Wednesday, January 02, 2008

BUKAN SEKEDAR "J(U)ALAN BARU"?

Awan Santosa



Belum lama ini Rizal Ramli, mantan Menko Ekuin di era Gus Dur, mendeklarasikan ormas baru bernama Komite Bangkit Indonesia (KBI). Dalam deklarasi yang dihadiri beberapa elit politik dan tokoh nasional tersebut, Rizal Ramli mengajak bangsa Indonesia untuk menempuh "jalan baru", karena jalan yang selama ini digunakan menurutnya justru memicu kemerosotan dan kemiskinan struktural, serta memperkokoh neokolonialisme.
Deklarasi di saat suhu politik mulai memanas menjelang Pemilu 2009 menimbulkan bermacam spekulasi publik. Benarkah deklarasi dan dukungan elit parpol terhadap KBI merupakan tekad kuat elit nasional untuk bersatu melawan neokolonialisme? Atau jangan-jangan forum itu tak lebih seperti forum yang sudah-sudah, sekedar bersatu untuk menghadapi pemimpin lama?
Di balik harapan akan keseriusan KBI kiranya masih muncul skeptisme. Hal ini wajar karena jalan baru yang disuarakan KBI belumlah disertai arahan agenda ekonomi-politik yang jelas. Jalan baru masih sebatas posisi pikir (state of mind) yang dapat dikumandangkan siapa saja, sesuai kepentingan dan selera publik. Tanpa kejelasan isi (agenda) yang mempertegas posisi berdiri (standing position) KBI, bukan tidak mungkin jalan baru tersebut akan dinilai tak lebih sekedar "jualan baru".
Jalan Baru Pendiri Bangsa
Jalan baru KBI baru sekedar "proklamasi" anti-kolonialisme, seperti yang dilakukan para pendiri bangsa 62 tahun yang lalu. Pada waktu itu, pendiri bangsa bertekad mengeluarkan Indonesia dari jalan lama 3,5 abad di bawah cengkeraman kolonialisme. Jalan baru segera disusun dan secara jelas dituangkan ke dalam UUD 1945 yang disahkan sehari setelah proklamasi.
Agenda jalan baru tersebut adalah menghapus dominasi kolonialis (asing) dalam struktur ekonomi Indonesia. Dominasi asing ditunjukkan dengan segelintir elit bangsa Belanda (Eropa) yang menguasai banyak sumber daya Indonesia, bangsa Timur Asing yang menguasai jalur distribusi, dan mayoritas massa pribumi (ekonomi rakyat) Indonesia di lapisan terendah (terlemah).
Jalan baru pendiri bangsa ditumpukan pada tiga pilar utama, yaitu demokratisasi perekonomian melalui koperasi, penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, dan penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di Indonesia. Ketiga pilar ini kemudian diamanatkan dalam Pasal 33 ayat 1-3 UUD 1945.
Jalan baru inilah yang dengan perjuangan keras telah membuahkan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, yang 6 tahun pasca proklamasi masih berkuasa atas perusahaan listrik, kereta api, telekomunikasi, perkebunan, dan tambang minyak di Indonesia. Jalan ini pulalah yang membawa bangsa Indonesia mampu duduk sejajar bangsa adidaya dan bahkan mampu menjadi pelopor perjuangan anti-kolonialisme bagi negara- negara baru merdeka di Asia-Afrika.
Jalan Baru Kolonialisme
Perubahan ekonomi-politik pasca reformasi tak serta merta membawa bangsa Indonesia ke sebuah jalan dan tatanan baru. Bahkan dua pilar jalan lama Orde Baru yaitu dominasi modal asing dan keterjebakan pada utang luar negeri masih terus saja menjadi arus utama kebijakan ekonomi pemerintah. Alih-alih membangkitkan kedaulatan ekonomi nasional, justru yang terjadi adalah kembalinya de-nasionalisasi yang memuluskan jalan neokolonialisme ekonomi Indonesia. Salah satu tonggak sejarahnya adalah pengesahan UU Penanaman Modal pada bulan Maret 2007.
Neokolonialisme kini berwujud penguasaan modal asing pada berbagai jenis tambang dan migas (± 80%), perbankan (± 50%), industri, jasa, dan 70% saham di pasar modal. Akibatnya aliran uang ke luar negeri (net tranfer) pun makin besar. Hak sosial ekonomi pekerja, hasil eksploitasi SDA di daerah, dan keuntungan BUMN/perusahaan di Indonesia banyak pula yang mengalir ke pemegang saham (shareholder) asing.
Pada saat yang sama, blooding fiskal terjadi karena cicilan bunga dan pokok utang dalam dan luar negeri yang harus dibayar dengan seperempat APBN setiap tahunnya. Tekanan inilah yang turut mendorong penjualan aset-aset strategis bangsa melalui privatisasi yang dalam banyak kasus (Indosat, Telkomsel, dan Semen Gresik) telah memuluskan jalan menuju asing-isasi.
Walhasil, ekonomi rakyat (UMKM) yang berjumlah 40,1 juta atau 99,8% dari total pelaku ekonomi dan menyerap 96% angkatan kerja, kini hanya menikmati 39,8% dari produksi) nasional (PDB) dibanding korporasi besar (asing) yang sebesar 60,2%. Ekonomi rakyat hanya menikmati 20% pangsa pasar yang 80%-nya sudah dikuasai korporasi, yang merupakan "mesin" pertumbuhan karena menguasai 83,6 persen laju perekonomian Indonesia (FRI, 2007).
Kemana Arah Jalan Baru KBI?
Berangkat dari realitas kontekstual tersebut kiranya KBI perlu memperjelas jalan baru yang hendak ditempuhnya. Berdasar pengalaman historis maka tanpa perlu ragu lagi KBI dapat menjadi konsolidator nasional pembuka jalan untuk "kembali ke jalan pendiri bangsa", yaitu jalan nasionalisme dan demokrasi ekonomi. Kedua pilar jalan inilah yang diharapkan dapat menjadi senjata ampuh melawan semua bentuk neokolonialisme.
Jalan baru ini ditempuh melalui banting stir paradigma dan kebijakan ekonomi nasional yang telanjur bercorak neoliberal. Berbagai agenda strategis manifes nasionalisme dan demokrasi ekonomi yang saat ini perlu diseriusi KBI di antaranya adalah penghapusan utang luar negeri, nasionalisasi perusahaan migas asing, penghentian privatisasi dan liberalisasi ekonomi, revitalisasi koperasi sejati, demokratisasi keuangan, demokratisasi perusahaan, dan reformasi agraria.
Konsepsi beragam agenda tersebut sudah tersedia dan sebagian telah diperjuangkan oleh berbagai elemen masyarakat sipil pada berbagai level. Hanya saja sebagian besar masih berada pada taraf pinggiran dan membutuhkan konsolidasi dan mobilisasi gerakan yang lebih intensif. Pada posisi inilah KBI dapat berdiri kukuh sebagai konsolidator dan penyemai realisasi agenda-agenda yang terbingkai dalam jalan baru anti-neokolonialisme kepada khalayak yang lebih luas.
Pertanyaan berikutnya, pada locus mana gerakan jalan baru yang diinisiasi KBI ini akan ditempatkan? Apakah jalan baru KBI tetap hanya bertumpu pada kekuatan pikir intelektual dan kontribusi besar elit politik yang terorganisasi di dalamnya? Mungkinkah jalan baru ditempuh menggunakan kendaraan lama, yaitu elemen status quo yang kiranya juga akan terlibat sebagai inisiator KBI?

Basis Gerakan Jalan Baru
Sejarah di dalam dan luar negeri memberi pelajaran bahwa neokolonialisme hanya akan dilumpukan secara efektif oleh korban-korban utamanya. Kita dapat belajar dari perlawanan rakyat korban neokolonialisme (neoliberalisme) yang telah berhasil mengubah relasi kekuasaan politik-ekonomi nasional, yang misalnya dilakukan oleh kaum adat Meksiko (Zapatista), buruh dan pengangguran Argentina (GPP), dan petani tanpa tanah Brasil (MZT).
