Friday, May 02, 2008

100 TAHUN (MASIH) DIPANDU JALAN

Awan Santosa


Pergantian rezim pasca Pemilu di Indonesia tidak pernah diikuti dengan perubahan Tim Ekonomi yang masih saja sekedar penerus Mafia Berkeley yang menganut jalan ekonomi neoliberal. Di awal jalan, kebijakan yang ditempuh setiap rezim pemerintahan selalu condong pada jalan Konsensus Washington, yaitu penerapan deregulasi, liberalisasi, privatisasi, dan penghapusan subsidi.
Pilihan jalan liberalisasi dilakukan pada hampir semua sektor vital ekonomi nasional. Setelah liberalisasi keuangan dan perdagangan, liberalisasi pertanian dilakukan dengan membuka kran impor beras seluas-luasnya. Akibatnya bukan saja petani lokal yang terpukul, tetapi ketergantungan pangan kepada pihak luar dan korporasi asing yang bergerak di sektor pertanian pun juga kian besar.
Tidak cukup hanya itu, liberalisasi migas pun dipaksakan melalui penyerahan harga BBM pada mekanisme pasar (pengurangan subsidi), keleluasaan ekspansi korporasi migas asing, dan kenaikan harga BBM sebagai klimaksnya. Tak pelak, sektor riil mengalami kemunduran dan terparah dialami industri dan pertanian rakyat.
Pesta jaringan modal internasional kiranya makin lengkap dengan dilanjutkannya skema penggadaian aset-aset strategis dan penjualan (privatisasi) perusahaan nasional (BUMN). Tak kurang dilepasnya ladang migas Cepu oleh pemerintah SBY-JK makin memerosotkan derajat kebangsaan ekonomi kita.
Proses ini terus berjalan, dan diharapkan akan terus berjalan di masa yang akan datang. Oleh karenanya, jalan deregulasi-lah yang juga dilanjutkan hingga rezim SBY-JK. Keleluasaan ekspansi modal internasional untuk menguasai kekayaan Indonesia tidak cukup dilegalisasi melalui UU Sumber Daya Air dan UU Migas, tetapi juga disempurnakan dengan UU Penanaman Modal yang disahkan Maret 2007 yang lalu.
Di arus jalan neoliberal ini pulalah bangsa kita tidak mampu berbuat banyak dalam membuat alternatif kebijakan utang luar negeri. SBY-JK membuat terobosan dengan membubarkan CGI, tetapi tidak cukup konsisten untuk menahan agar bangsa kita tidak lagi berutang ke luar negeri. Debt Outstanding pemerintah justru naik dari 74,66 milyar US Dollar (2002) menjadi 81,23 milyar US Dollar (triwulan III 2007). Belum lagi obligasi (SUN) yang rajin dijual setiap tahunnya ke pasar internasional. Alhasil pendarahan APBN terus berlangsung karena seperempatnya digunakan hanya untuk membayar cicilan bunga dan pokok utang luar negeri
Hal ini aneh mengingat tersedianya banyak modal domestik di Indonesia. Pada tahun 2006 total dana simpanan seluruh Bank Umum di Indonesia sebesar Rp. 1.199 trilyun. Sementara yang disalurkan sebagai kredit baru sebesar Rp. 723,72 trilyun (60,3%). Jumlah simpanan bentuk SBI bank umum. per Desember 2006 sebesar Rp 343,455 triliun, meningkat pada Februari 2007 menjadi Rp. 364,11 triliun (28,6% dari total simpanan). Jumlah simpanan BPD se-Indonesia pada tahun 2007 sebesar Rp. 129,63 trlyun, yang sebesar 34,52 trilyun disimpan dalam SBI Bank Indonesia (26,6%) (Koran Sindo, 2007). Dana murni Pemda di instrumen Bank Indonesia sendiri sekitar Rp. 43 trilyun (ibid).
Di tengah jalan, stabilitas ekonomi makro kiranya belum mewujud pada kemandirian dan kedaulatan ekonomi nasional. Alih-alih itu, jalan ekonomi neoliberal yang ditempuh melalui deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi selama ini kian mengarahkan kondisi (struktur) perekonomian Indonesia ke dalam proses “asingisasi”.
Demikian kegelisahan bersama kita. Jalan ekonomi neoliberal yang diterapkkan hingga rezim SBY-JK saat ini telah tidak dapat dibedakan secara jelas dengan jalan ekonomi kolonial (neokolonialisme). Jalan ekonomi neoliberal yang senantiasa ditempuh pemerintah telah mengembalikan hegemoni modal internasional yang telah coba dirubuhkan oleh Bapak Pendiri Bangsa.
Kuatnya arus de-nasionalisasi ekonomi selama ini telah membentuk kembali susunan ekonomi Indonesia di bawah dominasi korporasi asing (pemodal internasional) yang kini menguasai 85,4% konsesi pertambangan migas, 70% kepemilikan saham di Bursa Efek Jakarta, dan lebih dari separuh (50%) kepemilikan perbankan di Indonesia (Forum rektor Indonesia, 2007).
Menyedihkan memang. 85,4 persen dari 137 konsesi pengelolaan lapangan migas di Indonesia masih dikuasai oleh korporasi asing, yang juga menduduki 10 besar produsen migas di Indonesia. Chevron Pacific (AS) berada di urutan pertama diikuti Conoco Phillips (AS), Total Indonesie (Prancis), China National Offshore Oil Corporation (Tiongkok), Petrochina (Tiongkok), Korea Development Company (Korea Selatan), dan Chevron Company (Petro Energy, 2007).
Sementara itu, delapan di antara 10 besar produsen gas di tanah air pun dikuasai asing. Total E&P Indonesie menempati peringkat pertama dengan total produksi gas mencapai 2.513 juta kaki kubik per hari dan Pertamina diperingkat kedua dengan total produksi 948,9 mmscfd (Investor Daily, 2007).
Di sisi lain, jalan ekonomi neoliberal SBY-JK telah kian menjauh dari perwujudan demokrasi ekonomi. Ketimpangan struktural ekonomi Indonesia justru kian melebar. Pelaku ekonomi rakyat (UMKM) Indonesia yang pada tahun 2006 berjumlah 48,9 juta (99,9%) hanya menikmati 37,6% ”kue produksi nasional”, sedangkan minoritas pelaku usaha besar (0,1%) justru menikmati 46,7%-nya pada tahun yang sama. Hasil produksi yang dinikmati usaha besar (korporasi) ini naik 3,6% dibanding tahun 2003 yang sebesar 43,1%.
Data perbankan menunjukkan bahwa per Juli 2007, 1.380 Trilyun dana pihak ketiga di bank 80%-nya dikuasai 1,82% pemegang rekening (Kuncoro, 2007). Rekening bernilai di atas 100 juta dengan total nilai 85% Dana Pihak Ketiga (DPK) hanya terdiri dari sekitar 1,5% rekening. Bahkan yang bernilai di atas 1 milyar hanya terdiri dari 0,14% rekening, yang menguasai lebih dari 50% DPK (Rizki, 2007).
Sementara itu, dalam konteks makro-daerah, sentralisasi fiskal tetap berlangsung di tengah pelaksanaan otonomi daerah dan masih besarnya derajat ketimpangan ekonomi antardaerah. Hal ini ditunjukkan dengan Rasio PAD terhadap APBD di Kabupaten/Kota 5 tahun setelah Otonomi Daerah (2006) yang sebesar 6,80%, justru turun dari sebesar 10,31% pada tahun 1999/2000 (Kuncoro, 2008). Ketergantungan fiskal daerah kepada pemerintah pusat terjadi bersamaan dengan sentralisasi ekonomi (perbankan, media, korporasi) di pusat bisnis dan kekuasaan (Baswir, 2007).
Apakah hasil pilihan jalan tersebut membawa kesejahteraan dan kedaulatan rakyat Indonesia? Bukankah tidak maju sebuah bangsa sebelum menghapus betul sifat kolonial yang ada dalam tubuh ekonomi-politiknya?
Di ujung jalan, telah terjadi kemerosotan kesejahteraan rakyat, meluasnya ketimpangan, kehancuran lingkungan, dan degradasi moral (nilai sosial) yang menunjukkan kepada kita bagaimana dahsyatnya daya rusak ekonomi neoliberal yang telah menguras kekayaan SDA yang melimpah ruah di Indonesia.
Jalan ekonomi neoliberal telah meningkatkan kemiskinan dari sebesar 16,7 % di tahun 2004 menjadi 17,75% pada tahun 2006. Tingkat pengangguran pun juga meningkat dari sebesar 9,86% pada tahun 2004 menjadi 10,84% pada tahun 2005. Pada saat yang sama ketimpangan pendapatan pun meningkat yang diindikasikan dengan rasio gini yang sebesar 0,28 pada tahun 2002 menjadi sebesar 0,34 pada tahun 2005.
Kue nasional yang dinikmati oleh kelompok 40% penduduk termiskin turun dari 20,92 tahun 2002 menjadi 19,2 pada tahun 2006. Ironisnya, yang dinikmati oleh 20% kelompok terkaya naik dari 44,7% menjadi 45,7% pada tahun yang sama. Hingga akhir 2007 ini, jumlah pengangguran pun masih sekitar 10,55 juta jiwa atau 9,75%, sedangkan angka kemiskinan masih bertengger sekitar 34,2 juta orang atau 17,3%, jauh dari target yang ditetapkan SBY-JK. Sebuah paradoks di negeri yang sangat kaya SDA!
Sementara itu, Nilai Tukar Petani sekarang merupakan yang terendah sejak 10 tahun terakhir. Pada saat yang sama kesejahteraan buruh industri juga merosot, di mana upah riel buruh industri juga tumbuh negatif selama satu tahun terakhir. Kemerosotan sektor riil nampak pada merosotnya Indek Produksi Padat Karya, seperti tekstil sebesar 11%, pakaian jadi sebesar 13%, dan barang dari logam sebesar 10% (Forum Rektor Indonesia, 2007).
Kehancuran lingkungan hidup yang memakan korban jiwa terus berlansung akibat over-eksploitasi terindikasikan dengan berbagai bencana (seperti banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan), pencemaran air, sungai, dan udara. Ketidakberdayaan pemerintahan SBY-JK untuk mengelola lingkungan terkait dengan liberalisasi SDA di mana banyak aset-aset SDA yang dikuasai oleh modal asing dan domestik melalui kontrak-kontrak karya.
Hal ini belum termasuk kehancuran moral, akhlak, dan kohesi sosial bangsa Indonesia karena ketertundukan pada spirit materialisme dan individualisme yang diusung ekonomi neoliberal. Mal-mal dan tempat hiburan malam berkembang sebagai upaya untuk menguasai pasar (konsumen) yang harus dilucuti atribut kearifan lokal, nasionalisme, dan keber-agamaan-nya
Angka-angka statistik kiranya tidak akan menggambarkan kepedihan nasib rakyat miskin yang merasakan kian susahnya hidup saat ini. Visualisasi kepedihan ini berupa busung lapar, gizi buruk, kaum miskin tak bertempat tinggal, stress massal, sekolah rusak, dan seabreg masalah sosial ekonomi lain di alam Indonesia yang sudah 62 tahun merdeka.
Sebuah paradoks luar biasa di negeri kaya SDA ini yang (masih) harus mengalami nasib yang menyedihkan berupa krisis minyak tanah, krisis listrik, krisis pangan, krisis modal, dan berbagai harga kebutuhan pokok (migor, susu, dan kedelai) yang makin membumbung tinggi. Biaya hidup terus meningkat dan untuk banyak rumah tangga (miskin) menjadi makin tak terjangkau lagi.
Bagaimana keluar dari jalan buntu selama ini?
Jalan baru ekonomi-politik adalah sebuah keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Jalan baru ini kiranya jelas harus diikuti dengan kepemimpinan baru dan kehadiran tim ekonomi baru pasca Pemilu 2009 yang dapat memutus mata rantai (siklus) ekonomi neokolonial (neoliberal) di Indonesia.
Jalan baru ini bukan sekedar menunjukkan mimpi ekonomi Indonesia di masa depan, melainkan jalan mana yang perlu ditempuh untuk mewujudkannya. Sebagai pedoman adalah ”Jalan Baru Pendiri bangsa” yang sudah diletakkan 62 tahun yang lalu dan kita sia-siakan hingga hari ini.
Jalan itu ditekadkan untuk mengeluarkan Indonesia dari jalan lama 3,5 abad di bawah cengkeraman kolonialisme. Jalan baru segera disusun dan secara jelas dituangkan ke dalam UUD 1945 yang disahkan sehari setelah proklamasi. Agenda jalan baru tersebut adalah menghapus dominasi kolonialis (asing) dalam struktur ekonomi Indonesia yang ditunjukkan dengan segelintir elit bangsa Belanda (Eropa) yang menguasai banyak sumber daya Indonesia, bangsa Timur Asing yang menguasai jalur distribusi, dan mayoritas massa pribumi (ekonomi rakyat) Indonesia di lapisan terbawah.
Jalan itu ditumpukan pada tiga pilar utama, yaitu demokratisasi perekonomian melalui koperasi, penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, dan penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di Indonesia. Ketiga pilar ini kemudian diamanatkan dalam Pasal 33 ayat 1-3 UUD 1945.
Jalan inilah yang dengan perjuangan keras telah membuahkan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, yang 6 tahun pasca proklamasi masih berkuasa atas perusahaan listrik, kereta api, telekomunikasi, perkebunan, dan tambang minyak di Indonesia. Jalan ini pulalah yang membawa bangsa Indonesia mampu duduk sejajar bangsa adidaya dan bahkan mampu menjadi pelopor perjuangan anti-kolonialisme bagi negara- negara baru merdeka di Asia-Afrika.
Jalan baru ini dapat ditempuh melalui banting stir paradigma dan kebijakan ekonomi nasional yang telanjur bercorak neoliberal. Berbagai agenda strategis manifes nasionalisme dan demokrasi ekonomi yang saat ini perlu diseriusi di antaranya adalah penghapusan utang luar negeri, nasionalisasi penguasaan SDA, penghentian privatisasi dan liberalisasi ekonomi, revitalisasi koperasi sejati, demokratisasi keuangan, demokratisasi perusahaan, dan reformasi agraria.
Konsepsi beragam agenda tersebut sudah tersedia dan sebagian telah diperjuangkan oleh berbagai elemen masyarakat sipil pada berbagai level. Hanya saja sebagian besar masih berada pada taraf pinggiran dan membutuhkan konsolidasi dan mobilisasi gerakan yang lebih intensif. Pada posisi inilah perlu konsolidasi dan penyemaian realisasi agenda-agenda yang terbingkai dalam jalan baru anti-neokolonialisme kepada khalayak yang lebih luas. Konsolidasi basis gerakan ekonomi kerakyatan yang didukung kaum intelektual-progresif inilah yang kiranya menentukan efektifitas realisasi jalan baru Indonesia.
Kini peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional perlu dijadikan momentum untuk menegaskan perlunya jalan baru bagi perekonomian Indonesia, yaitu (kembali ke) jalan demokrasi ekonomi (ekonomi kerakyatan) yang anti-neokolonialisme ekonomi Indonesia.

No comments: