Wednesday, January 02, 2008

BUKAN SEKEDAR "J(U)ALAN BARU"?

Awan Santosa



Belum lama ini Rizal Ramli, mantan Menko Ekuin di era Gus Dur, mendeklarasikan ormas baru bernama Komite Bangkit Indonesia (KBI). Dalam deklarasi yang dihadiri beberapa elit politik dan tokoh nasional tersebut, Rizal Ramli mengajak bangsa Indonesia untuk menempuh "jalan baru", karena jalan yang selama ini digunakan menurutnya justru memicu kemerosotan dan kemiskinan struktural, serta memperkokoh neokolonialisme.
Deklarasi di saat suhu politik mulai memanas menjelang Pemilu 2009 menimbulkan bermacam spekulasi publik. Benarkah deklarasi dan dukungan elit parpol terhadap KBI merupakan tekad kuat elit nasional untuk bersatu melawan neokolonialisme? Atau jangan-jangan forum itu tak lebih seperti forum yang sudah-sudah, sekedar bersatu untuk menghadapi pemimpin lama?
Di balik harapan akan keseriusan KBI kiranya masih muncul skeptisme. Hal ini wajar karena jalan baru yang disuarakan KBI belumlah disertai arahan agenda ekonomi-politik yang jelas. Jalan baru masih sebatas posisi pikir (state of mind) yang dapat dikumandangkan siapa saja, sesuai kepentingan dan selera publik. Tanpa kejelasan isi (agenda) yang mempertegas posisi berdiri (standing position) KBI, bukan tidak mungkin jalan baru tersebut akan dinilai tak lebih sekedar "jualan baru".
Jalan Baru Pendiri Bangsa
Jalan baru KBI baru sekedar "proklamasi" anti-kolonialisme, seperti yang dilakukan para pendiri bangsa 62 tahun yang lalu. Pada waktu itu, pendiri bangsa bertekad mengeluarkan Indonesia dari jalan lama 3,5 abad di bawah cengkeraman kolonialisme. Jalan baru segera disusun dan secara jelas dituangkan ke dalam UUD 1945 yang disahkan sehari setelah proklamasi.
Agenda jalan baru tersebut adalah menghapus dominasi kolonialis (asing) dalam struktur ekonomi Indonesia. Dominasi asing ditunjukkan dengan segelintir elit bangsa Belanda (Eropa) yang menguasai banyak sumber daya Indonesia, bangsa Timur Asing yang menguasai jalur distribusi, dan mayoritas massa pribumi (ekonomi rakyat) Indonesia di lapisan terendah (terlemah).
Jalan baru pendiri bangsa ditumpukan pada tiga pilar utama, yaitu demokratisasi perekonomian melalui koperasi, penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, dan penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di Indonesia. Ketiga pilar ini kemudian diamanatkan dalam Pasal 33 ayat 1-3 UUD 1945.
Jalan baru inilah yang dengan perjuangan keras telah membuahkan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, yang 6 tahun pasca proklamasi masih berkuasa atas perusahaan listrik, kereta api, telekomunikasi, perkebunan, dan tambang minyak di Indonesia. Jalan ini pulalah yang membawa bangsa Indonesia mampu duduk sejajar bangsa adidaya dan bahkan mampu menjadi pelopor perjuangan anti-kolonialisme bagi negara- negara baru merdeka di Asia-Afrika.
Jalan Baru Kolonialisme
Perubahan ekonomi-politik pasca reformasi tak serta merta membawa bangsa Indonesia ke sebuah jalan dan tatanan baru. Bahkan dua pilar jalan lama Orde Baru yaitu dominasi modal asing dan keterjebakan pada utang luar negeri masih terus saja menjadi arus utama kebijakan ekonomi pemerintah. Alih-alih membangkitkan kedaulatan ekonomi nasional, justru yang terjadi adalah kembalinya de-nasionalisasi yang memuluskan jalan neokolonialisme ekonomi Indonesia. Salah satu tonggak sejarahnya adalah pengesahan UU Penanaman Modal pada bulan Maret 2007.
Neokolonialisme kini berwujud penguasaan modal asing pada berbagai jenis tambang dan migas (± 80%), perbankan (± 50%), industri, jasa, dan 70% saham di pasar modal. Akibatnya aliran uang ke luar negeri (net tranfer) pun makin besar. Hak sosial ekonomi pekerja, hasil eksploitasi SDA di daerah, dan keuntungan BUMN/perusahaan di Indonesia banyak pula yang mengalir ke pemegang saham (shareholder) asing.
Pada saat yang sama, blooding fiskal terjadi karena cicilan bunga dan pokok utang dalam dan luar negeri yang harus dibayar dengan seperempat APBN setiap tahunnya. Tekanan inilah yang turut mendorong penjualan aset-aset strategis bangsa melalui privatisasi yang dalam banyak kasus (Indosat, Telkomsel, dan Semen Gresik) telah memuluskan jalan menuju asing-isasi.
Walhasil, ekonomi rakyat (UMKM) yang berjumlah 40,1 juta atau 99,8% dari total pelaku ekonomi dan menyerap 96% angkatan kerja, kini hanya menikmati 39,8% dari produksi) nasional (PDB) dibanding korporasi besar (asing) yang sebesar 60,2%. Ekonomi rakyat hanya menikmati 20% pangsa pasar yang 80%-nya sudah dikuasai korporasi, yang merupakan "mesin" pertumbuhan karena menguasai 83,6 persen laju perekonomian Indonesia (FRI, 2007).
Kemana Arah Jalan Baru KBI?
Berangkat dari realitas kontekstual tersebut kiranya KBI perlu memperjelas jalan baru yang hendak ditempuhnya. Berdasar pengalaman historis maka tanpa perlu ragu lagi KBI dapat menjadi konsolidator nasional pembuka jalan untuk "kembali ke jalan pendiri bangsa", yaitu jalan nasionalisme dan demokrasi ekonomi. Kedua pilar jalan inilah yang diharapkan dapat menjadi senjata ampuh melawan semua bentuk neokolonialisme.
Jalan baru ini ditempuh melalui banting stir paradigma dan kebijakan ekonomi nasional yang telanjur bercorak neoliberal. Berbagai agenda strategis manifes nasionalisme dan demokrasi ekonomi yang saat ini perlu diseriusi KBI di antaranya adalah penghapusan utang luar negeri, nasionalisasi perusahaan migas asing, penghentian privatisasi dan liberalisasi ekonomi, revitalisasi koperasi sejati, demokratisasi keuangan, demokratisasi perusahaan, dan reformasi agraria.
Konsepsi beragam agenda tersebut sudah tersedia dan sebagian telah diperjuangkan oleh berbagai elemen masyarakat sipil pada berbagai level. Hanya saja sebagian besar masih berada pada taraf pinggiran dan membutuhkan konsolidasi dan mobilisasi gerakan yang lebih intensif. Pada posisi inilah KBI dapat berdiri kukuh sebagai konsolidator dan penyemai realisasi agenda-agenda yang terbingkai dalam jalan baru anti-neokolonialisme kepada khalayak yang lebih luas.
Pertanyaan berikutnya, pada locus mana gerakan jalan baru yang diinisiasi KBI ini akan ditempatkan? Apakah jalan baru KBI tetap hanya bertumpu pada kekuatan pikir intelektual dan kontribusi besar elit politik yang terorganisasi di dalamnya? Mungkinkah jalan baru ditempuh menggunakan kendaraan lama, yaitu elemen status quo yang kiranya juga akan terlibat sebagai inisiator KBI?

Basis Gerakan Jalan Baru
Sejarah di dalam dan luar negeri memberi pelajaran bahwa neokolonialisme hanya akan dilumpukan secara efektif oleh korban-korban utamanya. Kita dapat belajar dari perlawanan rakyat korban neokolonialisme (neoliberalisme) yang telah berhasil mengubah relasi kekuasaan politik-ekonomi nasional, yang misalnya dilakukan oleh kaum adat Meksiko (Zapatista), buruh dan pengangguran Argentina (GPP), dan petani tanpa tanah Brasil (MZT).
Tekanan gerakan rakyat korban neokolonialisme yang solid dan dukungan kaum intelektual inilah yang kiranya terbukti membawa perubahan struktural, bukannya karena manuver segelintir elit dan kalangan intelektual yang tidak membumi. Oleh karena itu, agenda-agenda perjuangan mewujudkan jalan baru anti-kolonialisme di Indonesia harus didasarkan pada partisipasi luas basis gerakan rakyat tersebut.
Sepanjang sejarah perjalanan bangsa, kiranya massa petani dan buruh adalah mayoritas pelaku ekonomi rakyat yang paling merasakan pahitnya (neo)kolonialisme. Tak heran dari kedua basis akar rumput ini telah lama muncul gerakan-gerakan anti-kolonialisme (anti-neoliberalisme) baik dalam lingkup lokal, nasional, bahkan hingga internasional. Konsolidasi kedua basis gerakan yang didukung kaum intelektual-progresif inilah yang kiranya menentukan efektifitas realisasi jalan baru yang diinisiasi KBI.
Demikian, suksesi nasional tahun 2009 adalah momentum untuk mendesakkan agenda-agenda jalan baru kepada calon-calon presiden yang akan bersaing. Sudah saatnya rakyat (hanya) memilih calon pemimpin yang memiliki agenda jelas anti-neokolonialisme sesuai agenda-agenda jalan baru. Oleh karenanya, segenap elemen gerakan rakyat perlu mengawal agenda KBI ini sehingga tidak sekedar menjadi jualan baru, melainkan sungguh-sungguh menjadi "jalan lurus" menuju kemerdekaan ekonomi, kesejahteraan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Semoga.

Yogyakarta, 15 Desember 2007

1 comment:

andreas iswinarto said...

Selamat karena anda sahabat manusia. Silah kunjungi dan beri masukan atas Seri Artikel Orkestrasi Pergerakan untuk Indonesia Baru diblog saya. Salam hangat!