang sebenarnya (genuine). Tatkala buruh-buruh sektor besar dan modern terkena PHK, kemana mereka terlempar? Mereka sebagian tersebar “diterima” dan “dihidupi” oleh ekonomi kerakyatan, dengan hidup secara “sithik eding” meskipun dalam tingkat subsistansi” (Sri Edi Swasono, 2002 : 16).

“Ekonomi rakyat adalah ekonomi yang mandiri, tidak bergantung pada bahan baku luar negeri, dan melayani pasar ekonomi rakyat juga yang cukup besar di dalam negeri. Bahwa ekonomi Indonesia tumbuh positif sebesar 3,5% pada tahun 2002 ketika investasi menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) merosot hampir 35% (modal asing) dan 57% (modal domestik) serta modal asing banyak yang hengkang ke luar negeri. Ini hanya membuktikan bahwa investasi telah dilakukan oleh ekonomi rakyat dalam jumlah kecil-kecilan tetapi secara total sangat besar” (Mubyarto. 2000 dan 2003 ).

5. Kembalinya Paradigma Ekonomi Orba
Pandangan bahwa pertumbuhan ekonomi melalui investasi (asing) dapat (otomatis) menciptakan lapangan kerja menunjukkan dianutnya kembali teori (paradigma) trickle down effect, yang dipuja oleh rezim Orba. Apakah masuknya modal dan pendirian (pengoperasian kembali) pabrik-pabrik memang dapat memecahkan masalah pengangguran tanpa menimbulkan masalah yang lebih sulit diatasi? Lagi pula apakah juga realistis harapan akan datangnya investor untuk membangun infrastruktur (sesuai keperluan) yang menyerap tenaga kerja Indonesia?

Jika saja pemerintah dan ekonom mau pergi ke pelosok-pelosok daerah mungkin pandangan yang dianutnya berubah. Seperti yang terlihat di Kabupaten Kutai Barat misalnya, investasi asing (penambangan batu bara, emas, dan eksploitasi hutan) bukan saja hanya sedikit memperkerjakan penduduk sekitar, melainkan juga telah “menguras” kekayaan alam mereka yang berujung pada penggundulan hutan, pencemaran sungai, dan menipisnya kekayaan tambang (Abidin, 2003).

6. Bias Terminologi UKM
Istilah ekonomi rakyat dijauhi dan diganti dengan istilah Usaha Kecil Menengah (UKM) yang hanya meniru istilah Small and Medium Enterprises (SME) di Barat. Implikasinya adalah pada kriteria klasifikasi jenis usaha. Usaha kecil adalah yang omsetnya sekitar Rp 50 juta sampai dengan Rp 500 juta dan usaha menengah omsetnya antara Rp 500 juta sampai dengan Rp 5 milyar. Belakangan istilah ini dikoreksi dengan menambah jenis Usaha Mikro, yang tidak lain adalah ekonomi rakyat yang omsetnya hanya berkisar ratusan ribu dan pasti dibawah Rp 50 juta. Yang terakhir inilah mayoritas pelaku usaha di Indonesia.

Jumlah UMKM di Indonesia lebih dari 40 juta atau 99% dari seluruh pelaku usaha nasional, yang terdiri dari 40.137.773 usaha kecil dan 57.743 usaha menengah. Sebanyak 97,6% (39 juta) dari jumlah usaha kecil yang menyerap 99,4% tenaga kerja di Indonesia adalah pelaku ekonomi rakyat (usaha mikro) (Ali Marwan Harnan, 2002). Dari 39 juta usaha mikro (sekitar 35 juta keluarga) terdapat sekitar 175 juta orang (asumsi satu keluarga lima jiwa) yang menggantungkan diri pada usaha ekonomi rakyat, yang berarti pula 83% penduduk Indonesia (dari total 210 juta jiwa) berkecimpung dalam usaha mikro (ekonomi rakyat) (Bambang Ismawan, 2002). Implikasi bias terminologi adalah bias skema kredit pada UKM dan bukan pada usaha mikro.

7. Kekeliruan Pendidikan Ekonomi
Pendidikan ekonomi di perguruan tinggi Indonesia mengacu pada ajaran ekonomi konvensional Barat yang bercorak Neoklasik. Ajaran ini lebih memfokuskan perhatian pada ekonomi modern (usaha besar) sehingga mengabaikan perhatian pada pemecahan masalah-masalah riil yang dihadapi pelaku ekonomi rakyat (Mubyarto, 2003). Bahkan, teori-teori tentang ekonomi rakyat tidak dikembangkan karena asumsi pelaku produksi hanyalah perusahaan (besar). Pendidikan ekonomi di perguruan tinggi yang bertumpu pada ajaran ini lebih mengedepankan pandangan rasionalisme, kompetitivisme, self interest, orientasi pertumbuhan, dan profit maximization yang diajarkan secara positif, sehingga mengabaikan faktor-faktor kelembagaan sosial-budaya dan nilai-nilai kerja sama, kebersamaan, dan moralitas/etika lokal yang dimiliki ekonomi rakyat.


Beberapa isu-isu strategis faktual tersebut mengindikasikan makin perlunya reformasi sistem ekonomi nasional sehingga makin berpihak dan berpijak pada ekonomi rakyat. Upaya melakukan perubahan harus didukung adanya koreksi mendasar (revolusi paradigma ekonomi), yang dapat dimulai dari bidang pendidikan, yaitu melalui pengembangan ilmu dan sistem ekonomi yang sesuai dengan sistem nilai (ideologi) dan sosial-budaya bangsa Indonesia, ialah ilmu dan sistem ekonomi Pancasila . Demikian. Isu-isu strategis ini kiranya mendapat perhatian serius (pemecahan konkret) dari pemerintahan SBY-Kalla, sehingga wacana “perubahan” yang diperjuangkan merupakan perubahan yang bersifat substantif (bukan residual), fundamental (tidak karitatif), dan holistik (bukan sekedar tambal sulam).



Yogyakarta, 12 Mei 2005

PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN : Kritik Terhadap Paradigma Agribisnis

Mubyarto dan Awan Santosa



Pendahuluan

Pertanian (agriculture) bukan hanya merupakan aktivitas ekonomi untuk menghasilkan pendapatan bagi petani saja. Lebih dari itu, pertanian/agrikultur adalah sebuah cara hidup (way of life atau livehood) bagi sebagian besar petani di Indonesia. Oleh karena itu pembahasan mengenai sektor dan sistem pertanian harus menempatkan subjek petani, sebagai pelaku sektor pertanian secara utuh, tidak saja petani sebagai homo economicus, melainkan juga sebagai homo socius dan homo religius.

Konsekuensi pandangan ini adalah dikaitkannya unsur-unsur nilai sosial-budaya lokal, yang memuat aturan dan pola hubungan sosial, politik, ekonomi, dan budaya ke dalam kerangka paradigma pembangunan sistem pertanian. Tulisan ini sekaligus menanggapi tulisan Saudara Pantjar Simatupang (Jakarta Post, April 14 and 15, 2003) tentang Pendekatan Sistem Agribisnis dalam Pembangunan Pertanian, yang juga didasarkan pada kerangka konsep pembangunan pertanian Departemen Pertanian tahun 2001.

Secara ringkas tulisan tersebut menguraikan tentang perlu dikembangkannya paradigma baru pembangunan pertanian yang didasarkan pada pendekatan sistem agribisnis. Pantjar mengacu dengan jelas pada paradigma agribisnis yang dikembangkan oleh Davies dan Goldberg, yang berdasar pada lima premis dasar agribisnis. Pertama, adalah suatu kebenaran umum bahwa semua usaha pertanian berorientasi laba (profit oriented), termasuk di Indonesia. Kedua, pertanian adalah komponen rantai dalam sistem komoditi, sehingga kinerjanya ditentukan oleh kinerja sistem komoditi secara keseluruhan. Ketiga, pendekatan sistem agribisnis adalah formulasi kebijakan sektor pertanian yang logis, dan harus dianggap sebagai alasan ilmiah yang positif, bukan ideologis dan normatif.

Keempat, Sistem agribisnis secara intrinsik netral terhadap semua skala usaha, dan kelima, pendekatan sistem agribisnis khususnya ditujukan untuk negara sedang berkembang. Rumusan inilah yang nampaknya digunakan sebagai konsep pembangunan pertanian dari Departemen Pertanian, yang dituangkan dalam visi terwujudnya perekonomian nasional yang sehat melalui pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan, dan terdesentralisasi.

Ideologi Agribisnis

Mula-mula ilmu ekonomi (Neoklasik) dikritik pedas karena telah berubah menjadi ideologi (Burk. dalam Lewis dan Warneryd, 1994: 312-334), bahkan semacam agama (Nelson: 2001). Kemudian pertanian dijadikan bisnis, sehingga utuk mengikuti perkembangan zaman konsep agriculture (budaya bertani) dianggap perlu diubah menjadi agribusiness (bisnis pertanian). Maka di IPB dan UGM tidak dikembangkan program S2 Pertanian, tetapi lebih dikembangkan program Magister atau MM Agribisnis, yang jika diteliti substansi kuliah-kuliahnya hampir semua berorientasi pada buku-buku teks Amerika 2 dekade terakhir yang mengajarkan ideologi atau bahkan mendekati “agama” baru bahwa “farming is business”.

Mengapa agribisnis? Ya, agribisnis memang diangggap lebih modern dan lebih efisien karena lebih berorientasi pada pasar, bukan hanya pada “komoditi yang dapat dihasilkan petani”. Perubahan dari agriculture menjadi agribisnis berarti segala usaha produksi pertanian ditujukan untuk mencari keuntungan, bukan untuk sekedar memenuhi kebutuhan sendiri termasuk pertanian gurem atau subsisten sekalipun. Penggunaan sarana produksi apapun adalah untuk menghasilkan “produksi”, termasuk penggunaan tenaga kerja keluarga, dan semua harus dihitung dan dikombinasikan dengan teliti untuk mencapai efisiensi tertinggi

Sepintas paradigma agribisnis memang menjanjikan perubahan kesejahteraan yang signifikan bagi para petani. Namun jika kita kaji lebih mendalam, maka perlu ada beberapa koreksi mendasar terhadap paradigma yang menjadi arah kebijakan Deptan tersebut. Sebuah paradigma semestinya lahir dari akumulasi pemikiran yang berkembang di suatu wilayah dan kelompok tertentu. Jadi sudah sewajarnya jika kita mempertanyakan, apakah pengembangan paradigma agribisnis adalah hasil dari konsepsi dan persepsi para petani kita?. Lebih lanjut dapat kita kaji kembali apakah sudah ada riset/penelitian mendalam, yang melibatkan partisipasi petani, berkaitan dengan pola/sistem pertanian di wilayah mereka?.

