Friday, May 25, 2007

SAHAM UNTUK PEKERJA

Awan Santosa[1]



Sungguh luar biasa perjuangan Muhammad Yunus melalui Grameen Bank. Tidak hanya menjadikan kaum perempuan miskin sebagai nasabah, pada saat yang sama mereka sekaligus dijadikan sebagai pemilik bank tersebut. 93% saham Grameen Bank dikuasai perempuan miskin yang merupakan nasabah terbesarnya. Kepemilikan saham inilah yang telah menempatkan beberapa perempuan miskin yang buta huruf sebagai komisaris di Grameen Bank.

Bukan itu saja. Grameen Bank memiliki GrameenPhone, sebuah perusahaan patungan antara Telenor dari Norwegia dan Grameen Telecom. Saat ini Telenor memiliki 62% saham perusahaan, sedangkan Grameen Telecom memiliki 38%-nya. Dalam pidato penerimaan Nobel-nya di Oslo, Yunus menyampaikan visi untuk pada akhirnya menjadikan mayoritas kepemilikan GrameenPhone kepada kaum perempuan miskin anggota Grameen Bank. Grameen Bank dengan begitu tidak sekedar mengusung revolusi kredit mikro melainkan revolusi mode produksi.

Mode produksi perusahaan umumnya berwujud relasi dikotomik antara buruh (konsumen) dengan pemilik modal. Keadaan perusahaan di negeri kita pun tidak jauh dari sifat demikian. Koperasi, dengan relasi produksi demokratisnya, masih menjadi perusahaan marjinal yang peranannya kian dikerdilkan. Perusahaan yang mempraktekkan relasi produksi serupa melalui pola kepemilikan saham oleh pekerja (employee share ownership program/ESOP) atau konsumen, seperti pada pola Grameen Bank di atas, pun seolah masih seperti buih di lautan, tidak signifikan. Contoh minimalis misalnya dijumpai pada sebagian ESOP BRI, Bank Mandiri, Telkom, dan Adhi Karya. Padahal tersedia berbagai faktor objektif yang semestinya mendukung praktik produksi yang demokratis tersebut.

Faktor Obyektif Realisasi ESOP

Faktor obyektif tersebut di antaranya adalah: Pertama, kita memiliki Pasal 33 UUD 1945 ayat 1 yang mengamanatkan ”perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”. Pasal ini jelas bervisi menolak dikotomi pekerja dan pemilik modal dalam relasi produksi di tempat kerja. Usaha bersama bermakna pelibatan pekerja dalam pengambilan keputusan dan kontrol secara kolektif di perusahaan. Hal ini terwujud jika pekerja mempunyai kesempatan untuk ikut memiliki perusahaan. UU No 21/2000 tentang Serikat Pekerja pun telah mengamanatkan bahwa salah satu fungsi Serikat Pekerja adalah sebagai wakil pekerja dalam memperjuangkan kepemilikan saham dalam perusahaan.

Kedua, relasi dikotomis tersebut telah menghasilkan struktur alokasi yang timpang. Bagian yang diterima pekerja (upah dan tunjangan lain) dari nilai output industri di Indonesia relatif kecil dan dari tahun 1986 ke 2004 makin menurun. Misalnya saja bagian pekerja di industri bahan makanan turun dari 8% menjadi hanya 1%, industri kayu dari 14% menjadi 2%, dan di industri kertas dari 20% menjadi 4%. Bagian tertinggi diterima pekerja industri galian. Itu pun hanya 17% (Hudiyanto, 2007). Kondisi ini menjadi salah satu sebab kemiskinan pekerja Indonesia yang diperparah dengan merosotnya nilai upah riil pada tahun-tahun terakhir.

Ketiga, terjadinya perluasan dominasi asing terhadap kepemilikan perusahaan di Indonesia. Sebanyak 70% saham di Pasar Modal, termasuk di dalamnya 50% lebih saham perbankan, telah dikuasai pemodal asing. Kondisi ini akan berimplikasi pada penyedotan surplus perusahaan keluar negeri (net transfer), melemahnya posisi tawar pekerja, dan ketergantungan terhadap modal asing. Pada saat yang sama relasi produksi makin timpang dan tidak demokratis. Pengambilan keputusan dan kontrol perusahaan makin di luar jangkauan partisipasi pekerja karena dilakukan oleh pemilik modal yang berada jauh di luar negeri.

Keempat, rendahnya produktivitas pekerja Indonesia saat ini dituding sebagai sebab menurunnya kinerja perusahaan dan perekonomian secara keseluruhan. Tak banyak yang mengaitkannya dengan terjadinya marjinalisasi pekerja dalam relasi produksi dan alokasi seperti tercermin di atas. Peningkatan motivasi produksi dan efisiensi perusahaan selama ini cenderung dilakukan melalui cara-cara represif (a-humanis) seperti sistem kerja kontrak, outsourcing, dan (wacana) sistem upah fleksibel, yang berpotensi mengingkari hak-hak sosial-ekonomi pekerja.

Kelima, arus baru demokratisasi perusahaan telah lama bergulir. Makin banyak perusahaan di dunia yang sadar perlunya revolusi mode produksi. Perubahan relasi produksi sama sekali bukanlah hal yang utopis. Kepemilikan saham oleh pekerja sudah lama diatur khusus dalam Undang-Undang dan lazim dipraktikkan oleh perusahaan di negara-negara maju seperti AS, Eropa Barat dan Eropa Timur. Bahkan di negara-negara tersebut sudah banyak perusahaan yang 50%-100% sahamnya dikuasai oleh pekerja. Kinerja perusahaan tersebut membaik dengan signifikan, yang otomatis mencerminkan peningkatan kesejahteraan pekerja selaku pemilik perusahaan.

Faktor Subjektif Realisasi ESOP

Menilik tersedianya berbagai faktor obyektif yang mendukung, tetapi mengapa konsep saham untuk pekerja (ESOP) –apalagi untuk kaum miskin- seolah masih menjadi barang mewah di negeri kita? Mengapa beberapa faktor objektif yang seharusnya dapat menjadi faktor pendukung justru menghambat demokratisasi di tempat kerja? Jawabannya sedikit banyak dapat ditemukan melalui telaah faktor subjektif yang ada. Alih-alih mendukung, faktor subjektif yang ada lebih banyak mengarah pada skeptisme dan pengabaian arti pentingnya demokratisasi perusahaan melalui ESOP di Indonesia..

Pemerintah dan DPR belum menampakkan keberpihakan (komitmen) nyata. Justru produk hukum dan kebijakan yang kurang sejalan dengan agenda tersebutlah yang dibuat. Misalnya saja, liberalisasi ekonomi dan privatisasi (kontra-demokratisasi) yang diminta Bank Dunia, IMF, dan korporasi transnasional telah dipenuhi melalui pembuatan UU Sumber Daya Air, UU Migas, UU BUMN, UU Penanaman Modal, dan UU Perkeretaapian. UU yang relevan semisal UU Perseroan Terbatas dan UU Pasar Modal pun kiranya tidak mengarah pada ESOP dan demokratisasi perusahaan. Kemudian pemerintah makin gencar melakukan privatisasi BUMN dan aset strategis nasional yang praktiknya selama ini menyebabkan konsentrasi kepemilikan perusahaan pada pemodal besar (asing).

Komitmen pemegang saham umumnya baru sebatas pemberian saham kepada beberapa lapis atas manajemen perusahaan. Pada sisi pekerja pun kiranya masih muncul kegamangan terhadap perjuangan ESOP. Saham untuk pekerja seolah masih berupa mimpi karena tuntutan mereka akan upah yang layak pun masih jauh panggang dari api. Banyak pekerja yang berpikir ”masih untung dapat pekerjaan di saat jutaan orang masih menganggur”. Terlebih tekanan pemilik perusahaan makin mengancam kelangsungan pekerjaan mereka melalui pemberlakuan sistem kontrak, outsourcing, dan rencana sistem upah fleksibel. Kepemilikan saham seolah masih dianggap barang mewah, tak terjangkau oleh pekerja Indonesia.

Misi, Aksi, dan Potensi ESOP

Berangkat dari faktor objektif dan masalah subjektif di atas, kiranya yang dibutuhkan saat ini adalah kerja keras untuk menyadarkan perlunya perluasan kepemilkan saham oleh pekerja (ESOP). Kesadaran kolektif perlu dibangun untuk meyakinkan publik bahwa kepemilikan saham oleh pekerja mengandung setidaknya lima peran (misi) strategis. Pertama, realisasi amanat konstitusi utamanya Pasal 33 UUD 1945. Kedua, cara untuk merombak ketimpangan relasi (struktur) produksi dan alokasi dalam perusahaan. Ketiga, upaya untuk mempertahankan perusahaan dari pengambil-alihan oleh korporasi (investor) luar negeri. Keempat, cara optimalisasi sumber keuangan (permodalan) domestik. Kelima, sebagai solusi bagi peningkatan motivasi, tanggungjawab, dan produktivitas pekerja dan perusahaan secara keseluruhan.

Stakeholder perusahaan perlu diyakinkan bahwa terdapat berbagai pola transformasi kepemilikan saham oleh pekerja yang sangat mungkin diterapkan. Di samping itu, juga tersedia cukup potensi (sumber finansial) untuk merealisasikannya. Alternatif pelepasan saham kepada pekerja di antaranya adalah berupa pemberian gratis, pembelian langsung, hak opsi saham, dan pola khas lainnya. Khusus dalam bentuk (pola) pembelian saham, mekanisme pembayarannya dapat saja melalui lembaga yang ditunjuk pekerja (Trustee), potong gaji langsung, intermediasi perbankan, atau mekanisme lain yang disepakati bersama.

Sumber dana potensial dalam negeri misalnya berasal dari dana Jamsostek (49 trilyun/deposito), dana pensiun (74 trilyun), dan dana pihak ketiga (tabungan) perbankan yang baru tersalur baru 60%-nya. Total dana bank yang belum tersalur kepada masyarakat sekitar Rp 400 trilyun, yang Rp. 250 trilyun-nya ”diendapkan” dalam SBI. Jika sebagian saja sumber dana ini diatur untuk membiayai perluasan kepemilikan saham oleh pekerja maka hasilnya akan luar biasa. Bukan sekedar kesejahteraan pekerja yang akan meningkat, namun juga harkat dan martabat sebagai manusia dan bangsa yang akan terangkat. Degan begitu, mimpi untuk menjadikan bangsa Indonesia bukan sekedar sebagai bangsa kuli dan kulinya bangsa-bangsa pun akan menjadi nyata. Semoga.


[1] Dosen Universitas Wangsa Manggala, Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM (www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id), dan Koordinator Presidium Sekolah Ekonomi Rakyat (SER) Yogyakarta (www.sekolahekonomirakyat.blogspot.com). email: satriaegalita@yahoo.com, personal web: www.awansantosa.blogspot.com, hp. 08161691650

DEMOKRATISASI BUMN

Awan Santosa[1]



Tak lama setelah dilantik sebagai Meneg BUMN baru, Sofyan Djalil berujar bahwa hal utama yang akan ia lakukan adalah meneruskan program privatisasi BUMN. Dalam pemahaman pemerintah selama ini, seperti yang tertuang dalam UU BUMN, privatisasi berarti menjual BUMN, utamanya melalui penawaran perdana (IPO) di pasar modal maupun stategic sales (SS) kepada investor swasta. Oleh karena itu, hampir dipastikan itulah yang akan dilakukan Meneg BUMN baru.

Pemerintah selama ini berargumen bahwa privatisasi perlu dilakukan untuk menutup defisit anggaran. Beragam teori ekonomi lain kemudian dijadikan pelengkap rasionalisasi. Privatisasi dipercaya sebagai jalan menghilangkan intervensi politik (birokrasi negara) terhadap BUMN. Privatisasi juga dianggap cara yang paling ampuh untuk menyehatkan dan meningkatkan kinerja (efisiensi) BUMN. Kisah privatisasi di negara lain pun sering dijadikan rujukan. Benarkah demikian?

Hakekat Privatisasi

Dua fakta dapat memperjelas ujung-pangkal privatisasi. Pertama, privatisasi BUMN Indonesia –dan di negara lain- berpangkal pada agenda Konsensus Washington yang dimotori IMF dan Bank Dunia. Persis misalnya privatisasi di Bangladesh, Ghana, Gambia, dan Jamaica yang disponsori oleh USAID (Patriadi, 2003). Kedua, privatisasi BUMN Indonesia berujung pada asingisasi. PT Indosat dan PT Telkomsel sebagian (besar) sahamnya dikuasai STTC dan Singtel, keduanya adalah BUMN milik Pemerintah Singapura. Privatisasi pararel dengan liberalisasi ekonomi yang berujung pada dominasi modal asing terhadap 80% pengelolaan migas, 50% penguasaan perbankan, dan 70% kepemilikan saham di pasar modal Indonesia.