Tekanan gerakan rakyat korban neokolonialisme yang solid dan dukungan kaum intelektual inilah yang kiranya terbukti membawa perubahan struktural, bukannya karena manuver segelintir elit dan kalangan intelektual yang tidak membumi. Oleh karena itu, agenda-agenda perjuangan mewujudkan jalan baru anti-kolonialisme di Indonesia harus didasarkan pada partisipasi luas basis gerakan rakyat tersebut.
Sepanjang sejarah perjalanan bangsa, kiranya massa petani dan buruh adalah mayoritas pelaku ekonomi rakyat yang paling merasakan pahitnya (neo)kolonialisme. Tak heran dari kedua basis akar rumput ini telah lama muncul gerakan-gerakan anti-kolonialisme (anti-neoliberalisme) baik dalam lingkup lokal, nasional, bahkan hingga internasional. Konsolidasi kedua basis gerakan yang didukung kaum intelektual-progresif inilah yang kiranya menentukan efektifitas realisasi jalan baru yang diinisiasi KBI.
Demikian, suksesi nasional tahun 2009 adalah momentum untuk mendesakkan agenda-agenda jalan baru kepada calon-calon presiden yang akan bersaing. Sudah saatnya rakyat (hanya) memilih calon pemimpin yang memiliki agenda jelas anti-neokolonialisme sesuai agenda-agenda jalan baru. Oleh karenanya, segenap elemen gerakan rakyat perlu mengawal agenda KBI ini sehingga tidak sekedar menjadi jualan baru, melainkan sungguh-sungguh menjadi "jalan lurus" menuju kemerdekaan ekonomi, kesejahteraan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Semoga.

Yogyakarta, 15 Desember 2007

KOPERASI DI BAWAH NEOKOLONIALISME

Awan Santosa

Koperasi Indonesia hari ini selayaknya kebanyakan mushola di hotel berbintang, yang selalu terpojok di sudut-sudut ruang jauh dari pandangan. Selain terlalu minimnya kisah sukses bertaraf nasional, mungkin juga karena yang ada justru rapot merah dan selusin masalah yang selalu mencuat ke permukaan.
Tidak perlulah lagi membahas perseteruan elit Dekopin. Mungkin lembaga ini memang baru belajar "berpisah" dari birokrasi-kekuasaan. Lihatlah betapa malangnya nasib ratusan KUD di D.I.Yogyakarta yang "gulung tikar" karena ditinggal "bantuan pemerintah". Pun, 25% dari .1.900 koperasi yang ada tinggallah "papan nama"-nya saja.
Rasanya statistik nasional juga belum berpihak pada koperasi. UMKM Indonesia pada tahun 2006 berjumlah 48,9 juta (99,9%), yang jika satu UMKM menghidupi 4 orang maka 198,8 juta orang Indonesia hidup dari UMKM! Hal ini kontras dengan jumlah anggota koperasi yang saat ini baru mencapai 29 juta orang.
Ironis lagi melihat usaha kecil tersebut yang hanya menyumbang (menikmati) 37,6% "kue produksi nasional" dibanding minoritas usaha besar (0,1%) yang menikmati 46,7%-nya pada tahun yang sama (naik 3,6% dibanding tahun 2003). Dapat diperkirakan yang disumbang (dinikmati) anggota koperasi Indonesia jauh lebih kecil lagi.
SHU nasional koperasi tahun 2004 baru sebesar Rp. 2,1 trilyun yang misalnya saja dibagi rata sebanyak jumlah anggota maka masing-masing akan mendapat Rp 80.157,- per tahun. Omzet koperasi nasional pada tahun yang sama juga baru sebesar Rp. 37,6 trilyun atau sebesar Rp. 1,4 juta per anggota per tahun!
Atas sebab alamiahkah masih jauhnya keadaan koperasi dari cita-cita konstitusi; "produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat"? Kiranya tidak karena ekonomi Indonesia memang tidak berkembang secara alamiah, bahkan sampai hari in. Bagaimana bisa?
Koperasi Di Bawah Neokolonialisme
Koperasi diperjuangkan para Pendiri Bangsa untuk mengoreksi ketimpangan struktural warisan sistem ekonomi kolonial di masa lalu. Pada waktu itu ekonomi rakyat (pribumi) berada di bawah hisapan kaum perantara (Timur Asing) dan Bangsa Eropa. Oleh karenanya, mereka yakin bahwa tegaknya sistem ekonomi nasional (sesuai Pasal 33 UUD 1945) adalah prasyarat tumbuh-kembangnya gerakan koperasi Indonesia.
Kini kita menyaksikan betapa masih kukuhnya ketimpangan struktur ekonomi Indonesia hari ini. Lebih menyedihkan lagi karena lapisan atas ekonomi kita masih dikuasai "penguasa lama". Bagaimana bisa?
Sekedar tahu saja, 70% kapitalisasi di Pasar Modal (BEJ) dikuasai oleh pemodal asing. Bukan hanya itu, korporasi asing pun sudah menguasai 85% pengelolaan migas Indonesia. Neokolonialisme ini seolah disempurnakan dengan dikuasainya lebih dari separuh perbankan di Indonesia (FRI, 2007).
Keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak kian ditentukan oleh orang-perorang (asing). Tidak cukup tersedia lagi kebebasan untuk merancang masa depan sendiri. Kekuatan persamaan, kebersamaan, dan persaudaran manusia pun justru dikebiri. Dan ini adalah pukulan telak bagi gerakan koperasi! .
Koperasi tidak mungkin tumbuh subur di atas tiang-tiang neokolonialisme dan panji-panji kapitalisme. Lihatlah koperasi yang maju pesat di negara lain; seperti di Belanda, Italia, Norwegia, Swedia, Denmark, Spanyol, Inggris, dan masih banyak lagi di negara berbasis koperasi.
Adakah ekonomi mereka tergantung pada bangsa lain? Adakah SDA mereka masih banyak dikuasai pemodal asing? Adakah mereka menelan mentah-mentah paham globalisme ekonomi?
Kini siapa yang dapat diharapkan memikul kembali panji-panji demokrasi ekonomi yang diamanatkan konstitusi? Sementara jangan tanya pemerintah dan DPR lah. Alih-alih mengoreksi ketimpangan struktural ini, mereka justru telah menyediakan stempel bagi tegaknya hegemoni korporatokrasi (asing).
Baru 9 bulan yang lalu mereka mengesahkan Undang-Undang No 25/2007 tentang Penanaman Modal yang makin memberi keleluasaan bagi pemodal asing untuk mengeruk kekayaan Indonesia. Rasanya ini adalah puncak prestasi (kemenangan) paham individualisme yang menjadi lawan koperasi..
Selama beberapa pemerintah tahun setia mengerjakan proyek privatisasi BUMN dan aset strategis nasional (air, migas, dan hutan) dan liberalisasi (perdagangan, pertanian, dan pendidikan). Bukankah itu semua yang sangat tidak boleh terjadi dalam alam pemikiran demokrasi ekonomi?
Bagaimana dengan pegiat koperasi? Rasanya saya tidak akan banyak komentar, kecuali atas kenyataan bahwa kebanyakan mereka "mendiamkan" proses de-nasionalisasi dan korporatokrasi ini terjadi.
Koperasi Di Bawah Kapitalisme
Di bawah struktur ekonomi dan pemikiran warisan kolonial tersebut koperasi tidak dapat berkembang sewajarnya. Koperasi pun belum sepenuhnya mampu sekedar menandingi kapitalis kecil sekelas tengkulak, pengijon, dan rentenir yang masih menghantui rakyat kecil di banyak pelosok negeri. Kenapa?
Lihatlah kebersatuan yang masih lemah di antara koperasi Indonesia. Koperasi terjebak pada fungsionalisme, di mana yang justru dikembangkan adalah koperasi karyawan, koperasi pegawai negeri, koperasi tentara, ataupun koperasi mahasiswa. Kelas-kelas ekonomi ini membangun sekat-sekat di antara mereka. Koperasi seperti ini jelas tidak akan pernah besar dan mampu menandingi kekuasaan (modal) korporasi.
Terlalu banyak pemodal besar yang berpura-pura berkoperasi. Mereka membuat koperasi angkutan, koperasi taksi, dan koperasi lainnya yang lebih cocok disebut sebagai "persekutuan majikan".
Koperasi Indonesia tidak akan berkembang di atas penyimpangan prinsip dan kepuran-puraan ini. Koperasi harus didasarkan pada basis yang jelas; entah itu secara sektoral maupun spasial. Lihatlah koperasi di negara-negara tadi.
Bukankah di sana semua pelaku ekonomi yang terkait dalam mata rantai produksi, distribusi, dan konsumsi suatu komoditi terhimpun dalam koperasi? Bukankah di negara tersebut koperasi yang maju adalah koperasi susu, koperasi karet, koperasi listrik, koperasi kopi, koperasi kayu lapis, koperasi bunga, dan koperasi berbasis komoditi lainnya.
Misalnya juga lihatlah majunya koperasi berbasis wilayah (cooperative-regional) seperti wilayah berbasis koperasi dan industri manufaktu kecil di Emilia Rogmana, Italia atau koperasi wilayah yang berhasil mengintegrasikan sektor industri, pertanian, dan keuangan di Mondragon, Spanyol.
Koperasi di Bologna, Emilia Rogmana menguasai 85% distribusi jasa sosial di pusat kota, menguasai 45% PDRB, menghasilkan PDRB perkapita tertinggi di Italia, duapertiga penduduknya menjadi anggota koperasi, keputusan kredit dibuat di daerah, dan didukung University of Bologna yang berspesialisasi dalam Civil Economy and Cooperatives.
Memang butuh kemauan besar dari pegiat koperasi, utamanya dari kalangan intelektual, untuk tidak terjebak pada eksklusifisme kelas (elitisme). Mereka, dan melalui gerakan koperasi, dapat mulai merajut kembali jaringan kebersamaan dan kebersatuan ekonomi. Silahkan bisa diurai mulai dari mata rantai sektoral atau langsung dengan melihat keterkaitan antarsektor dalam satu wilayah.
Model Demokrasi Ekonomi Bawah-Atas
Upaya memperluas peran koperasi dalam penyelenggaraan demokrasi ekonomi di masa depan perlu dibangun dari dua arah (atas dan bawah) secara simultan. Dari bawah dapat dilakukan dengan mengembangkan model daerah koperasi (cooperative-regional).
Daerah koperasi dibangun berdasarkan model kerjasama antarkoperasi dalam satu siklus ekonomi yang saling berkaitan di daerah tertentu (Kabupaten/Propinsi). Dalam hal ini misalnya dapat diambil koperasi tani (koperasi produksi) dan koperasi buruh (koperasi konsumsi) di suatu daerah sebagai basis dan model awal, Di antara kedua koperasi tersebut dihubungkan dengan sebuah MoU, misalnya yang mengatur tentang pembelian beras, sayuran, dan buah-buahan.
Berpijak dari pola-pola relasi demokratis antarkoperasi ini maka dapat dipetakan pola hubungan lain yang mungkin dalam satu daerah (wilayah), termasuk misalnya mengintegrasikannya dengan koperasi simpan pinjam ataupun lembaga keuangan yang lain.
Peningkatan daya kerjasama (cooperativeness) ini diharapkan mampu meningkatkan peran koperasi dalam penguasaan produksi, distribusi, dan kepemilikan faktor-faktor produksi di daerah tersebut. Supaya terbangun kesamaan persepsi dan tujuan maka agenda ini kiranya dapat dirumuskan dengan indikator kinerja yang lebih terukur ke dalam suatu visi tertentu, misalnya: "Jogja In-Cooperative 2025".
Sebagai langkah lanjutan dapat dibangun juga kerjasama antardaerah koperasi atau antara daerah koperasi tertentu dengan daerah koperasi di luar negeri (Sister Cooperative City) seperti dengan Propinsi Emilia Romagna atau Mondragon.
Tanpa perlu menunggu berkembangnya daerah-daerah koperasi maka secara simultan di tingkatan makro perlu dilakukan upaya-upaya menegakkan sistem ekonomi nasional yang demokratis dan berkeadilan. Sebelumnya kiranya perlu dibangun Konsensus Koperasi Indonesia perihal gambaran seperti apa berdayanya koperasi sebagai basis demokrasi ekonomi Indonesia di masa yang akan datang.
Kondisi ini tentu merupakan segregasi dari perluasan partisipasi koperasi dalam tiga aspek perekonomian seperti yang diperjuangkan di tiap-tiap daerah koperasi. Tentu saja indikator kinerja koperasi nasional yang lebih terukur sangat diperlukan, semisal berapa porsi partisipasi koperasi dalam produksi, distribusi, dan kepemilikan faktor-faktor produksi nasional.
Untuk itulah kiranya perlu dirumuskan secara bersama-sama visi "Indonesia In-cooperative 2025" sebagai bagian dari visi Demokrasi Ekonomi Indonesia 2025.
Masa koperasi berjuang kiranya masih akan panjang. Mulailah dari impian seperti apa koperasi Indonesia 2025 dan wujudkan dalam perjuangan nyata.
Yogyakarta, 24 Desember 2007

KOLONIALISASI MIGAS

Awan Santosa


Apa masalah mendasar dalam ekonomi minyak? Ekonom arus utama biasanya akan menjawab kelangkaan. Migas termasuk sumber energi yang tak terbarukan, sementara jumlah penggunanya selalu bertambah. Oleh karena itu, solusinya adalah efisiensi dan segera melakukan diversifikasi sumber energi. Kebijakan konversi minyak tanah ke gas pun berdasar logika ekonom arus utama ini.
Sepintas kebijakan tersebut sangat masuk akal. Namun, menjadi aneh ketika diterapkan begitu saja dalam konteks ekonomi migas Indonesia. Mengapa? Indonesia sebenarnya mengalami kelimpahan migas, yang masalahnya justru terletak pada tata produksi dan distribusinya yang tidak demokratis. Bagaimana bisa?
Dominasi Korporasi Migas Asing
Sebagian besar kontrol migas Indonesia hari ini berada di tangan segelintir korporasi asing. 85,4 persen dari 137 konsesi pengelolaan lapangan migas di Indonesia dimiliki oleh korporasi asing, yang juga menduduki 10 besar produsen migas di Indonesia. Chevron Pacific (AS) berada di urutan pertama diikuti Conoco Phillips (AS), Total Indonesie (Prancis), China National Offshore Oil Corporation (Tiongkok), Petrochina (Tiongkok), Korea Development Company (Korea Selatan), dan Chevron Company (Petro Energy, 2007).
Sementara itu, delapan di antara10 besar produsen gas di tanah air pun dikuasai asing. Total E&P Indonesie menempati peringkat pertama dengan total produksi gas mencapai 2.513 juta kaki kubik per hari dan Pertamina diperingkat kedua dengan total produksi 948,9 mmscfd (Investor Daily, 2007).
Korporasi asing turut menguras kelimpahan minyak Indonesia yang kini berada pada level terbukti sebanyak 4,3 miliar barel dan potensial 4 miliar barel yang tersebar di 60 cekungan. Demikian halnya yang dilakukan terhadap kelimpahan gas bumi Indonesia sebesar 95,1 triliun kaki kubik cadangan terbukti dan 90,5 triliun kaki kubik cadangan potensial.
Melihat kenyataan tersebut muncul dua pertanyaan mendasar khas Indonesia; mengapa bisa terjadi kelangkaan minyak dan mengapa rakyat (bangsa) Indonesia tetap saja miskin sampai hari ini?
Sebab Struktural Kelangkaan Minyak
Kelangkaan minyak yang terjadi di berbagai daerah akhir-akhir ini oleh karenanya tentu bukan sekedar kelangkaan yang bersifat alamiah. Kelangkaan tersebut lebih bersifat struktural (sistematik), yaitu akibat pasokan minyak - yang sebagian besar dikuasai korporasi asing - justru dialirkan untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri.
Pada 2005 misalnya, total ekspor minyak Indonesia mencapai 157,5 juta barel, sedangkan impor minyak sebesar 126,2 juta barel. Pada 2006, Indonesia memproduksi 353,33 juta barel minyak, di mana 218,02 juta barel untuk konsumsi, 111,17 juta untuk ekspor, dan impor minyak mentah Indonesia mencapai 113, 54 juta.
Penerimaan negara dari kenaikan harga minyak dunia dan 85% laba operasional kiranya tidaklah sebesar yang dinikmati korporasi migas asing yang juga telah mendapat cost recovery dari pemerintah. Eksploitasi migas di Indonesia oleh karenanya tidak juga berimplikasi pada perbaikan kesejahteraan rakyat dan kemandirian ekonomi bangsa Indonesia.
Kebijakan di Tengah "Keterjajahan"
Kebijakan konversi minyak tanah untuk kesekian kalinya menjadi bukti ketidakberdayaan pemerintah. Melalui konversi, pemerintah hanya mampu bertindak mengantisipasi kelangkaan alamiah minyak dan tidak sanggup mengoreksi "pelangkaan sistematis" yang menjadi sebab struktural-nya. Mengapa?
Komitmen pemerintah memutus ketergantungan terhadap minyak tidak dibarengi dengan upaya sungguh-sungguh untuk memutus ketergantungan terhadap korporasi migas asing. Pemerintah bahkan terkesan menggeliminasi pangkal masalah sekedar pada isu produksi dan distribusi tabung gas, serta efisiensi pemakaiannya. Manipulasi kesadaran publik ini pun justru dibiayai mahal dengan kampanye (iklan) di berbagai media massa.
. Kebijakan ini erat kaitannya dengan "paksaan" efisiensi anggaran melalui pengurangan subsidi BBM. Keterpaksaan alamiah oleh sebab merosotnya penerimaan negara mungkin masuk akal. Tetapi efisiensi ini pun juga khas Indonesia, yaitu oleh sebab struktural "pendarahan" keuangan negara akibat pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri yang pada tahun 2006 saja mencapai Rp. 162 trilyun.
Oleh karenanya, konversi tanpa disertai restrukturisasi tata produksi dan distribusi migas hanyalah akan menjadi refleksi keterjajahan (neokolonisasi) ekonomi Indonesia. Solusi mendasar untuk masalah ini adalah perlunya de-kolonisasi (nasionalisasi) dalam konteks penguasaan migas di Indonesia.
Strategi Re-nasionalisasi Migas
Dominasi penguasaan migas oleh korporasi asing dan kelangkaan minyak sesungguhnya adalah penyimpangan terhadap cita-cita konstitusi (Pasal 33 UUD 1945). Oleh karenanya, re-nasionalisasi migas merupakan jalan kembali ke ekonomi konstitusi yang (seharusnya) menjadi landasan dilakukannya efisiensi dan diversifikasi sumber energi.
Kembalinya kontrol migas pada negara harus diawali dengan tekad seluruh bangsa Indonesia untuk memutus ketergantungan terhadap korporasi migas asing. Pemerintah seharusnya menghentikan perpanjangan kontrak-kontrak kerja sama (KKKS) lama dan melakukan negosiasi ulang dengan pemegang KKKS asing seperti halnya yang berhasil dilakukan oleh NSB di Amerika Latin. Pada saat yang sama juga dilakukan mobilisasi sumber daya baik modal, teknologi, dan SDM (pakar) nasional. Mampukah kita?
Pertamina dalam berbagai kesempatan sudah menyatakan kesiapannya untuk meningkatkan perannya dalam eksplorasi migas melalui penambahan Participating Interest (PI). Masalahnya – seperti kasus Blok Cepu – memang bukan pada ketidakmampuan Pertamina. Masalahnya sekali lagi terletak pada ketidakberdayaan pemerintah di bawah kuasa modal internasional. Oleh karenanya, re-nasionalisasi migas akan menjadi jalan lurus untuk mengakhiri (neo)kolonialisasi ekonomi Indonesia.


Yogyakarta, 20 Desember 2007