Hal ini sangat penting karena jangan-jangan paradigma agrisbisnis hanyalah dikembangkan secara topdown dari pusat, yang tidak sesuai dengan visi desentralisasi sistem lokal, atau lebih berbahaya lagi hanya mengadopsi paradigma dari luar (barat). Lebih tepat apabila pemerintah berupaya untuk membantu menemukenali segala permasalahan yang dihadapi petani dan bersama-sama mereka mengusahakan jalan keluarnya, dengan memposisikan diri sebagai kekuatan pelindung petani. Selama ini masalah yang muncul adalah anjloknya harga komoditi, kenaikan harga pupuk, dan persaingan tidak sehat, yang lebih disebabkan oleh kekeliruan atau tidak bekerjanya kebijakan atau peraturan (hukum) yang dibuat oleh pemerintah.

Paradigma Agribisnis Yang Keliru

Asumsi utama paradigma agribisnis bahwa semua tujuan aktivitas pertanian kita adalah profit oriented sangat menyesatkan. Masih sangat banyak petani kita yang hidup secara subsisten, dengan mengkonsumsi komoditi pertanian hasil produksi mereka sendiri. Mereka adalah petani-petani yang luas tanah dan sawahnya sangat kecil, atau buruh tani yang mendapat upah berupa pangan, seperti padi, jagung, ataupun ketela. Mencari keuntungan adalah wajar dalam usaha pertanian, namun hal itu tidak dapat dijadikan orientasi dalam setiap kegiatan usaha para petani. Petani kita pada umumnya lebih mengedepankan orientasi sosial-kemasyarakatan, yang diwujudkan dengan tradisi gotong royong (sambatan/kerigan) dalam kegiatan mereka. Seperti di awal tulisan, bertani bukan saja aktivitas ekonomi, melainkan sudah menjadi budaya hidup yang sarat dengan nilai-nilai sosial-budaya masyarakat lokal.

Sehingga perencanaan terhadap perubahan kegiatan pertanian harus pula mempertimbangkan konsep dan dampak perubahan sosial-budaya yang akan terjadi. Seperti halnya industrialisasi yang tanpa didasari transformasi sosial terencana, telah menghasilkan dekadensi nilai moral, degradasi lingkungan, berkembangnya paham kapitalisme dan individualisme, ketimpangan ekonomi, dan marjinalisasi kaum petani dan buruh. Hal ini yang nampaknya tidak terlalu dikedepankan dalam pengembangan paradigma pendekatan sistem agribisnis..Tidak semua kegiatan pertanian dalam skala petani kecil dapat dibisniskan, seperti yang dilakukan oleh petani-petani (perusahaan) besar di luar negeri, yang memiliki tanah luas dan sistem nilai/budaya berbeda yang lain sekali dengan petani kita

Agriculture bisa berubah menjadi agribisnis seperti halnya PT QSAR, jika usaha dan kegiatannya “menjanjikan keuntungan sangat besar”, misalnya 50% dalam waktu kurang dari satu tahun, padahal tingkat bunga bank rata-rata hanya sekitar 10%. Semangat mengejar untung besar dalam waktu pendek inilah semangat dan sifat agribisnis yang dalam agriculture (pertanian) suatu hal yang dianggap mustahil. Demikian tanpa disadari pakar-pakar ekonomi pertanian terutama lulusan Amerika telah memasukkan budaya Amerika ke (pertanian) Indonesia dengan janji atau teori bahwa agribisnis lebih modern, lebih efisien, dan lebih menguntungkan ketimbang agriculture.

Itulah yang terjadi dengan PT QSAR yang mampu mengecoh banyak bapak-bapak dan ibu-ibu “investor” untuk menanamkan modal ratusan juta rupiah, meskipun akhirnya terbukti agribisnis PT QSAR merupakan ladang penipuan baru untuk menjerat investor-investor “homo-ekonomikus” (manusia serakah) yang berfikir “adalah bodoh menerima keuntungan rendah jika memang ada peluang memperoleh keuntungan jauh lebih besar”. Di Indonesia homo-ekonomikus ini makin banyak ditemukan sehingga seorang ketua ISEI pernah tanpa ragu menyatakan “orang Indonesia dan orang Amerika sama saja”, mereka sama-sama “makhluk ekonomi”.

Konsep dan paradigma sistem agribisnis tidak akan menjadi suatu kebenaran umum, karena akan selalu terkait dengan paradigma dan nilai budaya petani lokal, yang memiliki kebenaran umum tersendiri. Oleh karena itu pemikiran sistem agribisnis yang berdasarkan prinsip positivisme sudah saatnya kita pertanyakan kembali. Paradigma agribisnis tentu saja sarat dengan sistem nilai, budaya, dan ideologi dari tempat asalnya yang patut kita kaji kesesuaiannya untuk diterapkan di negara kita. Masyarakat petani kita memiliki seperangkat sistem nilai, falsafah, dan pandangan terhadap kehidupan (ideologi) mereka sendiri, yang perlu digali dan dianggap sebagai potensi besar di sektor pertanian.

Sementara itu perubahan orientasi dari peningkatan produksi ke oreientasi peningkatan pendapatan petani belum cukup jika tanpa dilandasi pada orientasi kesejahteraan petani. Peningkatan pendapatan tanpa diikuti dengan kebijakan struktural pemerintah di dalam pembuatan aturan/hukum, persaingan, distribusi, produksi dan konsumsi yang melindungi petani tidak akan mampu mengangkat kesejahteraan petani ke tingkat yang lebih baik. Kisah suramnya nasib petani kita lebih banyak terjadi daripada sekedar contoh keberhasilan perusahaan McDonald dalam memberi “order’ kelompok petani di Jawa Barat. Industri gula dan usaha tani tebu serta usaha tani padi kini “sangat sakit” dengan jumlah dan nilai impor yang makin meningkat. Kondisi swasembada beras yang pernah tercapai tahun 1984 kini berbalik. Dan pemerintah mulai sangat gusar karena tanah-tanah sawah yang subur makin cepat beralih fungsi menjadi permukiman, lokasi pabrik, gedung-gedung sekolah, bahkan lapangan golf.

Jika kesejahteraan petani menjadi sasaran pembaruan kebijakan pembangunan pertanian, mengapa kata pertanian kini tidak banyak disebut-sebut? Mengapa Departemen Pertanian rupanya kini lebih banyak mengurus agribusiness dan tidak lagi mengurus agriculture. Padahal seperti juga di Amerika departemennya masih tetap bernama Department of Agriculture bukan Department of Agribusiness? Doktor-doktor Ekonomi Pertanian lulusan Ameri­ka tanpa ragu-ragu sering mengatakan bahwa farming is business. Benarkah farming (bertani) adalah bisnis? Jawab atas pertanyaan ini dapat ya (di Amerika) tetapi di Indonesia bisa tidak. Di Indonesia farming ada yang sudah menjadi bisnis seperti usaha PT QSAR di Sukabumi yang kemudian bangkrut, tetapi bisa tetap merupakan kehidupan (livelihood) atau mata pencaharian yang di Indonesia menghidupi puluhan juta petani tanpa menjadi bisnis.

Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Kini tidak mudah lagi menyepakati apa yang dimaksud dengan pembangunan Pertanian Berkelanjutan, karena berbagai peringatan dan “potensi penyimpangan” di masa lalu kurang mendapat perhatian. Pembangunan pertanian yang di atas kertas mendapat prioritas sejak Repelita I tokh kebijakan dan strateginya dengan mudah dilanggar, dan program-program “industrialisasi” lebih didahulukan. Sumber utama kekeliruan adalah lebih populernya model-model pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan yang lebih cepat meningkatkan produksi dan pendapatan (GDP dan GNP), meskipun tanpa disertai pemerataan dan keadilan sosial.

Seharusnya kita tidak lupa peristiwa Malari Januari 1974 yang memprotes terjadinya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial padahal Repelita I pada saat itu baru berjalan 4,5 tahun, dan pertanian telah tumbuh rata-rata 5% per tahun. Pemerintah Indonesia yang waktu itu bertekad memulai dan meningkatkan program-program pemerataan “termanja­kan” oleh bonanza minyak yang dengan sangat mudah membelokkan dana-dana yang melimpah untuk “membantu” pengusaha-pengusaha swasta yang leluasa membangun segala macam industri subsistitusi impor dan kemudian industri promosi ekspor, kebanyakan dengan bekerjasama dengan investor asing, khususnya dari Jepang.

Demikian sekali lagi telah terjadi ketidakseimbangan pembangunan antara industri dan pertanian, yang anehnya dianggap wajar, karena “model pembangunan yang dianggap benar adalah yang mampu meningkatkan sumbangan sektor industri dan “menurunkan” sumbangan sektor pertanian. Inilah suasana awal kelahiran dan mulai populernya ajaran “agribusiness” (agribisnis) yang menggantikan agriculture (pertanian). Jika kita ingin mengadakan pembaruan menuju Pertanian Berkelanjutan justru harus ada kesediaan meninjau kembali konsep dan pengertian sistem dan usaha agribisnis.

Saya tidak sependapat agribisnis dimengerti sebagai “pertanian dalam arti luas” atau bahkan istilah pertanian sudah tidak lagi dianggap relevan dan perlu diganti agribisnis. Jika konsekuen Departemen Pertanian juga perlu diubah menjadi Departemen Agribisnis atau Institut Pertanian (INSTIPER) diganti menjadi Insitut Agribisnis. Kami menolak kecenderungan yang demikian yang di kalangan Fakultas-fakultas Ekonomi kita juga sudah muncul keinginan mengganti nama Fakultas Ekonomi menjadi Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Memang di Amerika sudah banyak School of Business, dan Department of Economics hanya merupakan satu departement saja dalam School of Business. Kami berpendapat ini sudah kebablasan. Seharusnya kita di Indonesia tidak menjiplak begitu saja apa yang terjadi di Amerika jika kita tahu dan patut menduga hal itu tidak cocok bagi tatanan nilai dan budaya petani dan pertanian kita.

Kesimpulan

Sistem ekonomi yang mengacu pada Pancasila yaitu Sistem Ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi pasar yang memihak pada upaya-upaya pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Meskipun pertanian berkelanjutan sudah dapat mencakup upaya-upaya mewujudkan keadilan namun pedoman-pedoman moralistik, manusiawi, nasionalisme, dan demokrasi/ ’kerakyatan’ secara utuh tidak mudah memadukannya dalam pengertian berkelanjutan. Asas Pancasila yang utuh memadukan ke-5 sila Pancasila lebih tegas mengarahkan kebijakan yang memihak pada pengembangan pertanian rakyat, perkebunan rakyat, peternakan rakyat, atau perikanan rakyat. Pertanian yang mengacu atau berperspektif Pancasila pasti memihak pada kebijakan yang mengarah secara kongkrit pada program-program pengurangan kemiskinan di pertanian dan peningkatan kesejahteraan petani.

Misalnya dalam kasus distribusi raskin (beras untuk penduduk miskin), orientasi ekonomi Pancasila pasti tidak mengijinkan pengiriman raskin ke daerah-daerah sentra produksi padi karena pasti menekan harga jual gabah/padi petani. Demikian pula dalam kebijakan pengembangan Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang kini sudah dicabut, orientasi ekonomi Pancasila tidak akan membiarkan terjadinya persaingan sengit di antara petani tebu dalam menjual tebunya ke pabrik, dan sebaliknya pemerintah seharusnya tidak membiarkan pabrik-pabrik gula bertindak sebagai monopsonis (pembeli tunggal) yang menekan petani tebu dalam menampung tebu yang dijual oleh petani tebu rakyat

Tinjauan aspek sosial-ekonomi pembangunan pertanian dan pengelolaan sumber daya alam yang kami sampaikan di sini berbeda atau mungkin berseberangan dengan kerangka pikir yang mengarahkan semua topik pada pengembangan sistem dan usaha agribisnis. Kami berpendapat istilah pertanian tetap relevan dan pembangunan pertanian tetap merupakan bagian dari pembangunan perdesaan (rural development) yang menekankan pada upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk desa, termasuk di antaranya petani. Fokus yang berlebihan pada agribisnis akan berakibat berkurangnya perhatian kita pada petani-petani kecil, petani gurem, dan buruh-buruh tani yang miskin, penyakap, petani penggarap, dan lain-lain yang kegiatannya tidak merupakan bisnis. Apakah mereka ini semua sudah tidak ada lagi di pertanian dan perdesaan kita?

Masih banyak sekali, dan merekalah penduduk miskin di perdesaan kita yang membutuhkan perhatian dan pemihakan para pakar terutama pakar-pakar pertanian dan ekonomi pertanian. Pakar-pakar agribisnis rupanya lebih memikirkan bisnis pertanian, yaitu segala sesuatu yang harus dihitung untung-ruginya, efisiensinya, dan sama sekali tidak memikirkan keadilannya dan moralnya. Pembangunan pertanian Indonesia harus berarti pembaruan penataan pertanian yang menyumbang pada upaya mengatasi kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan mereka yang paling kurang beruntung di perdesaan.



30 April 2003


--------------------------------------------------------------------------------


Prof. Dr. Mubyarto – Guru Besar FE-UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM (Pustep UGM)

Awan Santosa - Staf Peneliti Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM (Pustep UGM)

Friday, May 13, 2005

KEMISKINAN DAN RESTRUKTURISASI AKSES

Awan Santosa

IPM dan Ketimpangan
Sebuah berita “kecil” beberapa hari yang lalu hadir di sela-sela pembicaraan “besar” elit politik dan ekonomi kita : Indek Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada di peringkat 112 dari 175 negara yang menjadi sampel survey United Nation Development Program (UNDP). Timbul pertanyaan apakah berita ini telah secara serius ditanggapi? Apakah data-data beserta implikasinya ini lebih penting dibanding tarik ulur anggaran dewan-eksekutif di daerah tentang dana pensiun, dana asuransi, dan macam-macam tunjangan kesejahteraan pejabat lainnya?

Apakah juga kondisi manusia Indonesia menurut UNDP tersebut lebih krusial dibanding rencana pembayaran BLBI, privatisasi BUMN, rekapitalisasi perbankan, dan tarik ulur kepentingan politik-ekonomi di tingkat pusat?. Jika jawabannya tidak maka kita perlu menggugat kembali, apa yang diinginkan negara kita dengan tujuan nasional pembangunannya, di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Tidakkah seperti yang diamanatkan oleh konstitusi bahwa tujuan pembangunan nasional kita adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya?. Kini kita lihat hasilnya, negara kita masih tertinggal sekedar hanya memenuhi kebutuhan dasar manusianya untuk menikmati pendidikan, kesehatan, dan kemampuan membeli barang kebutuhan sehari-hari.

Salah arah-kah pembangunan kita sehingga pendirian gedung-gedung mewah, infrastruktur ekonomi, rumah sakit dan sekolah-sekolah elit di pusat-pusat kota dapat berbarengan dengan banyaknya balita yang kurang gizi atau bahkan bergizi buruk serta banyaknya wanita subur yang menderita resiko kekurangan energi kronis (Khudori, 2003). Di satu sisi banyak warga negara yang gemar pesta, bergaya hidup glamour, hedonis, namun di sisi lain masih banyak anak-anak yang putus sekolah atau tidak tertampung di sekolah yang ada hingga sebagian terpaksa menghabiskan masa kecilnya di jalanan, berbaur dengan asap penyakit.

Ironis memang jika Indonesia diposisikan sebagai negara peringkat 112 HDI dunia. Indonesia memang negara yang pemerintah dan sebagian masyarakatnya miskin (terjerat hutang dan senantiasa mendatangkan hutang baru) namun pejabat pemerintahnya, elit ekonomi, dan politiknya sangat jauh sekedar untuk dikatakan hidup sederhana. Peringkat IPM Indonesia tersebut hanya menggambarkan bahwa ketimpangan dan ketidakadilan distribusi hasil pembangunan masih terjadi di negeri reformasi ini. Hal itu juga menunjukkan bahwa pembangunan manusia Indonesia secara utuh dan menyeluruh belum sepenuhnya diprioritaskan oleh para pengambil kebijakan politik-ekonomi kita.

Dapat dipahami bahwa kondisi kemiskinan dari 38,39 juta orang yang merupakan 19% dari penduduk total tahun 2003 (Hari Sabarno, 2003) tidak cukup menjadi perhatian besar bagi negara besar seperti Indonesia. Program-program yang ditujukan untuk mengurangi kemiskinan masih belum menyentuh aspek pembangunan manusia bagi penduduk miskin yang ada.

Amartya Sen dalam bukunya “Development as Freedom” mengutarakan bahwa penyebab kemiskinan dan keterbelakangan adalah persoalan aksesibilitas. Akibat keterbatasan dan ketertiadaan akses maka manusia mempunyai keterbatasan (bahkan tak ada pilihan) untuk mengembangkan hidupnya, kecuali menjalankan apa terpaksa saat ini yang dapat dilakukan (bukan yang seharusnya bisa dilakukan). Akibatnya potensi manusia untuk mengembangkan hidupnya menjadi terhambat (Bambang Ismawan, 2002).

Berpijak pada konsep pemenuhan kebutuhan dasar manusia, akses terhadap pemenuhan kebutuhan sehari-hari (dalam wujud daya beli), akses terhadap fasilitas kesehatan yang murah dan memadai, serta akses untuk menikmati setiap jenjang pendidikan adalah prasyarat minimal bagi tercapainya kesejahteraan masyarakat. Pemikiran ini sudah jauh-jauh hari dirumuskan oleh founding father kita, yang dituangkan dalam UUD 1945, landasan konstitusi tertinggi kita. Masih ingatkah kita dengan pasal 29, pasal 31, pasal 33, dan pasal 34 UUD 1945 (yang diamandemen menjadi UUD 2002)?.

Pasal-pasal tersebut telah jelas dan tegas mengamanatkan bahwa akses terhadap penghidupan yang layak, termasuk kesehatan dan pendidikan adalah hak setiap warga negara. Bahkan kondisi ideal yang diatur hukum kita adalah bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara, tentu saja dengan penekanan pada kewajiban pemerintah, baik di pusat maupun daerah.

Pembangunan selama 58 tahun tidak bisa dipungkiri telah membawa kemajuan yang berarti, khususnya di bidang sarana-prasarana sosial dan ekonomi. Telah banyak rumah sakit, puskesmas, sekolah, dan pusat-pusat kegiatan ekonomi dibangun. Namun sayangnya pembangunan ini tidak diikuti dengan persebaran akses secara merata ke seluruh lapisan masyarakat di Indonesia. Fenomena ketimpangan akses adalah kondisi awal yang menimbulkan kondisi berikutnya yaitu kemiskinan masyarakat. Akses sosial terhadap kesehatan dan pendidikan adalah milik mereka yang berpunya (the have) karena prasyarat memanfaatkannya adalah daya beli (uang) yang sulit dipenuhi oleh mereka yang “the have not”, atau dalam istilah strukturalis, golongan kelas bawah (underclass).

Daya beli kelompok masyarakat ini sudah dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka, yaitu pangan, sandang, dan papan (kalau memungkinkan). Mujur bagi mereka, pemerintah dan sebagian masyarakat masih memiliki cukup kepekaan sosial untuk memperhatikan mereka dengan merancang program-program bertajuk penanggulanganan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Program Anti Kemiskinan

Program-program penanggulangan kemiskinan membawa sejuta harapan untuk memperbaharui hidup masyarakat miskin, baik di kota maupun di desa. Program kemiskinan dirancang dengan berbagai model pendekatan yang dianggap cocok dan efektif untuk menolong penduduk miskin, mulai dari pendekatan sektoral, regional, dan pendekatan langsung. Program-program yang saat ini masih dijalankan secara nasional meliputi Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), dan program lain yang dibuat oleh pemerintah dan masyarakat di tingkat lokal.

Berbagai program tersebut menumpukan ide dasarnya pada model dana bergulir, yang diharapkan dapat digunakan untuk mengembangkan usaha, memberdayakan masyarakat, dan membangun ekonomi rakyat. Namun sayangnya, kembali pada ide awal pemenuhan akses bagi masyarakat paling miskin (the poorest), program-program tersebut seringkali tidak dapat dengan mudah diakses oleh mereka yang benar-benar termiskin. Karena program dilaksanakan di satu wilayah administratif tertentu (RW atau kelurahan), maka sulit bagi masyarakat miskin di luar wilayah adminstratif tersebut untuk mengakses program (the outer program). Seperti halnya mereka yang hidup dan tinggal di jalan (termasuk anak terlantar), di pinggir-pinggir sungai, ataupun yang tinggal di pemukiman-pemukiman kumuh, jembatan, stasiun, dan terminal, apapun profesi mereka.

Termasuk juga yang kurang beruntung terjebak dalam pekerjaan yang bertentangan dengan moral dan agama.
Sementara dana program kemiskinan di wilayah administratif tertentu didistribusikan kepada masyarakat lokal, yang belum tentu miskin dan membutuhkan. Dengan model seperti itu ada kemungkinan penyaluran dana program lebih didasarkan pada kapasitas/kemampuan pengembalian dana, karena pertimbangan resiko dan sulitnya (tidak mau?) menemukan warga yang benar-benar miskin di wilayah tersebut. Padahal sudah ratusan milyar, bahkan trilyunan rupiah (sejak krisis moneter 1997) dana yang disalurkan untuk mengurangi kemiskinan di negara kita, sejauh ini belum jelas ukuran hasilnya selain berita yang diungkapkan UNDP di muka.

Ada dugaan bahwa dana program penanggulangan kemiskinan tidak benar-benar disalurkan hanya untuk penduduk miskin saja, sehingga hasil program tidak terlalu signifikan dibanding dana yang telah dikucurkan. Perlu ada pembuktian dari pemerintah selaku pelaksana program untuk menunjukkan bahwa program kemiskinan telah tepat sasaran dengan derajat ketepatan tertentu. Sehingga dapat disimpulkan seberapa besar akses masyarakat yang benar-benar miskin terhadap program penanggulangan kemiskinan tersebut.
Di sisi lain program penanggulangan kemiskinan yang selama ini dilakukan belum sepenuhnya berorientasi pada pembangunan manusia. Pada umumnya orientasi program lebih ditujukan pada kelancaran perguliran dana, rendahnya kredit macet, dan pemupukan modal bagi usaha anggota program.

Belum terlihat jelas bagaimanakah model dan orientasi pembangunan manusia yang diharapkan dari program tersebut. Orientasi pembangunan manusia berarti pemenuhan akses penduduk miskin terhadap kesehatan, pendidikan, dan kesempatan ekonomi yang memadai dan terjangkau daya beli mereka (bahkan gratis). Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) di bidang pendidikan dan kesehatan belum dapat digunakan sebagai instrumen yang berkelanjutan (sustainable) karena programnya yang bersifat pertolongan darurat (emergency rescue), berjangka pendek (crash program) dan terbatas (belum meluas).

Harapan yang mungkin adalah menggeser orientasi program penanggulangan kemiskinan yang sekarang ada (seperti PPK dan P2KP) untuk mengkaitkannya dengan pemenuhan akses penduduk termiskin peserta program terhadap kesehatan dan pendidikan. Dengan model lain pemerintah dapat mengambil kebijakan pendidikan dan kesehatan murah (gratis) bagi penduduk termiskin peserta program dan penduduk miskin di luar program (the outer program). Pemberlakuan model dana pinjaman usaha dari program penanggulangan kemiskinan tidak akan efektif tanpa kemudahan akses penduduk miskin terhadap pemenuhan kebutuhan dasar berupa kesehatan dan pendidikan yang murah dan memadai. Bagaimana penduduk miskin dapat meningkatkan penghasilannya melalui program kemiskinan jika ketika dia sakit atau bermaksud menyekolahkan anaknya harus mengeluarkan biaya banyak yang membebaninya.

“Restrukturisasi” Akses

Tidak saja perubahan paradigma pembangunan, dari orientasi pertumbuhan ke orientasi pemerataan, seperti diungkapkan Kwik Kian Gie (Republika, Juli 2003), yang perlu kita lakukan menanggapi penurunan peringkat IPM kita. Lebih dari itu negara kita memerlukan sebuah perubahan struktural yang dimanifestasikan dari kebijakan dan program-program pemerintah yang lebih adil, manusiawi, demokratis, dan memihak rakyat kecil/penduduk miskin. Perubahan struktural memerlukan adanya mekanisme yang jelas untuk menjamin terjadinya redistribusi pendapatan antar anggota masyarakat, dari mereka yang “the have” ke mereka yang “the have not” atau “have little”.. Kita tidak perlu memperdebatkan landasan kebijakan ini karena telah jelas digariskan dalam dasar hukum agama maupun konstitusi bangsa Indonesia.

Yang perlu dilakukan bukan sekedar model jaminan sosial ataupun proteksi sosial, yang lebih terkesan karikatif, namun sebuah mekanisme struktural berupa “restrukturisasi” akses bagi penduduk miskin, yang meliputi akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan ekonomi (kesempatan usaha dan pekerjaan). Mekanisme ini relatif lebih mungkin dilakukan dengan mengunakan instrumen struktur anggaran negara (APBN) dan struktur program penanggulangan kemiskinan yang telah ada.

Melalui instrumen anggaran negara, pemerintah menjalankan “restrukturisasi” akses dengan mengalokasikan dana yang lebih besar di bidang kesehatan dan pendidikan tertuju pada penduduk miskin (sosial-ekonomi lemah). Bagaimanapun kedua bidang ini adalah investasi yang sangat strategis bagi masa depan negara kita. Apakah kita tidak belajar pada masa lalu, manakala investasi asing (terbesar di bidang ekonomi) dianggap sebagai dewa kemajuan pembangunan. pertumbuhan ekonomi, dan kesempatan kerja bagi masyarakat kita? Dan kita buktikan sendiri hasilnya, krisis moneter yang diikuti krisis di segala sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, disertai penurunan kualitas pembangunan manusia (HDI) kita.

Adalah sesuai pemikiran Prof Mubyarto bahwa selama kurun waktu 4 tahun setelah krisis (1999-2002), disaat investasi lesu dan banyak terjadi pelarian modal ke luar negeri, pertumbuhan ekonomi kita (kurang lebih sebesar 3,5%) ditopang oleh investasi sosial-ekonomi rakyat. Mereka adalah pelaku-pelaku ekonomi kecil, bahkan miskin, yang dapat menunjukkan kekuatan, kepercayaan diri, dan daya tahan menghadapi kondisi sulit dengan mengandalkan modal sosial (social capital) dan sedikit modal usaha yang mereka miliki. Dan kini pemerintah kembali berharap bahwa investasi asing adalah kunci pemulihan ekonomi nasional. Ya, pemulihan ekonomi menuju kondisi awal sebelum krisis berupa kondisi yang timpang, penuh ketidakadilan, dan pengabaian hak-hak dasar masyarakat.

Pemerintah dan DPR sendirilah yang perlu melakukan investasi, bukan hanya penonjolan pada investasi asing dan pengeluaran untuk belanja rutin saja. Investasi pemerintah yang paling strategis bagi pembangunan manusia Indonesia adalah di bidang pendidikan dan kesehatan, melalui alokasi dana APBN yang lebih besar di kedua bidang tersebut. Dana ini dapat dialokasikan ke dalam struktur dana program penanggulangan kemiskinan atau melalui mekanisme tersendiri yang diatur bersama-sama pemerintah dan DPR melalui landasan hukum yang jelas. Tidak cukup banyakkah anggaran yang sudah dialokasikan ke elit politik/ekonomi, melalui pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi perbankan, tunjangan, dan biaya “studi banding” ke luar negeri?

“Restrukturisasi” akses juga perlu dilakukan melalui perubahan paradigma dan perubahan struktural program anti kemiskinan yang berskala nasional dan melibatkan dana yang cukup besar. Masih terkesan bahwa dana yang disalurkan ke penduduk miskin dimaknai sebagai “bantuan”, baik oleh pengelola program ataupun masyarakat miskin itu sendiri. Sehingga penting untuk dibangun paradigma program anti kemiskinan yang berorientasi pada penguatan hak masyarakat miskin sebagai dasar bagi paradigma pembangunan manusia dalam program tersebut. Penduduk miskin hanya dapat membangun diri dan kemanusiaannya apabila ia sadar dan paham akan hak-hak dasar hidupnya di Indonesia, untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan,, dan penghidupan yang layak (kesempatan berusaha).

Perubahan struktural program anti kemiskinan yang berorientasi pemerataan akses dan pembangunan manusia dapat dijalankan melalui dua cara, yaitu restrukturisasi keanggotaan dan restrukturisasi alokasi dana program. Restrukturisasi anggota program berarti meninjau kembali profil masyarakat yang mengakses dana program, apakah dia benar-benar miskin dan membutuhkan, ataukah dia sekedar ingin melakukan ekspansi usaha. Masyarakat yang tidak miskin relatif tidak mengalami kesulitan dalam mengembangkan diri dan mengakses fasilitas sosial-ekonomi yang mereka butuhkan. Sehingga dengan dana program yang terbatas, dapat dialokasikan untuk penduduk yang benar-benar miskin, terutama yang saat ini masih belum terjangkau program (the outer program). Mereka adalah kelompok masyarakat yang rentan, tidak berdaya, dan perlu dibantu mendapatkan hak akses sosial-ekonomi untuk membangun dirinya.

Restrukturisasi alokasi dana program dilakukan dengan memberikan porsi yang cukup untuk akses kebutuhan dasar penduduk miskin peserta program dan di luar program seperti akses kesehatan dan pendidikan. Dana program anti kemiskinan tidak hanya diperuntukkan sebagai modal usaha melainkan juga sebagai dana cadangan bagi anggotanya yang membutuhkan akses pendidikan dan kesehatan. Jika dimungkinkan dana ini disalurkan secara gratis, namun jika belum memungkinkan dana ini dapat disalurkan melalui kredit lunak yang murah dan berjangka panjang, sehingga dapat dijadikan dana bergulir di bidang pendidikan dan kesehatan. Cara lain adalah melalui kerja sama antara pengelola program dengan institusi kesehatan dan pendidikan terkait sehingga dihasilkan struktur pembiayaan yang murah dan memadai bagi penduduk miskin.

Yang perlu dicatat adalah ketepatan sasaran program bagi penduduk yang benar-benar miskin dan sedapat mungkin sumber pembiayaan berasal dari dana program, anggaran pemerintah, atau sumber lain yang tidak memberatkan penduduk miskin. Hal ini memang dipengaruhi seberapa besar komitmen pengelola program dan pemerintah untuk benar-benar memperhatikan nasib dan hak-hak penduduk miskin serta seberapa besar alokasi anggaran (APBN dan APBD) yang dapat disediakan, khususnya untuk bidang pendidikan dan kesehatan penduduk miskin. Namun kita perlu tetap optimis bahwa suara hati masih sangat dipegang teguh di negeri ini. Memang kita perlu lebih giat untuk menyuarakan :“ “restrukturisasi” akses untuk penduduk miskin”.

EKONOMI RAKYAT VS EKONOMI TAMBANG

Awan Santosa

Dilematis! Inilah ungkapan untuk menggambarkan pertautan antara aktivitas petani dan perusahaan tambang batu bara Gunung Bayan Prima Coal di Kecamatan Muara Pahu. Sejak terjadi banyak protes dari petani-nelayan di sepanjang Sungai Kedang Pahu terhadap aktivitas pengangkutan batu bara melewati sungai yang dinilai merugikan nelayan penduduk sekitar sungai Mahakam, PT Gunung Bayan telah membangun jalan darat sepanjang 12 km sebagai jalan alternatif pengangkutan batu bara perusahaan tersebut. Pembangunan jalan ini telah menimbulkan masalah baru bagi petani di sekitarjalan yang melewati sawah petani. Pak Nanang Besta (61) yang ketua RT I kampung Tanjung Laong, Kecamatan Muara Pahu mengatakan bahwa sejak dibuatnya jalan tersebut sawah-sawah di sepanjang jalan mengalami kekeringan, karena parit di kanan kiri jalan tersebut telah menyedot air sawah petani. Para petani kini menuntut ganti rugi pada perusahaan yang telah menggunakan lahan persawahan seluas 4500 m2 milik petani.

Pak Bahrani, salah seorang anggota kelompok tani Bina Karya menuturkan bahwa para petani menuntut kompensasi sebesar Rp 1500,- per meter persegi, yang katanya hanya disanggupi oleh perusahaan sebesar Rp 100,- per meter persegi. Karena belum ada kesepakatan, penduduk kampung “memblokir” jalan yang pembangunannya belum selesai sepenuhnya. Sampai sejauh ini belum ada titik temu yang dapat memuaskan semua pihak, sementara peran pemerintah kabupaten juga belum berarti. Lahan sawah petani kekurangan air, sedangkan jalan yang baru dibangun belum dapat digunakan. Konflik yang berkepanjangan makin menurunkan kesejahteraan petani-nelayan di Muara Pahu. Selain lahan yang kering, masih digunakannya jalur transportasi sungai juga membawa “dampak negatif” seperti yang diungkapkan Pak A.W. Abidin (49), kepala kampung Jerang Melayu, Kecamatan Muara Pahu, bahwa:
(1.) Arus transportasi air terganggu oleh ponton-ponton besar pengangkut batu bara;
(2.) Debu batu bara yang diangkut ke ponton;
(3.) Masyarakat nelayan tidak dapat memasang alat penangkap ikan (rengge, rawai, bubu, tamba, dan sangga) karena dapat diterjang ponton dan rakit kayu (log), sedangkan ikan di sungai mulai berkurang. Hal ini terutama dirasakan oleh masyarakat kampung di sekitar perusahaan seperti Tanjung Laong, Bloan, dan Dasaq;
(4.) Pendangkalan sungai, rumah-rumah di pinggir sungai mulai miring dan terancam longsor karena sungai dikeruk dan ikan pesut mulai sulit ditemui;
(5.) Ponton yang berisi batu bara sering tenggelam di sungai Kedang Pahu, dan pasir batu bara dibuang ke sungai untuk mengangkat ponton yang tenggelam tersebut;
(6.) Mulai timbul wabah penyakit di wilayah sekitar perusahaan terutama pengguna air sungai Kedang Pahu, air sungai diperkirakan sudah tercemar.

Masalah lainnya adalah konflik tapal batas antar kampung, “perebutan” tanah yang terkena areal tambang batu bara, dan konflik ganti rugi tanah oleh perusahaan yang sangat rendah (Rp 2,5 juta/ha), akibatnya masyarakat sering berunjuk rasa a.l: tanggal 7/2/03 masyarakat (Tj Laong, Teluk Tempudau, Muara Baroh, dan Sebelang) menggugat perusahaan batubara di BPU Kecamatan Muara pahu tentang uang Rp 200 juta (diserahkan kepada siapa dan dipakai untuk apa). Sebelumnya masyarakat berunjuk rasa dan memperoleh dana Rp 75.000/kk/tahun. Areal tambang batubara tumpang tindih dengan perkebunan sawit. Penyelesaian sengketa ternyata memenangkan pihak perusahaan dan masyarakat dikalahkan.

Inilah dilema dalam pengelolaan sumber daya alam (tambang) oleh perusahaan-perusahaan swasta yang selalu berpotensi menimbulkan “benturan kepentingan” dengan kepentingan penduduk kampung (ekonomi rakyat). Dalam kasus kelompok tani Bina Karya misalnya, penyelesaian atas satu masalah (memenuhi tuntutan masyarakat) ternyata menimbulkan masalah baru, yang akhirnya pemecahan masalah pertama pun tidak tercapai. Para petani yang sudah miskin menjadi lebih sulit lagi kehidupannya karena panen padi mereka yang terancam gagal. Tidak tersedianya sarana-prasarana dan teknologi pertanian yang dibutuhkan petani mengakibatkan terbatasnya kemampuan petani dalam memanfaatkan lahan dan memecahkan masalah –masalah usahatani mereka. Demikian pula, tidak adanya teknologi pengairan yang tepat, menyebabkan air di sawah mereka “tergusur” ke parit “hasil” pembuatan jalan perusahaan. Dengan alat-alat produksi yang tidak memadai, modal minim (dana bergulir Rp 710.000,- untuk 32 orang!), dan kemampuan SDM yang rendah, petani di Tanjung Laong, Muara Pahu menghadapi konflik yang jika berlarut-larut akan benar-benar mengancam kesejahteraan mereka. Hasil panen dengan lahan yang sempit nyaris tidak dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Jika hasil panen menurun atau gagal mereka hanya menggantungkan pekerjaan sampingan mencari ikan yang hasilnya sama sekali tidak dapat dipastikan.

Kunjungan lapangan tim PUSTEP pada awalnya diarahkan pada evaluasi kondisi “program GSM” di bidang pertanian yaitu pengembangan padi sawah di Muara Pahu. Namun ditemukannya kasus di atas makin menguatkan kesimpulan bahwa upaya-upaya menyejahterakan rakyat masih bersifat “parsial atau sektoral”, yang berarti tujuan GSM untuk mengembangkan sinergi multisektoral belum terwujud. Dalam hal ini keterkaitan langsung antara perusahaan-perusahaan swasta besar di sektor pertambangan dengan usaha pertanian rakyat sangat erat. Upaya-upaya pemberdayaan pertanian rakyat tanpa melihat keterkaitan ini akan menjadi sia-sia. Masalah yang dihadapi petani bukan saja terkait dengan masalah-masalah usahatani mereka, melainkan lebih komplek lagi terkait dengan sistem pengelolaan sumber daya alam yang “ramah lingkungan” dan tidak menimbulkan kerugian pada usaha-usaha ekonomi rakyat. Keadaan ini harus mendorong aparat dinas-dinas untuk lebih “saling berinteraksi” dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi ekonomi rakyat. Dalam kasus di atas perlu keterkaitan multipihak terutama antara dinas pertanian, dinas pekerjaan umum dan prasarana wilayah, dinas lingkungan hidup, dinas pemberdayaan masyarakat, dan dinas-dinas terkait lainnya.
Kegiatan pertambangan merupakan kegiatan yang dominan di Kutai Barat di luar kegiatan subsektor kehutanan. Dalam kaitan itu, prioritas perhatian pada pertambangan dan dampaknya, baik terhadap lingkungan, maupun masyarakat kampung perlu lebih ditekankan. Inilah “masalah struktural” yang selalu menghambat usaha ekonomi rakyat untuk berkembang. Pelaku ekonomi rakyat tidak akan mampu memecahkan masalah tersebut tanpa dukungan pemerintah daerah. Ekonomi rakyat berhadapan dengan pihak-pihak yang memiliki kekuatan modal, teknologi, dan pengetahuan. Gerakan Sendawar Makmur (GSM) yang bertujuan untuk menangggulangi kemiskinan penduduk Kutai Barat harus lebih diarahkan untuk memecahkan masalah-masalah riil yang dihadapi pelaku ekonomi rakyat. Seperti halnya di bidang kehutanan, dimana pemerintah daerah telah membentuk Kelompok Kerja Program Kehutanan Daerah (KKPKD), belum ada kelompok kerja atau komisi untuk menangani masalah-masalah pertambangan. Walaupun perusahaan-perusahaan swasta telah memiliki izin operasional tambang, tidak berarti pemerintah daerah dan masyarakat kampung tidak memiliki “kekuasaan” untuk mengatur aktivitas mereka agar tidak merugikan ekonomi rakyat dan merusak lingkungan.

Salah satu model yang digunakan sebagai alat evaluasi kinerja proyek –proyek pertambangan adalah model “audit lingkungan” atau yang lazim disebut Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Konsep ini digunakan untuk mengukur dampak operasional proyek terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat sekitar proyek. Dalam lokakarya GSM bulan Juli 2003, konsep ini telah diusulkan untuk menjadi program yang ditangani oleh Dinas Lingkungan Hidup. Nama program yang direncanakan di semua kecamatan adalah ‘Penegakan Hukum, Pengawasan dan Implementasi Amdal dalam Pengelolaan”. Program ini sangat tepat ditujukan untuk mengukur sejauh mana dampak operasional proyek pertambangan yang tersebar di beberapa kecamatan di Kabupaten Kutai Barat. Sebagai contoh, jika perusahaan Gunung Bayan (dan pemerintah daerah) konsisten untuk melakukan Amdal, maka dampak-dampak negatif operasioanl perusahaan seperti yang telah dipaparkan Pak Nanang Besta dan Pak Abidin di atas tidak akan terjadi. Perusahaan dan dinas-dinas pemerintah terkait tentu akan mengusahakan mencari pemecahan agar lahan sawah petani Muara Pahu tidak mengalami kekeringan, kapal (ponton) tidak merusak “pencaharian” nelayan, dan potensi sumber berbagai penyakit dapat dicegah secara dini. Sungguh amat sulit mengharapkan penegakan hukum hanya diprogramkan oleh Dinas Lingkungan Hidup saja tanpa keterlibatan pihak-pihak lain yang memiliki komitmen terhadap supremasi hukum. Penegakan hukum menjadi sangat penting di saat terjadi konflik terutama antara perusahaan tambang dengan masyarakat yang merasa dirugikan.

Jika kemiskinan tidak saja disebabkan kelemahan usaha internal melainkan juga faktor struktural, maka GSM perlu memberi perhatian yang lebih serius terhadap masalah ini. Masalah di luar usaha seperti halnya dampak operasional tambang, konflik-konflik berkepanjangan, dan lambatnya penanganan pemerintah berpotensi untuk lebih “memiskinkan” penduduk Kutai Barat. Hal ini bukannya tidak disadari oleh Pemkab yang dalam Konsep Gerakan Sendawar Makmur sudah menegaskan bahwa :

Kemiskinan dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang ada dalam diri individu, keluarga, atau komunitas masyarakat miskin itu sendiri, seperti rendahnya tingkat pendidikan dan rendahnya tingkat pendapatan (internal), atau disebabkan oleh faktor-faktor eksternal, seperti kondisi sosial, politik, hukum, dan ekonomi yang ada.

Apabila dipahami, langkah-langkah penanggulangan kemiskinan melalui GSM tentu tidak dapat memisahkan faktor internal dan eksternal tersebut. Penanggulangan kemiskinan tidak saja membutuhkan keterpaduan multisektor dan multistakeholder, melainkan juga keterpaduan dua pemecahan masalah kemiskinan di atas. Kasus dilema tis proyek pertambangan dengan aktivitas ekonomi rakyat di bidang pertanian dapat menunjukkan bahwa pemberdayaan ekonomi rakyat (melalui GSM) hanya dapat dilakukan dengan terpecahkannya masalah-masalah struktural berupa “benturan kepentingan” yang berdampak kerugian bagi ekonomi rakyat dan mengarah pada konflik-konflik sosial-ekonomi, dan politik

Thursday, May 12, 2005

KONSERVATIF

semoga Allah SWT senantiasa membuka mata hati kita.
perkenalkan mas rizal, saya anak muda dari jogja yang konservatif.

saya tertarik untuk mengkonservasi hati nurani dan etika yang telah lama digadaikan anak bangsa ini, termasuk oleh orang-orang pintarnya.
saya antusias mengkonservasi rasa kemanusiaan yang lama dimatikan karena ambisi uang dan kekuasaan.
saya setia untuk mengkonservasi rasa kebangsaan yang sering dicampakkan karena ketertundukan pada pikiran dan perintah orang dan bangsa asing, dengan sepenuh hati saya mengkonsrvasi niatan untuk tidak mau menjadi kuli di negeri sendiri, yang sering dilakoni
karena iming-iming uang, kekuasaan, kepandaian, dan ketertundukan pikiran pada kebenaran pasar bebas (globalisme).
saya rela mengkonservasi ekonomi rakyat yang telah lama dipinggirkan dan digilas korporat-korporat raksasa (asing), diabaikan pemerintah, dan diacuhkan teknokrat-ekonomi kebanyakan. saya bahagia jika bisa mengkonservasi demokrasi ekonomi yang akan dipasung dan diganti dengan korporatokrasi (oh ya, lihatlah Perkins, 2004 dan Pilger, 2002).
saya bangga jika bisa mengkonservasi cita-cita mulia untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia, bukan hanya bagi segelintir orang yang punya modal dan kekuasaan.

oh ya, saya lebih suka mengkonservasi pikiran-pikiran bung Hatta yang pro-ekonomi rakyat, selalu dekat dengan rakyat kecil, berkarakter, dan seorang Islam yang taat.

tapi saya bukan orang-rang yang mengkonservasi ajaran-ajaran ekonomi, ideologi ekonomi, dan teori-teori ekonomi ortodok, konvensional, neoklasik-Barat, yang sudah usang dan memang tidak sesuai dengan falsafah, sistem nilai, dan sistem sosial-budaya bangsa.
saya malu jika ikut-ikutan mengkonservasi pendidikan ekonomi yang menjauh dari Tuhan dan rakyat, membentuk mindset individualis, kapitalis, dan neoliberal.
saya berusaha sebisa mungkin tidak mengkonservasi perilaku ekonomi yang tak beretika, tidak mengkonservasi ketimpangan dan kemiskinan, tidak mengkonservasi neo-imperialisme berkedok pasar bebas (globalisme), tidak mengkonservasi eksploitasi dan sub-ordinasi thd ekonomi rakyat, dan tidak mengkonservasi otoritarianisme baik oleh negara maupun pasar.

biarlah market fundamentalis dan penganut neoliberalisme yang mengkonservasinya

saya ingin belajar dari mas rizal, bahwa untuk punya hati tidak mesti harus "kiri", untuk punya otak tidak perlu mesti "kanan", tak peduli berapa pun usia, hati dan otak harus dipake bersama-sama. hanya dengan itu cita-cita bisa diperjuangkan.

awan santosa

REFORMASI TOTAL PENDIDIKAN

Awan Santosa



Pendahulan
Keprihatinan umum terhadap dunia pendidikan kita adalah kegagalannya dalam memaknai proses “memanusiakan manusia” yang bahkan cenderung mengarah pada dehumanisasi terhadap peserta didik. Pendidikan telah terjebak dalam formalisme transfer materi (pengetahuan) semata dengan melupakan hakekat tujuan dan idealisasi pencerahan dan proses penyadaran yang melatarbelakanginya. Lebih parah lagi, pendidikan kita telah terhegemoni virus kapitalisme yang menularkan ajaran individualisme, rasionalisme, dan materialisme, yang hanya menganggap peserta didik sebagai alat produksi, bagian kecil (sekrup) operasional agen kapitalisme global. Akibatnya, pendidikan tercerabut dari akar sosial-budaya lokal, tidak peduli dengan keadaan dan masalah yang dialami peserta didik, dan hanya menghasilkan manusia (lulusan) yang “terasing” dari lingkungannya sendiri. Keluaran dari pendidikan formal adalah manusia yang tidak sanggup mandiri, berwawasan sempit, tanpa kemauan membangun daerah, serta cenderung menghasilkan “sarjana tukang”, “sarjana textbook” (Mubyarto, 2003) yang gagap ideologi dan menafikan sejarah.

Arus globalisasi yang diikuti liberalisasi media telah ikut bermain dalam proses pendidikan yang makin komplek. Idealisasi pendidikan yang ditata dalam instrumen persekolahan dapat dengan mudah luluh-lantak karena keserakahan pelaku media (televisi) yang tidak bertanggung jawab. Televisi sebagai media pendidikan informal telah menggempur kesadaran siswa dengan budaya hedonistik, kekerasan, dan pornografi yang semata-mata ditiru dari Barat. Munculnya “trend” baru “bunuh diri” yang dalam beberapa kasus benar-benar dipraktekkan anak sekolah (Republika, Juni 2004) merupakan dampak kebebasan tayangan (kekerasan) yang semata-mata berorientasi komersial, tanpa pertimbangan sosial dan pendidikan sedikitpun. Di sisi lain, kenekatan anak sekolah ini merupakan petunjuk bahwa sekolah (pengelola dan guru) telah kehilangan kepekaan untuk memahami kondisi psikologis dan situasi sosial-ekonomi siswa.

Secara makro pendidikan kita telah gagal mengemban hakekat luhurnya sebagai media perubahan sosial-politik dan ekonomi yang menjadi jembatan mobilitas vertikal bagi rakyat kecil. Pendidikan justru menjadi alat untuk melegitimasi dan melanggengkan sistem dan struktur politik-ekonomi yang timpang, yang lebih berpihak pada kaum pemilik modal dan tidak aspiratif bagi si miskin. Pada masa Orde Baru, pendidikan kita terjebak pada hegemoni negara (status quo) yang selalu diintervensi, diintimidasi, dan digunakan sebagai alat politik rezim Soeharto. Setelah reformasi, hegemoni negara mulai surut (otonomi) karena pemerintah (negara) telah bangkrut sehingga tidak mampu (tidak mau) lagi menanggung sepenuhnya beban anggaran pendidikan. Sebagai gantinya, pendidikan kita telah jatuh ke “pangkuan” pasar yang dikuasai oleh korporat raksasa (asing) dan birokrat oportunis, sehingga makin liberal (kehilangan jati diri), merosot kualitasnya, tak terjangkau si miskin, pro-pasar (market friendly), dan didisain sesuai kepentingan mereka. Pendidikan seperti ini hanya melahirkan intelektual-intelektual yang egois (individualis), pragmatis, dan lupa (tidak mau tahu) nasib rakyatnya.

Kaum intelektual adalah kaum yang bertanggung jawab atas kemajuan suatu bangsa: namun apabila mereka tidak dapat lepas dari empat penjara manusia, mereka tidak ada bedanya dengan kuda-kuda penarik kereta. Empat penjara manusia yang dimaksud adalah penjara alam, penjara sejarah, penjara masyarakat, dan penjara ego. Tiga buah penjara yang disebutkan pertama adalah penjara-penjara yang mudah ditaklukkan oleh ilmu pengetahuan yang dimiliki para intelektual. Tetapi, yang keempat adalah penjara yang selama ini mengurung para intelektual bagaikan ayam petarung di dalam kandang sehingga tak terlihat tajinya. Penjara ego-lah yang membuat para intelektual hanya mengejar kepentingan sempit, menjadi egois, dan lupa nasib rakyat yang dulu pernah dan mungkin sedang mereka perjuangkan (Ali Syariati)

Intelektual masa kini sangat berbeda dengan mereka yang hidup di era pergerakan: di masa itu para intelektual hidup dan membentuk élan serta komunitas politik dan watak kebangsaan masyarakatnya; di masa kini para intelektual kalau tidak dibentuk oleh kepentingan-kepentingan pragmatis di luar dirinya maka mereka akan lari ke studio-studio untuk mengisi acara kuis bersama para pelawak dan artis. Sebagian lain yang masih bertahan, memilih dengan berada di luar (Robertus Robet)


Pendidikan di perdesaan (pedalaman) tidak luput dari skenario sistem perekonomian yang menempatkan desa sebagai periferal (underbow) dan pemasok kebutuhan perkotaan dengan kontraprestasi yang sangat minimal. Anak-anak dan pemuda desa di pedalaman dididik dengan ajaran-ajaran “modern” bahwa kota besar adalah sumber penghidupan, mereka butuh barang-barang produksi perusahaan, dan bahwa desa adalah “kegelapan” dan kota adalah “kebahagiaan hidup”. Mereka dididik dengan buku-buku teks (Barat) yang sama dengan yang ada di kota-kota besar dengan cara mengajar yang kaku dan tidak inovatif. Alhasil, mereka “awam” dengan potensi, masalah, dan kebutuhan mereka sendiri. Maraklah urbanisasi, mengadu nasib di luar negeri, pemukiman kumuh, anak jalanan, yang sering berakhir penggusuran, penipuan, dan eksploitasi yang merampas hak-hak kemanusiaan mereka. Demikian, pendidikan yang tidak berorientasi pembangunan manusia dan pembangunan di tingkat lokal (daerah/desa) telah menjerumuskan SDM desa pada situasi keterjepitan ekonomi dan terampasnya harkat dan martabat sebagai manusia dan warga negara.


Reformasi Pendidikan Sebagai Gerakan Bersama
Pendidikan di Kutai Barat berada pada fase yang strategis untuk merombak (memperbaiki) landasan paradigma dan sistem pendidikan yang bertujuan memanusiakan manusia, berbasis lokal, dan memiliki keterkaiatan erat dengan misi melawan kemiskinan (dan pemiskinan) di Kutai Barat. Buramnya pendidikan nasional menjadi pelajaran bahwa pembangunan manusia Kutai Barat melalui pendidikan tidak perlu terjebak pada formalisme, pendekatan konvensional, dan program-program karikatif (artifisial) yang akhirnya terseret arus kapitalisme nasional dan global. Kajian lapangan di Kutai Barat dari bulan Juli 2003-Mei 2004 menunjukkan perlunya perombakan menyeluruh (reformasi total), yang tidak dapat dilakukan secara setengah-setengah (setengah hati), parsial (terpisah-pisah), dan melalui cara-cara konvensional. Gerakan Sendawar Makmur sebagai gerakan multistakeholder untuk menanggulangi kemiskinan yang dicetuskan setahun lalu harus dijadikan momentum untuk melakukan reformasi total pendidikan di Kutai Barat. Paling tidak ada enam pilar reformasi total pendidikan yang perlu dilakukan secara partisipatif, sinergis, dan tidak sekedar tambal sulam, yang meliputi reformasi paradigma, kebijakan anggaran (infrastruktur fisik, teknologi, dan informasi), kelembagaan, guru, metodologi (kurikulum, materi, dan cara mengajar), dan buku.

Desentralisasi fiskal dan pelimpahan tugas (wewenang) Pemerintah Pusat pada Pemerintah Kabupaten dalam rangka otonomi daerah (otda) belum banyak diikuti dengan upaya pengembangan otonomi pendidikan, terlebih otonomi sekolah, yang justru sangat dibutuhkan dalam pengembangan sosial-ekonomi dan kapasitas masyarakat lokal. Pendidikan masih mengikuti paradigma (pola pikir) terpusat (top-down) yang mengabaikan pengalaman dan karakteristik lokal dengan akibat tidak tergalinya realitas potensi dan masalah lokal, yang seharusnya menjadi pokok perhatian dalam pengembangan pendidikan. Dalam kasus Kutai Barat, antara Pemda, Dinas Pendidikan, dan stakeholder sekolah (Kepala Sekolah, Guru, Komite Sekolah, dan siswa) masih “canggung”untuk merumuskan paradigma apa yang seharusnya mereka gunakan dalam mengisi otda di bidang pendidikan.

Bupati Rama Asia sudah berprakarsa mengembangkan paradigma bottom-up dengan menggali partisipasi Dinas Pendidikan dan pihak sekolah, khususnya dalam merealisasikan program-program berdasar SK Bupati bulan April 2003 tentang Sekolah Model Binaan. Namun, karena lama terbiasa dalam kultur top-down nampaknya pihak Dinas Pendidikan dan pihak sekolah belum dapat memanfaatkan sepenuhnya perubahan paradigma ini. Beberapa kepala sekolah (SD, SMP, dan SMU) di sekitar pusat kabupaten yang dikunjungi mengaku belum berbuat banyak untuk mengembangkan sekolah mereka dengan peluang yang ada melalui SK Bupati tersebut. Rupanya masih tersisa warisan budaya Orde Baru, yaitu budaya minta petunjuk, menunggu perintah, dan budaya elitis, yang menyulitkan terbangunnya kesadaran budaya untuk bergerak bersama.

Perlu diwaspadai bahwa “strategi pertumbuhan” melalui pentahapan perhatian/prioritas (dari basis kabupaten) pada Sekolah Model Binaan oleh Dinas Pendidikan dapat memperlemah gerakan reformasi pendidikan. Di samping itu, kebijakan ini juga berpotensi menghambat upaya pemerataan (kesempatan) pendidikan yang sangat tidak menguntungkan sekolah di kecamatan perdalaman. Fokus pada sekolah di pusat kabupaten terbukti tidak menjamin keberhasilan program. Mengapa tidak menggerakkan program ini serentak di seluruh kecamatan dengan melibatkan partisipasi stakeholder pendidikan di tiap-tiap kecamatan secara luas? Inilah esensi perubahan paradigma pendidikan yang menjadi bagian integral dalam pewujudan “otonomi masyarakat kampung”.
Reformasi total pendidikan Kutai Barat harus merupakan gerakan bersama yang sistematis, partisipatif, dan terorganisir dengan target dan sasaran yang jelas. Gerakan bersama hanya dapat terwujud apabila ada kesadaran akan kebutuhan perubahan dari semua pihak di Kutai Barat baik dari pemerintah (birokrasi), unsur pendidikan, swasta, LSM maupun masyarakat luas. Tahap kesadaran kebutuhan perubahan dari seluruh stakeholder pendidikan di Kutai Barat dapat dibagi meliputi : Pertama, kesadaran bahwa berbagai masalah kemiskinan, keterbelakangan, dan ketimpangan di Kutai Barat bersumber dari masalah-masalah pada dunia pendidikan. Kedua, kesadaran bahwa kualitas dan pemerataan pendidikan di Kutai Barat masih jauh tertinggal dibanding daerah lain di Indonesia. Ketiga, kesadaran bahwa ketertinggalan pendidikan di Kutai Barat tidak dapat dikejar dengan cara-cara konvensional (klasik) melainkan dengan mengembangkan pendidikan yang benar, inovatif, dan sesuai dengan karakteristik sosial-budaya lokal. Keempat, kesadaran bahwa setiap orang (lembaga) bertanggung jawab untuk memberikan sumbangan kongkret bagi kemajuan pendidikan di Kutai Barat.


Kebijakan Anggaran Pendidikan
Dalam diskusi di Bappeda (Mei 2004) muncul dua fakta yang bertolakbelakang. Pejabat Dinas Pendidikan mengeluhkan minimnya alokasi anggaran untuk membiayai program-program bidang pendidikan. Sementara itu, peserta diskusi yang mantan panitia anggaran menyangsikan kemampuan Dinas, seandainya 20% APBD untuk sektor pendidikan benar-benar dapat diwujudkan. Di samping itu, dana sebenarnya tersedia asal program-program yang diajukan pihak Dinas realistis. Ketidaksinkronan ini menggelisahkan karena dalam kunjungan di beberapa kecamatan terlihat bahwa kebutuhan anggaran untuk memenuhi dan memperbaiki infrastruktur pendidikan begitu besar. Bagaimanapun anggaran pendidikan harus diupayakan mendekati persentase ideal (20%). Pendidikan memiliki arti yang sangat strategis bagi wilayah pedalaman seperti Kutai Barat. Oleh karena itu, harus disadari bahwa masalah pendidikan bukan saja menjadi masalah Dinas Pendidikan semata, melainkan masalah seluruh jajaran pejabat di Kutai Barat. Demikian pula halnya, masalah anggaran pendidikan bukan saja ditentukan oleh kapasitas Dinas Pendidikan melainkan komitmen bersama untuk memikirkan kemajuan pendidikan di Kutai Barat.

Kebijakan alokasi anggaran pendidikan mencerminkan seberapa besar kemauan politik Pemkab dalam membangun sumber daya manusia Kutai Barat. Dengan potensi APBD yang ada, seluruh jajaran pejabat Pemkab bersama lembaga pendidikan dan masyarakat dapat menyusun agenda reformasi pendidikan secara total (komprehensif) beserta kebutuhan penganggarannya. Kebijakan anggaran tidak cukup berhenti pada peningkatan kesejahteraan guru (gaji dan fasilitas) melainkan harus menyentuh ke setiap aspek kebutuhan sekolah dan peserta didik. Masih banyak keluarga miskin yang merasa terbebani oleh biaya sekolah dengan nilai yang sedikit sekalipun. Belum lagi kebutuhan anak-anak mereka akan buku yang masih terbatas karena minimnya alokasi anggaran pendidikan. Harus mulai dipikirkan untuk membebaskan biaya pendidikan bagi siswa SD-SMP terutama bagi keluarga termiskin. Termasuk pula diterapkannya kembali program-program beasiswa yang sempat dikurangi karena keterbatasan dana. Ini memerlukan keseriusan anggota DPRD dan Pemkab Kutai Barat untuk membuat kebijakan anggaran yang responsif terhadap masalah pendidikan dan kemiskinan di Kutai Barat dengan mengupayakan pendidikan murah dan berkualitas bagi penduduk miskin Kutai Barat.

Alokasi anggaran pendidikan yang lebih besar diperlukan untuk memperbaiki dan membangun infrastruktur pendidikan secara merata yang selama ini masih sangat minim. Dalam beberapa kunjungan lapangan di wilayah pedalaman terlihat bagaimana bangunan dan fasilitas sekolah sangat tidak memadai untuk proses belajar mengajar. Demikian pula halnya, rendahnya penggunaan teknologi (alat ajar) dan sarana komunikasi-informasi (koran) lokal masih menjadi hambatan dalam menunjang pendidikan di Kutai Barat. Dalam bagian lain, pemerataan akses pendidikan berkualitas melalui penyediaan asrama gratis bagi siswa-siswa SD di wilayah pedalaman perlu didukung alokasi anggaran yang memadai. APBD Kutai Barat tahun 2003 sebesar Rp 624,4 milyar dengan penghematan realisasi anggaran mencapai Rp 22 milyar sangat potensial untuk dimanfaatkan dalam program-program pengembangan infrastruktur pendidikan di Kutai Barat.


Revitalisasi Kelembagaan Pendidikan
Masalah pendidikan di Kutai Barat tidak terlepas dari rendahnya kapasitas lembaga (pengelola) pendidikan yang ada, Reformasi pendidikan melalui pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah memang membawa angin segar kemajuan. Hanya saja reformasi kelembagaan tidak boleh terpaku pada pembentukan lembaga baru yang merupakan kebijakan pusat (Dinas Pendidikan Nasional). Perubahan harus dimulai dari lembaga pendidikan yang sudah ada, yang memiliki peran vital dalam mengorganisasikan tujuan pendidikan di Kutai Barat yaitu Dinas Pendidikan Kutai Barat dan lembaga sekolah itu sendiri. Dinas Pendidikan selama ini masih belum menunjukkan kapasitas terbaiknya dalam mengelola dan mengembangkan program pendidikan karena penguasaan mereka terhadap data, kebutuhan, dan masalah pendidikan yang tidak komprehensif. Dalam program Sekolah Model Binaan misalnya, terlihat bahwa Dinas belum melakukan koordinasi dan pengorganisasian yang efektif sehingga komunikasi gagasan dengan sekolah terdekat pun belum dijalankan secara optimal. Bagaimana halnya dengan sekolah di pedalaman?

Begitu pun, beberapa sekolah di pusat kabupaten masih menghadapi kesulitan dalam menyusun dan mengembangkan program-program sekolah mereka. Akses yang lebih mudah terhadap pelayanan pemerintah kabupaten belum dimanfaatkan secara optimal untuk mengembangkan kelembagaan sekolah. Dalam hal ini agenda yang mendesak dalam rangka reformasi kelembagaan adalah pembangunan kapasitas kelembagaan melalui advokasi (pelatihan) bagi sekolah-sekolah dalam menyusun dan mengembangkan program-program sekolah mereka yang terkait dengan kegiatan belajar mengajar dan kegiatan manajerial lainnya. Upaya ini mendukung pelaksanaan “otonomi sekolah” yang secara nasional diwujudkan dalam model Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dengan syarat penekanannya pada karakteristik sosial-budaya lokal.

Kelembagaan pendidikan di Kutai Barat harus direvitalisasi menuju kepekaan perhatian terhadap situasi sosial-ekonomi yang dihadapi peserta didik. Untuk itulah perlunya memadukan program-program pendidikan dengan kebijakan dan program-program penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi rakyat Kutai Barat. Kelembagaan pendidikan baik Dinas, sekolah, Dewan pendidikan, maupun Komite Sekolah perlu memberikan sumbangan nyata dalam pengembangan Gerakan Sendawar Makmur melalui pengembangan gerakan bersama reformasi total pendidikan di Kutai Barat.


Kesejahteraan dan Kualitas Guru
Masalah pelik pendidikan Kutai Barat yang sudah sering diungkap adalah keterbatasan jumlah guru terutama di wilayah-wilayah pedalaman. Perhatian Pemkab sebenarnya cukup besar menyangkut peningkatan kesejahtaraan guru seperti dalam hal penggajian, pemberian fasilitas transpor (sepeda motor), dan pengiriman beberapa guru dalam pelatihan di luar daerah. Hanya saja, masalah kualitas, kuantitas, dan “ketetapan hati” guru tetap menjadi kendala dalam pengembangan pendidikan Kutai Barat. Bagaimana dapat meningkatkan kualitas jika guru-guru merasa enggan untuk berlama-lama mengajar di wilayah pedalaman terutama karena kendala sarana dan budaya.

Dalam hal ini diperlukan terobosan agar guru dapat berperan optimal dalam proses pembelajaran di sekolah. Dalam kunjungan lapangan di Kampung Jerang Melayu, Muara Pahu, ada usulan supaya sumber daya manusia lokal diberdayakan menjadi guru-guru dengan bekal pelatihan dan pendampingan dari Dinas Pendidikan. Guru lokal cenderung dapat all out karena mereka mengajar anak-anak mereka sendiri demi tujuan pembangunan wilayah mereka sendiri. Di sinilah peran guru-guru yang ada (terutama dari Jawa) dalam melakukan tranformasi pengetahuan, keahlian, dan sikap yang diperlukan oleh seorang guru. Terhadap guru yang ada, Pemkab juga harus mulai memikirkan “kesejahteraan intelektual dan spiritual” mereka. Fasilitas dan tunjangan tidak sebatas sarana-prasarana melainkan juga berupa tunjangan buku-buku bacaan relevan yang aktual (cara mengajar, dinamika pendidikan, dan ekonomi lokal), fasilitasi dalam kegiatan organisasi guru (MGMP), dan pelibatan guru-guru dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di daerah lain.

Guru-guru dapat menjadi pemberi motivasi dalam gerakan reformasi total pendidikan di Kutai Barat terutama melalui optimalisasi peran dan fungsi forum Musyawarah Guru. Forum ini dapat dijadikan media tukar pikiran, baik dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi guru maupun dalam menyusun dan mengembangkan program-program pendidikan di sekolah dan di masyarakat. Yang lebih penting forum ini dapat menjadi ajang berbagi pengalaman guru tentang cara mengajar yang tepat, topik-topik pelajaran yang relevan, sistematika (silabi) pelajaran yang benar, dan bagaimana membangun komitmen bersama antara kepala sekolah, guru, murid, orang tua, dan unsur pendidikan lain di Kutai Barat. Idealisasinya adalah, peningkatan kesejahteraan guru harus diikuti peningkatan kapasitas guru, dan penguatan antusiasme guru dalam mendidik anak-anak masa depan Kutai Barat.
Pendidikan Berbasis Lokal
Ketertinggalan pendidikan Kutai Barat menuntut terobosan-terobosan inovatif dan alternatif untuk tidak terjebak pada pakem “coba-coba” metode pendidikan yang sudah telanjur berkembang secara nasional. Ketertinggalan dapat dimaknai sebagai potensi karena mengandung keaslian yang masih membuka ruang berimprovisasi dengan menyadari bahaya terjerumus pada pola-pola pendidikan yang formalistik, materialistik, dan sarat dengan nilai-nilai asing (Barat), yang bertentangan dengan karakteristik sosial-budaya lokal. Pendidikan di Kutai Barat harus mulai direka kembali sehingga berbasis pada realitas sosial-budaya dan ekonomi lokal agar peserta didik tidak alpa dengan sejarah, alam, dan lingkungan sosial mereka. Upaya-upaya beberapa sekolah di Barong Tongkok dan Linggang Bigung yang mengembangkan kegiatan memanfaatkan lahan perlu ditumbuh kembangkan bersama.

Metode mengajar guru harus disesuaikan dengan kebutuhan untuk memberi pemahaman kepada peserta didik akan potensi dan masalah yang dihadapi daerahnya. Peserta didik harus diarahkan untuk mampu memikirkan bagaimana pemecahan masalah tersebut disertai aktualisasi nilai bahwa kelak hal itu akan menjadi tanggung jawab mereka. Metode ini mensyaratkan digantinya cara mengajar konvensional yang “menjejali” peserta didik dengan berbagai teori yang kemungkinan besar tidak sesuai dengan realitas yang mereka hadapi. Peserta didik harus diajak “paham kondisi daerah dan rakyatnya” daripada diberi ceramah-ceramah yang kadang sulit dicerna karena bersumber dari dunia yang berbeda dengan dunia sehari-hari mereka. Pengetahuan dan ilmu tidak seharusnya diberikan dengan tujuan pragmatis (ujian), melainkan dikaji relevansi dan manfaatnya, serta diberikan dengan metode-metode yang menarik, inovatif, dan penuh kreatifitas. Demikian pula halnya, guru harus mampu memberi pemahaman terhadap nilai-nilai pendidikan di luar sekolah (televisi) yang cenderung destruktif karena menyodorkan budaya kekerasan, kemewahan, dan seks secara vulgar.

Keleluasaan yang diberikan Departemen Pendidikan Nasional untuk mengembangkan silabus sendiri harus dimanfaatkan secara maksimal. Hal ini dapat dimulai dengan mengkaji kembali kurikulum dan muatan materi yang diajarkan di sekolah-sekolah. Silabi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) harus didesain dengan mempertimbangkan fakta-fakta masalah, potensi, dan karakteristik sosial-budaya dan ekonomi lokal. Demikian pula halnya, materi-materi yang diajarkan perlu disesuaikan dengan data-data lokal seperti dalam hal kehutanan, pertanian, geografi, pertambangan, dan fakta lokal lainnya. Oleh karena itu, buku-buku teks (terutama ilmu-ilmu sosial) yang digunakan pun perlu ditinjau kembali. Buku-buku ekonomi yang justru berpotensi mencerabut peserta didik dari akar sosial-budaya lokal karena berisi ajaran-ajaran dan data-data asing yang kapitalistik-neoliberal harus diganti dengan buku-buku yang bersifat kontekstual, atau minimal tidak diberikan secara textbook thinking. Inilah hakekat metode pendidikan untuk memecahkan masalah (problem posing education) sebagai bagian integral mewujudkan pendidikan berbasis lokal di Kabupaten Kutai Barat

Buku Sebagai Kebutuhan
Dalam kunjungan sekolah di Linggang Bigung ditemukan fakta bahwa rata-rata pemilikan buku pelajaran baru sebesar 50% dari siswa yang ada. Buku-buku tersebut harus dibeli, sehingga berakibat tidak ada kesempatan bagi siswa-siswa dengan latar belakang keluarga miskin untuk memilikinya. Bagaimanapun, buku teks yang relevan sangat penting dalam menunjang proses belajar siswa sehingga harus diupayakan untuk dimiliki setiap siswa. Pemkab dan Dinas Pendidikan perlu mencari cara agar buku-buku teks dapat dimiliki siswa secara merata di seluruh kecamatan di Kutai Barat. Hal ini terkait dengan alokasi anggaran pendidikan yang setiap tahun harus diupayakan untuk meningkat. Ketertinggalan pendidikan jangan sampai justru membuat berbagai pihak menyerah dan menerima keadaan minimnya sarana buku sebagai suatu kewajaran. Justru harus disadari bahwa buku sangat penting bagi pembangunan manusia Kutai Barat melebihi nilai pentingnya di daerah (kabupaten) lain.

Jika dana APBD masih belum memadai, Dinas Pendidikan dapat bekerja sama dengan Dinas (lembaga) lain untuk menyalurkan buku-buku pelajaran dalam bentuk kredit. Kredit ini harus tanpa bunga, angsuran ringan, proses cepat, dan tidak bersifat paksaan. Dalam hal ini, Dinas Pendidikan perlu menghitung kebutuhan buku per siswa per mata pelajaran di seluruh kecamatan di Kutai Barat. Pihak sekolah harus menjadi penanggung jawab program kredit buku karena paling memahami keadaan sosial-ekonomi siswa di sekolah mereka. Cara ini harus benar-benar dilandasi semangat membantu siswa dan bukannya justru memberatkan mereka. Terhadap siswa-siswa termiskin perlu diberikan beasiswa tidak saja berupa uang, pembebasan biaya sekolah, dan fasilitas sekolah, melainkan juga dalam bentuk buku-buku pelajaran. Cara selanjutnya adalah dengan mengembangkan kelompok-kelompok belajar siswa yang dapat saling bekerja sama dalam mempelajari isi buku-buku teks. Upaya ini harus diikuti gerakan penyadaran arti pentingnya buku dan gerakan gemar membaca sebagai kebutuhan pembangunan masyarakat Kutai Barat.


Penutup
Reformasi total pendidikan di Kutai Barat dapat dijadikan perwujudan kongkret program aksi Gerakan Sendawar Makmur (GSM) yang sudah memasuki tahun kedua. GSM akan kehilangan artinya jika mengabaikan permasalahan-permasalahan dan kebutuhan pengembangan pendidikan sebagai modal sosial dalam membangun manusia dan menanggulangi kemiskinan penduduk Kutai Barat. Sebagai tindak awal, seluruh pihak yang berkompeten dalam GSM dan pendidikan perlu menyamakan persepsi terhadap kebutuhan reformasi total pendidikan di Kutai Barat.

Dalam hal ini mitra Pemkab (Pustep UGM) dapat dilibatkan dalam memberikan sumbangan pemikiran yang kemudian perlu dirumuskan bersama sebagai program aksi yang membutuhkan pengorganisasian elemen-elemen pendidikan dan elemen GSM di Kutai barat. Demikian, upaya ini merupakan investasi sosial dan dan investasi manusia dalam program pembangunan jangka panjang yang harus dimulai sekarang dan hasilnya dapat dipetik di masa depan.
Yogyakarta, 25 Juni 2004