Friday, October 21, 2005

LIBERALISASI TIDAK UNTUK RAKYAT KECIL

Awan Santosa




Kenaikan harga BBM rata-rata 130% telah memperpuruk ekonomi rakyat. Industri kecil terancam bangkrut, nelayan banyak yang tak lagi mampu melaut, belum lagi harga kebutuhan pokok yang melonjak tak terkendali. Beban hidup makin sulit. Seolah penderitaan belum akan lekas berlalu dari hari-hari rakyat kecil. Di tengah itu semua, iklan persuasif bahwa hal itu demi rakyat kecil terus saja dikampanyekan pemerintah. Begitu kontras dengan kenyataannya. Apalah daya, harapan begitu besar tergantung di pundak pemimpin mereka, namun yang tersisa hanyalah janji-janji (kebohongan?) yang tidak terbukti.

Dana kompensasi pun tak banyak membantu rakyat kecil. Selain nilai tambah ekonominya yang tidak lagi signifikan (kalah dengan makin beratnya ongkos hidup), nilai tambah sosial-kulturalnya sama sekali tidak berasa. Lagi-lagi warga miskin dipaksa “mengemis-ngemis” sekedar untuk mengharap belas kasihan Pemerintah. Belum rasa saling curiga, iri hati, permusuhan yang timbul karena distribusinya yang dianggap tidak adil. Terlebih kronisme masih mewarnai pola ini di mana PNS golongan III, warga ber-HP, bermotor bagus, dan berrumah “mewah” pun mendapat bagian. Pola ini telah menghancurkan solidaritas dan kohesivitas sosial antarwarga (miskin).

Pola subsidi tunai yang mengacu sistem jaminan sosial negara maju ini jelas tidak relevan dipakai di negara kita. Pemerintah negara maju relatif mudah memetakan dan mengkategorikan siapa yang bakal mendapat subsidi tunai, terutama kaum pengangguran yang pasti miskin. Di negara kita berlaku sebaliknya. Selain jumlah keluarga miskin yang terlalu banyak, “penampakan” kemiskinan yang ada pun begitu kompleks, penuh dengan kriteria yang bervariasi. Alhasil, pola yang sangat dipaksakan ini meyakinkan kepada kita bahwa pemerintah tidak sungguh-sungguh untuk membantu rakyat miskin.


Pemiskinan ‘ala Liberalisasi?

Kondisi itu hanyalah awal dari proses pemiskinan dalam jangka ke depannya. Naiknya harga BBM hanyalah “pintu masuk” bagi proses liberalisasi yang arusnya audah demikian kuat pasca keluarnya UU No 22/2001. Liberalisasi ditandai dengan empat alur yang tengah berlangsung, yaitu diperkecilnya peran Pemerintah dan Pertamina, berubahnya BBM dari barang publik ke barang privat, dilepasnya harga BBM ke mekanisme pasar, dan masuknya korporat swasta dalam bisnis migas hingga sektor hilir. Bagian terakhir inilah yang paling krusial. Saat ini sudah ada 179 korporat swasta asing dan domestik yang menuntaskan perijinan bisnis mereka.
Dalih-dalih pembenar kenaikan harga BBM apapun ditempuh, sebesar-besar agar liberalisasi segera dijalankan. Korporat migas sudah tak sabar ingin menangguk keuntungan dari bisnis yang sangat menjanjikan ini. Tak lama lagi harga BBM akan dilepas ke pasar. Ini berarti akses akan ditentukan oleh daya beli (banyak sedikitnya modal). Kira-kira ungkapannya adalah “kalau nggak sanggup beli gas, ya ngga usah beli”. BBM tidak lagi dianggap barang publik, tetapi menjadi barang privat, padahal tetap menguasai hajat hidup orang banyak. Dengan begitu subsidi terhadap barang privat akan selalu dianggap salah sasaran.

