Friday, May 25, 2007

DEMOKRATISASI BUMD

Awan Santosa[1]



RUU BUMD masih dibahas pemerintah dan DPR. Walau begitu, revisi UU No 5 Tahun 1962 tersebut kiranya akan pararel dengan semangat liberalisasi dan privatisasi yang diusung Undang-Undang sebelumnya. Perluasan peran korporasi swasta (asing) seperti yang nampak dalam UU Sumber Daya Air, UU BUMN, UU Penanaman Modal, dan UU Perkeretaapian kemungkinan menjadi solusi revitalisasi peran BUMD bagi kemajuan ekonomi daerah.

Privatisasi BUMD, seperti yang sudah dilakukan terhadap BUMN, bukan sekedar kekhawatiran semu belaka, Paling tidak kita dapat belajar dari kasus privatisasi PDAM DKI Jaya, yang kini mayoritas sahamnya dikuasai oleh korporasi asing (RWE Thames dan Ondeo Suez). Kondisi obyektif yang dapat saja menjadi rasionalisasi privatisasi adalah rendahnya kinerja BUMD akibat intervensi birokrasi (Pemda) yang berlebihan dan kelangkaan pembiayaan (terjebak utang).

Ilustrasi yang paling mudah masih seputar PDAM. Dari 293 PDAM di Indonesia, hanya 29 yang berada dalam kondisi sehat. Sisanya dalam keadaan menanggung utang sebesar Rp.4 triliun kepada pemerintah. Jumlah itu semakin melonjak pada 2004, utang seluruh PDAM mencapai Rp.5,3 triliun (KAI, 2007). Berbagai masalah tersebut dinilai akan menghambat kinerja PDAM yang pada akhirnya akan memperpuruk layanan publik. Belum lagi bicara harga dan kualitas layanan PDAM yang sering dikeluhkan masyarakat, tentu akan menjadi amunisi bagi perlunya pelibatan luas korporasi di sektor publik.

Namun. ceritanya akan lain jika pemerintah dan DPR belajar dari kenaikan tarif air sebagai dampak nyata privatisasi PDAM Jaya. Water charge, yaitu imbalan yang diminta swasta, selalu lebih tinggi dari tarif air yang dibayar warga. Selisih yang terus terjadi tiap bulan dihitung sebagai utang yang hanya akan terbayar dengan menaikkan tarif. JIka PAM Jaya/Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengakhiri kontrak, mereka harus membayar kepada swasta seluruh investasi yang (diklaim) telah ditanam di Indonesia dan keuntungan (prospektif) dari separuh sisa masa kontrak yang nilainya sering disebut-sebut Rp 450 miliar (Ardhianie, 2005).

Pola Demokratisasi BUMD

Kiranya makin jelas relevansi amanat Pasal 33 UUD 1945. Tampuk produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak tidak seharusnya dikuasai orang-perorang (swasta). Contoh di atas, dan banyak contoh lain, menyiratkan bahwa dibalik tuntutan peran korporasi bersemayam naluri instrinsik untuk sebesar-besar mengeruk keuntungan dan mengakumulasi kapital. Terlebih, jika itu adalah korporasi asing, maka naluri intrinsiknya adalah menguasai faktor produksi nasional dan menyedot surplus perusahaan untuk di bawa keluar. Lantas, bagaimana alternatif pengelolaan BUMD, di tengah berbagai persoalan yang melilit BUMD, selain bertumpu pada peran besar korporasi swasta?

Jawabannya kembali dapat kita temukan dalam Pasal 33 UUD 1945. Semestinya ”perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Pengelolaan BUMD oleh karenanya mestilah berpegang pada prinsip ”produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Oleh karenanya, alih-alih melakukan privatisasi, yang patut dilakukan pemerintah sesuai amanat konstitusi dan nalar teoritik (pengalaman empirik) tersebut adalah demokratisasi BUMD.

Demokratisasi BUMD dilakukan melalui perluasan kepemilikan, kontrol, dan pengambilan keputusan BUMD oleh rakyat banyak. Salah satu pola yang mungkin ditempuh adalah perluasan kepemilikan saham BUMD (yang berbentuk perseroan), yang selama ini dipegang sepenuhnya oleh Pemda, kepada serikat pekerja, konsumen, koperasi, dan pelaku ekonomi lokal lain yang usahanya terkait dengan BUMD. Pemerintah daerah dan DPRD berperan dalam proses perencanaan dan pengawalan transformasi kepemilikan dan kontrol ini dengan melibatkan stakeholder BUMD domestik tersebut.


Arti Strategis Demokratisasi BUMD

Pola tersebut akan memiliki setidaknya tiga arti strategis. Pertama, pola ini mengintegrasikan sektor perbankan dengan pembiayaan sektor riil (BUMD) di daerah. Perbankan daerah dapat menyediakan kapital tambahan bagi pembelian saham terencana oleh pekerja dan stakeholder BUMD domestik lainnya. Rasio kredit-tabungan (LDR) bank-bank di daearah yang baru sebesar 60%, bahkan di daerah-daerah tertentu masih di bawah 30%, menunjukkan belum optimalnya peranan perbankan bagi pembangunan daerah. Oleh karenanya, tiga hal akan tercapai sekaligus: optimalisasi potensi modal domestik, modal tidak tersedot keluar daerah, dan terhindar dari ketergantungan pada modal asing.

Kedua, pola ini akan memperbaiki kinerja BUMD sekaligus memastikannya menjadi cerminan langsung peningkatan kontrol (partisipasi) publik dan kesejahteraan pekerja, konsumen, serta masyarakat daerah sebagai pemilik dan pengendali BUMD. Kinerja BUMD akan meningkat seiring dengan peningkatan partisipasi (kontrol) publik. Hal ini berbeda pada BUMD yang dikuasai korporasi (asing) yang hanya akan menunjukkan ”kinerja semu” karena penikmat sejatinya terbesarnya adalah para akumulator (pemilik) modal di dalam dan luar negeri.

Ketiga, pola ini dengan sendirinya membatasi ruang gerak intervensi politik dalam pengelolaan BUMD. BUMD akan dikelola tidak saja secara transparan dan akuntabel, tetapi juga secara demokratis (partisipatif). Serikat pekerja dan multistakeholder BUMD lokal pun akan memiliki posisi tawar yang lebih kuat dalam menghalangi setiap bentuk eksploitasi yang secara langsung akan merugikan mereka. Kini bagaimana peluang penyelenggaraan demokratisasi BUMD di Indonesia?


Prasyarat Demokratisasi BUMD

Realisasi demokratisasi BUMD tergantung pada terpenuhinya beberapa prasyarat objektif dan subjektifnya. Pertama, revisi UU BUMD dan UU Perseroan Terbatas (PT) yang tengah berlangsung menyediakan payung hukum bagi demokratisasi BUMD. Kedua, manajemen dan serikat pekerja BUMD yang berbentuk PT memiliki komitmen untuk memperjuangkannya.

Ketiga, perubahan status badan hukum dari Perusda (PD) ke PT yang difasilitasi Pemda dan DPRD dilakukan untuk mendorong demokratisasi, bukannya privatisasi BUMD. Keempat, masyarakat dan organisasi sosial-ekonomi daerah sadar bahaya privatisasi dan manfaat demokratisasi, sehingga berpartisipasi baik secara politik maupun finansial. Kelima, tersedia dukungan (skema) pendanaan dari perbankan daerah.

Sudah saatnya pemerintah dan masyarakat daerah menentukan pilihan. Tetap melanggengkan relasi timpang antara daerah dan Jakarta, antara ekonomi lokal dan investor asing, dan antara pekerja dan pemilik kapital, ataukah merombaknya secara mendasar. Relasi produksi dan alokasi yang etis, humanis, demokratis, nasionalistik, dan berkeadilan sosial itulah yang menjadi impian demokratisasi ekonomi, yang salah satunya dilakukan melalui demokratisasi BUMD. Wallahu’alam.


Yogyakarta, 20 Mei 2007

[1] Dosen Universitas Wangsa Manggala, Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM (www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id), dan Koordinator Presidium Sekolah Ekonomi Rakyat (SER) Yogyakarta (www.sekolahekonomirakyat.blogspot.com). email: satriaegalita@yahoo.com, personal web: www.awansantosa.blogspot.com, hp. 08161691650

No comments: