Awan Santosa
Sejarah Kulinisasi
Sejarah ekonomi bangsa kita lekat dengan eksploitasi dan sub-ordinasi oleh bangsa lain. Ekonomi rakyat kita pun kenyang “diperkuli” dan dijadikan sapi perahan ekonomi besar, baik dari kalangan bangsa sendiri, dan terutama dari bangsa asing. Keluar dari hisapan kongsi dagang monopolis VOC, ekonomi rakyat kita dijerat sistem tanam paksa (cultuurstelsel-1830) yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda untuk memenuhi kebutuhan komoditi mereka (Eropa). 40 tahun kemudian (1870), giliran perusahaan swasta Belanda (asing) yang menguasai perkebunan kita melalui pemaksaan sistem kapitalis-liberal. Indonesia diperlakukan sebagai ondernaming besar dan penyedia buruh murah bagi pasar luar negeri. Ekonomi rakyat (pribumi) tetap sebagai kuli.
Bangsa Indoneisa adalah bangsa kuli dan kulinya bangsa-bangsa lain. Status-quonis inilah yang digugat Sukarno. Hatta pun bertekad keras bangsa ini harus menjadi tuan di negeri sendiri. Bagi mereka, merdeka berarti merdeka secara politik dan ekonomi. Untuk itu, pasca kemerdekaan perlu adanya reformasi sosial guna menghapus pola hubungan ekonomi yang timpang, eksploitatif dan sub-ordinatif terhadap ekonomi rakyat Indonesia. Namun, naluri untuk menghisap dan memperkuli bangsa lain (dan bangsa sendiri!) ternyata tetap (selalu?) ada. Atau karena juga kita yang begitu soft dan mudahnya dibodohi, dihisap dan diperkuli. Yang jelas, berurusan dengan sumber daya strategis Indonesia memanglah menggiurkan, sehingga tarik-menarik kepentingan merupakan hal yang masuk akal.
Naiknya rezim Orba pasca “krisis politik-ekonomi” yang menjatuhkan rezim Orla, pun tak lepas dari tarik-menarik ini. Paling tidak itulah yang digambarkan John Pilger dalam bukunya The New Rulers of The World (2002) perihal “kaplingisasi” kekayaan ekonomi Indonesia di era 67-an. Agenda ini dimuluskan melalui Konperensi Jenewa (1967) yang berakhir dengan kesepakatan di mana Freeport menguasai gunung tembaga di Papua, Konsorsium Eropa berhak atas nikel di Papua Barat, Alcoa mendapat tambang bouksit, dan Korporat Amerika, Perancis, dan Jepang kebagian hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua, dan Kalimantan. Birokrat berkolaborasi dengan korporat (pemodal asing) menguasai faktor (dan mode) produksi. Kulinisasi pun berlangsung kembali. Ekonomi rakyat-lah yang lagi-lagi menanggung beban, diperkuli, dihisap dan dimiskinkan. Hingga datang krisis moneter dan bergulirlah reformasi..
Neo-Kulinisasi ‘ala Korporatokrasi
Reformasi bergulir dalam koridor liberalisasi yang dipaksakan IMF dan Bank Dunia. Wajah politik kita memang berubah. Tapi arus besar yang kita ikuti masih sama : globalisme-pasar bebas. Mulailah era penggusuran terhadap daulat rakyat berganti menjadi era daulat pasar. Satu demi satu aset-aset strategis dijual ke pihak asing melalui skema privatisasi (rampokisasi?). Konstitusi-pun direka-ulang demi maksud ini. Pasal 33 (penjelasan) UUD ‘45 dihapus total, dus demokratisasi ekonomi dikerdilkan, koperasi pun direduksi hakekatnya. Muaranya adalah beralihnya tampuk produksi dari negara ke korporat, sama sekali bukan ke rakyat banyak (masyarakat). Pola produksi dan konsumsi nasional pun makin dibentuk oleh kebebasan (kekuatan) pasar internasional, sehingga tidak lagi menerima prioritas (pengutamaan) kepentingan nasional.
Pasar bebas inheren dengan kepentingan korporat dan negara maju untuk menegakkan korporatokrasi yang menelikung peran ideal pemerintah dan masyarakat. Bangsa kita digiring untuk sekedar menjadi bangsa konsumen (menikmati produk murah-sesaat) atau paling banter menjadi “bangsa makelar” (menjual produk asing-impor), yang melupakan upaya membangun industri nasional dan kewirausahaan berbasis ekonomi rakyat dan sumber daya lokal. Parahnya lagi ketika bangsa kita kembali hanya akan menjadi bangsa kuli yang tunduk dan melayani kepentingan pihak (bangsa) asing. Kita terus saja mengejar nilai tambah ekonomi, dan melupakan pentingnya nilai tambah sosial-kultural berupa kokohnya ideologi, budaya, martabat (harga diri) dan rasa percaya diri bangsa.
Pemerintahan dan teknokrat ekonomi SBY-Kalla pun masih tersandera oleh paradigma dan kebijakan ekonomi rezim-rezim sebelumnya. Mereka tetap saja bicara dan mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi dan investasi skala besar (asing). Persis yang dipikir dan dikejar rezim Orba yang maunya direformasi. Pemerintah lebih sigap menyediakan infrastruktur-infrastruktur yang diperlukan korporat besar, termasuk giat mengembangkan basis-basis produksi berskala besar, ketimbang secara konsisten menerapkan agenda-agenda demokratisasi ekonomi (pemberdayaan ekonomi rakyat). Pasar rakyat berhadapan dengan maraknya pembangunan super-mall, sementara investasi oleh ekonomi rakyat dipandang sebelah mata karena silaunya pada investasi pemodal besar (asing).
Hal ini tidak terlepas dari posisi Indonesia yang terperangkap dalam jebakan utang (debt-trap) sehingga dipaksa memenuhi agenda-agenda negara (lembaga) kreditor. Dan kita pun baru saja tahu lewat pengakuan John Perkins dalam bukunya Confessions of an Economic Hit Man (2004) bahwa semua itu terjadi melalui disain sistematis pemerintah (korporat) asing (AS) untuk ikut menguasai dan mengatur perekonomian Indonesia di era 70-an. Ceritanya tetap sama, Indonesia adalah negara kaya sumber daya strategis dan buruh murah yang menarik untuk dihisap dan diperkuli. Maka, utang pun disodor-sodorkan untuk membiayai proyek-proyek yang mereka kerjakan demi mengejar impian indah masa itu : pertumbuhan ekonomi melalui investasi skala besar (asing), sampai kemudian utang lama terpaksa dibayar dengan membuat utang-utang baru.
Kulinisasi kini makin dikukuhkan oleh pendidikan yang terlalu pro-pasar, yang semata-mata memposisikan peserta didik sebagai alat produksi pemasok pasar tenaga kerja. Pun, pendidikan ekonomi kita berkembang dalam kultur hegemoni oleh ajaran-ajaran ekonomi Barat yang sarat kepentingan kaum fundamentalis pasar (neo-liberalisme), sehingga bias uaha besar-modern dan abai dengan masalah dan real-life economy rakyatnya sendiri.
Hasilnya tentu bukan manusia didik yang peka dan paham potensi dan masalah ekonomi rakyat-nya, berjiwa enterprenuer, dan sadar martabat dan harga diri bangsa, melainkan lulusan-lulusan yang tidak percaya diri, opportunis, serta mudah dihisap dan diperkuli. Kita berebutan masuk pasar tenaga kerja yang korporatnya sudah banyak dikuasai oleh korporat (bangsa) asing. Kita tetap sekedar menjadi kuli di negeri sendiri (juga di negeri orang lain). Kebutuhan pasar tenaga kerja demikian terbatas, dan kita terus saja percaya bahwa pendidikan harus berorientasi (kebutuhan) pasar (market-oriented).
Kulinisasi oleh bangsa asing yang berlangsung lama itu pun telah menumbuhkan persistensinya inferiority complex bangsa kits, suatu budaya hidup yang tidak cerdas, penuh rasa minder, ketertundukan dan kekaguman kepada yang serba Barat dan asing. Dengan makin lunturnya nasionalisme, maka hubungan subordinasi ini hidup kembali dan sekaligus makin memperpuruk bangsa Indonesia (Swasono, 2004).
Daulat Rakyat, bukan Daulat Pasar
Jaring-jaring yang ditebar sudah sedemikian memperdaya pemerintahan, konstitusi, dan pendidikan kita. Mampukah bangsa kita keluar dari jerat kulinisasi yang sepertinya tiada akhir ini? Tentu butuh kemauan keras dan keberanian untuk menegaskan kembali jati diri bangsa kita sebagai bangsa yang bermartabat, berdaulat, dan penuh percaya diri. Kita sudah berkomitmen bahwa rakyat-lah yang berdaulat, tidak saja di bidang politik, tetapi juga di bidang ekonomi. Oleh karena itu, kulinisasi harus diakhiri dengan memperjuangkan agenda-agenda demokrasi ekonomi dan menghidup-hidupkan (kembali) nasionalisme ekonomi setidaknya melalui empat ranah berikut :
Pertama, di ranah politik-ekonomi, kita seharusnya mewaspadai agenda globalisasi-pasar bebas yang terbukti bermuara pada pengalihan tampuk produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak ke tangan korporat (asing). Privatisasi BUMN strategis harus dihentikan, begitu juga dengan liberalisasi perdagangan (impor) yang merugikan pelaku ekonomi rakyat, khususnya petani dan industri kecil dalam negeri. Seharusnya kita belajar dari negara-negara maju seperti halnya AS, Inggris, dan Jepang yang begitu protektif terhadap petani mereka. Pasar bebas memang hanyalah non-sense belaka. Benar ungkapan Joan Robinson bahwa “the very nature of economics is rooted in nationalism”. Dan jangan lupa, negosiasi utang LN tetap perlu dilakukan hingga ke arah pemotongan utang.
Kedua, di ranah konstitusi-regulasi, kita perlu meninjau kembali amandemen UUD ’45, khususnya terhadap Pasal 33, yang telah membelokkan agenda demokratisasi ekonomi (melalui gerakan koperasi), ke arah korporatokrasi (neo-kulinisasi). Munculnya UU Air, Listrik, dan Migas tidak terlepas dari kontek ini. Mahkamah Konstitusi hendaknya menjadi “penjaga gawang” demokrasi ekonomi, sehingga tidak meloloskan setiap Undang-Undang yang beraroma privatisasi hajat hidup orang banyak dan bertendensi menggusur daulat rakyat menjadi daulat pasar. Pasal 33 pun harus dikembalikan sesuai aslinya.
Ketiga, di ranah paradigma ekonomi, perlu ada revolusi cara berpikir (mind-set) ekonomi kita yang sejauh ini terlalu silau (terhegemoni?) dan bias pada ideologi dan ajaran-ajaran ekonomi konvensional-Barat. Pembaruan ilmu ekonomi perlu dilakukan agar makin sesuai dengan ideologi, sistem nilai, dan sistem sosial-budaya bangsa. Ilmu ekonomi khas Indonesia pun perlu terus digali dan dikembangkan berdasar kenyataan ekonomi riil (real-life economy) yang dihadapi ekonomi rakyat Indonesia. Kita perlu alternatif dari paham ekonomi yang menjadi arus utama saat ini. Ekonomi Pancasila, yang digagas Prof. Mubyarto sebagai ideologi dan ilmu ekonomi alternatif berjati diri Indonesia patut dikaji lebih mendalam oleh pemikir ekonomi.
Keempat, di ranah pendidikan, kita perlu mereformasi pendidikan ekonomi dengan menempatkannya sebagai bagian integral proses ideologisasi untuk memberdayakan peserta didik secara ideologis, sosial-kultural dan politik-ekonomi. Untuk itu, pendekatan yang digunakan mestinya tidak lagi positivistik-monodisiplin, melainkan normatif-multidisiplin. Pendidikan ekonomi harus mampu menghidupkan kajian-kajian ekonomi-politik, ekonomi-sosiologi, ekonomi-sejarah, ataupun ekonomi-antropologi. Metode pengajaran yang digunakan hendaknya metode hadap masalah (problem-posing education), bukan lagi metode bank (banking-education). Pendidikan ekonomi diarahkan untuk berorientasi dan berpihak pada ekonomi rakyat Indonesia.
Nah, kinilah saatnya tak perlu ragu bersikap untuk menentukan nasib dan masa depan bangsa kita sendiri. Tidak ada bangsa manapun yang dapat maju, sejahtera dan demokratis dengan membiarkan rakyatnya diperkuli dalam tatanan ekonomi yang eksploitatif dan subordinatif. Marilah kita mulai bersama agenda-agenda di atas dengan berlandaskan tekad kuat untuk ‘menolak menjadi kuli di negeri sendiri”.
Yogyakarta, 21 September 2005
Friday, October 21, 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment