Awan Santosa
Tanpa sempat terbendung lagi pemerintah dan DPR akhirnya mengesahkan UU Penanaman Modal (UU PM). Peristiwa historis ini nyaris tidak mendapat ekspose yang memadai. Bahkan makin tenggelam di tengah mencuatnya isu laptop DPR/DPRD, interpelasi resolusi Iran, kasus helikopter Bukaka, dan penangkapan pelaku terorisme.
Tanpa sempat terbendung lagi pemerintah dan DPR akhirnya mengesahkan UU Penanaman Modal (UU PM). Peristiwa historis ini nyaris tidak mendapat ekspose yang memadai. Bahkan makin tenggelam di tengah mencuatnya isu laptop DPR/DPRD, interpelasi resolusi Iran, kasus helikopter Bukaka, dan penangkapan pelaku terorisme.
Norena Heertz pun benar dalam bukunya "The Silent Takeover (London, 2001)". bahwa pemodal internasional diam-diam makin berkuasa bahkan hingga tanpa disadari telah mendominasi ranah publik yang menjadi domain negara (rakyat). "Perusahaan multinasional, yang didukung oleh kapitalisme global pasar bebas, sekarang ini sama besarnya dengan banyak negara. Bahkan, tiga ratus perusahaan multinasional menguasai 25% aset dunia".
John Pilger (2002) pun sudah lama mengungkap bagaimana ekonomi Indonesia telah "diambil-alih" secara diam-diam oleh korporasi global sejak Konperensi Jenewa tahun 1967. Konperensi 3 hari yang diikuti korporat raksasa Barat dan ekonom Indonesia (Mafia Berkeley) itu berbuah "kaplingisasi" Indonesia oleh Freeport, Konsorsium Eropa, Alcoa, dan kelompok perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis..
Konferensi itu melahirkan UU Penanaman Modal Asing (PMA), yang menelikung cita-cita historis Pasal 33 UUD 1945 untuk merombak struktur dan sistem ekonomi timpang warisan sejarah kolonial. Padahal perombakan baru terjadi jika perekonomian disusun sebagai usaha bersama (koperasi) dan penguasaan negara atas cabang produksi strategis. Kiranya jelas kemudian bahwa UU PM yang baru saja disahkan DPR hanya mengulangi sejarah pengingkaran cengkeraman modal asing yang memperpuruk nasib ekonomi rakyat Indonesia.
Mengabaikan Dominasi
Rasanya sulit menemukan nalar teoritis para komprador ekonomi yang begitu abai dengan dominasi asing, bahkan begitu memuja kehadirannya. Rasio tabungan dan investasi kita tahun 2005 masih surplus 22,6 trilyun. Belum lagi rasio kredit-tabungan (LDR) perbankan yang baru 60% dan dana mengendap di SBI Bank Indonesia yang sebesar Rp. 250-300 trilyun. Bukankah itu pertanda tersedianya modal domestik?
Ironisnya mereka tahu betul bahwa setiap 1% pertumbuhan ekonomi –karena kenaikan investasi (asing)- hanya mampu menyerap 200.000-300.000 tenaga kerja baru. Hasil-hasil studi empiris pun menunjukkan hubungan negatif antara arus bersih modal asing dan tabungan domestik. Studi Sritua Arief & Adi Sasono (1987) jauh-jauh hari sudah mengisyaratkan berlangsungnya penghisapan ekonomi melalui modal asing.
Arus bersih modal asing ke Indonesia sejak era liberalisasi (1970-1986) secara kumulatif menunjukkan posisi negatif (modal keluar > modal masuk). Negatif net transfer ini bukti bahwa Indonesia bukan lagi importir modal, melainkan eksportir modal. Besarnya nilai repatriasi keuntungan dan cicilan pokok + bunga utang ke luar negeri pun bukti bahwa Indonesia hanya menggunakan modal asing untuk membiayai pihak asing dalam meraih keuntungan dan penerimaan dari Indonesia.
Kini modal asing pun makin dominan dalam perekonomian Indonesia. Paska privatisasi BUMN dan aset-aset strategis nasional (mineral tambang-migas, air, dan hutan) penguasaan tampuk produksi beralih dari negara (rakyat) ke korporasi asing. Padahal kedua tampuk produksi tersebut terkait erat dengan hajat hidup orang banyak, prospektif (profitable), dan telah dikelola dengan banyak menyedot anggaran negara (subsidi).
Dominasi asing dalam penguasaan berbagai jenis tambang dan migas (± 80%), bank (± 50%), industri, jasa, dan 60% saham di pasar modal itu berakibat besarnya aliran uang ke luar (net tranfer). Aliran itu bersumber dari perampasan hak sosial ekonomi pekerja, eksploitasi SDA di daerah, dan keuntungan BUMN/perusahaan di Indonesia yang dinikmati pemegang saham (shareholder) asing. Belum lagi dengan cicilan bunga dan pokok utang luar negeri yang dibayar per tahun dengan seperempat APBN.
Di sisi lain, ekonomi rakyat (UMKM) yang berjumlah 40,1 juta atau 99,8% dari total pelaku ekonomi dan menyerap 96% angkatan kerja, hanya menikmati 39,8% dari produksi) nasional (PDB) dibanding korporasi besar yang sebesar 60,2%. Ekonomi rakyat hanya menikmati 20% pangsa pasar yang 80%-nya sudah dikuasai korporasi tersebut. Segelintir korporasi besar tersebut merupakan "mesin" pertumbuhan yang menguasai 83,6 persen laju perekonomian Indonesia.
Kini alih-alih mengoreksi struktur ekonomi timpang yang pro-modal asing tersebut, rezim Pemerintah-DPR justru diam-diam turut melegitimasinya. Ketelanjuran penguasaan korporasi (asing) terhadap cabang produksi dan aset-aset strategis bangsa yang jelas melawan konstitusi justru dilegalisasi. Kiranya jelas kemudian bagaimana UU PM telah dijadikan alat stempel dominasi modal asing (penjajahan baru) terhadap ekonomi Indonesia.
Dominasi korporasi (asing) kini telah membawa korban terpuruknya nasib rakyat kecil. Tingkat kemiskinan meningkat dari sebesar 16,7 % di tahun 2004 menjadi 17,75 pada tahun 2006. Tingkat pengangguran pun bertambah dari sebesar 9,86% pada tahun 2004 menjadi 10,84% pada tahun 2005.
Pada saat yang sama ketimpangan pendapatan pun melebar yang diindikasikan dengan rasio gini yang sebesar 0,28 pada tahun 2002 menjadi sebesar 0,34 pada tahun 2005. Visualisasinya berupa busung lapar, gizi buruk, kaum miskin tak bertempat tinggal, stress massal, sekolah rusak, dan seabreg masalah sosialekonomi lain di alam Indonesia yang sudah 61 tahun merdeka.
Melawan Konstitusi
Substansi (isi) UU PM yang tunduk pada "kebebasan kapital" nampak dengan berbagai dukungan kemudahan dan perlakuan istimewa pada kapital global. UU PM yang semestinya mengatur (regulasi) modal justru membebaskannya untuk setara dan bebas menelikung modal domestik (ekonomi rakyat), mengalihkan aset, dan merepatriasi keuntungan ke negara asal.
Alih-alih mengoreksi ketelanjuran dominasi modal asing, UU PM justru memberi segudang insentif bagi mereka untuk makin mengeruk kekayaan bangsa melalui insentif fiskal, hak guna/pakai bangunan/tanah yang lama, dan kemudahan imigrasi dan ijin impor. Korporasi asing juga dijamin tidak dinasionalisasi, bahkan diberi keleluasaan untuk ekspansi ke sektor-sektor ekonomi strategis (vital) karena dilunakkannya Daftar Negatif Investasi (DNI). Ungkapan kepentingan nasional dengan begitu tak lebih "pemanis" belaka. Negara yang perannya makin marginal (dikebiri) dan elit pemerintah-DPR yang masih silai dengan modal aing tidak memungkinkan hal itu dipertahankan.
UU PM yang mendorong korporatokrasi (asingisasi) memperjelas pengkhianata (perlawanannya) terhadap konstitusi, yaitu Pasal 33 UUD 1945, yang menegaskan arahan usaha bersama (kolektif) berasaskan kekeluargaan (kooperasi) sebagai basis perekonomian nasional. Pasal 33 UUD 1945 ayat (2) dan (3) pun jelas-jelas mengatur bahwa " cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat".
Undang-Undang perekonomian yang perlu disusun Pemerintah justru harus mengatur demokratisasi modal untuk memperluas distribusi modal (capital-sharing & collective ownership) kepada rakyat banyak, bukannya ke korporasi (asing). UU ini juga perlu mengatur mobilisasi modal domestik dan diputuskannya koperasi, ekonomi rakyat (UMKM), dan BUMN/BUMD Indonesia sebagai pilar kekuatan usaha (industri) ekonomi nasional. Dengan itu bangsa kita dapat melepaskan diri dari keterjajahan (dominasi) modal asing. Semoga.
Yogyakarta, 4 April 2007
No comments:
Post a Comment