Monday, June 02, 2008

KOLONISASI BBM BERLANJUT?

Awan Santosa[1]



Kenaikan harga BBM Sabtu, 24 Mei 2008 lalu belum akan menyurutkan gerakan penolakannya. Hal ini mengingat kenaikan harga BBM bukanlah kebijakan yang berdiri sendiri. Kebijakan yang telah memicu naiknya harga sembako, tarif angkutan umum, dan PHK tersebut lebih merupakan refleksi struktur ekonomi kolonialistik dan implikasi jalan ekonomi neoliberal pemerintah. Bagaimana bisa?

Kolonisasi BBM?
Lihatlah struktur produksi minyak Indonesia. Sebagian besar kontrol migas Indonesia hari ini berada di tangan segelintir korporasi asing, yang menguasai 85,4% dari 137 konsesi pengelolaan lapangan migas di Indonesia, sekaligus menduduki 10 besar produsen minyak di Indonesia.
Chevron Pacific (AS) berada di urutan pertama diikuti Conoco Phillips (AS), Total Indonesie (Prancis), China National Offshore Oil Corporation (Tiongkok), Petrochina (Tiongkok), Korea Development Company (Korea Selatan), dan Chevron Company (Petro Energy, 2007).
Penguasaan minyak oleh korporasi asing ini telah melemahkan kontrol negara terhadap alokasi produksi, biaya produksi, cost recovery, dan tingkat harga minyak. Akibatnya pemenuhan kebutuhan domestik yang sekiranya dapat menstabilkan harga domestik tidak lagi menjadi utama. Indonesia memang mengimpor BBM sebesar 302,599 barel/hari pada tahun 2007. Tetapi pada saat yang sama minyak kita pun dijual ke luar negeri sebanyak 348.314 barel/hari (ESDM, 2008).
Sementara itu, biaya produksi minyak di Indonesia membengkak hingga 9 dollar AS per barrel. Padahal di Malaysia hanya sekitar 3,7 dollar AS per barrel dan di North Sea yang paling sulit pun juga hanya sekitar 3 dollar AS per barrel. Di samping itu, cost recovery menjadi kian meningkat dan hampir mencapai 30% pada tahun 2007.
Kontrol minyak oleh pasar (korporasi?) pada akhirnya diwujudkan melalui “pemaksaan” penentuan harga minyak internasional di New York Merchantile Exchange. Padahal hampir tidak ada minyak Indonesia yang diperdagangkan di sana, bahkan volume transaksi di pasar minyak tersebut hanya meliputi 30% transaksi minyak dunia (Kwik, 2007).
Akibatnya harga minyak tidak lagi di bawah kendali akal sehat dan negara yang berdaulat. Harga diciptakan untuk memaksakan keuntungan maksimum bagi korporasi minyak, yang hingga kini keuntungannya telah mencapai US$ 123 milyar atau setara dengan Rp 1.131 Trilyun (http://www.voanews.com/, 3 April 2008).
Kolonisasi ini kian dikukuhkan melalui kepatuhan (keterpaksaan?) menteri-menteri ekonom neoliberal rezim pemerintahan SBY-JK dalam menjalankan agenda-agenda Konsensus Washington. Naiknya harga BBM merupakan implikasi dilakukannya liberalisasi, privatisasi, pengahapusan subsidi, dan deregulasi migas yang menjadi pilar agenda tersebut. Jalan ekonomi neoliberal inilah yang memaksa diperkecilnya peran Pemerintah dan Pertamina, berubahnya BBM dari barang publik ke barang privat, dilepasnya harga BBM ke mekanisme pasar (penghapusan subsidi), dan masuknya korporat swasta dalam bisnis migas hingga sektor hilir.
Menyusul kenaikan harga BBM pada 2005 lalu, beberapa pemodal asing mulai menancapkan kukunya dalam bisnis eceran BBM di Indonesia. Sejauh ini, jaringan SPBU mereka masih terbatas dalam wilayah Jabodetabek. Tetapi dalam jangka panjang, mereka jelas ingin mengepakkan sayapnya ke seluruh penjuru Indonesia.
Bagi perusahaan multinasional, harga BBM bersubsidi adalah musuh besar yang harus secepatnya disingkirkan. Sebagai perusahaan multinasional, mereka menjual BBM sesuai dengan standar harga internasional. Jika Pertamina masih tetap menjual BBM dengan harga bersubsidi, bagaimana mungkin mereka dapat memperluas jaringan SPBU-nya? (Baswir, 2008).

Kebohongan Publik?
Tanpa melakukan koreksi struktur dan jalan ekonomi tersebut, maka kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah akan cenderung tidak pro-rakyat. Hal inilah yang rupanya tidak diakui oleh rezim pemerintahan SBY-JK yang dalam upayanya meyakinkan tiadanya pilihan selain menaikkan harga BBM menyampaikan alasan-alasan yang tidak disertai dengan data dan fakta yang lengkap (terbuka). Mengapa?
Pertama, alasan bahwa tanpa menaikkan BBM maka APBN akan “jebol” terkesan mengada-ada. Kenaikan harga minyak internasional selain menambah pengeluaran untuk pembelian impor BBM sebenarnya juga menambah penerimaan negara dari ekspor dan pajak dari minyak.
Data APBN-P 2008 menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak dunia selain menambah besaran “subsidi” BBM dari Rp. 45,8 T menjadi Rp. 126,8 T (naik Rp. 81 T) juga menambah PPH migas dari Rp. 41.6 T menjadi Rp. 53,6 T, pajak ekspor dari Rp. 4,0 T menjadi Rp. 11,1 T, dan Penerimaan Minyak Bumi dari Rp. 84,3T menjadi sebesar Rp. 149 T. Total perkiraan kenaikan penerimaan negara adalah sebesar Rp. 84 T. Ini yang tidak pernah dijelaskan pemerintah.
Kedua, alasan bahwa subsidi BBM lebih banyak dinikmati orang-orang kaya sehingga perlu dihapus cenderung dicari-cari. Pelaku usaha transportasi rakyat, industri kecil, dan nelayan juga merupakan konsumen terbesar BBM. Dalam struktur ekonomi yang timpang dan kolonialistik seperti di atas memang hampir semua layanan publik sepertihalnya jalan tol, jasa kepolisian, dan belanja publik lainnya akan lebih banyak dinikmati orang-orang kaya, bahkan termasuk keberadaan pemerintah itu sendiri. Apakah pemerintah dengan begitu perlu dihapuskan?
Dalam logika barang publik maka akses didapat dengan biaya sama karena yang membedakan adalah besaran pajak (progresif) yang harus dibayar orang-orang kaya dalam jumlah makin besar. Lagi pula, mengapa pemerintah tidak menghapus subsidi ke bank-bank yang jelas-jelas milik orang kaya yang dibayar sebesar Rp.40 T/tahun melalui oblikasi rekap?
Ketiga, alasan bahwa harga bensin premium di Indonesia terlalu murah dibanding negara lain pun terkesan menutup-nutupi fakta. Harga bensin di Venezuela hanya Rp 460/liter, di Saudi Arabia Rp 1.104/liter, di Nigeria Rp 920/liter, di Iran Rp 828/liter, di Mesir Rp 2.300/liter, dan di Malaysia Rp 4.876/liter. Rata-rata pendapatan per kapita di negara-negara tersebut lebih tinggi dari kita. Sebagai contoh Malaysia sekitar 4 kali lipat dari negara kita.
Sementara itu, AS dan Cina yang importer minyak terbesar dan ketiga di dunia tetapi harga minyak di AS cuma Rp 8.464/liter sementara Cina Rp 5.888/liter.. Padahal penduduk kedua negara lebih besar dari Indonesia (Cina penduduknya 1,3 milyar). Indonesia meski premium cuma Rp 4.500 (yang akan dinaikkan jadi Rp 6.000/liter) namun harga Pertamax mencapai Rp 8.700/liter. Lebih tinggi dari harga di AS. Padahal UMR di Indonesia cuma US$ 95/bulan sementara di AS US$ 980/bulan (nizaminz, 2008).
Keempat, alasan bahwa harga BBM yang terlalu murah telah memicu pemborosan konsumsi BBM di Indonesia terlalu dipaksakan. Data statistik menunjukkan untuk konsumsi minyak per kapita di Indonesia menempati urutan 116 di bawah negara Afrika seperti Namibia dan Botswana dengan 1,7 barrel per tahun (0,7 liter per hari). Untuk jumlah keseluruhan, Indonesia yang jumlah penduduknya terbesar ke 4 di dunia hanya menempati peringkat 17. (ibid).
Kelima, alasan bahwa pemerintah tidak memiliki opsi lain dalam “menyelamatkan APBN” selain menaikkan harga BBM pun terlalu lemah. Tersedia berbagai opsi untuk itu sepertihalnya penghapusan utang haram rezim korup dan diktator (odious debt) yang telah menguras seperempat APBN, pencabutan pembayaran bunga obligasi rekap, penetapan pajak progresif, dan penyelamatan aset-aset (SDA) negara yang dicuri.
Keenam, alasan bahwa dampak negatif kenaikan harga BBM dapat dieliminasi dan melalui penyaluran BLT sungguh terlalu naif. Belajar dari tahun 2005, BLT tidak ada kaitannya dengan pengurangan kemiskinan karena BLT sekedar diupayakan untuk meredam resistensi rakyat miskin. Selain nilai tambah ekonominya yang tidak lagi signifikan (kalah dengan makin beratnya ongkos hidup), nilai tambah sosial-kulturalnya sama sekali tidak berasa. Lagi-lagi rakyat miskin dipaksa “mengemis-ngemis” sekedar untuk mengharap belas kasihan Pemerintah.

Dekolonisasi Migas?
Berpijak pada pemikiran di atas maka tidak pada tempatnya mengakhiri perlawanan kebijakan BBM ketika melihat bahwa hakekat dari kebijakan tersebut adalah kegagalan pemerintah menjalankan amanat konstitusi (Pasal 33 UUD 1945) akibat paksaan struktur, jalan, dan pemikiran ekonomi kolonialistik di Indonesia.
Oleh karenanya, segenap elemen bangsa kini perlu menempuh langkah-langkah yang lebih progresif untuk mengembalikan jalan ekonomi nasional ke jalan konstitusi, di mana kontrol negara atas migas dan aset-aset strategis bangsa yang lain, akan menjadi kunci penting bagi tegaknya kembali kedaulatan ekonomi nasional dan kesejahteraan rakyat.
Kembalinya kontrol migas oleh negara akan memungkinkan alokasi produksi migas untuk kebutuhan domestik ketimbang luar negeri. Di samping itu, tingkat harga migas dapat ditentukan oleh pemerintah secara wajar sebagai bagian dari Public Service Obligation (PSO), ketimbang sebagai upaya maksimisasi profit melalui pemaksaan sistem pasar bebas (free-market mechanism) migas seperti yang berlaku saat ini.
Kita perlu mendesak pemerintah untuk menjalankan agenda nasionalisasi migas, yang diantaranya dapat dilakukan melalui penegasan tekad seluruh bangsa Indonesia untuk memutus ketergantungan terhadap korporasi migas asing, penghentian perpanjangan kontrak-kontrak kerja sama (KKKS) lama, dan negosiasi ulang dengan pemegang KKKS asing.
Pemerintah harus segera memobilisasi sumber daya baik modal, teknologi, institusi, dan SDM (pakar) nasional untuk mengelola migas Indonesia sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Pelibatan Pertamina dan BUMD perlu lebih diperluas untuk turut mengelola ladang-ladang migas Indonesia dan melaksanakan agenda konservasi dan diversifikasi sumber-sumber energi nasional.
Saatnya mengakhiri sindrom kompradorisme dan mental inlander bangsa dengan mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama bangkit. Bangkit tidak lain adalah memperjuangkan tegaknya konstitusi dan mengakhiri neokolonialisme ekonomi Indonesia.


Yogyakarta, 25 Mei 2008









[1] Dosen Negeri dpk di Universitas Mercu Buana Yogyakarta (www.unwama.ac.id), Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM (www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id), dan Presidium Sekolah Ekonomi Rakyat (SER), email: satriaegalita@yahoo.com, personal web: http://www.awansantosa.blogspot.com/, hp. 0816-169-1650

No comments: