Tuesday, April 10, 2007

PESAN KEMERDEKAAN SULTAN

Awan Santosa


"Entahlah, mengapa kita menggadaikan negeri ini kembali ke kaum penjajah, yang sepanjang sejarah sudah kita lawan bersama". Demikian salah satu butir perenungan Sri Sultan HB X dalam orasi budayanya pada Malam Bakti Ibu Pertiwi di Pagelaran Kraton, 7 April 2007 yang lalu. Menarik bahwa Sultan mengawali dan mengakhiri orasinya dengan nukilan lagu kebangsaan kita: "bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya...".
Warga Jogja pun terkejut bukan main. Bukan karena pernyataan di atas, tetapi karena dalam kesempatan itu Sultan menyatakan sikap untuk tidak bersedia lagi menjabat sebagai Gubernur/Kepala Daerah Propinsi DIY pada purna jabatan tahun 2003-2008 nanti. Polemik dan spekulasi yang dikaitkan dengan RUU Keistimewaaan DIY pun bermunculan merespon pernyataan Sultan.

Terlepas dari perlunya apresiasi terhadap sikap spiritual-kultural Sultan, saya justru merasa bahwa pesan kesejarahan Sultan di awal justru lebih perlu untuk kita gali dan tafsirkan bersama. Terlebih di tengah a-historisme luar biasa bangsa kita terhadap sejarah keterjajahan dan kealpaan akan hakekat kemerdekaannya, maka "pesan kemerdekaan" Sultan menjadi kian relevan.

Apakah harga diri kita sebagai bangsa sudah terjual, seperti disinyalir Sultan? Tanpa kedalaman rasa dan kepekaan idologis kiranya sulit menemukan jawabannya. Yang jelas, rasa kebangsaan menjadi tanda tanya besar tatkala kita membiarkan bangsa asing menguras kekayaan sembari menjejali pikiran-pikiran kita dengan nilai-nilai kapitalistik, hedonistik, dan materialistik.
Betapa tidak? 80 persen tambang/migas kita sudah dikuasai (dikelola) bangsa asing. Demikian halnya dengan separuh saham perbankan kita, termasuk 60% saham di pasar modal kita yang sudah jatuh ke pangkuan mereka. Belum gerai-gerai produk asing (retail, fast-food, dan mall) yang sudah menjadi bagian dari keseharian kita.

Pada saat yang sama kita menjuali aset dan BUMN melalui privatisasi. Belajar dari sejarah Indosat, Telkomsel, Semen Gresik, dan Bank-bank pemerintah, yang terjadi pun tak lebih dari asingisasi. Demikian halnya dengan privatisasi air (sejarah PT PAM Jaya) dan aset strategis nasional lain seperti hutan dan mungkin sebentar lagi sekolah kita. Setiap transaksi ekonomi pun makin banyak yang berujung pada aliran uang keluar (net transfer) kepada pihak asing tersebut.

Terlebih setiap tahun pemerintah mempunyai kewajiban membayar cicilan pokok dan bunga utang dalam dan luar negeri yang kurang lebih menguras seperempat APBN atau senilai Rp. 120 trilyun. Dengan demikian, utang-utang baru yang kita buat kita gunakan untuk membayar utang-utang lama kita, termasuk kepada pihak asing.
Pikiran kita pun dibuat steril dari semangat revolusi (perubahan). Kuliah masih tak lebih dari transfer ajaran (materi) yang alih-alih mengusik kondisi tersebut, tapi justru mengukuhkannya tanpa kita sadari. Alhasil, bukannya rasa keterjajahan yang membangunkan jiwa kita, melainkan materi dan kepentingan politik. Kita tetap bermental inlander yang tunduk dan mudah dibodohi pihak asing.

Bahkan pemerinah dan DPR kita pun rela melawan konstitusi kita sendiri demi selamatnya kepentingan pihak asing. UU Air, RUU Ketenagalistrikan, UU Migas, dan terakhir UU Penanaman Modal menjadi sekedar legalisasi kekuasaan asing di bumi pertiwi. Elit kita lebih suka memilih menjadi komprador asing dan menjual harga diri bangsa. Inilah yang kiranya digelisahkan Sultan.

Mereka alpa bahwa 40,1 juta pelaku ekonomi rakyat atau 99,8% dari total pelaku ekonomi dan menyerap 96% angkatan kerja, hanya menikmati 39,8% dari produksi nasional dibanding korporasi besar (+ asing) yang sebesar 60,2%. Ekonomi rakyat kita pun hanya menikmati 20% pangsa pasar yang 80%-nya sudah dikuasai korporasi. Akibatnya kini kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan meluas. Dan anehnya, elit kita masih beranggapan bahwa melayani pihak asing adalah solusi kesejahteraan rakyat.

Di mana makna 61 tahun kemerdekaan kita? Negeri ini masih dipenuhi jiwa-jiwa kerdil yang justru menguasai tampuk ekonomi dan politik. Pun jiwa-jiwa yang silau dengan kemewahan dan gemerlapnya dunia yang ditawarkan bangsa asing. Pengurasan dan dominasi berlangsung dan kita asyik menikmati candu teori dan ajaran. Dan seolah kita pun menjadi merasa tidak perlu melawannya, bahkan bila perlu menjadi pemeluk (pengikut) yang paling setia.

Apa istimewanya DIY jika kita sebagai warganya pun alpa dengan sejarah keterjajahan bangsa yang melahirkan revolusi di kota ini. Sultan kini mengisyaratkan bahwa sejarah mungkin berulang: "Indonesia dihancurkan oleh kepentingan-kepentingan yang menjual harga diri bangsa." Dengan demikian kiranya cukup alasan bahwa keistimewaan DIY musti kita tunjukkan juga dengan merevitalisasi ruh Yogyakarta sebagai Kota Revolusi.

Terlepas dari pentingnya perspektif yuridis-formal terkait dengan pemerintahan dan keistimewaan DIY, saya kira perlu kita tegaskan perlunya rekonstruksi komitmen kebangsaan dan kerakyatan warga Yogya. Yogyakarta perlu kita kembalikan ruhnya sebagai barometer perlawanan terhadap setiap bentuk dominasi dan penjajahan gaya baru, baik dalam bentuk kontrol fisik, ekonomi, politik, maupun pikiran (intelektual) kita oleh pihak asing.

Pun, Yogyakarta sebagai kota Pendidikan akan bermakna jika mampu mengikis inferiority complex bangsa, budaya hidup tidak cerdas, penuh rasa minder, ketertundukan dan kekaguman kepada yang serba Barat dan asing. Pendidikan di Yogyakarta harus mampu membangun jiwa-jiwa yang merdeka dan menjadi penyalur "suara-suara dari jiwa-jiwa yang ingin merdeka..".
Kini saatnya memaknai pesan kemerdekaan Sultan untuk berbakti bagi ibu pertiwi dengan bertekad: "dari Yogyakarta kita bangun jiwa bangsa, dan dari Yogyakarta kita merdekakan kembali (ekonomi) Indonesia".

STEMPEL DOMINASI MODAL (ASING)

Awan Santosa

Tanpa sempat terbendung lagi pemerintah dan DPR akhirnya mengesahkan UU Penanaman Modal (UU PM). Peristiwa historis ini nyaris tidak mendapat ekspose yang memadai. Bahkan makin tenggelam di tengah mencuatnya isu laptop DPR/DPRD, interpelasi resolusi Iran, kasus helikopter Bukaka, dan penangkapan pelaku terorisme.

Norena Heertz pun benar dalam bukunya "The Silent Takeover (London, 2001)". bahwa pemodal internasional diam-diam makin berkuasa bahkan hingga tanpa disadari telah mendominasi ranah publik yang menjadi domain negara (rakyat). "Perusahaan multinasional, yang didukung oleh kapitalisme global pasar bebas, sekarang ini sama besarnya dengan banyak negara. Bahkan, tiga ratus perusahaan multinasional menguasai 25% aset dunia".

John Pilger (2002) pun sudah lama mengungkap bagaimana ekonomi Indonesia telah "diambil-alih" secara diam-diam oleh korporasi global sejak Konperensi Jenewa tahun 1967. Konperensi 3 hari yang diikuti korporat raksasa Barat dan ekonom Indonesia (Mafia Berkeley) itu berbuah "kaplingisasi" Indonesia oleh Freeport, Konsorsium Eropa, Alcoa, dan kelompok perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis..

Konferensi itu melahirkan UU Penanaman Modal Asing (PMA), yang menelikung cita-cita historis Pasal 33 UUD 1945 untuk merombak struktur dan sistem ekonomi timpang warisan sejarah kolonial. Padahal perombakan baru terjadi jika perekonomian disusun sebagai usaha bersama (koperasi) dan penguasaan negara atas cabang produksi strategis. Kiranya jelas kemudian bahwa UU PM yang baru saja disahkan DPR hanya mengulangi sejarah pengingkaran cengkeraman modal asing yang memperpuruk nasib ekonomi rakyat Indonesia.
Mengabaikan Dominasi

Rasanya sulit menemukan nalar teoritis para komprador ekonomi yang begitu abai dengan dominasi asing, bahkan begitu memuja kehadirannya. Rasio tabungan dan investasi kita tahun 2005 masih surplus 22,6 trilyun. Belum lagi rasio kredit-tabungan (LDR) perbankan yang baru 60% dan dana mengendap di SBI Bank Indonesia yang sebesar Rp. 250-300 trilyun. Bukankah itu pertanda tersedianya modal domestik?

Ironisnya mereka tahu betul bahwa setiap 1% pertumbuhan ekonomi –karena kenaikan investasi (asing)- hanya mampu menyerap 200.000-300.000 tenaga kerja baru. Hasil-hasil studi empiris pun menunjukkan hubungan negatif antara arus bersih modal asing dan tabungan domestik. Studi Sritua Arief & Adi Sasono (1987) jauh-jauh hari sudah mengisyaratkan berlangsungnya penghisapan ekonomi melalui modal asing.

Arus bersih modal asing ke Indonesia sejak era liberalisasi (1970-1986) secara kumulatif menunjukkan posisi negatif (modal keluar > modal masuk). Negatif net transfer ini bukti bahwa Indonesia bukan lagi importir modal, melainkan eksportir modal. Besarnya nilai repatriasi keuntungan dan cicilan pokok + bunga utang ke luar negeri pun bukti bahwa Indonesia hanya menggunakan modal asing untuk membiayai pihak asing dalam meraih keuntungan dan penerimaan dari Indonesia.

Kini modal asing pun makin dominan dalam perekonomian Indonesia. Paska privatisasi BUMN dan aset-aset strategis nasional (mineral tambang-migas, air, dan hutan) penguasaan tampuk produksi beralih dari negara (rakyat) ke korporasi asing. Padahal kedua tampuk produksi tersebut terkait erat dengan hajat hidup orang banyak, prospektif (profitable), dan telah dikelola dengan banyak menyedot anggaran negara (subsidi).

Dominasi asing dalam penguasaan berbagai jenis tambang dan migas (± 80%), bank (± 50%), industri, jasa, dan 60% saham di pasar modal itu berakibat besarnya aliran uang ke luar (net tranfer). Aliran itu bersumber dari perampasan hak sosial ekonomi pekerja, eksploitasi SDA di daerah, dan keuntungan BUMN/perusahaan di Indonesia yang dinikmati pemegang saham (shareholder) asing. Belum lagi dengan cicilan bunga dan pokok utang luar negeri yang dibayar per tahun dengan seperempat APBN.

Di sisi lain, ekonomi rakyat (UMKM) yang berjumlah 40,1 juta atau 99,8% dari total pelaku ekonomi dan menyerap 96% angkatan kerja, hanya menikmati 39,8% dari produksi) nasional (PDB) dibanding korporasi besar yang sebesar 60,2%. Ekonomi rakyat hanya menikmati 20% pangsa pasar yang 80%-nya sudah dikuasai korporasi tersebut. Segelintir korporasi besar tersebut merupakan "mesin" pertumbuhan yang menguasai 83,6 persen laju perekonomian Indonesia.

Kini alih-alih mengoreksi struktur ekonomi timpang yang pro-modal asing tersebut, rezim Pemerintah-DPR justru diam-diam turut melegitimasinya. Ketelanjuran penguasaan korporasi (asing) terhadap cabang produksi dan aset-aset strategis bangsa yang jelas melawan konstitusi justru dilegalisasi. Kiranya jelas kemudian bagaimana UU PM telah dijadikan alat stempel dominasi modal asing (penjajahan baru) terhadap ekonomi Indonesia.
Dominasi korporasi (asing) kini telah membawa korban terpuruknya nasib rakyat kecil. Tingkat kemiskinan meningkat dari sebesar 16,7 % di tahun 2004 menjadi 17,75 pada tahun 2006. Tingkat pengangguran pun bertambah dari sebesar 9,86% pada tahun 2004 menjadi 10,84% pada tahun 2005.

Pada saat yang sama ketimpangan pendapatan pun melebar yang diindikasikan dengan rasio gini yang sebesar 0,28 pada tahun 2002 menjadi sebesar 0,34 pada tahun 2005. Visualisasinya berupa busung lapar, gizi buruk, kaum miskin tak bertempat tinggal, stress massal, sekolah rusak, dan seabreg masalah sosialekonomi lain di alam Indonesia yang sudah 61 tahun merdeka.


Melawan Konstitusi
Substansi (isi) UU PM yang tunduk pada "kebebasan kapital" nampak dengan berbagai dukungan kemudahan dan perlakuan istimewa pada kapital global. UU PM yang semestinya mengatur (regulasi) modal justru membebaskannya untuk setara dan bebas menelikung modal domestik (ekonomi rakyat), mengalihkan aset, dan merepatriasi keuntungan ke negara asal.
Alih-alih mengoreksi ketelanjuran dominasi modal asing, UU PM justru memberi segudang insentif bagi mereka untuk makin mengeruk kekayaan bangsa melalui insentif fiskal, hak guna/pakai bangunan/tanah yang lama, dan kemudahan imigrasi dan ijin impor. Korporasi asing juga dijamin tidak dinasionalisasi, bahkan diberi keleluasaan untuk ekspansi ke sektor-sektor ekonomi strategis (vital) karena dilunakkannya Daftar Negatif Investasi (DNI). Ungkapan kepentingan nasional dengan begitu tak lebih "pemanis" belaka. Negara yang perannya makin marginal (dikebiri) dan elit pemerintah-DPR yang masih silai dengan modal aing tidak memungkinkan hal itu dipertahankan.

UU PM yang mendorong korporatokrasi (asingisasi) memperjelas pengkhianata (perlawanannya) terhadap konstitusi, yaitu Pasal 33 UUD 1945, yang menegaskan arahan usaha bersama (kolektif) berasaskan kekeluargaan (kooperasi) sebagai basis perekonomian nasional. Pasal 33 UUD 1945 ayat (2) dan (3) pun jelas-jelas mengatur bahwa " cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat".

Undang-Undang perekonomian yang perlu disusun Pemerintah justru harus mengatur demokratisasi modal untuk memperluas distribusi modal (capital-sharing & collective ownership) kepada rakyat banyak, bukannya ke korporasi (asing). UU ini juga perlu mengatur mobilisasi modal domestik dan diputuskannya koperasi, ekonomi rakyat (UMKM), dan BUMN/BUMD Indonesia sebagai pilar kekuatan usaha (industri) ekonomi nasional. Dengan itu bangsa kita dapat melepaskan diri dari keterjajahan (dominasi) modal asing. Semoga.


Yogyakarta, 4 April 2007

REZIM EKONOMI IN-KONSTITUSIONAL


Awan Santosa



A. LATAR BELAKANG SEJARAH
1.1. Warisan Sistem Ekonomi Kolonial
1. Sejarah ekonomi bangsa Indonesia lekat dengan eksploitasi dan sub-ordinasi oleh bangsa lain. Keluar dari hisapan kongsi dagang monopolis VOC, ekonomi rakyat Indonesia dijerat sistem tanam paksa (cultuurstelsel-1830) yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda untuk memenuhi kebutuhan komoditi mereka (Eropa). 40 tahun kemudian (1870), giliran perusahaan swasta Belanda (asing) yang menguasai perkebunan kita melalui pemaksaan sistem kapitalis-liberal. Indonesia diperlakukan sebagai ondernaming besar dan penyedia buruh murah bagi pasar luar negeri. Ekonomi rakyat (pribumi) tetap sebagai korban keserakahan kolonialis hingga merdeka tahun 1945.
2. Sistem ekonomi kolonial mewariskan struktur ekonomi yang sangat timpang. Struktur ekonomi terkait dengan kekuasaan dan kemampuan ekonomi-politik sehingga mereka yang masuk dalam kelompok atas meskipun jumlahnya sedikit namun menguasai dan menikmati banyak surplus perekonomian nasional. Hal yang berkebalikan menimpa kelompok ekonomi bawah yang jumlahnya mayoritas namun menguasai dan menikmati hasil produksi dalam taraf yang sangat minimal. Gambaran riil perihal struktur ekonomi dapat diilustrasikan melalui hasil observasi Hatta yang memetakan struktur ekonomi Indonesia pada masa kolonial Belanda ke dalam tiga golongan besar:
1) Golongan Atas, yang terdiri dari bangsa Eropa (khususnya Belanda) yang menguasai dan menikmati hasil penjualan komoditi pertanian dan perkebunan di negeri jajahan mereka.
2) Golongan menengah, yang 90% terdiri dari kaum perantara perdagangan, khususnya dari etnis Tionghoa (China), yang mendistrubsikan hasil-hasil produksi masyarakat jajahan ke perusahaan besar dan ekonomi luaran. Dalam kelompok ini terdapat 10% bangsa Indonesia yang mampu menguasai dan menikmati hasil perekonomian karena mempunyai kekuasaan (jabatan) tertentu (elit), itu pun berada di posisi paling bawah pada lapisan ini.
3) Golongan bawah, yang terdiri dari massa rakyat pribumi yang bergerak pada perekonomian rakyat, yang tidak mampu menguasai dan menikmati hasil-hasil produksi mereka karena berada dalam sistem ekonomi kolonialis.
3. Dalam pandangan para founding fathers, terutama Soekarno-Hatta, merdeka berarti merdeka secara politik dan ekonomi. Untuk itu, pasca kemerdekaan perlu adanya reformasi sosial, yaitu suatu agenda nasional untuk mengganti sistem ekonomi kolonial dengan sistem ekonomi nasional, guna menghapus pola hubungan ekonomi yang timpang, eksploitatif dan sub-ordinatif terhadap ekonomi rakyat Indonesia dan mengubah struktur sosial-ekonomi warisan kolonial yang jauh dari nilai-nilai keadilan sosial tersebut.
"Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesa ialah demokrasi sosial, melingkupi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia" (Hatta, 1960).
4. Hal itu antara lain disebabkan oleh kesadaran Bung Hatta bahwa perbaikan kondisi ekonomi rakyat tidak mungkin hanya disandarkan pada proklamasi kemerdekaan. Perjuangan untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat harus terus dilanjutkan dengan mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional. Sebagaimana dikemukakan oleh Bung karno, yang dimaksud dengan struktur ekonomi nasional adalah sebuah struktur perekonomian yang ditandai oleh meningkatnya peran serta rakyat Indonesia dalam penguasaan modal atau faktor-faktor produksi di tanah air.
5. Reformasi sosial hanya dimungkinkan melalui demokratisasi ekonomi, di mana kolektivitas (kekeluargaan dan kebersamaan) menjadi dasar pola produksi dan distribusi (mode ekonomi). Sebagaimana ditulis Hatta, "Di atas sendi yang ketiga (cita-cita tolong-menolong—pen.) dapat didirikan tonggak demokrasi ekonomi. Tidak lagi orang seorang atau satu golongan kecil yang mesti menguasai penghidupan orang banyak seperti sekarang, melainkan keperluan dan kemauan rakyat yang banyak harus menjadi pedoman perusahaan dan penghasilan. Sebab itu, segala tangkai penghasilan besar yang mengenai penghidupan rakyat harus berdasar pada milik bersama dan terletak di bawah penjagaan rakyat dengan perantaraan Badan-badan perwakilannya" (Hatta, 1932).
1.2. Cita-Cita Konstitusional
1. Agenda reformasi sosial berupa demokratisasi ekonomi untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia telah dirumuskan sebagai cita-cita konstitusional yang termaktub dalam dalam filosofi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal 33. Muhammad Hatta merumuskannya dalam sebuah konsep tentang Sistem Ekonomi Indonesia, yaitu Sistem Ekonomi Kerakyatan. Dalam Sistem Ekonomi Kerakyatan, semua aktivitas ekonomi harus disatukan dalam organisasi koperasi sebagai bangun usaha yang sesuai dengan asas kekeluargaan. Hanya dalam asas kekeluargaan dapat diwujudkan prinsip demokrasi ekonomi, yaitu produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, sedangkan pengelolaannya dipimpin dan diawasi oleh anggota masyarakat sendiri. Konsep Sistem Ekonomi Kerakyatan inilah yang kemudian dituangkan dalam UUD 1945 sebagai dasar sistem perekonomian nasional.
2. Pilar Sistem Ekonomi Indonesia yang sejalan dengan agenda reformasi sosial dan kemudian dituangkan dalam UUD 1945 pasal 33 tersebut meliputi:
1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3) Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Berdasarkan pasal tersebut, tercantum dasar demokrasi ekonomi, di mana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran perorang. Oleh sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Bentuk usaha yang sesuai dengan prinsip tersebut adalah koperasi..
3. Berdasar cita-cita konstitusional tersebut maka dapat dipahami perlunya peran negara yang kuat untuk menyusun (mengatur) perekonomian (tatanan, bangun usaha, dan wadah ekonomi) nasional dan dihindarkannya perekonomian nasional yang (kembali) dikuasai bangsa dan korporasi asing (kekuatan pasar bebas). Negara perlu mengarahkan agar bangun usaha ekonomi yang tumbuh berkembang adalah bangun usaha yang bertumpu pasa usaha bersama (kolektivitas) dan berasas kekeluargaan (kebersamaan) seperti-halnya koperasi, dan bukannya (kembali) bertumpu pada asas perorangan (individual-korporasi) dan persaingan bebas (kapitalistik-liberal).
4. Berpijak pada dasar hukum itu pula maka negara berperan vital dalam menguasai dan mengelola cabang (faktor-faktor) produksi dan aset strategis nasional yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yang pengelolaannya dilakukan melalui keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Peranan swasta dimungkinkan sebatas pada aktivitas ekonomi yang faktor produksinya tidak berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Hal ini karena sesuai amanat konstitusi (penjelasan Pasal 33) bahwa jika tampuk produksi jatuh ke tangan orang perorang, maka rakyat yang banyak akan ditindasinya. Persis akan terjadi kembali seperti pada era sistem ekonomi kolonial di mana ekonomi rakyat ditindasi pemerintah dan korporasi asing (kolonial).

B. REALITAS EKONOMI KEKINIAN: APA YANG TIDAK BERUBAH?

1. Realitas ekonomi yang berkembang di Indonesia masih jauh dari perwujudan ekonomi kerakyatan sesuai amanat kontitusi, utamanya sila-sila dalam Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945. Bahkan yang terjadi adalah pengabaian amanat konstitusi, termasuk dengan mengamandemen Penjelasan Pasal 33 UUD 1945, -terakhir dengan disahkannya UU Penanaman Modal-, yang ternyata berakhir dengan masih tingginya tingkat pengangguran (10,2 juta jiwa), kemiskinan (35 juta jiwa), ketimpangan ekonomi, dan kerusakan ekologis (lingkungan). Hal ini terjadi dalam kerangka dominasi jaringan modal internasional terhadap penguasaan faktor-faktor produksi (mineral/pertambangan dan perbankan) dan keterjebakan ekonomi Indonesia pada utang luar negeri (debt-trap), sehingga memunculkan pola hubungan (antarpelaku) ekonomi yang tidak setimbang dan cenderung eksploitatif-sub-ordinatif, baik dalam lingkup domestik maupun internasional.
2. Berbagai indikasi faktual yang mendukung pernyataan di atas di antaranya adalah:
1). Privatisasi BUMN (Indosat, Telkom, Semen Gresik) dan aset-aset strategis (mineral tambang, migas, air, dan hutan) nasional telah mengakibatkan beralihnya penguasaan tampuk produksi dari negara (rakyat) ke korporasi asing. Padahal kedua tampuk produksi tersebut terkait erat dengan hajat hidup orang banyak, prospektif (profitable), dan telah dikelola dengan banyak menyedot anggaran negara (subsidi).
2) Korporasi besar (MNC) menguasai dan mengelola berbagai sumber daya strategis (yang menguasai hajat hidup orang banyak- sekitar 80%) di berbagai daerah dengan kontraprestasi yang sangat minimal terhadap daerah tersebut. Di tengah pengurasan besar-besaran SDA, yang sebagian merusak lingkungan, rakyat kecil di daerah tetap saja miskin dan makin tercerabut dari mode produksi (sumber penghidupan) mereka (hutan, sungai, ikan, dan kebun).
3) Pekerja di Indonesia masih berada pada kondisi (taraf) kesejahteraan yang rendah. Penghasilan (upah) yang mereka terima nilainya kurang dari 5% total nilai omzet perusahaan seluruh Indonesia. Sebagian besar hasil produksi (penjualan) dinikmati oleh top management, pemegang saham (shareholder-asing), dan elit perkotaan yang bisnisnya dibiayai dari dukungan dana perusahaan (iklan).
4) Meluasnya kepemilikan asing dan dominasi korporasi berakibat besarnya aliran uang ke luar (negative net tranfer). Aliran uang keluar ini bersumber dari hak sosial ekonomi pekerja, eksploitasi aset (SDA) di daerah, dan aset strategis (BUMN) nasional yang mengalir ke pemegang saham (shareholder) asing, di tambah lagi dengan beban bunga dan pokok utang luar negeri yang dibayar per tahun dengan seperempat APBN.
3. Peranan ekonomi rakyat dan koperasi dalam penguasaan faktor-faktor produksi sangat minimal, tidak sebanding dengan sumbangannya dalam penyerapan tenaga kerjanya. Bahkan peranannya berangsur-angsur kian terpinggirkan seiring arus globalisasi ekonomi yang telah merombak mode produksi menjadi wujudnya yang kian kapitalistik-liberal dewasa ini. Kondisi ini ditunjukkan dengan peranan terhadap PDB dan pangsa pasar (share) dari UMKM yang jauh lebih rendah dibanding Usaha Besar Konglomerasi (UBK) seperti tabel di bawah ini:

4. Pelaku UMKM yang berjumlah 40,1 juta atau 99,8% dari total pelaku ekonomi rakyat hanya menikmati 39,8% dari proses produksi (PDB) dibanding UBK yang sebesar 60,2%. Pada saat yang sama mereka hanya mendapat 20% pangsa pasar yang 80%-nya sudah dikuasai UBK. Ketimpangan lain ditunjukkan dalam sumbangannya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Segelintir unit usaha besar tersebut merupakan "mesin" pertumbuhan yang memberi andil 83,6 persen atas laju perekonomian Indonesia. Padahal lapangan pekerjaan lebih banyak tercipta di sektor UMKM ini. Situasi ini membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi tidak akan berarti banyak bagi kesejahteraan rakyat (kemiskinan dan pengangguran) seperti yang ditunjukkan selama dua tahun terakhir ini.
5. Pemerintahan SBY-Kalla dan teknokrat ekonominya masih tersandera oleh paradigma dan kebijakan ekonomi rezim-rezim sebelumnya. Mereka tetap saja bicara dan mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi dan investasi skala besar (asing). Persis yang dipikir dan dikejar rezim Orba yang hendak direformasi. Pemerintah lebih sigap menyediakan infrastruktur-infrastruktur yang diperlukan korporat besar, termasuk giat mengembangkan basis-basis produksi berskala besar, ketimbang secara konsisten menerapkan agenda-agenda demokratisasi ekonomi (pemberdayaan ekonomi rakyat). Pasar rakyat berhadapan dengan maraknya pembangunan super-mall, sementara investasi oleh ekonomi rakyat dipandang sebelah mata karena silaunya pada investasi asing. Undang-Undang yang ramah investor asing pun dipersiapkan sepertihalnya RUU Penanaman Modal dan RUU Transportasi.
6. Marjinalisasi peran negara, yang sudah lebih dulu dilakukan terhadap peran ekonomi rakyat, dilakukan melalui desakan penghapusan subsidi untuk kepentingan publik. Dalam perspektif ekonomi neoliberal, barang-barang dan jenis-jenis pelayanan publik harus ditranformasikan menjadi barang (pelayanan) privat. Hal ini untuk mengalihkan kekuasaan (kedaulatan) sebesar-besar pada pasar, yang didominasi jaringan modal internasional. Oleh karena itu, berbagai jenis proteksi, utamanya subsidi dan tarif harus dihapuskan. Tak heran jika kini biaya pendidikan dan kesehatan menjadi makin mahal, walaupun ada "iming-iming" berbagai skema jaminan sosial.
7. Mengaca pada sejarah kepentingan modal internasional di atas, kiranya dapat dipahami bahwa liberalisasi ekonomi yang sudah, sedang atau akan terjadi ,seperti dalam aspek nilai tukar, rezim devisa, perdagangan, pertanian, dan sebentar lagi pendidikan, adalah bagian dari strategi untuk mengokohkan hegemoni kekuasaaan (kepentingan) jaringan modal internasional. Dan menjadi jelas bahwa amandemen pasal 33 UUD’45, privatisasi BUMN (Indosat, Semen Gresik, dan Telkomsel), privatisasi pengelolaan sumber daya air, dan liberalisasi migas (kenaikan harga BBM dan beroperasinya korporat migas di sektor hilir) tidak lain adalah cerita lanjutan dari dominasi neoliberalisme (neo-imperialisme) dalam kebijakan ekonomi pemerintah.
8. Muara agenda neoliberal adalah beralihnya tampuk produksi dari negara ke korporat, sama sekali bukan ke rakyat banyak (masyarakat). Pola produksi dan konsumsi nasional pun makin dibentuk oleh kebebasan (kekuatan) pasar internasional, sehingga tidak lagi menerima prioritas (pengutamaan) kepentingan nasional. Bangsa kita digiring untuk sekedar menjadi bangsa konsumen (menikmati produk murah-sesaat) atau paling banter menjadi "bangsa makelar" (menjual produk asing-impor), yang melupakan upaya membangun industri nasional dan kewirausahaan berbasis ekonomi rakyat dan sumber daya lokal. Parahnya lagi bangsa kita kembali hanya akan menjadi bangsa kuli yang tunduk dan melayani pihak (bangsa) asing.
9. Kebijakan neoliberal membuat nasib rakyat kecil (penduduk miskin) tetap saja belum terangkat, bahkan cenderung makin merosot. Hal ini diindikasikan dengan tingkat kemiskinan yang justru meningkat dari sebesar 16,7 % di tahun 2004 menjadi 17,75 pada tahun 2006. Tingkat pengangguran pun justru meningkat dari sebesar 9,86% pada tahun 2004 menjadi 10,84% pada tahun 2005. Pada saat yang sama ketimpangan pendapatan pun meningkat yang diindikasikan dengan rasio gini yang sebesar 0,28 pada tahun 2002 menjadi sebesar 0,34 pada tahun 2005. Kondisi ini menegaskan kekeliruan dan kegagalan kerangka kebijakan neoliberal yang berorientasi pertumbuhan ekonomi melalui peranan modal besar (asing). Pertumbuhan ekonomi yang meningkat dari sebesar 4,6% sepanjang 2001-2004 menjadi sebesar 5,6% pada tahun terbukti tidak berkorelasi signifikan dengan pengurangan pengangguran dan kemiskinan karena bertumpu pada investasi padat modal yang setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1% hanya dapat menyerap 200.000-250.000 tenaga kerja.
10. Nilai Tukar Petani sekarang merupakan yang terendah sejak 10 tahun terakhir. Kondisi ini ditunjang dengan kebijakan pemerintah yang kontradiktif dengan agenda tersebut, seperti halnya pengurangan subsidi pupuk, impor beras, daging, dan buah-buahan. Pada saat yang sama kesejahteraan buruh industri juga merosot, di mana upah buruh industri riel juga tumbuh negatif selama satu tahun terakhir. Kemerosotan sektor riil, yang juga merupakan dampak liberalisasi migas yang berimplikasi pada kenaikan harga BBM industri, nampak pada merosotnya Indek Produksi Padat Karya, seperti tekstil sebesar 11%, pakaian jadi sebesar 13%, dan barang dari logam sebesar 10%. Dalam pada itu, resistensi buruh terhadap rencana pemerintah untuk mengamandemen UU Ketenagakerjaan mengindikasikan inkonsistensi pemerintah dalam melakukan perbaikan iklim ketenagakerjaan.
11. Merosotnya kualitas (kehancuran) lingkungan hidup yang telah berlangsung sejak era Orde Baru hingga kini akibat over-eksploitasi terindikasikan dengan berbagai bencana (seperti banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan), pencemaran air, sungai, dan udara. Ketidakberdayaan pemerintah untuk menjalankan agenda-agenda peningkatan kualitas lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam terkait dengan liberalisasi pengelolaan SDA di mana banyak aset-aset SDA yang dikuasai oleh modal asing dan domestik melalui kontrak-kontrak karya.
12. Indikasi merosotnya kualitas (moral) manusia Indonesia akibat terlalu berorientasi hanya pada pertumbuhan ekonomi (materialistik) yang sekaligus mengindikasikan dominasi (hegemoni) budaya Barat adalah massifnya degradasi moral dan sosial yang tercermin dengan menjamurnya aktivitas bisnis hiburan malam dan di kota-kota besar dan sudah merambah di sebagian wilayah-wilayah perdesaan, erotisme yang dibungkus media hiburan, dan pola perilaku (termasuk berpakaian) anak-anak muda yang sama sekali abai dengan kaidah agama dan norma kesopanan. Kondisi ini menunjukkan tidak seriusnya (ketidaklberdayaan) pemerintah dalam merealisasikan agenda pembangunan karakter bangsa (character building).
13. Makin jelas bahwa kegagalan pembangunan adalah refleksi dari kegagalan ideologis. Bukan saja perspektif neo-liberal telah menjebak cara berpikir pemerintah yang makin parsial-reduksionistik, melainkan juga telah menggiring kita untuk meyakini kebenaran dan kesahihan tampilan (indikator) pembangunan ekonomi konvensional. Keterpurukan ekonomi rakyat saat ini menguak betapa indikator-indikator kemajuan ekonomi konvensional yang diulas dalam kacamata pemerintah memiliki banyak kelemahan mendasar. Indikator tersebut ternyata tidak serta merta relevan dan cukup untuk menggambarkan kesejahteraan ekonomi rakyat kecil. Bahkan indikator-indikator tersebut juga tidak cukup mampu memberi rupa kondisi perekonomian nasional yang sesungguhnya.
14. Secara umum sumbangan APBN yang hanya sebesar 21,3% dari PDB membuktikan masih lemahnya peranan pemerintah dalam perekonomian nasional. Terlebih karena setiap tahun pemerintah mempunyai kewajiban membayar cicilan pokok dan bunga utang luar negeri yang kurang lebih menguras sepertiga (30%) pengeluaran APBN. Hal ini tercermin dalam pengeluaran fungsi pelayanan umum sebesar 8,7% dan merupakan yang terbesar di tahun 2006 yang ternyata tidak menggambarkan realitas alokasi yang sesungguhnya. Hal ini karena di dalam fungsi alokasi itulah berisi alokasi pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri tersebut.
15. Ketidakberdayaan dan lemahnya komitmen pemerintah SBY-Kalla juga nampak pada pengeluaran yang paling langsung berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat yang tidak meningkat secara signifikan dari tahun 2005 ke 2006. Pengeluaran untuk fungsi kesehatan dan perlindungan sosial sama sekali tidak mengalami perubahan, sedangkan pengeluaran untuk pendidikan sumbangannya terhadap PDB hanya meningkat 0,1%. Kondisi ini jelas sangat jauh dari realisasi tugas negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan kesejahteraan umum. Lebih lanjut ini merupakan kegagalan pemerintah dalam mengelola kekayaan nasional yang diamanatkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Hal ini dapat terjadi karena jerat utang luar negeri, dominasi korporasi asing, korupsi, lemahnya supremasi hukum, dan dampak liberalisasi ekonomi di berbagai sektor.
16. Di balik itu, seringkali disain kebijakan yang terkait dengan politik anggaran pemerintah justru menjadi acuan pelaksanaan agenda pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Hal ini misalnya terjadi pada kebijakan untuk menjual aset-aset BUMN (privatisasi) dan kenaikan harga BBM pada tahun 2005 yang semata-mata "mengejar setoran" untuk membiayai defisit APBN karena utang luar negeri dan tekanan modal internasional. Beban pembayaran bunga untuk utang dalam negeri sebesar Rp 42,3 trilyun dan bunga untuk utang luar negeri sebesar Rp 24,4 trilyun. Untuk bunga saja sebesar Rp 65,7 trilyun. Pembayaran cicilan utang pokok dalam negeriyang jatuh tempo sebesar Rp 21,2 trilyun dan luar negeri sebesar Rp 44,4 trilyun. Pembayaran cicilan utang pokok seluruhnya sebesar Rp 65,5 trilyun. Beban utang seluruhnya sebesar Rp 131,2 trilyun.
17. Bertolak dari realitas dan masalah struktural perekonomian Indonesia di atas maka sudah saatnya pemerintah bersama-sama dengan rakyat kembali ke jalur yang benar dengan menunaikan amanat konstitusi dan kembali pada agenda reformasi sosial untuk menegakkan demokrasi ekonomi (ekonomi kerakyatan) sebagai basis perekonomian nasional dan bagian yang tidak terpisahkan dari proses demokratisasi politik Indonesia.



C. KONSEPSI SISTEM EKONOMI KERAKYATAN

1.1. Pengertian Sistem Ekonomi Kerakyatan
Ekonomi kerakyatan (Demokrasi ekonomi) adalah sistem ekonomi nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, di mana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat (rakyat) dalam mengendalikan jalannya roda perekonomian (Baswir, 1993).
1.2. Landasan Konstitusional Sistem Ekonomi Kerakyatan
Sistem Ekonomi Kerakyatan merupakan sistem ekonomi yang mengacu pada amanat konstitusi nasional, sehingga landasan konstitusionalnya adalah produk hukum yang mengatur (terkait dengan) perikehidupan ekonomi nasional yaitu:
1) Pancasila (Sila Ketuhanan, Sila Kemanusiaan, Sila Persatuan, Sila Kerakyatan, dan Sila Keadilan Sosial)
2) Pasal 27 ayat (2) UUD 1945: "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan".
3) Pasal 28 UUD 1945: ""Kemerdekaan bersrikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tertulis dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang."
4) Pasal 31 UUD 1945: "Negara menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan"
5) Pasal 33 UUD 1945:
1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3) Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
6). Pasal 34 UUD 1945: "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara."

1.3. Substansi Sistem Ekonomi Kerakyatan
Berdasarkan bunyi kalimat pertama penjelasan Pasal 33 UUD 1945, dapat dirumuskan perihal substansi ekonomi kerakyatan dalam garis besarnya mencakup tiga hal sebagai berikut.
1. Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses pembentukan produksi nasional. Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses pembentukan produksi nasional menempati kedudukan yang sangat penting dalam sistem ekonomi kerakyatan. Hal itu tidak hanya penting untuk menjamin pendayagunaan seluruh potensi sumberdaya nasional, tetapi juga penting sebagai dasar untuk memastikan keikutsertaan seluruh anggota masyarakat turut menikmati hasil produksi nasional tersebut. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan, "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian."
2. Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam turut menikmati hasil produksi nasional. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan, harus ada jaminan bahwa setiap anggota masyarakat turut menikmati hasil produksi nasional, termasuk para fakir miskin dan anak-anak terlantar. Hal itu antara lain dipertegas oleh Pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan, "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara." Dengan kata lain, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, negara wajib menyelenggarakan sistem jaminan sosial bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar di Indonesia.
3. Kegiatan pembentukan produksi dan pembagian hasil produksi nasional itu harus berlangsung di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, anggota masyarakat tidak boleh hanya menjadi objek kegiatan ekonomi. Setiap anggota masyarakat harus diupayakan agar menjadi subjek kegiatan ekonomi. Dengan demikian, walau pun kegiatan pembentukan produksi nasional dapat dilakukan oleh para pemodal asing, tetapi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan itu harus tetap berada di bawah pimpinan dan pengawasan anggota-anggota masyarakat. Unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga ini mendasari perlunya partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam turut memiliki modal atau faktor-faktor produksi nasional. Modal dalam hal ini tidak hanya terbatas dalam bentuk modal material (material capital), tetapi mencakup pula modal intelektual (intelectual capital) dan modal institusional (institusional capital). Sebagai konsekuensi logis dari unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga itu, negara wajib untuk secara terus menerus mengupayakan terjadinya peningkatkan kepemilikan ketiga jenis modal tersebut secara relatif merata di tengah-tengah masyarakat. Negara wajib menjalankan misi demokratisasi modal melalui berbagai upaya sebagai berikut:
1) Demokratisasi modal material; negara tidak hanya wajib mengakui dan melindungi hak kepemilikan setiap anggota masyarakat. Negara juga wajib memastikan bahwa semua anggota masyarakat turut memiliki modal material. Jika ada di antara anggota masyarakat yang sama sekali tidak memiliki modal material, dalam arti terlanjur terperosok menjadi fakir miskin atau anak-anak terlantar, maka negara wajib memelihara mereka.
2) Demokratisasi modal intelektual; negara wajib menyelenggarakan pendidikan nasional secara cuma-cuma. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, penyelenggaraan pendidikan berkaitan secara langsung dengan tujuan pendirian negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan tidak boleh dikomersialkan. Negara memang tidak perlu melarang jika ada pihak swasta yang menyelenggarakan pendidikan, tetapi hal itu sama sekali tidak menghilangkan kewajiban negara untuk menanggung biaya pokok penyelenggaraan pendidikan bagi seluruh anggota masyarakat yang membutuhkannya.
3) Demokratisasi modal institusional; tidak ada keraguan sedikit pun bahwa negara memang wajib melindungi kemerdekaan setiap anggota masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Secara khusus hal itu diatur dalam Pasal 28 UUD 1945, "Kemerdekaan bersrikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tertulis dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang." Kemerdekaan anggota masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat tersebut tentu tidak terbatas dalam bentuk serikat-serikat sosial dan politik, tetapi meliputi pula serikat-serikat ekonomi. Sebab itu, tidak ada sedikit pun alasan bagi negara untuk meniadakan hak anggota masyarakat untuk membentuk serikat-serikat ekonomi seperti serikat tani, serikat buruh, serikat nelayan, serikat usaha kecil-menengah, serikat kaum miskin kota dan berbagai bentuk serikat ekonomi lainnya, termasuk mendirikan koperasi.

1.4. Ciri (Karakteristik) Sistem Ekonomi Kerakyatan
1) Peranan vital negara (pemerintah). Sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945, negara memainkan peranan yang sangat penting dalam sistem ekonomi kerakyatan. Peranan negara tidak hanya terbatas sebagai pengatur jalannya roda perekonomian. Melalui pendirian Badan-badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu untuk menyelenggarakan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, negara dapat terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan berbagai kegiatan ekonomi tersebut. Tujuannya adalah untuk menjamin agar kemakmuran masyarakat senantiasa lebih diutamakan daripada kemakmuran orang seorang, dan agar tampuk produksi tidak jatuh ke tangan orang seorang, yang memungkinkan ditindasnya rakyat banyak oleh segelintir orang yang berkuasa.
2) Efisiensi ekonomi berdasar atas keadilan, partisipasi, dan keberlanjutan. Tidak benar jika dikatakan bahwa sistem ekonomi kerakyatan cenderung mengabaikan efisiensi dan bersifat anti pasar. Efisiensi dalam sistem ekonomi kerakyatan tidak hanya dipahami dalam perspektif jangka pendek dan berdimensi keuangan, melainkan dipahami secara komprehensif dalam arti memperhatikan baik aspek kualitatif dan kuantitatif, keuangan dan non-keuangan, maupun aspek kelestarian lingkungan. Politik ekonomi kerakyatan memang tidak didasarkan atas pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas, melainkan atas keadilan, partisipasi, dan keberlanjutan.
3) Mekanisme alokasi melalui perencanaan pemerintah, mekanisme pasar, dan kerjasama (kooperasi). Mekanisme alokasi dalam sistem ekonomi kerakyatan, kecuali untuk cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, tetap di dasarkan atas mekanisme pasar. Tetapi mekanisme pasar bukan satu-satunya. Selain melalui mekanisme pasar, alokasi juga didorong untuk diselenggaran melalui mekanisme usaha bersama (koperasi). Mekanisme pasar dan koperasi dapat diibaratkan seperti dua sisi dari sekeping mata uang yang sama dalam mekanisme alokasi sistem ekonomi kerakyatan.
4) Pemerataan penguasaan faktor produksi. Dalam rangka itu, sejalan dengan amanat penjelasan pasal 33 UUD 1945, penyelenggaraan pasar dan koperasi dalam sistem ekonomi kerakyatan harus dilakukan dengan terus menerus melakukan penataan kelembagaan, yaitu dengan cara memeratakan penguasaan modal atau faktor-faktor produksi kepada segenap lapisan anggota masyarakat. Proses sistematis untuk mendemokratisasikan penguasaan faktor-faktor produksi atau peningkatan kedaulatan ekonomi rakyat inilah yang menjadi substansi sistem ekonomi kerakyatan.
5) Koperasi sebagai sokoguru perekonomian. Dilihat dari sudut Pasal 33 UUD 1945, keikutsertaan anggota masyarakat dalam memiliki faktor-faktor produksi itulah antara lain yang menyebabkan dinyatakannya koperasi sebagai bangun perusahaan yang sesuai dengan sistem ekonomi kerakyatan. Sebagaimana diketahui, perbedaan koperasi dari perusahaan perseroan terletak pada diterapkannya prinsip keterbukaan bagi semua pihak yang mempunyai kepentingan dalam lapangan usaha yang dijalankan oleh koperasi untuk turut menjadi anggota koperasi (Hatta, 1954, hal. 218)
6) Pola hubungan produksi kemitraan, bukan buruh-majikan. Pada koperasi memang terdapat perbedaan mendasar yang membedakannya secara diametral dari bentuk-bentuk perusahaan yang lain. Di antaranya adalah pada dihilangkannya pemilahan buruh-majikan, yaitu diikutsertakannya buruh sebagai pemilik perusahaan atau anggota koperasi. Sebagaimana ditegaskan oleh Bung Hatta, "Pada koperasi tak ada majikan dan tak ada buruh, semuanya pekerja yang bekerjasama untuk menyelenggarakan keperluan bersama" (Ibid., hal. 203). Karakter utama ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi pada dasarnya terletak pada dihilangkannya watak individualistis dan kapitalistis dari wajah perekonomian Indonesia. Secara mikro hal itu antara lain berarti diikutsertakannya pelanggan dan buruh sebagai anggota koperasi atau pemilik perusahaan. Sedangkan secara makro hal itu berarti ditegakkannya kedaulatan ekonomi rakyat dan diletakkannya kemakmuran masyarakat di atas kemakmuran orang seorang.
7) Kepemilikan saham oleh pekerja. Dengan diangkatnya kerakyatan atau demokrasi sebagai prinsip dasar sistem perekonomian Indonesia, prinsip itu dengan sendirinya tidak hanya memiliki kedudukan penting dalam menentukan corak perekonomian yang harus diselenggarakan oleh negara pada tingkat makro. Ia juga memiliki kedudukan yang sangat penting dalam menentukan corak perusahaan yang harus dikembangkan pada tingkat mikro. Perusahaan hendaknya dikembangkan sebagai bangun usaha yang dimiliki dan dikelola secara kolektif (kooperatif) melalui penerapan pola-pola Kepemilikan Saham oleh Pekerja. Penegakan kedaulatan ekonomi rakyat dan pengutamaan kemakmuran masyarakat di atas kemakmuran orang seorang hanya dapat dilakukan dengan menerapkan prinsip tersebut

1.5. Tujuan dan Sasaran Sistem Ekonomi Kerakyatan
Bertolak dari uraian tersebut, dapat ditegaskan bahwa tujuan utama penyelenggaraan sistem ekonomi kerakyatan pada dasarnya adalah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui peningkatan kemampuan masyarakat dalam mengendalikan jalannya roda perekonomian. Bila tujuan utama ekonomi kerakyatan itu dijabarkan lebih lanjut, maka sasaran pokok ekonomi kerakyatan dalam garis besarnya meliputi lima hal berikut:
1. Tersedianya peluang kerja dan penghidupan yang layak bagi seluruh anggota masyarakat.
2. Terselenggaranya sistem jaminan sosial bagi anggota masyarakat yang membutuhkan, terutama fakir miskin dan anak-anak terlantar.
3. Terdistribusikannya kepemilikan modal material secara relatif merata di antara anggota masyarakat.
4. Terselenggaranya pendidikan nasional secara cuma-cuma bagi setiap anggota masyarakat.
5. Terjaminnya kemerdekaan setiap anggota masyarakat untuk mendirikan dan menjadi anggota serikat-serikat ekonomi.

1.6. Operasionalisasi Sistem Ekonomi Kerakyatan
Dalam rangka itu, agar reformasi sosial melalui penyelenggaraan ekonomi kerakyatan tidak hanya berhenti pada tingkat konsep, sejumlah agenda kongkret ekonomi kerakyatan harus segera diangkat kepermukaan. Dalam garis besarnya terdapat beberapa agenda pokok operasionalisasi sistem ekonomi kerakyatan yang perlu mendapat perhatian. Agenda-agenda tersebut adalah inti dari politik ekonomi kerakyatan dan merupakan titik masuk untuk menyelenggarakan sistem ekonomi kerakyatan dalam jangka panjang.
1. Penghapusan sebagian utang luar negeri lama yang tergolong sebagai utang najis atau utang kriminal, dan penghentian pembuatan utang luar negeri baru untuk mengurangi tekanan terhadap neraca pembayaran dan untuk menggerakkan roda perekonomian nasional. Sebagian utang luar negeri lama perlu dihapus sebab pemberiannya tidak hanya ditengarai sarat dengan unsur manipulasi yang dilakukan oleh para kreditur, tetapi pemanfaatannya juga ditengarai cenderung diselewengkan oleh para pejabat yang berkuasa untuk memperkaya diri dan kelompok mereka sendiri. Sedangkan pembuatan utang luar negeri baru perlu dihentikan, sebab pembuatannya yang lebih banyak ditujukan untuk menjaga keseimbangan neraca pembayaran dan membangun berbagai proyek yang bersifat memfasilitasi penanaman modal asing di sini. Selain tidak bermanfaat bagi peningkatan kemakmuran rakyat, pembuatan utang luar negeri baru hanya akan menyebabkan semakin terpuruknya perekonomian Indonesia ke dalam perangkap utang.
2. Peningkatan disiplin pengelolaan keuangan negara dengan tujuan untuk memerangi KKN dalam segala dimensi dan bentuknya. Salah satu tindakan yang perlu diprioritaskan dalam hal ini adalah penghapusan dana-dana non-bujeter yang tersebar secara merata pada hampir semua instansi pemerintah. Melalui peningkatan disiplin pengelolaan keuangan negara ini, diharapkan tidak hanya dapat diketahui volume pendapatan dan belanja negara yang sesungguhnya, tetapi pada saat yang sama, nilai tambah dari berbagai komponen keuangan negara itu terhadap peningkatan kualitas pelayanan publik dapat ditingkatkan pula.
3. Penciptaan lingkungan berusaha yang kondusif terutama untuk menjamin terselenggaranya mekanisme alokasi secara berkepastian dan berkeadilan. Mekanisme alokasi yang berkepastian dan berkeadilan merupakan satu-satunya tata kelembagaan yang dapat diandalkan untuk menghindari terjadinya konsentrasi dan kesewenang-wenangan ekonomi oleh segelintir pengusaha besar. Dalam rangka itu, peranan negara dalam penyelenggaraan perekonomian nasional sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945, wajib dipertahankkan. Peranan ekonomi negara tidak hanya terbatas sebagai pembuat dan pelaksana peraturan. Melalui pengelolaan keuangan negara yang disiplin dan penyelenggaraan BUMN yang sehat, negara memiliki kewajiban dalam memenuhi hak-hak dasar ekonomi setiap warga negara.
4. Peningkatan alokasi sumber-sumber penerimaan negara dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Hal ini terutama harus diselenggarakan dengan melakukan pembagian pendapatan (revenue and tax sharring), dan dengan melakukan demokratisasi BUMN melalui pengikutsertaan pemerintah daerah, karyawan BUMN, customer BUMN, koperasi, dan BUMD sebagai pemilik saham BUMN yang menggali sumberdaya alam yang terdapat di daerah. Dengan kepemilikan tersebut, secara otomatis warga masyarakat yang diwakili oleh pemerintah daerah yang bersangkutan akan turut menikmati bagian keuntungan dengan proporsi yang sama. Selain itu, melalui peran pengawasan DPRD, masyarakat akan memiliki peluang untuk secara langsung mengawasi sepak terjang BUMN yang bersangkutan. Pada level daerah perlu diupayakan demokratisasi BUMD melalui perluasan kepemilikan saham (share) BUMD oleh pekerja, pelanggan, koperasi, dan masyarakat luas lainnya.
5. Pemenuhan dan perlindungan hak-hak dasar para pekerja serta peningkatan partisipasi para pekerja dalam penyelenggaraan perusahaan. Sesuai dengan amanat Pasal 27 ayat 2 UUD 1945, setiap warga negara Indonesia tidak hanya berhak mendapatkan pekerjaaan, tetapi juga berhak mendapatkan penghidupan yang layak berdasarkan kemanusiaan. Dalam rangka itu, peningkatan partisipasi pekerja dalam penyelenggaraan perusahaan (demokrasi di tempat kerja), adalah bagian integral dari proses pemenuhan dan perlindungan hak-hak dasar para pekerja tersebut. Hal ini setidak-tidak dapat dimulai dengan meningkatkan partisipasi para pekerja dalam penyelenggaraan perusahaan, dengan menyelenggarakan program kepemilikan saham oleh pekerja (employee stock option program).
6. Pembatasan penguasaan lahan dan redistribusi pemilikan lahan pertanian kepada para petani penggarap. Penguasaan lahan pertanian secara berlebihan yang dilakukan oleh segelintir pejabat, konglomerat, dan petani berdasi sebagaimana berlangsung saat ini harus segera diakhiri. Sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA 1960, negara berhak mengatur peruntukan, penggunaan, persediaaan, dan pemeliharaan lahan pertanian bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hasil pengambilalihan lahan pertanian ini, ditambah dengan ribuan hektar lahan pertanian di bawah penguasaan negara lainnya, harus diredistribusikan kembali kepada para petani penggarap yang memang menggantungkan kelangsungan hidup segenap anggota keluarganya dari mengolah lahan pertanian.
7. Pembaharuan UU koperasi dan pembentukan koperasi-koperasi sejati dalam berbagai bidang usaha dan kegiatan. Koperasi sejati tidak sama dengan koperasi 'persekutuan majikan' ala Orde Baru yang keanggotaannya bersifat tertutup dan dibatasi pada segelintir pemilik modal sebagaimana saat ini banyak terdapat di Indonesia. Koperasi sejati adalah koperasi yang modalnya dimiliki secara bersama-sama oleh seluruh konsumen dan karyawan koperasi itu. Dengan kata lain, koperasi sejati adalah koperasi yang tidak mengenal diskriminasi sosial, agama, ras, dan antar golongan dalam menentukan kriteria keanggotaannya. Dengan berdirinya koperasi-koperasi sejati, pemilikan dan pemanfaatan modal dengan sendirinya akan langsung berada di bawah kendali anggota masyarakat.
8. Rekonstruksi (re-set up) kerangka makro dan indikator-indikator kemajuan riil rakyat Indonesia yang sesuai dengan kerangka Sistem Ekonomi Kerakyatan. Secara umum kerangka makro dan indikator penyelenggaraan ekonomi kerakyatan yang dapat dirumuskan meliputi:
1). Indikator tujuan (kesejahteraan umum dan keadilan sosial): tingkat kemiskinan (konsumsi per kapita), tingkat pengangguran, tingkat ketimpangan pendapatan (indek gini), Indek Pembangunan Manusia, Genuine Progress Indicator (GPI), Nilai tukar petani, dan upah riil buruh.
2). Indikator proses (demokratisasi ekonomi): proporsi kepemilikan faktor-faktor produksi (tanah, lahan, dan modal), Sumbangan ekonomi rakyat dan koperasi terhadap lapangan kerja dan PDB, sumbangan negara terhadap PDB, perusahaan yang menerapkan pola profit sharing dan kepemilikan saham oleh pekerja, net transfer keluar melalui repatriasi modal asing dan pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri, proporsi APBN untuk kesejahteraan umum (pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial).
3). Indikator pendukung (moneter dan fiskal): PDB, inflasi, nilai tukar, suku bunga, neraca pembayaran, cadangan devisa, suku bunga, pertumbuhan ekonomi, APBN, dan sebagainya.


Sebagai penutup perlu dikemukakan bahwa peningkatan kesejahteraan rakyat dalam rangka sistem ekonomi kerakyatan tidak didasarkan pada paradigma lokomotif, melainkan pada paradigma fondasi. Artinya, peningkatan kesejahteraan rakyat dalam rangka sistem ekonomi kerakyatan tidak lagi bertumpu pada dominasi pemerintah pusat, pasar ekspor, modal asing, dan perusahaan konglomerasi, melainkan pada kekuatan pemerintah daerah, sumberdaya domestik, partisipasi para pekerja, usaha pertanian rakyat, serta pada pengembangan koperasi sejati, yaitu yang berfungsi sebagai fondasi penguatan ekonomi rakyat.
Di tengah-tengah situasi perekonomian dunia yang dikuasai oleh kekuatan kapitalisme kasino seperti saat ini, kekuatan pemerintah daerah, sumberdaya dan pasar domestik, partisipasi para pekerja, usaha-usaha pertanian rakyat, serta jaringan koperasi sejati, sangat diperlukan sebagai fondasi tahan gempa keberlanjutan perekonomian Indonesia. Di atas fondasi ekonomi tahan gempa itulah selanjutnya sistem ekonomi kerakyatan yang berkeadilan, partisipatif, dan berkelanjutan akan diselenggarakan. Dengan melaksanakan ketujuh agenda ekonomi kerakyatan tersebut, mudah-mudahan bangsa Indonesia tidak hanya mampu keluar dari krisis, tetapi sekaligus mampu mewujudkan masyarakat yang adil-makmur sebagaimana pernah dicita-citakan oleh para Bapak Pendiri Bangsa.
Yogyakarta, 30 Maret 2007


BACAAN


Baswir, Revrisond (1995), Tiada Ekonomi Kerakyatan Tanpa Kedaulatan Rakyat, dalam
Baswir (1997), Agenda Ekonomi Kerakyatan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
_______________ (1999a), Dari Ekonomi Rakyat ke Ekonomi Kerakyatan, HU Jawa Pos, Surabaya, 25 Januari
_______________ (1999b), Menuju Politik Pembangunan Kerakyatan, Jurnal Bisnis dan Ekonomi Politik, Indef, Jakarta, Vol. 3 Nomor 2
_______________ (2000), Koperasi dan Kekuasaan Dalam Era Orde Baru, HU Kompas,
Jakarta, 1 Januari
_______________ (2002), Demokrasi Ekonomi dan Bung Hatta, dalam Sri-Edy Swasono, Bung
Hatta Bapak Kedaulatan Rakyat, Yayasan Hatta, Jakarta
Dahl, Robert A. (1992), Demokrasi Ekonomi: Sebuah Pengantar (diterjemahkanoleh
Ahmad Setiawan Abadi), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,
Djojohadikusumo, Sumitro (1996), Mengungkap 30 Persen Kebocoran Anggaran, Harian
Umum Republika, Jakarta, 12 Januari
Goerge, Susan (1999), A Short History of Neoliberalism: Twenty Years of Elite
Economics and Emerging Opportunities For Structural Change,
http://www.milleniumround.org
Hamid, Edy Suandi. (2005). Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: UII Press.
Hamid, Edy Suandi. (2004). Sistem Ekonomi, Utang Luar Negeri, dan Politik-Ekonomi, Yogyakarta: UII Press.
Hatta, Mohammad (1928), Indonesia Merdeka, diterbitkan kembali tahun 1976, Bulan
Bintang, Jakarta
_______________ (1932), Ke Arah Indonesia Merdeka, diterbitkan kembali dalam bentuk
edisi khusus tahun 1994, Dekopin, Jakarta
________________ (1933), Ekonomi Rakyat, dalam Hatta, Kumpulan Karangan Jilid 3,
Balai Buku Indonesia, Jakarta, 1954
_______________ (1934), Ekonomi Rakyat Dalam Bahaya, dalam Hatta, Kumpulan
Karangan, Jilid 3, Balai Buku Indonesia, Jakarta, 1954
_______________ (1952), Amanat Hari Koperasi Kedua, dalam Hatta, Kumpulan
Karangan Jilid 3, Balai Buku Indonesia, Jakarta, 1954
_______________ (1960), Demokrasi Kita, disunting dalam Swasono dan Ridjal (1992), UI
Press, Jakarta
_______________ (1980), Berpartisipasi Dalam Perjuangan Kemerdekaan Nasional
Indonesia, Yayasan Idayu, Jakarta
_______________ (1981), Indonesian Patriot (memoirs), disunting oleh CLM Penders, MA,
PhD., Gunung Agung, Singapura
Hudiyanto. (2004). Ke luar dari Ayun Pendulum Kapitalisme-Sosialisme. Yogyakarta: UMY Press.
Hudiyanto. (2001). Ekonomi Indonesia: Sistem dan Kebijakan. Yogyakarta: PPE UMY.
Hudson, Michael (2003), Super Imperialism: The Origin and Fundamentals of US World
Dominance, Pluto Press, London
Legge, J.D. (1993), Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan kelompok
Sjahrir, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta
Mrazek, Rudolf (1996), Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta
Noer, Deliar (1991), Mohammad Hatta: Biografi Politik, LP3ES, Jakarta
Mubyarto (1979), Gagasan dan Metode Berpikir Tokoh-tokoh Besar Ekonomi dan
Penerapannya Bagi Kemajuan Kemanusiaan (Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam
Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi UGM, Yogyakarta, 19 Maret 1979)
Perkins, John (2004), Confession on An Economic Hit Man, Berret- Koehler Publishers,
Inc., San Fransisco