Bukan masalah jika orang rakyat kecil tak lagi mampu beli minyak tanah, bensin, ataupun solar. Yang penting, orang-orang kaya tidak lagi menikmati “subsidi” BBM. Inilah logika yang sepintas masuk akal. Tapi, bukankah orang-orang kaya tetap menikmati “lebih” karena modal dan kekuasaan alamiah yang mereka miliki? Mereka tetap menikmati jasa pelayanan kepolisian, jalan raya, dan belanja publik dari pemerintah lainnya dengan “harga” yang sama. Apakah ini semua juga “subsidi” yang salah sasaran? Dengan logika barang publik tentu tidak dapat dianggap begitu. Yang membedakan adalah dalam besaran pajak yang harus mereka bayar. Di negara maju pun pendidikan dasar digratiskan, tanpa melihat apakah siswa itu kaya atau miskin (bahkan rata-rata warga negaranya kaya, bukan?).

“Privatisasi” BBM memang sejalan dengan “privatisasi” di sektor (barang) publik lain di negara kita seperti air, kelistrikan, dan pendidikan yang sedang dituntaskan pemerintah. Sektor (barang) tersebut tidak lagi dianggap sebagai sumber daya (aset) strategis) nasional yang menguasai hajat hidup orang banyak, yang harus dikuasai dan diatur oleh negara. Tidak lagi terpikir bahwa sektor-sektor tersebut pun terkait erat dengan kedaulatan dan ketahanan nasional bangsa kita. Muaranya adalah beralihnya tampuk produksi dari negara ke korporat, sehingga pola produksi dan konsumsi nasional pun makin dibentuk oleh kebebasan (kekuatan) pasar internasional, dan tidak lagi menerima prioritas (pengutamaan) kepentingan nasional.
.
Liberalisasi migas tak pelak menguntungkan pemodal besar, utamanya korporat migas asing. Mereka ini lah yang mampu mengesplorasi, mengolah, dan menjual migas karena daya dukung finansial dan teknologi yang mereka kuasai. Dengan daya dukung itu pulalah mereka mampu bersaing secara bebas dan menguasai pasar domestik dan internasional, seperti halnya yang terjadi di Thailand dan Malaysia di mana korporat ini berperan besar (dominan) dalam sektor hilir migasnya. Pada tahun 2000/2001, perusahaan nasional migas di Malaysia yang kapasitas produksinya hanya seperempat kapasitas produksi Indonesia hanya menguasai 35% pasar hilir migas, sedang 64%-nya dikuasai korporat asing Pasar hilir migas Thailand pun hanya 23% yang dikuasai perusahaan nasional, sementara sebagian besar dikuasai korporat asing dan domestik.

Tak ayal liberalisasi migas makin mendorong terkonsentrasinya penguasaan faktor-faktor produksi (dan pasar) ke tangan pihak asing dan lapis atas korporat domestik. Di saat yang sama, ketergantungan kita akan modal asing dan barang (termasuk BBM) impor pun makin besar. Dalam pada itu, menjadi paradoksal (non-sense) bicara memberdayakan rakyat kecil (miskin) ketika mereka makin dijauhkan dari (penguasaan) basis-basis produksi nasional. Paling banter mereka hanya akan diberi sedikit cipratan (kompensasi liberalisasi) yang tidak akan mengubah kondisi kemiskinan mereka karena dengan segera harus “dikembalikan” untuk membiayai hidup yang makin mahal. Alih-alih menjaga kedaulatan dan ketahanan ekonomi nasional, pemerintah makin tidak mampu lagi melindungi hak-hak sosial-ekonomi rakyatnya. Pemerintah makin tersandera oleh kebijakan-kebijakan neoliberal yang penuh dengan tekanan dan paksaan ini.

Satu hal yang tak bisa dimengerti adalah kaitan antara liberalisasi dan konservasi energi. Bukankah pembukaan puluhan ribu SPBU baru justru makin berpotensi menguras cadangan minyak nasional? Dan jelas hal itu akan memicu pola konsumsi BBM yang makin berlebihan. Lalu bagaimana dengan slogan gerakan hemat energi nasional? Bagaimana pula dengan upaya pengembangan dan penggunaan energi alternatif? Korporat migas tentu lebih suka menggarap pasar migas yang lebih menggiurkan. Kalau energi alternatif sudah digarap pemerintah, sudah besar pasarnya, barulah mereka akan ikut ambil bagian dalam perburuan labanya.

Demikian tipikal agen liberalisasi migas yang digerakkan oleh ruh (semangat) yang dari dulu hingga kini masih sama, yaitu individualisme (self-interest) dan liberalisme (bersaing buas). Pada dasarnya mereka abai dengan nasib rakyat kecil. Ingatlah betapa pahitnya liberalisasi (kebablasan) modal asing, perbankan, nilai tukar, rezim devisa, dan pertanian yang tidak mengangkat harkat dan martabat bangsa. Kini justru kita masih terpuruk dalam kubangan utang dan begitu tergantung pada lembaga luar negeri. Betapa rakyat kecil kita pun belum beranjak dari jerat kemiskinan setelah 60 tahun merdeka. Liberalisasi, baik di era sentralisasi (Orba) maupun era demokrasi rupanya tetap menjadi pil pahit yang harus ditelan rakyat kecil (miskin), yang kemudian tidak beranjak taraf kehidupannya.


Bukti Untuk Rakyat Kecil?

Jika benar-benar berpihak pada rakyat kecil, mestinya pemerintah memikirkan (dan memperjuangkan) cara alternatif selain meliberalisasi migas. Sayangnya, selama ini pemerintah terkesan menutup mata terhadap ide alternatif semisal kemungkinan penghapusan (pengurangan) utang (dalam dan luar negeri) yang setiap tahunnya menguras APBN sebanyak Rp 125 trilyun. Padahal, ttersedia argumentasi logis untuk itu, misalnya saja, bahwa angsuran yang kita bayar sebenarnya sudah melebihi nilai utang yang kita ambil, utang dikorup (odious debt), bencana alam, dan khusus untuk utang dalam negeri, sebenarnya bank-bank itu pun tidak pantas lagi disubsidi. Bukankah itu semua bisa dilakukan demi pendidikan, kesehatan, dan kepentingan rakyat banyak lainnya? Bukankah nilai tunai penhematan subsidi dari kenaikan BBM rata-rata 130% kemarin hanya Rp 12 trilyun atau sepersepuluh dari beban utang tersebut?

Bukankah pula data-data pemerintah dan Bank Indonesia menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional lebih banyak menguntungkan daripada merugikan Indonesia. Surplus transaksi ekspor-impor migas indonesia tahun 2004 hanya 6,5 milyar dollar AS, kemudian meningkat menjadi 9,8 milyar dollar AS pada tahun 2005. Demikian halnya, surplus penerimaan minyak terhadap subsidi BBM mencapai Rp12,8 trilyun. Sedangkan tahun 2005d (APBN-P 1 2005), mencapal Rp9,0 trilyun. Lalu mengapa subsidi BBM yang selalu dituding memperberat beban anggaran? Kemana perginya windfall profit itu? Pemerintah terkesan enggan berbicara terbuka perihal agenda liberalisasi yang akan mengubah wajah perekonomian nasional ini. Tidak percayakah mereka dengan kemampuan rakyatnya?

Kegagalan pemerintah (government failure) dan Pertamina dalam melakukan efisiensi bisnis migas tentu tidak dapat dijadikan alasan pengalihan wewenang yang terlampau besar ke korporat swasta atau pasar. Bukankah di dalam pasar sendiri inherent adanya kegagalan pasar (market failure), misalnya dalam mengalokasikan barang secara adil, eksternalitas, bias pemodal besar, abai dengan ketimpangan, dan sebagainya? Alih-alih menggusur sentralisasi dengan liberalisasi, pemerintah seharusnya konsisten menegakkan amanah konstitusi untuk melakukan demokratisasi ekonomi. Demokrasi ekonomi-lah alternatif kongkret selain melakukan liberalisasi atau privatisasi terhadap cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup rakyat banyak. BUMN, termasuk Pertamina pun bisa saja di-demokratisasi.

Demokratisasi ekonomi menuntut partisipasi luas masyarakat dalam menguasai dan terlibat dalam proses produksi nasional. Masyarakat, melalui kekuatan kolektif seperti koperasi, serikat pekerja, lembaga konsumen, dan organisasi ekonomi rakyat (warga miskin) lainnya didorong dan difasilitasi untuk dapat memiliki saham BUMN. Dengan begitu, mereka akan berperan aktif dalam ikut mengawasi jalannya BUMN yang kemudian harus mengoptimalkan kinerjanya. Demikian pula, melalui organisasi kolektif tersebut, mereka difasilitasi untuk memiliki saham Pertamina, berandil dalam memiliki dan mengelola SPBU, sehingga ikut terlibat secara aktif dalam pengelolaan dan distribusi migas nasional. Tentu butuh perencanaan dan kerja keras semua pihak. Tapi bukan hal yang mustahil jika pemerintah serius berkomitmen dan berpihak pada rakyat kecil, serta istiqomah dalam mengemban amanah demokrasi ekonomi.

Kini tak mudah membendung arus liberalisasi yang demikian derasnya. Tapi pemerintah masih mempunyai waktu untuk mengkaji kembali kebijakannya, setidaknya dengan meninjau kembali kenaikan harga BBM, perijinan korporat migas, dan meninjau substansi UU No 22/2001 itu sendiri. Paradigma baru perlu dibangun di atas perspektif kedaulatan dan ketahanan ekonomi nasional jangka panjang. Sembari itu, konsolidasi gerakan pro-demokrasi ekonomi merupakan agenda mendesak yang perlu segera dilakukan. Masa depan dan nasib kita harus kita rancang sendiri, tak perlu digantungkan pada pihak lain, apalagi terjebak pada ilusi-ilusi liberalisasi. Bukankah Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sebelum kaum tersebut mengubahnya sendiri?

Yogyakarta, 9 Oktober 2005

KULINISASI TIADA AKHIR?

Awan Santosa



Sejarah Kulinisasi

Sejarah ekonomi bangsa kita lekat dengan eksploitasi dan sub-ordinasi oleh bangsa lain. Ekonomi rakyat kita pun kenyang “diperkuli” dan dijadikan sapi perahan ekonomi besar, baik dari kalangan bangsa sendiri, dan terutama dari bangsa asing. Keluar dari hisapan kongsi dagang monopolis VOC, ekonomi rakyat kita dijerat sistem tanam paksa (cultuurstelsel-1830) yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda untuk memenuhi kebutuhan komoditi mereka (Eropa). 40 tahun kemudian (1870), giliran perusahaan swasta Belanda (asing) yang menguasai perkebunan kita melalui pemaksaan sistem kapitalis-liberal. Indonesia diperlakukan sebagai ondernaming besar dan penyedia buruh murah bagi pasar luar negeri. Ekonomi rakyat (pribumi) tetap sebagai kuli.

Bangsa Indoneisa adalah bangsa kuli dan kulinya bangsa-bangsa lain. Status-quonis inilah yang digugat Sukarno. Hatta pun bertekad keras bangsa ini harus menjadi tuan di negeri sendiri. Bagi mereka, merdeka berarti merdeka secara politik dan ekonomi. Untuk itu, pasca kemerdekaan perlu adanya reformasi sosial guna menghapus pola hubungan ekonomi yang timpang, eksploitatif dan sub-ordinatif terhadap ekonomi rakyat Indonesia. Namun, naluri untuk menghisap dan memperkuli bangsa lain (dan bangsa sendiri!) ternyata tetap (selalu?) ada. Atau karena juga kita yang begitu soft dan mudahnya dibodohi, dihisap dan diperkuli. Yang jelas, berurusan dengan sumber daya strategis Indonesia memanglah menggiurkan, sehingga tarik-menarik kepentingan merupakan hal yang masuk akal.
Naiknya rezim Orba pasca “krisis politik-ekonomi” yang menjatuhkan rezim Orla, pun tak lepas dari tarik-menarik ini. Paling tidak itulah yang digambarkan John Pilger dalam bukunya The New Rulers of The World (2002) perihal “kaplingisasi” kekayaan ekonomi Indonesia di era 67-an. Agenda ini dimuluskan melalui Konperensi Jenewa (1967) yang berakhir dengan kesepakatan di mana Freeport menguasai gunung tembaga di Papua, Konsorsium Eropa berhak atas nikel di Papua Barat, Alcoa mendapat tambang bouksit, dan Korporat Amerika, Perancis, dan Jepang kebagian hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua, dan Kalimantan. Birokrat berkolaborasi dengan korporat (pemodal asing) menguasai faktor (dan mode) produksi. Kulinisasi pun berlangsung kembali. Ekonomi rakyat-lah yang lagi-lagi menanggung beban, diperkuli, dihisap dan dimiskinkan. Hingga datang krisis moneter dan bergulirlah reformasi..


Neo-Kulinisasi ‘ala Korporatokrasi

Reformasi bergulir dalam koridor liberalisasi yang dipaksakan IMF dan Bank Dunia. Wajah politik kita memang berubah. Tapi arus besar yang kita ikuti masih sama : globalisme-pasar bebas. Mulailah era penggusuran terhadap daulat rakyat berganti menjadi era daulat pasar. Satu demi satu aset-aset strategis dijual ke pihak asing melalui skema privatisasi (rampokisasi?). Konstitusi-pun direka-ulang demi maksud ini. Pasal 33 (penjelasan) UUD ‘45 dihapus total, dus demokratisasi ekonomi dikerdilkan, koperasi pun direduksi hakekatnya. Muaranya adalah beralihnya tampuk produksi dari negara ke korporat, sama sekali bukan ke rakyat banyak (masyarakat). Pola produksi dan konsumsi nasional pun makin dibentuk oleh kebebasan (kekuatan) pasar internasional, sehingga tidak lagi menerima prioritas (pengutamaan) kepentingan nasional.

Pasar bebas inheren dengan kepentingan korporat dan negara maju untuk menegakkan korporatokrasi yang menelikung peran ideal pemerintah dan masyarakat. Bangsa kita digiring untuk sekedar menjadi bangsa konsumen (menikmati produk murah-sesaat) atau paling banter menjadi “bangsa makelar” (menjual produk asing-impor), yang melupakan upaya membangun industri nasional dan kewirausahaan berbasis ekonomi rakyat dan sumber daya lokal. Parahnya lagi ketika bangsa kita kembali hanya akan menjadi bangsa kuli yang tunduk dan melayani kepentingan pihak (bangsa) asing. Kita terus saja mengejar nilai tambah ekonomi, dan melupakan pentingnya nilai tambah sosial-kultural berupa kokohnya ideologi, budaya, martabat (harga diri) dan rasa percaya diri bangsa.

Pemerintahan dan teknokrat ekonomi SBY-Kalla pun masih tersandera oleh paradigma dan kebijakan ekonomi rezim-rezim sebelumnya. Mereka tetap saja bicara dan mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi dan investasi skala besar (asing). Persis yang dipikir dan dikejar rezim Orba yang maunya direformasi. Pemerintah lebih sigap menyediakan infrastruktur-infrastruktur yang diperlukan korporat besar, termasuk giat mengembangkan basis-basis produksi berskala besar, ketimbang secara konsisten menerapkan agenda-agenda demokratisasi ekonomi (pemberdayaan ekonomi rakyat). Pasar rakyat berhadapan dengan maraknya pembangunan super-mall, sementara investasi oleh ekonomi rakyat dipandang sebelah mata karena silaunya pada investasi pemodal besar (asing).

Hal ini tidak terlepas dari posisi Indonesia yang terperangkap dalam jebakan utang (debt-trap) sehingga dipaksa memenuhi agenda-agenda negara (lembaga) kreditor. Dan kita pun baru saja tahu lewat pengakuan John Perkins dalam bukunya Confessions of an Economic Hit Man (2004) bahwa semua itu terjadi melalui disain sistematis pemerintah (korporat) asing (AS) untuk ikut menguasai dan mengatur perekonomian Indonesia di era 70-an. Ceritanya tetap sama, Indonesia adalah negara kaya sumber daya strategis dan buruh murah yang menarik untuk dihisap dan diperkuli. Maka, utang pun disodor-sodorkan untuk membiayai proyek-proyek yang mereka kerjakan demi mengejar impian indah masa itu : pertumbuhan ekonomi melalui investasi skala besar (asing), sampai kemudian utang lama terpaksa dibayar dengan membuat utang-utang baru.

Kulinisasi kini makin dikukuhkan oleh pendidikan yang terlalu pro-pasar, yang semata-mata memposisikan peserta didik sebagai alat produksi pemasok pasar tenaga kerja. Pun, pendidikan ekonomi kita berkembang dalam kultur hegemoni oleh ajaran-ajaran ekonomi Barat yang sarat kepentingan kaum fundamentalis pasar (neo-liberalisme), sehingga bias uaha besar-modern dan abai dengan masalah dan real-life economy rakyatnya sendiri.

Hasilnya tentu bukan manusia didik yang peka dan paham potensi dan masalah ekonomi rakyat-nya, berjiwa enterprenuer, dan sadar martabat dan harga diri bangsa, melainkan lulusan-lulusan yang tidak percaya diri, opportunis, serta mudah dihisap dan diperkuli. Kita berebutan masuk pasar tenaga kerja yang korporatnya sudah banyak dikuasai oleh korporat (bangsa) asing. Kita tetap sekedar menjadi kuli di negeri sendiri (juga di negeri orang lain). Kebutuhan pasar tenaga kerja demikian terbatas, dan kita terus saja percaya bahwa pendidikan harus berorientasi (kebutuhan) pasar (market-oriented).

Kulinisasi oleh bangsa asing yang berlangsung lama itu pun telah menumbuhkan persistensinya inferiority complex bangsa kits, suatu budaya hidup yang tidak cerdas, penuh rasa minder, ketertundukan dan kekaguman kepada yang serba Barat dan asing. Dengan makin lunturnya nasionalisme, maka hubungan subordinasi ini hidup kembali dan sekaligus makin memperpuruk bangsa Indonesia (Swasono, 2004).


Daulat Rakyat, bukan Daulat Pasar

Jaring-jaring yang ditebar sudah sedemikian memperdaya pemerintahan, konstitusi, dan pendidikan kita. Mampukah bangsa kita keluar dari jerat kulinisasi yang sepertinya tiada akhir ini? Tentu butuh kemauan keras dan keberanian untuk menegaskan kembali jati diri bangsa kita sebagai bangsa yang bermartabat, berdaulat, dan penuh percaya diri. Kita sudah berkomitmen bahwa rakyat-lah yang berdaulat, tidak saja di bidang politik, tetapi juga di bidang ekonomi. Oleh karena itu, kulinisasi harus diakhiri dengan memperjuangkan agenda-agenda demokrasi ekonomi dan menghidup-hidupkan (kembali) nasionalisme ekonomi setidaknya melalui empat ranah berikut :

Pertama, di ranah politik-ekonomi, kita seharusnya mewaspadai agenda globalisasi-pasar bebas yang terbukti bermuara pada pengalihan tampuk produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak ke tangan korporat (asing). Privatisasi BUMN strategis harus dihentikan, begitu juga dengan liberalisasi perdagangan (impor) yang merugikan pelaku ekonomi rakyat, khususnya petani dan industri kecil dalam negeri. Seharusnya kita belajar dari negara-negara maju seperti halnya AS, Inggris, dan Jepang yang begitu protektif terhadap petani mereka. Pasar bebas memang hanyalah non-sense belaka. Benar ungkapan Joan Robinson bahwa “the very nature of economics is rooted in nationalism”. Dan jangan lupa, negosiasi utang LN tetap perlu dilakukan hingga ke arah pemotongan utang.

Kedua, di ranah konstitusi-regulasi, kita perlu meninjau kembali amandemen UUD ’45, khususnya terhadap Pasal 33, yang telah membelokkan agenda demokratisasi ekonomi (melalui gerakan koperasi), ke arah korporatokrasi (neo-kulinisasi). Munculnya UU Air, Listrik, dan Migas tidak terlepas dari kontek ini. Mahkamah Konstitusi hendaknya menjadi “penjaga gawang” demokrasi ekonomi, sehingga tidak meloloskan setiap Undang-Undang yang beraroma privatisasi hajat hidup orang banyak dan bertendensi menggusur daulat rakyat menjadi daulat pasar. Pasal 33 pun harus dikembalikan sesuai aslinya.

Ketiga, di ranah paradigma ekonomi, perlu ada revolusi cara berpikir (mind-set) ekonomi kita yang sejauh ini terlalu silau (terhegemoni?) dan bias pada ideologi dan ajaran-ajaran ekonomi konvensional-Barat. Pembaruan ilmu ekonomi perlu dilakukan agar makin sesuai dengan ideologi, sistem nilai, dan sistem sosial-budaya bangsa. Ilmu ekonomi khas Indonesia pun perlu terus digali dan dikembangkan berdasar kenyataan ekonomi riil (real-life economy) yang dihadapi ekonomi rakyat Indonesia. Kita perlu alternatif dari paham ekonomi yang menjadi arus utama saat ini. Ekonomi Pancasila, yang digagas Prof. Mubyarto sebagai ideologi dan ilmu ekonomi alternatif berjati diri Indonesia patut dikaji lebih mendalam oleh pemikir ekonomi.

Keempat, di ranah pendidikan, kita perlu mereformasi pendidikan ekonomi dengan menempatkannya sebagai bagian integral proses ideologisasi untuk memberdayakan peserta didik secara ideologis, sosial-kultural dan politik-ekonomi. Untuk itu, pendekatan yang digunakan mestinya tidak lagi positivistik-monodisiplin, melainkan normatif-multidisiplin. Pendidikan ekonomi harus mampu menghidupkan kajian-kajian ekonomi-politik, ekonomi-sosiologi, ekonomi-sejarah, ataupun ekonomi-antropologi. Metode pengajaran yang digunakan hendaknya metode hadap masalah (problem-posing education), bukan lagi metode bank (banking-education). Pendidikan ekonomi diarahkan untuk berorientasi dan berpihak pada ekonomi rakyat Indonesia.

Nah, kinilah saatnya tak perlu ragu bersikap untuk menentukan nasib dan masa depan bangsa kita sendiri. Tidak ada bangsa manapun yang dapat maju, sejahtera dan demokratis dengan membiarkan rakyatnya diperkuli dalam tatanan ekonomi yang eksploitatif dan subordinatif. Marilah kita mulai bersama agenda-agenda di atas dengan berlandaskan tekad kuat untuk ‘menolak menjadi kuli di negeri sendiri”.


Yogyakarta, 21 September 2005