Berdasar ujung-pangkal di atas kiranya lebih mudah memahami privatisasi sebagai upaya sistematis untuk mengambil-alih ekonomi Indonesia. Privatisasi BUMN (juga aset strategis nasional seperti air dan migas) hakekatnya adalah rampokisasi (Baswir, 2006). Dalam spektrum yang lebih luas, privatisasi adalah salah satu bentuk imperialisme baru (Petras & Veltmeyer, 2001), yang lebih mengabdi pada maksimalisasi nilai saham untuk kepentingan pemilik asing (Stiglitz, 2002). Privatisasi terhadap BUMN yang sehat, prospektif, dan bisnisnya terkait dengan hajat orang banyak (layanan publik) di Indonesia selama ini telah memuluskan penyedotan surplus ekonomi (net-transfer) kepada pihak luar

Oleh karenanya, kegagalan pemerintah dalam pengelolaan ekonomi (BUMN) seperti yang ditudingkan selama ini semestinya dimaknai tiga hal: Pertama, kegagalan karena warisan struktur ekonomi kolonial-sentralistik yang mendorong inefisiensi dan eksploitasi BUMN. Kedua, kegagalan karena marjinalisasi peran negara pasca liberalisasi yang bertolakbelakang dengan amanat Pasal 33 UUD 1945. Dan ketiga, kegagalan karena pengabaian terhadap solusi-solusi alternatif-kerakyatan dalam membangun BUMN berbasis daya dukung domestik yang tersedia.

Pola Demokratisasi BUMN

Solusi terhadap persoalan BUMN dengan begitu tidak mungkin bersifat parsial. Terlebih menyerahkan kuasa BUMN pada korporasi (asing) tentu bukanlah pilihan bijak Logika dasar yang menggerakkan korporasi adalah akumulasi (konsentrasi) kapital, bukannya tanggung jawab sosial. Hukum positif pun sudah mengatur demikian. Program sosial dilakukan demi tujuan dasar tersebut, sehingga proporsinya jauh lebih kecil dan tidak signifikan dibanding nilai faktor produksi yang dieksploitasi dan surplus ekonomi yang telah dibawa keluar.

Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah menimbang dilakukannya demokratisasi BUMN, bukannya privatisasi, sebagai solusi berbagai persoalan yang dihadapi BUMN dan perekonomian nasional. Demokratisasi BUMN yang sejalan amanat demokrasi ekonomi Pasal 33 UUD 1945 diwujudkan melalui perluasan (transformasi) kepemilikan dan kontrol BUMN oleh rakyat Indonesia. Transformasi ini dilakukan melalui sistem perencanaan demokratis yang melibatkan pemerintah dan stakeholder BUMN domestik dan bukan mengabdi pada mekanisme pasar (bebas) lewat listing di pasar modal.

Demokratisasi BUMN dapat dilakukan melalui pola redistribusi saham terencana kepada serikat pekerja, konsumen, Pemerintah Daerah, BUMD, koperasi, dan pelaku ekonomi rakyat Indonesia lainnya. Pola ini, walau terbatas pemberian (pembelian) saham pada pekerja, telah diterapkan misalnya di Georgia, Lithuania, Maldova, dan Rusia, dengan perbaikan kinerja BUMN yang signifikan. Di Georgia misalnya, kepemilikan saham pemerintah dipertahankan sebesar 65% pada 900 BUMN. Para pekerja diberikan saham sebesar 5% secara gratis; 3% ditawarkan dengan potongan 20% dan sekitar 28% dipasarkan kepada manajer dan pekerja melalui lelang (Patriadi, 2003).

Arti Strategis Demokratisasi BUMN

Pola tersebut setidaknya memiliki tiga arti strategis. Pertama, pola ini akan mengintegrasikan sektor moneter dan sektor riil melalui mobilisasi sumber keuangan domestik yang tersedia. Perbankan dapat menyediakan kapital bagi pembelian saham terencana oleh pekerja dan stakeholder BUMN domestik lainnya. Saat ini LDR perbankan nasional baru sebesar 60% dan sekitar Rp. 250-300 trilyun dana bank pun hanya diendapkan di SBI. Oleh karenanya, tiga hal akan tercapai sekaligus: optimalisasi potensi keuangan domestik, peningkatan modal perusahaan, dan penghindaran dari ketergantungan modal asing.

Kedua, pola ini selain akan memacu kinerja pekerja BUMN, sekaligus dapat memastikan bahwa perbaikan kinerja BUMN tersebut adalah cerminan langsung peningkatan kontrol (partisipasi) publik dan kesejahteraan pekerja, konsumen, serta masyarakat luas sebagai pemilik dan pengendali BUMN. Hal ini berbeda pada BUMN pasca privatisasi (asingisasi) yang hanya akan menunjukkan ”kinerja semu” karena penikmat sejatinya terbesarnya adalah para akumulator (pemilik) modal di luar negeri.

Ketiga, pola ini dengan sendirinya membatasi ruang gerak intervensi politik dalam pengelolaan BUMN. Tidak akan ada lagi istilah BUMN sebagai ”sapi perah” kelompok politik tertentu. BUMN akan dikelola tidak saja secara transparan dan akuntabel, tetapi juga secara demokratis. Serikat pekerja dan multistakeholder BUMN domestik pun akan memiliki posisi tawar yang lebih kuat dalam menghalangi setiap bentuk eksploitasi yang secara langsung akan merugikan mereka. Kini bagaimana prospek demokratisasi BUMN di Indonesia?

Alih-alih memikirkan alternatif tersebut, pemerintah dan DPR justru gencar menyediakan produk hukum yang memuluskan jalan privatisasi BUMN dan aset strategis nasional. Hal itu tercermin dalam UU Sumber Daya Air, UU Migas, UU BUMN, UU Penanaman Modal, dan UU Perkeretaapian yang baru saja disahkan. Prospek demokratisasi BUMN nampaknya masih suram karena sampai saat ini yang lebih mungkin justru pelepasan satu per satu aset publik terkonsentrasi ke tangan segelintir pemodal besar (asing).

Memang tak mudah meyakinkan pemerintah dan DPR perlunya demokratisasi, dan bukan privatisasi BUMN. Terlebih isu privatisasi yang menilik hakekatnya di awal bukan lagi domain teoritik dan akademis, melainkan domain kekuasaan dan politik ekonomi. Setiap upaya merombak struktur kekuasaan, terlebih yang melibatkan relasi domestik-internasional, pastilah berhadapan dengan reaksi pemangkunya. Tetapi bagaimanapun kita harus berani dan optimis, karena disitulah kemerdekaan dan kedaulatan kita sebagai bangsa dinilai. Wallahu’alam.


Yogyakarta, 19 Mei 2007


[1] Dosen Universitas Wangsa Manggala, Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM (www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id), dan Koordinator Presidium Sekolah Ekonomi Rakyat (SER) Yogyakarta (www.sekolahekonomirakyat.blogspot.com). email: satriaegalita@yahoo.com, personal web: http://www.awansantosa.blogspot.com/, hp. 08161691650

DEMOKRATISASI BUMD

Awan Santosa[1]



RUU BUMD masih dibahas pemerintah dan DPR. Walau begitu, revisi UU No 5 Tahun 1962 tersebut kiranya akan pararel dengan semangat liberalisasi dan privatisasi yang diusung Undang-Undang sebelumnya. Perluasan peran korporasi swasta (asing) seperti yang nampak dalam UU Sumber Daya Air, UU BUMN, UU Penanaman Modal, dan UU Perkeretaapian kemungkinan menjadi solusi revitalisasi peran BUMD bagi kemajuan ekonomi daerah.

Privatisasi BUMD, seperti yang sudah dilakukan terhadap BUMN, bukan sekedar kekhawatiran semu belaka, Paling tidak kita dapat belajar dari kasus privatisasi PDAM DKI Jaya, yang kini mayoritas sahamnya dikuasai oleh korporasi asing (RWE Thames dan Ondeo Suez). Kondisi obyektif yang dapat saja menjadi rasionalisasi privatisasi adalah rendahnya kinerja BUMD akibat intervensi birokrasi (Pemda) yang berlebihan dan kelangkaan pembiayaan (terjebak utang).

Ilustrasi yang paling mudah masih seputar PDAM. Dari 293 PDAM di Indonesia, hanya 29 yang berada dalam kondisi sehat. Sisanya dalam keadaan menanggung utang sebesar Rp.4 triliun kepada pemerintah. Jumlah itu semakin melonjak pada 2004, utang seluruh PDAM mencapai Rp.5,3 triliun (KAI, 2007). Berbagai masalah tersebut dinilai akan menghambat kinerja PDAM yang pada akhirnya akan memperpuruk layanan publik. Belum lagi bicara harga dan kualitas layanan PDAM yang sering dikeluhkan masyarakat, tentu akan menjadi amunisi bagi perlunya pelibatan luas korporasi di sektor publik.

Namun. ceritanya akan lain jika pemerintah dan DPR belajar dari kenaikan tarif air sebagai dampak nyata privatisasi PDAM Jaya. Water charge, yaitu imbalan yang diminta swasta, selalu lebih tinggi dari tarif air yang dibayar warga. Selisih yang terus terjadi tiap bulan dihitung sebagai utang yang hanya akan terbayar dengan menaikkan tarif. JIka PAM Jaya/Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengakhiri kontrak, mereka harus membayar kepada swasta seluruh investasi yang (diklaim) telah ditanam di Indonesia dan keuntungan (prospektif) dari separuh sisa masa kontrak yang nilainya sering disebut-sebut Rp 450 miliar (Ardhianie, 2005).

Pola Demokratisasi BUMD

Kiranya makin jelas relevansi amanat Pasal 33 UUD 1945. Tampuk produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak tidak seharusnya dikuasai orang-perorang (swasta). Contoh di atas, dan banyak contoh lain, menyiratkan bahwa dibalik tuntutan peran korporasi bersemayam naluri instrinsik untuk sebesar-besar mengeruk keuntungan dan mengakumulasi kapital. Terlebih, jika itu adalah korporasi asing, maka naluri intrinsiknya adalah menguasai faktor produksi nasional dan menyedot surplus perusahaan untuk di bawa keluar. Lantas, bagaimana alternatif pengelolaan BUMD, di tengah berbagai persoalan yang melilit BUMD, selain bertumpu pada peran besar korporasi swasta?

Jawabannya kembali dapat kita temukan dalam Pasal 33 UUD 1945. Semestinya ”perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Pengelolaan BUMD oleh karenanya mestilah berpegang pada prinsip ”produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Oleh karenanya, alih-alih melakukan privatisasi, yang patut dilakukan pemerintah sesuai amanat konstitusi dan nalar teoritik (pengalaman empirik) tersebut adalah demokratisasi BUMD.

Demokratisasi BUMD dilakukan melalui perluasan kepemilikan, kontrol, dan pengambilan keputusan BUMD oleh rakyat banyak. Salah satu pola yang mungkin ditempuh adalah perluasan kepemilikan saham BUMD (yang berbentuk perseroan), yang selama ini dipegang sepenuhnya oleh Pemda, kepada serikat pekerja, konsumen, koperasi, dan pelaku ekonomi lokal lain yang usahanya terkait dengan BUMD. Pemerintah daerah dan DPRD berperan dalam proses perencanaan dan pengawalan transformasi kepemilikan dan kontrol ini dengan melibatkan stakeholder BUMD domestik tersebut.


Arti Strategis Demokratisasi BUMD

Pola tersebut akan memiliki setidaknya tiga arti strategis. Pertama, pola ini mengintegrasikan sektor perbankan dengan pembiayaan sektor riil (BUMD) di daerah. Perbankan daerah dapat menyediakan kapital tambahan bagi pembelian saham terencana oleh pekerja dan stakeholder BUMD domestik lainnya. Rasio kredit-tabungan (LDR) bank-bank di daearah yang baru sebesar 60%, bahkan di daerah-daerah tertentu masih di bawah 30%, menunjukkan belum optimalnya peranan perbankan bagi pembangunan daerah. Oleh karenanya, tiga hal akan tercapai sekaligus: optimalisasi potensi modal domestik, modal tidak tersedot keluar daerah, dan terhindar dari ketergantungan pada modal asing.

Kedua, pola ini akan memperbaiki kinerja BUMD sekaligus memastikannya menjadi cerminan langsung peningkatan kontrol (partisipasi) publik dan kesejahteraan pekerja, konsumen, serta masyarakat daerah sebagai pemilik dan pengendali BUMD. Kinerja BUMD akan meningkat seiring dengan peningkatan partisipasi (kontrol) publik. Hal ini berbeda pada BUMD yang dikuasai korporasi (asing) yang hanya akan menunjukkan ”kinerja semu” karena penikmat sejatinya terbesarnya adalah para akumulator (pemilik) modal di dalam dan luar negeri.

Ketiga, pola ini dengan sendirinya membatasi ruang gerak intervensi politik dalam pengelolaan BUMD. BUMD akan dikelola tidak saja secara transparan dan akuntabel, tetapi juga secara demokratis (partisipatif). Serikat pekerja dan multistakeholder BUMD lokal pun akan memiliki posisi tawar yang lebih kuat dalam menghalangi setiap bentuk eksploitasi yang secara langsung akan merugikan mereka. Kini bagaimana peluang penyelenggaraan demokratisasi BUMD di Indonesia?


Prasyarat Demokratisasi BUMD

Realisasi demokratisasi BUMD tergantung pada terpenuhinya beberapa prasyarat objektif dan subjektifnya. Pertama, revisi UU BUMD dan UU Perseroan Terbatas (PT) yang tengah berlangsung menyediakan payung hukum bagi demokratisasi BUMD. Kedua, manajemen dan serikat pekerja BUMD yang berbentuk PT memiliki komitmen untuk memperjuangkannya.

Ketiga, perubahan status badan hukum dari Perusda (PD) ke PT yang difasilitasi Pemda dan DPRD dilakukan untuk mendorong demokratisasi, bukannya privatisasi BUMD. Keempat, masyarakat dan organisasi sosial-ekonomi daerah sadar bahaya privatisasi dan manfaat demokratisasi, sehingga berpartisipasi baik secara politik maupun finansial. Kelima, tersedia dukungan (skema) pendanaan dari perbankan daerah.

Sudah saatnya pemerintah dan masyarakat daerah menentukan pilihan. Tetap melanggengkan relasi timpang antara daerah dan Jakarta, antara ekonomi lokal dan investor asing, dan antara pekerja dan pemilik kapital, ataukah merombaknya secara mendasar. Relasi produksi dan alokasi yang etis, humanis, demokratis, nasionalistik, dan berkeadilan sosial itulah yang menjadi impian demokratisasi ekonomi, yang salah satunya dilakukan melalui demokratisasi BUMD. Wallahu’alam.


Yogyakarta, 20 Mei 2007

[1] Dosen Universitas Wangsa Manggala, Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM (www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id), dan Koordinator Presidium Sekolah Ekonomi Rakyat (SER) Yogyakarta (www.sekolahekonomirakyat.blogspot.com). email: satriaegalita@yahoo.com, personal web: www.awansantosa.blogspot.com, hp. 08161691650

Tuesday, May 08, 2007

MIMPI NASIONALISASI

Awan Santosa



Nasionalisasi perusahaan migas asing mendadak menjadi berita nasional. Diilhami tindakan pemerintah Amerika Latin, khususnya Venezuela dan Bolivia, para pakar dan politisi kita angkat bicara perihal kemungkinan penerapannya di Indonesia. Namun bagi saya, nasionalisasi tetap saja tak lebih sekedar mimpi di siang bolong. Mengapa?

Tengoklah prasyarat utama nasionalisasi, baik dari kilasan sejarah maupun yang terjadi di kedua negara contoh tersebut. Paling tidak terdapat dua prasyarat mendasar nasionalisasi, yaitu kemauan politik pimpinan nasional (presiden/DPR) dan kemauan politik massa-rakyat secara nasional. Adanya dua prasyarat ini akan menjadi modal utama nasionalisasi, walau tetap belum akan menjamin tindakan itu berhasil dilakukan.

Bapak pendiri bangsa sudah mencanangkan nasionalisasi sejak disahkannya UUD 1945. Pasal 33 UUD 1945 ayat 2 dan 3 yang masih berlaku sampai saat ini menegaskan bahwa "cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara" dan "bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat".

Nasionalisasi dengan begitu diposisikan pendiri bangsa sebagai bagian dari upaya mengoreksi struktur ekonomi warisan kolonial. Hanya saja belum genap berumur 5 tahun, ide nasionalisasi telah "ditelikung" melalui kesepakatan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949. Di situ, disebutkan Indonesia boleh saja merdeka, asal tidak "mengusik dan mengancam" keberadaan perusahaan asing.

Tak menyerah, Soekarno mengumumkan program nasionalisasi mulai medio ’50-an. Apa yang terjadi? Seperti yang (kelak) juga menimpa Allende –Presiden Chile- (1973), justru Soekarno yang jatuh. Orde Baru muncul membawa mimpi baru de-nasionalisasi yang akhirnya menggelar karpet kembalinya dominasi modal asing di Indonesia.

Nasionalisasi di Venezuela dan Bolivia tak lepas dari peran Presiden Chaves dan Morales beserta kabinet ekonominya. Bagaimana dengan kemungkinan peran pimpinan nasional dan kabinet ekonomi kita? Alih-alih itu, kiranya mereka justru tengah bermimpi dengan keberhasilan agenda de-nasionalisasi, melalui privatisasi aset strategis dan BUMN, untuk mensejahterakan rakyat.

Alih-alih mengoreksi struktur dominasi perusahaan asing terhadap 80% pengelolaan migas, 50% kepemilikan saham perbankan, dan 70% kepemilikan saham di pasar modal, pimpinan nasional kita justru melegitimasi dan melegalisasi itu semua. Pimpinan nasional kita bahkan baru saja "sukses besar" mengesahkan UU Penanaman Modal, yang salah satu klausulnya berisi komitmen untuk tidak melakukan nasionalisasi. Pernyataan Wapres yang buru-buru menampik nasionalisasi dengan berbagai alasan menunjukkan posisi pimpinan nasional kita.

Lalu bagaimana halnya dengan kemauan politik massa-rakyat kita? Perkara ini masing-masing kita yang tahu. Walaupun sepertinya masih jauh panggang daripada api. Isu nasionalisasi masih menjadi barang mewah yang seakan tak terjangkau rakyat kecil. Kenyataan lain adalah isu penggadaian kedaulatan ekonomi nasional melalui privatisasi tidak mendapat respon yang memadai.

Rakyat kecil pun masih berkutat dengan pendapatan pas-pasan, sulit mencari pekerjaan, dan ongkos hidup yang makin mahal. Tak pernah disadarkan pada mereka bahwa hal itu bertalian erat dengan struktur ekonomi timpang berupa dominasi kapital asing yang merupakan warisan sistem ekonomi kolonial. Hal itu terjadi di tengah eksploitasi migas yang ternyata berakibat sumber daya yang dihisap keluar (net transfer) dan alat produksi yang tidak lagi kita kuasai sebagai penyebab riil kemiskinan dan pengangguran.

Beruntung kita punya segelintir pakar dan politisi yang masih percaya kemungkinan nasionalisasi. Secara yuridis-formal dan ekonomi-keuangan kiranya nasionalisasi memang masuk akal. UU Penanaman Modal masih patut dipertanyakan kesesuaiannya dengan substansi Pasal 33 UUD 1945 ayat 1-3. Ingat, Pemerintah dan DPR dinyatakan MK melanggar konstitusi ketika mengesahkan UU Ketenagalistrikan, sebagian isi UU Migas, kenaikan harga BBM (2005), dan terakhir anggaran pendidikan dalam APBN 2007.

Proporsi hasil migas yang dinikmati rakyat (negara) pun akan tidak memadai karena produksi yang dibawah kendali perusahaan asing menyebabkan kontrol biaya dan output produksi sulit dilakukan. Padahal patokan yang dipakai dalam kontrak bagi hasil adalah laba operasi, bukannya total penerimaan. Sehingga meski pemerintah mendapat bagian 85% namun nilainya akan menjadi kecil karena besarnya biaya operasional yang menjadi hak perusahaan asing.

Begitulah, sejarah nasionalisasi adalah sejarah pertarungan kekuasaan dan kepentingan, yang seringkali diarahkan oleh ideologi tertentu. Mengubah relasi kekuasaan dan ideologi tidaklah semudah memahamkan perlunya nasionalisasi. Nasionalisasi adalah prasyarat kembalinya kedaulatan bangsa dalam mengatur perekonomian. Negara akan leluasa mengelola produksi dan distribusi migas –yang juga dikelola oleh perusahaan asing- untuk kepentingan nasional (rakyat banyak). Penerimaan negara dan partisipasi produksi (kesejahteraan) rakyat dengan begitu niscaya meningkat.

Mengingat dominasi asing yang memiskinkan dan mengoyak martabat dan kedaulatan bangsa, maka "banting stir" haluan ekonomi harus dilakukan. Dan dalam keadaan pimpinan nasional belum berkemauan politik, maka perubahan mestilah dilakukan dari bawah. Massa-rakyat yang kesadaran dan kemauannya sudah muncul itulah yang akan mendorong pemerintah dan DPR untuk berkemauan seperti mereka.

Massa rakyat dapat mendesak pemerintah dan DPR untuk membuat undang-undang nasionalisasi perusahaan migas asing. Undang-undang ini akan menjadi alat negosiasi perihal kontrak-kontrak karya dengan perusahaan tersebut. Intinya adalah bagaimana peruntukan migas Indonesia sebesar-besar untuk kedaulatan negara dan kemakmuran rakyat Indonesia, yang masih diamanatkan Pasal 33 UUD 1945 dan justru hari ini dipraktekkan di Venezuela dan Bolivia.

Tak ada yang tahu mampu bertahankah nasionalisasi ’ala Chavez dan Moralez di tengah berbagai skenario yang berupaya meruntuhkan pengaruh mereka. Pun jika nasionalisasi dirancang di Indonesia, jelas upaya menghalanginya tidak akan kalah gencarnya. Bagaimana rakyat kian sadar akan segala resiko dan bersiap menghadapi dan memperjuangkannya akan menentukan nasibnya ke depan. Masih sekedar mimpi atau akan benar-benar menjadi kenyataan? Wallahu’alam.