Awan Santosa
"Entahlah, mengapa kita menggadaikan negeri ini kembali ke kaum penjajah, yang sepanjang sejarah sudah kita lawan bersama". Demikian salah satu butir perenungan Sri Sultan HB X dalam orasi budayanya pada Malam Bakti Ibu Pertiwi di Pagelaran Kraton, 7 April 2007 yang lalu. Menarik bahwa Sultan mengawali dan mengakhiri orasinya dengan nukilan lagu kebangsaan kita: "bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya...".
Warga Jogja pun terkejut bukan main. Bukan karena pernyataan di atas, tetapi karena dalam kesempatan itu Sultan menyatakan sikap untuk tidak bersedia lagi menjabat sebagai Gubernur/Kepala Daerah Propinsi DIY pada purna jabatan tahun 2003-2008 nanti. Polemik dan spekulasi yang dikaitkan dengan RUU Keistimewaaan DIY pun bermunculan merespon pernyataan Sultan.
"Entahlah, mengapa kita menggadaikan negeri ini kembali ke kaum penjajah, yang sepanjang sejarah sudah kita lawan bersama". Demikian salah satu butir perenungan Sri Sultan HB X dalam orasi budayanya pada Malam Bakti Ibu Pertiwi di Pagelaran Kraton, 7 April 2007 yang lalu. Menarik bahwa Sultan mengawali dan mengakhiri orasinya dengan nukilan lagu kebangsaan kita: "bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya...".
Warga Jogja pun terkejut bukan main. Bukan karena pernyataan di atas, tetapi karena dalam kesempatan itu Sultan menyatakan sikap untuk tidak bersedia lagi menjabat sebagai Gubernur/Kepala Daerah Propinsi DIY pada purna jabatan tahun 2003-2008 nanti. Polemik dan spekulasi yang dikaitkan dengan RUU Keistimewaaan DIY pun bermunculan merespon pernyataan Sultan.
Terlepas dari perlunya apresiasi terhadap sikap spiritual-kultural Sultan, saya justru merasa bahwa pesan kesejarahan Sultan di awal justru lebih perlu untuk kita gali dan tafsirkan bersama. Terlebih di tengah a-historisme luar biasa bangsa kita terhadap sejarah keterjajahan dan kealpaan akan hakekat kemerdekaannya, maka "pesan kemerdekaan" Sultan menjadi kian relevan.
Apakah harga diri kita sebagai bangsa sudah terjual, seperti disinyalir Sultan? Tanpa kedalaman rasa dan kepekaan idologis kiranya sulit menemukan jawabannya. Yang jelas, rasa kebangsaan menjadi tanda tanya besar tatkala kita membiarkan bangsa asing menguras kekayaan sembari menjejali pikiran-pikiran kita dengan nilai-nilai kapitalistik, hedonistik, dan materialistik.
Betapa tidak? 80 persen tambang/migas kita sudah dikuasai (dikelola) bangsa asing. Demikian halnya dengan separuh saham perbankan kita, termasuk 60% saham di pasar modal kita yang sudah jatuh ke pangkuan mereka. Belum gerai-gerai produk asing (retail, fast-food, dan mall) yang sudah menjadi bagian dari keseharian kita.
Pada saat yang sama kita menjuali aset dan BUMN melalui privatisasi. Belajar dari sejarah Indosat, Telkomsel, Semen Gresik, dan Bank-bank pemerintah, yang terjadi pun tak lebih dari asingisasi. Demikian halnya dengan privatisasi air (sejarah PT PAM Jaya) dan aset strategis nasional lain seperti hutan dan mungkin sebentar lagi sekolah kita. Setiap transaksi ekonomi pun makin banyak yang berujung pada aliran uang keluar (net transfer) kepada pihak asing tersebut.
Terlebih setiap tahun pemerintah mempunyai kewajiban membayar cicilan pokok dan bunga utang dalam dan luar negeri yang kurang lebih menguras seperempat APBN atau senilai Rp. 120 trilyun. Dengan demikian, utang-utang baru yang kita buat kita gunakan untuk membayar utang-utang lama kita, termasuk kepada pihak asing.
Pikiran kita pun dibuat steril dari semangat revolusi (perubahan). Kuliah masih tak lebih dari transfer ajaran (materi) yang alih-alih mengusik kondisi tersebut, tapi justru mengukuhkannya tanpa kita sadari. Alhasil, bukannya rasa keterjajahan yang membangunkan jiwa kita, melainkan materi dan kepentingan politik. Kita tetap bermental inlander yang tunduk dan mudah dibodohi pihak asing.
Bahkan pemerinah dan DPR kita pun rela melawan konstitusi kita sendiri demi selamatnya kepentingan pihak asing. UU Air, RUU Ketenagalistrikan, UU Migas, dan terakhir UU Penanaman Modal menjadi sekedar legalisasi kekuasaan asing di bumi pertiwi. Elit kita lebih suka memilih menjadi komprador asing dan menjual harga diri bangsa. Inilah yang kiranya digelisahkan Sultan.
Mereka alpa bahwa 40,1 juta pelaku ekonomi rakyat atau 99,8% dari total pelaku ekonomi dan menyerap 96% angkatan kerja, hanya menikmati 39,8% dari produksi nasional dibanding korporasi besar (+ asing) yang sebesar 60,2%. Ekonomi rakyat kita pun hanya menikmati 20% pangsa pasar yang 80%-nya sudah dikuasai korporasi. Akibatnya kini kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan meluas. Dan anehnya, elit kita masih beranggapan bahwa melayani pihak asing adalah solusi kesejahteraan rakyat.
Di mana makna 61 tahun kemerdekaan kita? Negeri ini masih dipenuhi jiwa-jiwa kerdil yang justru menguasai tampuk ekonomi dan politik. Pun jiwa-jiwa yang silau dengan kemewahan dan gemerlapnya dunia yang ditawarkan bangsa asing. Pengurasan dan dominasi berlangsung dan kita asyik menikmati candu teori dan ajaran. Dan seolah kita pun menjadi merasa tidak perlu melawannya, bahkan bila perlu menjadi pemeluk (pengikut) yang paling setia.
Apa istimewanya DIY jika kita sebagai warganya pun alpa dengan sejarah keterjajahan bangsa yang melahirkan revolusi di kota ini. Sultan kini mengisyaratkan bahwa sejarah mungkin berulang: "Indonesia dihancurkan oleh kepentingan-kepentingan yang menjual harga diri bangsa." Dengan demikian kiranya cukup alasan bahwa keistimewaan DIY musti kita tunjukkan juga dengan merevitalisasi ruh Yogyakarta sebagai Kota Revolusi.
Terlepas dari pentingnya perspektif yuridis-formal terkait dengan pemerintahan dan keistimewaan DIY, saya kira perlu kita tegaskan perlunya rekonstruksi komitmen kebangsaan dan kerakyatan warga Yogya. Yogyakarta perlu kita kembalikan ruhnya sebagai barometer perlawanan terhadap setiap bentuk dominasi dan penjajahan gaya baru, baik dalam bentuk kontrol fisik, ekonomi, politik, maupun pikiran (intelektual) kita oleh pihak asing.
Pun, Yogyakarta sebagai kota Pendidikan akan bermakna jika mampu mengikis inferiority complex bangsa, budaya hidup tidak cerdas, penuh rasa minder, ketertundukan dan kekaguman kepada yang serba Barat dan asing. Pendidikan di Yogyakarta harus mampu membangun jiwa-jiwa yang merdeka dan menjadi penyalur "suara-suara dari jiwa-jiwa yang ingin merdeka..".
Kini saatnya memaknai pesan kemerdekaan Sultan untuk berbakti bagi ibu pertiwi dengan bertekad: "dari Yogyakarta kita bangun jiwa bangsa, dan dari Yogyakarta kita merdekakan kembali (ekonomi) Indonesia".
No comments:
Post a Comment