Friday, May 25, 2007

DEMOKRATISASI BUMN

Awan Santosa[1]



Tak lama setelah dilantik sebagai Meneg BUMN baru, Sofyan Djalil berujar bahwa hal utama yang akan ia lakukan adalah meneruskan program privatisasi BUMN. Dalam pemahaman pemerintah selama ini, seperti yang tertuang dalam UU BUMN, privatisasi berarti menjual BUMN, utamanya melalui penawaran perdana (IPO) di pasar modal maupun stategic sales (SS) kepada investor swasta. Oleh karena itu, hampir dipastikan itulah yang akan dilakukan Meneg BUMN baru.

Pemerintah selama ini berargumen bahwa privatisasi perlu dilakukan untuk menutup defisit anggaran. Beragam teori ekonomi lain kemudian dijadikan pelengkap rasionalisasi. Privatisasi dipercaya sebagai jalan menghilangkan intervensi politik (birokrasi negara) terhadap BUMN. Privatisasi juga dianggap cara yang paling ampuh untuk menyehatkan dan meningkatkan kinerja (efisiensi) BUMN. Kisah privatisasi di negara lain pun sering dijadikan rujukan. Benarkah demikian?

Hakekat Privatisasi

Dua fakta dapat memperjelas ujung-pangkal privatisasi. Pertama, privatisasi BUMN Indonesia –dan di negara lain- berpangkal pada agenda Konsensus Washington yang dimotori IMF dan Bank Dunia. Persis misalnya privatisasi di Bangladesh, Ghana, Gambia, dan Jamaica yang disponsori oleh USAID (Patriadi, 2003). Kedua, privatisasi BUMN Indonesia berujung pada asingisasi. PT Indosat dan PT Telkomsel sebagian (besar) sahamnya dikuasai STTC dan Singtel, keduanya adalah BUMN milik Pemerintah Singapura. Privatisasi pararel dengan liberalisasi ekonomi yang berujung pada dominasi modal asing terhadap 80% pengelolaan migas, 50% penguasaan perbankan, dan 70% kepemilikan saham di pasar modal Indonesia.

Berdasar ujung-pangkal di atas kiranya lebih mudah memahami privatisasi sebagai upaya sistematis untuk mengambil-alih ekonomi Indonesia. Privatisasi BUMN (juga aset strategis nasional seperti air dan migas) hakekatnya adalah rampokisasi (Baswir, 2006). Dalam spektrum yang lebih luas, privatisasi adalah salah satu bentuk imperialisme baru (Petras & Veltmeyer, 2001), yang lebih mengabdi pada maksimalisasi nilai saham untuk kepentingan pemilik asing (Stiglitz, 2002). Privatisasi terhadap BUMN yang sehat, prospektif, dan bisnisnya terkait dengan hajat orang banyak (layanan publik) di Indonesia selama ini telah memuluskan penyedotan surplus ekonomi (net-transfer) kepada pihak luar

Oleh karenanya, kegagalan pemerintah dalam pengelolaan ekonomi (BUMN) seperti yang ditudingkan selama ini semestinya dimaknai tiga hal: Pertama, kegagalan karena warisan struktur ekonomi kolonial-sentralistik yang mendorong inefisiensi dan eksploitasi BUMN. Kedua, kegagalan karena marjinalisasi peran negara pasca liberalisasi yang bertolakbelakang dengan amanat Pasal 33 UUD 1945. Dan ketiga, kegagalan karena pengabaian terhadap solusi-solusi alternatif-kerakyatan dalam membangun BUMN berbasis daya dukung domestik yang tersedia.

Pola Demokratisasi BUMN

Solusi terhadap persoalan BUMN dengan begitu tidak mungkin bersifat parsial. Terlebih menyerahkan kuasa BUMN pada korporasi (asing) tentu bukanlah pilihan bijak Logika dasar yang menggerakkan korporasi adalah akumulasi (konsentrasi) kapital, bukannya tanggung jawab sosial. Hukum positif pun sudah mengatur demikian. Program sosial dilakukan demi tujuan dasar tersebut, sehingga proporsinya jauh lebih kecil dan tidak signifikan dibanding nilai faktor produksi yang dieksploitasi dan surplus ekonomi yang telah dibawa keluar.

Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah menimbang dilakukannya demokratisasi BUMN, bukannya privatisasi, sebagai solusi berbagai persoalan yang dihadapi BUMN dan perekonomian nasional. Demokratisasi BUMN yang sejalan amanat demokrasi ekonomi Pasal 33 UUD 1945 diwujudkan melalui perluasan (transformasi) kepemilikan dan kontrol BUMN oleh rakyat Indonesia. Transformasi ini dilakukan melalui sistem perencanaan demokratis yang melibatkan pemerintah dan stakeholder BUMN domestik dan bukan mengabdi pada mekanisme pasar (bebas) lewat listing di pasar modal.

Demokratisasi BUMN dapat dilakukan melalui pola redistribusi saham terencana kepada serikat pekerja, konsumen, Pemerintah Daerah, BUMD, koperasi, dan pelaku ekonomi rakyat Indonesia lainnya. Pola ini, walau terbatas pemberian (pembelian) saham pada pekerja, telah diterapkan misalnya di Georgia, Lithuania, Maldova, dan Rusia, dengan perbaikan kinerja BUMN yang signifikan. Di Georgia misalnya, kepemilikan saham pemerintah dipertahankan sebesar 65% pada 900 BUMN. Para pekerja diberikan saham sebesar 5% secara gratis; 3% ditawarkan dengan potongan 20% dan sekitar 28% dipasarkan kepada manajer dan pekerja melalui lelang (Patriadi, 2003).

Arti Strategis Demokratisasi BUMN

Pola tersebut setidaknya memiliki tiga arti strategis. Pertama, pola ini akan mengintegrasikan sektor moneter dan sektor riil melalui mobilisasi sumber keuangan domestik yang tersedia. Perbankan dapat menyediakan kapital bagi pembelian saham terencana oleh pekerja dan stakeholder BUMN domestik lainnya. Saat ini LDR perbankan nasional baru sebesar 60% dan sekitar Rp. 250-300 trilyun dana bank pun hanya diendapkan di SBI. Oleh karenanya, tiga hal akan tercapai sekaligus: optimalisasi potensi keuangan domestik, peningkatan modal perusahaan, dan penghindaran dari ketergantungan modal asing.

Kedua, pola ini selain akan memacu kinerja pekerja BUMN, sekaligus dapat memastikan bahwa perbaikan kinerja BUMN tersebut adalah cerminan langsung peningkatan kontrol (partisipasi) publik dan kesejahteraan pekerja, konsumen, serta masyarakat luas sebagai pemilik dan pengendali BUMN. Hal ini berbeda pada BUMN pasca privatisasi (asingisasi) yang hanya akan menunjukkan ”kinerja semu” karena penikmat sejatinya terbesarnya adalah para akumulator (pemilik) modal di luar negeri.

Ketiga, pola ini dengan sendirinya membatasi ruang gerak intervensi politik dalam pengelolaan BUMN. Tidak akan ada lagi istilah BUMN sebagai ”sapi perah” kelompok politik tertentu. BUMN akan dikelola tidak saja secara transparan dan akuntabel, tetapi juga secara demokratis. Serikat pekerja dan multistakeholder BUMN domestik pun akan memiliki posisi tawar yang lebih kuat dalam menghalangi setiap bentuk eksploitasi yang secara langsung akan merugikan mereka. Kini bagaimana prospek demokratisasi BUMN di Indonesia?

Alih-alih memikirkan alternatif tersebut, pemerintah dan DPR justru gencar menyediakan produk hukum yang memuluskan jalan privatisasi BUMN dan aset strategis nasional. Hal itu tercermin dalam UU Sumber Daya Air, UU Migas, UU BUMN, UU Penanaman Modal, dan UU Perkeretaapian yang baru saja disahkan. Prospek demokratisasi BUMN nampaknya masih suram karena sampai saat ini yang lebih mungkin justru pelepasan satu per satu aset publik terkonsentrasi ke tangan segelintir pemodal besar (asing).

Memang tak mudah meyakinkan pemerintah dan DPR perlunya demokratisasi, dan bukan privatisasi BUMN. Terlebih isu privatisasi yang menilik hakekatnya di awal bukan lagi domain teoritik dan akademis, melainkan domain kekuasaan dan politik ekonomi. Setiap upaya merombak struktur kekuasaan, terlebih yang melibatkan relasi domestik-internasional, pastilah berhadapan dengan reaksi pemangkunya. Tetapi bagaimanapun kita harus berani dan optimis, karena disitulah kemerdekaan dan kedaulatan kita sebagai bangsa dinilai. Wallahu’alam.


Yogyakarta, 19 Mei 2007


[1] Dosen Universitas Wangsa Manggala, Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM (www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id), dan Koordinator Presidium Sekolah Ekonomi Rakyat (SER) Yogyakarta (www.sekolahekonomirakyat.blogspot.com). email: satriaegalita@yahoo.com, personal web: http://www.awansantosa.blogspot.com/, hp. 08161691650

No comments: