Wednesday, January 02, 2008

KOLONIALISASI MIGAS

Awan Santosa


Apa masalah mendasar dalam ekonomi minyak? Ekonom arus utama biasanya akan menjawab kelangkaan. Migas termasuk sumber energi yang tak terbarukan, sementara jumlah penggunanya selalu bertambah. Oleh karena itu, solusinya adalah efisiensi dan segera melakukan diversifikasi sumber energi. Kebijakan konversi minyak tanah ke gas pun berdasar logika ekonom arus utama ini.
Sepintas kebijakan tersebut sangat masuk akal. Namun, menjadi aneh ketika diterapkan begitu saja dalam konteks ekonomi migas Indonesia. Mengapa? Indonesia sebenarnya mengalami kelimpahan migas, yang masalahnya justru terletak pada tata produksi dan distribusinya yang tidak demokratis. Bagaimana bisa?
Dominasi Korporasi Migas Asing
Sebagian besar kontrol migas Indonesia hari ini berada di tangan segelintir korporasi asing. 85,4 persen dari 137 konsesi pengelolaan lapangan migas di Indonesia dimiliki oleh korporasi asing, yang juga menduduki 10 besar produsen migas di Indonesia. Chevron Pacific (AS) berada di urutan pertama diikuti Conoco Phillips (AS), Total Indonesie (Prancis), China National Offshore Oil Corporation (Tiongkok), Petrochina (Tiongkok), Korea Development Company (Korea Selatan), dan Chevron Company (Petro Energy, 2007).
Sementara itu, delapan di antara10 besar produsen gas di tanah air pun dikuasai asing. Total E&P Indonesie menempati peringkat pertama dengan total produksi gas mencapai 2.513 juta kaki kubik per hari dan Pertamina diperingkat kedua dengan total produksi 948,9 mmscfd (Investor Daily, 2007).
Korporasi asing turut menguras kelimpahan minyak Indonesia yang kini berada pada level terbukti sebanyak 4,3 miliar barel dan potensial 4 miliar barel yang tersebar di 60 cekungan. Demikian halnya yang dilakukan terhadap kelimpahan gas bumi Indonesia sebesar 95,1 triliun kaki kubik cadangan terbukti dan 90,5 triliun kaki kubik cadangan potensial.
Melihat kenyataan tersebut muncul dua pertanyaan mendasar khas Indonesia; mengapa bisa terjadi kelangkaan minyak dan mengapa rakyat (bangsa) Indonesia tetap saja miskin sampai hari ini?
Sebab Struktural Kelangkaan Minyak
Kelangkaan minyak yang terjadi di berbagai daerah akhir-akhir ini oleh karenanya tentu bukan sekedar kelangkaan yang bersifat alamiah. Kelangkaan tersebut lebih bersifat struktural (sistematik), yaitu akibat pasokan minyak - yang sebagian besar dikuasai korporasi asing - justru dialirkan untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri.
Pada 2005 misalnya, total ekspor minyak Indonesia mencapai 157,5 juta barel, sedangkan impor minyak sebesar 126,2 juta barel. Pada 2006, Indonesia memproduksi 353,33 juta barel minyak, di mana 218,02 juta barel untuk konsumsi, 111,17 juta untuk ekspor, dan impor minyak mentah Indonesia mencapai 113, 54 juta.
Penerimaan negara dari kenaikan harga minyak dunia dan 85% laba operasional kiranya tidaklah sebesar yang dinikmati korporasi migas asing yang juga telah mendapat cost recovery dari pemerintah. Eksploitasi migas di Indonesia oleh karenanya tidak juga berimplikasi pada perbaikan kesejahteraan rakyat dan kemandirian ekonomi bangsa Indonesia.
Kebijakan di Tengah "Keterjajahan"
Kebijakan konversi minyak tanah untuk kesekian kalinya menjadi bukti ketidakberdayaan pemerintah. Melalui konversi, pemerintah hanya mampu bertindak mengantisipasi kelangkaan alamiah minyak dan tidak sanggup mengoreksi "pelangkaan sistematis" yang menjadi sebab struktural-nya. Mengapa?
Komitmen pemerintah memutus ketergantungan terhadap minyak tidak dibarengi dengan upaya sungguh-sungguh untuk memutus ketergantungan terhadap korporasi migas asing. Pemerintah bahkan terkesan menggeliminasi pangkal masalah sekedar pada isu produksi dan distribusi tabung gas, serta efisiensi pemakaiannya. Manipulasi kesadaran publik ini pun justru dibiayai mahal dengan kampanye (iklan) di berbagai media massa.
. Kebijakan ini erat kaitannya dengan "paksaan" efisiensi anggaran melalui pengurangan subsidi BBM. Keterpaksaan alamiah oleh sebab merosotnya penerimaan negara mungkin masuk akal. Tetapi efisiensi ini pun juga khas Indonesia, yaitu oleh sebab struktural "pendarahan" keuangan negara akibat pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri yang pada tahun 2006 saja mencapai Rp. 162 trilyun.
Oleh karenanya, konversi tanpa disertai restrukturisasi tata produksi dan distribusi migas hanyalah akan menjadi refleksi keterjajahan (neokolonisasi) ekonomi Indonesia. Solusi mendasar untuk masalah ini adalah perlunya de-kolonisasi (nasionalisasi) dalam konteks penguasaan migas di Indonesia.
Strategi Re-nasionalisasi Migas
Dominasi penguasaan migas oleh korporasi asing dan kelangkaan minyak sesungguhnya adalah penyimpangan terhadap cita-cita konstitusi (Pasal 33 UUD 1945). Oleh karenanya, re-nasionalisasi migas merupakan jalan kembali ke ekonomi konstitusi yang (seharusnya) menjadi landasan dilakukannya efisiensi dan diversifikasi sumber energi.
Kembalinya kontrol migas pada negara harus diawali dengan tekad seluruh bangsa Indonesia untuk memutus ketergantungan terhadap korporasi migas asing. Pemerintah seharusnya menghentikan perpanjangan kontrak-kontrak kerja sama (KKKS) lama dan melakukan negosiasi ulang dengan pemegang KKKS asing seperti halnya yang berhasil dilakukan oleh NSB di Amerika Latin. Pada saat yang sama juga dilakukan mobilisasi sumber daya baik modal, teknologi, dan SDM (pakar) nasional. Mampukah kita?
Pertamina dalam berbagai kesempatan sudah menyatakan kesiapannya untuk meningkatkan perannya dalam eksplorasi migas melalui penambahan Participating Interest (PI). Masalahnya – seperti kasus Blok Cepu – memang bukan pada ketidakmampuan Pertamina. Masalahnya sekali lagi terletak pada ketidakberdayaan pemerintah di bawah kuasa modal internasional. Oleh karenanya, re-nasionalisasi migas akan menjadi jalan lurus untuk mengakhiri (neo)kolonialisasi ekonomi Indonesia.


Yogyakarta, 20 Desember 2007

No comments: