Nama : Awan Santosa
Tempat/tgl lahir : Yogyakarta, 15 April 1979
Alamat rumah : Sapen GK I/535 Yogyakarta
Telepon : 08161691650
E-mail : awansantosa@ugm.ac.id
Website : www.awansantosa.blogspot.com
Riwayat Pendidikan
1. SD Demangan I Yogyakarta (1986-1991)
2. SMP Condong Catur I Sleman Yogyakarta (1991-1994)
3. SMU 9 Yogyakarta (1994-1997)
4. S-1 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (1997-2002)
Riwayat Organisasi
1. Ketua Umum Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ekonomi UGM tahun 1999/2000
2. Ketua Umum Ikatan Pemuda Sapen (IPSA) Yogyakarta tahun 1998/2000
3. Pegiat Lingkar Studi Alternatif (LSA) Yogyakarta tahun 1999/2000
4. Wakil Ketua Remaja Masjid Safinaturahmah Sapen Yogyakarta tahun 2000/2001
5. Koordinator Sekolah Ekonomi Rakyat (SER) Yogyakarta tahun 2004-2005
6. Koordinator Program Kuliah Ekstrakurikuler Ekonomi Pancasila (KEEP) tahun 2005
7. Sekretaris Forum Komunikasi Ekonomi Pancasila (FORKEP) tahun 2005- sekarang
Riwayat Pekerjaan
1. Staf Pengajar Bulaksumur Association (BSA) Yogyakarta tahun 2000/2001
2. Staf Pengajar Cupido : English for Kids tahun 2001/2002
3. Tentor privat
4. Asisten penelitian Prof Mubyarto tahun 2002/2003
5. Peneliti pada Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) UGM tahun 2003-sekarang
6. Dosen Negeri DPK di Universitas Wangsa Manggala Yogyakarta, tahun 2005 - ..
Riwayat Penelitian
1. Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kemiskinan Kabupaten Gunungkidul : Analisis hasil Susenas tahun 1996-2000
2. Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pacitan, tahun 2002
3. Evaluasi Dampak Program Penanggulangan Kemiskinan Bersasaran (IDT, PPK, P2KP dan Program Padat Karya) : Studi Kasus 5 Kabupaten di DIY, tahun 2002-2003
4. Studi Potensi dan Kajian Pendirian Lembaga Keuangan Mikro di Kabupaten Kulon Progo, tahun 2003
5. Pembuatan Masterplan Ekonomi Kerakyatan Kabupaten Kutai Barat, tahun 2003
6. Penyusunan Profil Kabupaten Kutai Barat, tahun 2003
7. Monitoring dan Evaluasi Gerakan Sendawar Makmur (GSM) Kabupaten Kutai Barat, tahun 2004
8. Mid-Term Review Propeda-Renstra Kabupaten Kutai Barat, tahun 2004
9. Relevansi Pendidikan Ekonomi di Perguruan Tinggi Indonesia (Studi Kasus di Fakultas Ekonomi UGM), tahun 2004
10. Studi Potensi Pendirian Lembaga Keuangan Mikro di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, tahun 2005
Riwayat Publikasi
1. Evaluasi Program Penanggulangan Kemiskinan Bersasaran (IDT, PPK, dan P2KP) di Propinsi DIY (bersama Drs. Puthut Indroyono dan Dadit G. Hidayat, ST), Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia dan Jurnal Ekonomi Rakyat (www.ekonomirakyat.org), 2003
2. Pendidikan Ekonomi Alternatif di Sekolah Lanjutan (Bersama Prof. Dr. Mubyarto), Aditya Media, 2004
3. LKM Berpola Mobile Banking, dalam Keuangan Mikro Kulon Progo, Aditya Media, 2004
4. Kemiskinan Struktural dan Ekonomi Kerakyatan, dalam Kutai Barat Mengembangkan Ekonomi Kerakyatan, Aditya Media, 2004
5. Reformasi Total Pendidikan, dalam Pemberantasan Kemiskinan Melalui Gerakan Sendawar Makmur, Aditya Media, 2004
6. Pengembangan Keuangan Mikro, dalam Pemberantasan Kemiskinan Melalui Gerakan Sendawar Makmur, Aditya Media, 2004
7. Pemulihan Ekonomi Dihadang Globalisasi, dalam Majalah Ekonomisi, Edisi 3/Tahun III/2001
8. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan : Kritik Terhadap Paradigma Agribisnis (Bersama Prof. Dr. Mubyarto), Jurnal Ekonomi Rakyat, 2003
9. Relevansi Platform Ekonomi Pancasila dalam Penguatan Ekonomi Rakyat, Jurnal Ekonomi Rakyat, 2004
10. Koperasi Sebagai Sokoguru Perekonomian, dalam Ekonomi Rakyat Nganjuk, Aditya Media, 2004
11. Kutai Barat Membangun Manusia Seutuhnya (Bersama Prof. Mubyarto), dalam Pembangunan Daerah Kutai Barat : Mid-Term Review Propeda Kutai Barat, Aditya Media, 2005
12. Menggugat Sistem Perbankan Kapitalis (bersama Prof. Mubyarto), dalam Menggugat Ketimpangan dan Ketidakadilan Ekonomi Nasional, Aditya Media, 2005
13. Ekonomi Rakyat Tidak Tunduk Pada Globalisme, dalam Majalah PROSPEK-UNY Edisi 1, 2005
14. Pendidikan Ekonomi Alternatif di Sekolah Lanjutan (Bersama Prof. Dr. Mubyarto), dalam Jurnal Ilmu Sosial “Socia”, Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Yogyakarta, 2005
15. Artikel lain di homepage pribadi : www.awansantosa.blogspot.com
Riwayat Sebagai Pemateri/Pembicara Seminar/Diskusi
1. Lokakarya Pengembangan Keuangan Mikro di Kulon Progo, 2004
2. Training Pemandu “Simfoni” dengan materi “FE UGM Sebagai Kampus Ekonomi Rakyat”, Juli 2004
3. Diskusi Serial Sekolah Ekonomi Rakyat, 2004-2005
4. Seminar Koperasi dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, Koperasi Mahasiswa Universitas Islam Negeri, Mei 2005
5. Seminar Bulanan Pustep-UGM dengan topik “Ekonomi Terjajah dan Pendidikan Ekonomi Pancasila”, Mei 2005
6. Kuliah Ekstrakurikuler Ekonomi Pancasila (KEEP) dengan materi Nasionalisme Ekonomi, FE UGM, 21 Mei 2005
7. Diskusi Publik Forum LSM DIY dalam rangka Hari Kebangkitan Nasional, Mei 2005
8. Diskusi Majalah Balairung tentang “Ekonomi Pancasila”, Mei 2005
9. Ceramah Neoliberalisme Mencengkeram Ekonomi Indonesia, dalam program Sekolah Anti Neoliberalisme HMI Yogyakarta, Agustus 2005
10. Studium General “Krisis Energi” dalam rangka OSPEK Mahasiswa Baru FE-UAD, Agustus 2005
11. Diskusi “Kenaikan Harga BBM” di KAMMI Komisariat UGM, September 2005
12. Diskusi “ Jatuhnya Rupiah” di BEM KM UGM, September 2005
13. Diskusi “Kapitalisme, Sejarah dan Perkembangannya” di Pusat Kajian Ekonomi FE- Sanata Dharma, September 2005
14. Diskusi “Makro-Ekonomi Rakyat” di Diskusi SER-ial Sekolah Ekonomi Rakyat, September 2005
Sunday, December 04, 2005
Friday, October 21, 2005
LIBERALISASI TIDAK UNTUK RAKYAT KECIL
Awan Santosa
Kenaikan harga BBM rata-rata 130% telah memperpuruk ekonomi rakyat. Industri kecil terancam bangkrut, nelayan banyak yang tak lagi mampu melaut, belum lagi harga kebutuhan pokok yang melonjak tak terkendali. Beban hidup makin sulit. Seolah penderitaan belum akan lekas berlalu dari hari-hari rakyat kecil. Di tengah itu semua, iklan persuasif bahwa hal itu demi rakyat kecil terus saja dikampanyekan pemerintah. Begitu kontras dengan kenyataannya. Apalah daya, harapan begitu besar tergantung di pundak pemimpin mereka, namun yang tersisa hanyalah janji-janji (kebohongan?) yang tidak terbukti.
Dana kompensasi pun tak banyak membantu rakyat kecil. Selain nilai tambah ekonominya yang tidak lagi signifikan (kalah dengan makin beratnya ongkos hidup), nilai tambah sosial-kulturalnya sama sekali tidak berasa. Lagi-lagi warga miskin dipaksa “mengemis-ngemis” sekedar untuk mengharap belas kasihan Pemerintah. Belum rasa saling curiga, iri hati, permusuhan yang timbul karena distribusinya yang dianggap tidak adil. Terlebih kronisme masih mewarnai pola ini di mana PNS golongan III, warga ber-HP, bermotor bagus, dan berrumah “mewah” pun mendapat bagian. Pola ini telah menghancurkan solidaritas dan kohesivitas sosial antarwarga (miskin).
Pola subsidi tunai yang mengacu sistem jaminan sosial negara maju ini jelas tidak relevan dipakai di negara kita. Pemerintah negara maju relatif mudah memetakan dan mengkategorikan siapa yang bakal mendapat subsidi tunai, terutama kaum pengangguran yang pasti miskin. Di negara kita berlaku sebaliknya. Selain jumlah keluarga miskin yang terlalu banyak, “penampakan” kemiskinan yang ada pun begitu kompleks, penuh dengan kriteria yang bervariasi. Alhasil, pola yang sangat dipaksakan ini meyakinkan kepada kita bahwa pemerintah tidak sungguh-sungguh untuk membantu rakyat miskin.
Pemiskinan ‘ala Liberalisasi?
Kondisi itu hanyalah awal dari proses pemiskinan dalam jangka ke depannya. Naiknya harga BBM hanyalah “pintu masuk” bagi proses liberalisasi yang arusnya audah demikian kuat pasca keluarnya UU No 22/2001. Liberalisasi ditandai dengan empat alur yang tengah berlangsung, yaitu diperkecilnya peran Pemerintah dan Pertamina, berubahnya BBM dari barang publik ke barang privat, dilepasnya harga BBM ke mekanisme pasar, dan masuknya korporat swasta dalam bisnis migas hingga sektor hilir. Bagian terakhir inilah yang paling krusial. Saat ini sudah ada 179 korporat swasta asing dan domestik yang menuntaskan perijinan bisnis mereka.
Dalih-dalih pembenar kenaikan harga BBM apapun ditempuh, sebesar-besar agar liberalisasi segera dijalankan. Korporat migas sudah tak sabar ingin menangguk keuntungan dari bisnis yang sangat menjanjikan ini. Tak lama lagi harga BBM akan dilepas ke pasar. Ini berarti akses akan ditentukan oleh daya beli (banyak sedikitnya modal). Kira-kira ungkapannya adalah “kalau nggak sanggup beli gas, ya ngga usah beli”. BBM tidak lagi dianggap barang publik, tetapi menjadi barang privat, padahal tetap menguasai hajat hidup orang banyak. Dengan begitu subsidi terhadap barang privat akan selalu dianggap salah sasaran.
Bukan masalah jika orang rakyat kecil tak lagi mampu beli minyak tanah, bensin, ataupun solar. Yang penting, orang-orang kaya tidak lagi menikmati “subsidi” BBM. Inilah logika yang sepintas masuk akal. Tapi, bukankah orang-orang kaya tetap menikmati “lebih” karena modal dan kekuasaan alamiah yang mereka miliki? Mereka tetap menikmati jasa pelayanan kepolisian, jalan raya, dan belanja publik dari pemerintah lainnya dengan “harga” yang sama. Apakah ini semua juga “subsidi” yang salah sasaran? Dengan logika barang publik tentu tidak dapat dianggap begitu. Yang membedakan adalah dalam besaran pajak yang harus mereka bayar. Di negara maju pun pendidikan dasar digratiskan, tanpa melihat apakah siswa itu kaya atau miskin (bahkan rata-rata warga negaranya kaya, bukan?).
“Privatisasi” BBM memang sejalan dengan “privatisasi” di sektor (barang) publik lain di negara kita seperti air, kelistrikan, dan pendidikan yang sedang dituntaskan pemerintah. Sektor (barang) tersebut tidak lagi dianggap sebagai sumber daya (aset) strategis) nasional yang menguasai hajat hidup orang banyak, yang harus dikuasai dan diatur oleh negara. Tidak lagi terpikir bahwa sektor-sektor tersebut pun terkait erat dengan kedaulatan dan ketahanan nasional bangsa kita. Muaranya adalah beralihnya tampuk produksi dari negara ke korporat, sehingga pola produksi dan konsumsi nasional pun makin dibentuk oleh kebebasan (kekuatan) pasar internasional, dan tidak lagi menerima prioritas (pengutamaan) kepentingan nasional.
.
Liberalisasi migas tak pelak menguntungkan pemodal besar, utamanya korporat migas asing. Mereka ini lah yang mampu mengesplorasi, mengolah, dan menjual migas karena daya dukung finansial dan teknologi yang mereka kuasai. Dengan daya dukung itu pulalah mereka mampu bersaing secara bebas dan menguasai pasar domestik dan internasional, seperti halnya yang terjadi di Thailand dan Malaysia di mana korporat ini berperan besar (dominan) dalam sektor hilir migasnya. Pada tahun 2000/2001, perusahaan nasional migas di Malaysia yang kapasitas produksinya hanya seperempat kapasitas produksi Indonesia hanya menguasai 35% pasar hilir migas, sedang 64%-nya dikuasai korporat asing Pasar hilir migas Thailand pun hanya 23% yang dikuasai perusahaan nasional, sementara sebagian besar dikuasai korporat asing dan domestik.
Tak ayal liberalisasi migas makin mendorong terkonsentrasinya penguasaan faktor-faktor produksi (dan pasar) ke tangan pihak asing dan lapis atas korporat domestik. Di saat yang sama, ketergantungan kita akan modal asing dan barang (termasuk BBM) impor pun makin besar. Dalam pada itu, menjadi paradoksal (non-sense) bicara memberdayakan rakyat kecil (miskin) ketika mereka makin dijauhkan dari (penguasaan) basis-basis produksi nasional. Paling banter mereka hanya akan diberi sedikit cipratan (kompensasi liberalisasi) yang tidak akan mengubah kondisi kemiskinan mereka karena dengan segera harus “dikembalikan” untuk membiayai hidup yang makin mahal. Alih-alih menjaga kedaulatan dan ketahanan ekonomi nasional, pemerintah makin tidak mampu lagi melindungi hak-hak sosial-ekonomi rakyatnya. Pemerintah makin tersandera oleh kebijakan-kebijakan neoliberal yang penuh dengan tekanan dan paksaan ini.
Satu hal yang tak bisa dimengerti adalah kaitan antara liberalisasi dan konservasi energi. Bukankah pembukaan puluhan ribu SPBU baru justru makin berpotensi menguras cadangan minyak nasional? Dan jelas hal itu akan memicu pola konsumsi BBM yang makin berlebihan. Lalu bagaimana dengan slogan gerakan hemat energi nasional? Bagaimana pula dengan upaya pengembangan dan penggunaan energi alternatif? Korporat migas tentu lebih suka menggarap pasar migas yang lebih menggiurkan. Kalau energi alternatif sudah digarap pemerintah, sudah besar pasarnya, barulah mereka akan ikut ambil bagian dalam perburuan labanya.
Demikian tipikal agen liberalisasi migas yang digerakkan oleh ruh (semangat) yang dari dulu hingga kini masih sama, yaitu individualisme (self-interest) dan liberalisme (bersaing buas). Pada dasarnya mereka abai dengan nasib rakyat kecil. Ingatlah betapa pahitnya liberalisasi (kebablasan) modal asing, perbankan, nilai tukar, rezim devisa, dan pertanian yang tidak mengangkat harkat dan martabat bangsa. Kini justru kita masih terpuruk dalam kubangan utang dan begitu tergantung pada lembaga luar negeri. Betapa rakyat kecil kita pun belum beranjak dari jerat kemiskinan setelah 60 tahun merdeka. Liberalisasi, baik di era sentralisasi (Orba) maupun era demokrasi rupanya tetap menjadi pil pahit yang harus ditelan rakyat kecil (miskin), yang kemudian tidak beranjak taraf kehidupannya.
Bukti Untuk Rakyat Kecil?
Jika benar-benar berpihak pada rakyat kecil, mestinya pemerintah memikirkan (dan memperjuangkan) cara alternatif selain meliberalisasi migas. Sayangnya, selama ini pemerintah terkesan menutup mata terhadap ide alternatif semisal kemungkinan penghapusan (pengurangan) utang (dalam dan luar negeri) yang setiap tahunnya menguras APBN sebanyak Rp 125 trilyun. Padahal, ttersedia argumentasi logis untuk itu, misalnya saja, bahwa angsuran yang kita bayar sebenarnya sudah melebihi nilai utang yang kita ambil, utang dikorup (odious debt), bencana alam, dan khusus untuk utang dalam negeri, sebenarnya bank-bank itu pun tidak pantas lagi disubsidi. Bukankah itu semua bisa dilakukan demi pendidikan, kesehatan, dan kepentingan rakyat banyak lainnya? Bukankah nilai tunai penhematan subsidi dari kenaikan BBM rata-rata 130% kemarin hanya Rp 12 trilyun atau sepersepuluh dari beban utang tersebut?
Bukankah pula data-data pemerintah dan Bank Indonesia menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional lebih banyak menguntungkan daripada merugikan Indonesia. Surplus transaksi ekspor-impor migas indonesia tahun 2004 hanya 6,5 milyar dollar AS, kemudian meningkat menjadi 9,8 milyar dollar AS pada tahun 2005. Demikian halnya, surplus penerimaan minyak terhadap subsidi BBM mencapai Rp12,8 trilyun. Sedangkan tahun 2005d (APBN-P 1 2005), mencapal Rp9,0 trilyun. Lalu mengapa subsidi BBM yang selalu dituding memperberat beban anggaran? Kemana perginya windfall profit itu? Pemerintah terkesan enggan berbicara terbuka perihal agenda liberalisasi yang akan mengubah wajah perekonomian nasional ini. Tidak percayakah mereka dengan kemampuan rakyatnya?
Kegagalan pemerintah (government failure) dan Pertamina dalam melakukan efisiensi bisnis migas tentu tidak dapat dijadikan alasan pengalihan wewenang yang terlampau besar ke korporat swasta atau pasar. Bukankah di dalam pasar sendiri inherent adanya kegagalan pasar (market failure), misalnya dalam mengalokasikan barang secara adil, eksternalitas, bias pemodal besar, abai dengan ketimpangan, dan sebagainya? Alih-alih menggusur sentralisasi dengan liberalisasi, pemerintah seharusnya konsisten menegakkan amanah konstitusi untuk melakukan demokratisasi ekonomi. Demokrasi ekonomi-lah alternatif kongkret selain melakukan liberalisasi atau privatisasi terhadap cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup rakyat banyak. BUMN, termasuk Pertamina pun bisa saja di-demokratisasi.
Demokratisasi ekonomi menuntut partisipasi luas masyarakat dalam menguasai dan terlibat dalam proses produksi nasional. Masyarakat, melalui kekuatan kolektif seperti koperasi, serikat pekerja, lembaga konsumen, dan organisasi ekonomi rakyat (warga miskin) lainnya didorong dan difasilitasi untuk dapat memiliki saham BUMN. Dengan begitu, mereka akan berperan aktif dalam ikut mengawasi jalannya BUMN yang kemudian harus mengoptimalkan kinerjanya. Demikian pula, melalui organisasi kolektif tersebut, mereka difasilitasi untuk memiliki saham Pertamina, berandil dalam memiliki dan mengelola SPBU, sehingga ikut terlibat secara aktif dalam pengelolaan dan distribusi migas nasional. Tentu butuh perencanaan dan kerja keras semua pihak. Tapi bukan hal yang mustahil jika pemerintah serius berkomitmen dan berpihak pada rakyat kecil, serta istiqomah dalam mengemban amanah demokrasi ekonomi.
Kini tak mudah membendung arus liberalisasi yang demikian derasnya. Tapi pemerintah masih mempunyai waktu untuk mengkaji kembali kebijakannya, setidaknya dengan meninjau kembali kenaikan harga BBM, perijinan korporat migas, dan meninjau substansi UU No 22/2001 itu sendiri. Paradigma baru perlu dibangun di atas perspektif kedaulatan dan ketahanan ekonomi nasional jangka panjang. Sembari itu, konsolidasi gerakan pro-demokrasi ekonomi merupakan agenda mendesak yang perlu segera dilakukan. Masa depan dan nasib kita harus kita rancang sendiri, tak perlu digantungkan pada pihak lain, apalagi terjebak pada ilusi-ilusi liberalisasi. Bukankah Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sebelum kaum tersebut mengubahnya sendiri?
Yogyakarta, 9 Oktober 2005
Kenaikan harga BBM rata-rata 130% telah memperpuruk ekonomi rakyat. Industri kecil terancam bangkrut, nelayan banyak yang tak lagi mampu melaut, belum lagi harga kebutuhan pokok yang melonjak tak terkendali. Beban hidup makin sulit. Seolah penderitaan belum akan lekas berlalu dari hari-hari rakyat kecil. Di tengah itu semua, iklan persuasif bahwa hal itu demi rakyat kecil terus saja dikampanyekan pemerintah. Begitu kontras dengan kenyataannya. Apalah daya, harapan begitu besar tergantung di pundak pemimpin mereka, namun yang tersisa hanyalah janji-janji (kebohongan?) yang tidak terbukti.
Dana kompensasi pun tak banyak membantu rakyat kecil. Selain nilai tambah ekonominya yang tidak lagi signifikan (kalah dengan makin beratnya ongkos hidup), nilai tambah sosial-kulturalnya sama sekali tidak berasa. Lagi-lagi warga miskin dipaksa “mengemis-ngemis” sekedar untuk mengharap belas kasihan Pemerintah. Belum rasa saling curiga, iri hati, permusuhan yang timbul karena distribusinya yang dianggap tidak adil. Terlebih kronisme masih mewarnai pola ini di mana PNS golongan III, warga ber-HP, bermotor bagus, dan berrumah “mewah” pun mendapat bagian. Pola ini telah menghancurkan solidaritas dan kohesivitas sosial antarwarga (miskin).
Pola subsidi tunai yang mengacu sistem jaminan sosial negara maju ini jelas tidak relevan dipakai di negara kita. Pemerintah negara maju relatif mudah memetakan dan mengkategorikan siapa yang bakal mendapat subsidi tunai, terutama kaum pengangguran yang pasti miskin. Di negara kita berlaku sebaliknya. Selain jumlah keluarga miskin yang terlalu banyak, “penampakan” kemiskinan yang ada pun begitu kompleks, penuh dengan kriteria yang bervariasi. Alhasil, pola yang sangat dipaksakan ini meyakinkan kepada kita bahwa pemerintah tidak sungguh-sungguh untuk membantu rakyat miskin.
Pemiskinan ‘ala Liberalisasi?
Kondisi itu hanyalah awal dari proses pemiskinan dalam jangka ke depannya. Naiknya harga BBM hanyalah “pintu masuk” bagi proses liberalisasi yang arusnya audah demikian kuat pasca keluarnya UU No 22/2001. Liberalisasi ditandai dengan empat alur yang tengah berlangsung, yaitu diperkecilnya peran Pemerintah dan Pertamina, berubahnya BBM dari barang publik ke barang privat, dilepasnya harga BBM ke mekanisme pasar, dan masuknya korporat swasta dalam bisnis migas hingga sektor hilir. Bagian terakhir inilah yang paling krusial. Saat ini sudah ada 179 korporat swasta asing dan domestik yang menuntaskan perijinan bisnis mereka.
Dalih-dalih pembenar kenaikan harga BBM apapun ditempuh, sebesar-besar agar liberalisasi segera dijalankan. Korporat migas sudah tak sabar ingin menangguk keuntungan dari bisnis yang sangat menjanjikan ini. Tak lama lagi harga BBM akan dilepas ke pasar. Ini berarti akses akan ditentukan oleh daya beli (banyak sedikitnya modal). Kira-kira ungkapannya adalah “kalau nggak sanggup beli gas, ya ngga usah beli”. BBM tidak lagi dianggap barang publik, tetapi menjadi barang privat, padahal tetap menguasai hajat hidup orang banyak. Dengan begitu subsidi terhadap barang privat akan selalu dianggap salah sasaran.
Bukan masalah jika orang rakyat kecil tak lagi mampu beli minyak tanah, bensin, ataupun solar. Yang penting, orang-orang kaya tidak lagi menikmati “subsidi” BBM. Inilah logika yang sepintas masuk akal. Tapi, bukankah orang-orang kaya tetap menikmati “lebih” karena modal dan kekuasaan alamiah yang mereka miliki? Mereka tetap menikmati jasa pelayanan kepolisian, jalan raya, dan belanja publik dari pemerintah lainnya dengan “harga” yang sama. Apakah ini semua juga “subsidi” yang salah sasaran? Dengan logika barang publik tentu tidak dapat dianggap begitu. Yang membedakan adalah dalam besaran pajak yang harus mereka bayar. Di negara maju pun pendidikan dasar digratiskan, tanpa melihat apakah siswa itu kaya atau miskin (bahkan rata-rata warga negaranya kaya, bukan?).
“Privatisasi” BBM memang sejalan dengan “privatisasi” di sektor (barang) publik lain di negara kita seperti air, kelistrikan, dan pendidikan yang sedang dituntaskan pemerintah. Sektor (barang) tersebut tidak lagi dianggap sebagai sumber daya (aset) strategis) nasional yang menguasai hajat hidup orang banyak, yang harus dikuasai dan diatur oleh negara. Tidak lagi terpikir bahwa sektor-sektor tersebut pun terkait erat dengan kedaulatan dan ketahanan nasional bangsa kita. Muaranya adalah beralihnya tampuk produksi dari negara ke korporat, sehingga pola produksi dan konsumsi nasional pun makin dibentuk oleh kebebasan (kekuatan) pasar internasional, dan tidak lagi menerima prioritas (pengutamaan) kepentingan nasional.
.
Liberalisasi migas tak pelak menguntungkan pemodal besar, utamanya korporat migas asing. Mereka ini lah yang mampu mengesplorasi, mengolah, dan menjual migas karena daya dukung finansial dan teknologi yang mereka kuasai. Dengan daya dukung itu pulalah mereka mampu bersaing secara bebas dan menguasai pasar domestik dan internasional, seperti halnya yang terjadi di Thailand dan Malaysia di mana korporat ini berperan besar (dominan) dalam sektor hilir migasnya. Pada tahun 2000/2001, perusahaan nasional migas di Malaysia yang kapasitas produksinya hanya seperempat kapasitas produksi Indonesia hanya menguasai 35% pasar hilir migas, sedang 64%-nya dikuasai korporat asing Pasar hilir migas Thailand pun hanya 23% yang dikuasai perusahaan nasional, sementara sebagian besar dikuasai korporat asing dan domestik.
Tak ayal liberalisasi migas makin mendorong terkonsentrasinya penguasaan faktor-faktor produksi (dan pasar) ke tangan pihak asing dan lapis atas korporat domestik. Di saat yang sama, ketergantungan kita akan modal asing dan barang (termasuk BBM) impor pun makin besar. Dalam pada itu, menjadi paradoksal (non-sense) bicara memberdayakan rakyat kecil (miskin) ketika mereka makin dijauhkan dari (penguasaan) basis-basis produksi nasional. Paling banter mereka hanya akan diberi sedikit cipratan (kompensasi liberalisasi) yang tidak akan mengubah kondisi kemiskinan mereka karena dengan segera harus “dikembalikan” untuk membiayai hidup yang makin mahal. Alih-alih menjaga kedaulatan dan ketahanan ekonomi nasional, pemerintah makin tidak mampu lagi melindungi hak-hak sosial-ekonomi rakyatnya. Pemerintah makin tersandera oleh kebijakan-kebijakan neoliberal yang penuh dengan tekanan dan paksaan ini.
Satu hal yang tak bisa dimengerti adalah kaitan antara liberalisasi dan konservasi energi. Bukankah pembukaan puluhan ribu SPBU baru justru makin berpotensi menguras cadangan minyak nasional? Dan jelas hal itu akan memicu pola konsumsi BBM yang makin berlebihan. Lalu bagaimana dengan slogan gerakan hemat energi nasional? Bagaimana pula dengan upaya pengembangan dan penggunaan energi alternatif? Korporat migas tentu lebih suka menggarap pasar migas yang lebih menggiurkan. Kalau energi alternatif sudah digarap pemerintah, sudah besar pasarnya, barulah mereka akan ikut ambil bagian dalam perburuan labanya.
Demikian tipikal agen liberalisasi migas yang digerakkan oleh ruh (semangat) yang dari dulu hingga kini masih sama, yaitu individualisme (self-interest) dan liberalisme (bersaing buas). Pada dasarnya mereka abai dengan nasib rakyat kecil. Ingatlah betapa pahitnya liberalisasi (kebablasan) modal asing, perbankan, nilai tukar, rezim devisa, dan pertanian yang tidak mengangkat harkat dan martabat bangsa. Kini justru kita masih terpuruk dalam kubangan utang dan begitu tergantung pada lembaga luar negeri. Betapa rakyat kecil kita pun belum beranjak dari jerat kemiskinan setelah 60 tahun merdeka. Liberalisasi, baik di era sentralisasi (Orba) maupun era demokrasi rupanya tetap menjadi pil pahit yang harus ditelan rakyat kecil (miskin), yang kemudian tidak beranjak taraf kehidupannya.
Bukti Untuk Rakyat Kecil?
Jika benar-benar berpihak pada rakyat kecil, mestinya pemerintah memikirkan (dan memperjuangkan) cara alternatif selain meliberalisasi migas. Sayangnya, selama ini pemerintah terkesan menutup mata terhadap ide alternatif semisal kemungkinan penghapusan (pengurangan) utang (dalam dan luar negeri) yang setiap tahunnya menguras APBN sebanyak Rp 125 trilyun. Padahal, ttersedia argumentasi logis untuk itu, misalnya saja, bahwa angsuran yang kita bayar sebenarnya sudah melebihi nilai utang yang kita ambil, utang dikorup (odious debt), bencana alam, dan khusus untuk utang dalam negeri, sebenarnya bank-bank itu pun tidak pantas lagi disubsidi. Bukankah itu semua bisa dilakukan demi pendidikan, kesehatan, dan kepentingan rakyat banyak lainnya? Bukankah nilai tunai penhematan subsidi dari kenaikan BBM rata-rata 130% kemarin hanya Rp 12 trilyun atau sepersepuluh dari beban utang tersebut?
Bukankah pula data-data pemerintah dan Bank Indonesia menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional lebih banyak menguntungkan daripada merugikan Indonesia. Surplus transaksi ekspor-impor migas indonesia tahun 2004 hanya 6,5 milyar dollar AS, kemudian meningkat menjadi 9,8 milyar dollar AS pada tahun 2005. Demikian halnya, surplus penerimaan minyak terhadap subsidi BBM mencapai Rp12,8 trilyun. Sedangkan tahun 2005d (APBN-P 1 2005), mencapal Rp9,0 trilyun. Lalu mengapa subsidi BBM yang selalu dituding memperberat beban anggaran? Kemana perginya windfall profit itu? Pemerintah terkesan enggan berbicara terbuka perihal agenda liberalisasi yang akan mengubah wajah perekonomian nasional ini. Tidak percayakah mereka dengan kemampuan rakyatnya?
Kegagalan pemerintah (government failure) dan Pertamina dalam melakukan efisiensi bisnis migas tentu tidak dapat dijadikan alasan pengalihan wewenang yang terlampau besar ke korporat swasta atau pasar. Bukankah di dalam pasar sendiri inherent adanya kegagalan pasar (market failure), misalnya dalam mengalokasikan barang secara adil, eksternalitas, bias pemodal besar, abai dengan ketimpangan, dan sebagainya? Alih-alih menggusur sentralisasi dengan liberalisasi, pemerintah seharusnya konsisten menegakkan amanah konstitusi untuk melakukan demokratisasi ekonomi. Demokrasi ekonomi-lah alternatif kongkret selain melakukan liberalisasi atau privatisasi terhadap cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup rakyat banyak. BUMN, termasuk Pertamina pun bisa saja di-demokratisasi.
Demokratisasi ekonomi menuntut partisipasi luas masyarakat dalam menguasai dan terlibat dalam proses produksi nasional. Masyarakat, melalui kekuatan kolektif seperti koperasi, serikat pekerja, lembaga konsumen, dan organisasi ekonomi rakyat (warga miskin) lainnya didorong dan difasilitasi untuk dapat memiliki saham BUMN. Dengan begitu, mereka akan berperan aktif dalam ikut mengawasi jalannya BUMN yang kemudian harus mengoptimalkan kinerjanya. Demikian pula, melalui organisasi kolektif tersebut, mereka difasilitasi untuk memiliki saham Pertamina, berandil dalam memiliki dan mengelola SPBU, sehingga ikut terlibat secara aktif dalam pengelolaan dan distribusi migas nasional. Tentu butuh perencanaan dan kerja keras semua pihak. Tapi bukan hal yang mustahil jika pemerintah serius berkomitmen dan berpihak pada rakyat kecil, serta istiqomah dalam mengemban amanah demokrasi ekonomi.
Kini tak mudah membendung arus liberalisasi yang demikian derasnya. Tapi pemerintah masih mempunyai waktu untuk mengkaji kembali kebijakannya, setidaknya dengan meninjau kembali kenaikan harga BBM, perijinan korporat migas, dan meninjau substansi UU No 22/2001 itu sendiri. Paradigma baru perlu dibangun di atas perspektif kedaulatan dan ketahanan ekonomi nasional jangka panjang. Sembari itu, konsolidasi gerakan pro-demokrasi ekonomi merupakan agenda mendesak yang perlu segera dilakukan. Masa depan dan nasib kita harus kita rancang sendiri, tak perlu digantungkan pada pihak lain, apalagi terjebak pada ilusi-ilusi liberalisasi. Bukankah Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sebelum kaum tersebut mengubahnya sendiri?
Yogyakarta, 9 Oktober 2005
KULINISASI TIADA AKHIR?
Awan Santosa
Sejarah Kulinisasi
Sejarah ekonomi bangsa kita lekat dengan eksploitasi dan sub-ordinasi oleh bangsa lain. Ekonomi rakyat kita pun kenyang “diperkuli” dan dijadikan sapi perahan ekonomi besar, baik dari kalangan bangsa sendiri, dan terutama dari bangsa asing. Keluar dari hisapan kongsi dagang monopolis VOC, ekonomi rakyat kita dijerat sistem tanam paksa (cultuurstelsel-1830) yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda untuk memenuhi kebutuhan komoditi mereka (Eropa). 40 tahun kemudian (1870), giliran perusahaan swasta Belanda (asing) yang menguasai perkebunan kita melalui pemaksaan sistem kapitalis-liberal. Indonesia diperlakukan sebagai ondernaming besar dan penyedia buruh murah bagi pasar luar negeri. Ekonomi rakyat (pribumi) tetap sebagai kuli.
Bangsa Indoneisa adalah bangsa kuli dan kulinya bangsa-bangsa lain. Status-quonis inilah yang digugat Sukarno. Hatta pun bertekad keras bangsa ini harus menjadi tuan di negeri sendiri. Bagi mereka, merdeka berarti merdeka secara politik dan ekonomi. Untuk itu, pasca kemerdekaan perlu adanya reformasi sosial guna menghapus pola hubungan ekonomi yang timpang, eksploitatif dan sub-ordinatif terhadap ekonomi rakyat Indonesia. Namun, naluri untuk menghisap dan memperkuli bangsa lain (dan bangsa sendiri!) ternyata tetap (selalu?) ada. Atau karena juga kita yang begitu soft dan mudahnya dibodohi, dihisap dan diperkuli. Yang jelas, berurusan dengan sumber daya strategis Indonesia memanglah menggiurkan, sehingga tarik-menarik kepentingan merupakan hal yang masuk akal.
Naiknya rezim Orba pasca “krisis politik-ekonomi” yang menjatuhkan rezim Orla, pun tak lepas dari tarik-menarik ini. Paling tidak itulah yang digambarkan John Pilger dalam bukunya The New Rulers of The World (2002) perihal “kaplingisasi” kekayaan ekonomi Indonesia di era 67-an. Agenda ini dimuluskan melalui Konperensi Jenewa (1967) yang berakhir dengan kesepakatan di mana Freeport menguasai gunung tembaga di Papua, Konsorsium Eropa berhak atas nikel di Papua Barat, Alcoa mendapat tambang bouksit, dan Korporat Amerika, Perancis, dan Jepang kebagian hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua, dan Kalimantan. Birokrat berkolaborasi dengan korporat (pemodal asing) menguasai faktor (dan mode) produksi. Kulinisasi pun berlangsung kembali. Ekonomi rakyat-lah yang lagi-lagi menanggung beban, diperkuli, dihisap dan dimiskinkan. Hingga datang krisis moneter dan bergulirlah reformasi..
Neo-Kulinisasi ‘ala Korporatokrasi
Reformasi bergulir dalam koridor liberalisasi yang dipaksakan IMF dan Bank Dunia. Wajah politik kita memang berubah. Tapi arus besar yang kita ikuti masih sama : globalisme-pasar bebas. Mulailah era penggusuran terhadap daulat rakyat berganti menjadi era daulat pasar. Satu demi satu aset-aset strategis dijual ke pihak asing melalui skema privatisasi (rampokisasi?). Konstitusi-pun direka-ulang demi maksud ini. Pasal 33 (penjelasan) UUD ‘45 dihapus total, dus demokratisasi ekonomi dikerdilkan, koperasi pun direduksi hakekatnya. Muaranya adalah beralihnya tampuk produksi dari negara ke korporat, sama sekali bukan ke rakyat banyak (masyarakat). Pola produksi dan konsumsi nasional pun makin dibentuk oleh kebebasan (kekuatan) pasar internasional, sehingga tidak lagi menerima prioritas (pengutamaan) kepentingan nasional.
Pasar bebas inheren dengan kepentingan korporat dan negara maju untuk menegakkan korporatokrasi yang menelikung peran ideal pemerintah dan masyarakat. Bangsa kita digiring untuk sekedar menjadi bangsa konsumen (menikmati produk murah-sesaat) atau paling banter menjadi “bangsa makelar” (menjual produk asing-impor), yang melupakan upaya membangun industri nasional dan kewirausahaan berbasis ekonomi rakyat dan sumber daya lokal. Parahnya lagi ketika bangsa kita kembali hanya akan menjadi bangsa kuli yang tunduk dan melayani kepentingan pihak (bangsa) asing. Kita terus saja mengejar nilai tambah ekonomi, dan melupakan pentingnya nilai tambah sosial-kultural berupa kokohnya ideologi, budaya, martabat (harga diri) dan rasa percaya diri bangsa.
Pemerintahan dan teknokrat ekonomi SBY-Kalla pun masih tersandera oleh paradigma dan kebijakan ekonomi rezim-rezim sebelumnya. Mereka tetap saja bicara dan mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi dan investasi skala besar (asing). Persis yang dipikir dan dikejar rezim Orba yang maunya direformasi. Pemerintah lebih sigap menyediakan infrastruktur-infrastruktur yang diperlukan korporat besar, termasuk giat mengembangkan basis-basis produksi berskala besar, ketimbang secara konsisten menerapkan agenda-agenda demokratisasi ekonomi (pemberdayaan ekonomi rakyat). Pasar rakyat berhadapan dengan maraknya pembangunan super-mall, sementara investasi oleh ekonomi rakyat dipandang sebelah mata karena silaunya pada investasi pemodal besar (asing).
Hal ini tidak terlepas dari posisi Indonesia yang terperangkap dalam jebakan utang (debt-trap) sehingga dipaksa memenuhi agenda-agenda negara (lembaga) kreditor. Dan kita pun baru saja tahu lewat pengakuan John Perkins dalam bukunya Confessions of an Economic Hit Man (2004) bahwa semua itu terjadi melalui disain sistematis pemerintah (korporat) asing (AS) untuk ikut menguasai dan mengatur perekonomian Indonesia di era 70-an. Ceritanya tetap sama, Indonesia adalah negara kaya sumber daya strategis dan buruh murah yang menarik untuk dihisap dan diperkuli. Maka, utang pun disodor-sodorkan untuk membiayai proyek-proyek yang mereka kerjakan demi mengejar impian indah masa itu : pertumbuhan ekonomi melalui investasi skala besar (asing), sampai kemudian utang lama terpaksa dibayar dengan membuat utang-utang baru.
Kulinisasi kini makin dikukuhkan oleh pendidikan yang terlalu pro-pasar, yang semata-mata memposisikan peserta didik sebagai alat produksi pemasok pasar tenaga kerja. Pun, pendidikan ekonomi kita berkembang dalam kultur hegemoni oleh ajaran-ajaran ekonomi Barat yang sarat kepentingan kaum fundamentalis pasar (neo-liberalisme), sehingga bias uaha besar-modern dan abai dengan masalah dan real-life economy rakyatnya sendiri.
Hasilnya tentu bukan manusia didik yang peka dan paham potensi dan masalah ekonomi rakyat-nya, berjiwa enterprenuer, dan sadar martabat dan harga diri bangsa, melainkan lulusan-lulusan yang tidak percaya diri, opportunis, serta mudah dihisap dan diperkuli. Kita berebutan masuk pasar tenaga kerja yang korporatnya sudah banyak dikuasai oleh korporat (bangsa) asing. Kita tetap sekedar menjadi kuli di negeri sendiri (juga di negeri orang lain). Kebutuhan pasar tenaga kerja demikian terbatas, dan kita terus saja percaya bahwa pendidikan harus berorientasi (kebutuhan) pasar (market-oriented).
Kulinisasi oleh bangsa asing yang berlangsung lama itu pun telah menumbuhkan persistensinya inferiority complex bangsa kits, suatu budaya hidup yang tidak cerdas, penuh rasa minder, ketertundukan dan kekaguman kepada yang serba Barat dan asing. Dengan makin lunturnya nasionalisme, maka hubungan subordinasi ini hidup kembali dan sekaligus makin memperpuruk bangsa Indonesia (Swasono, 2004).
Daulat Rakyat, bukan Daulat Pasar
Jaring-jaring yang ditebar sudah sedemikian memperdaya pemerintahan, konstitusi, dan pendidikan kita. Mampukah bangsa kita keluar dari jerat kulinisasi yang sepertinya tiada akhir ini? Tentu butuh kemauan keras dan keberanian untuk menegaskan kembali jati diri bangsa kita sebagai bangsa yang bermartabat, berdaulat, dan penuh percaya diri. Kita sudah berkomitmen bahwa rakyat-lah yang berdaulat, tidak saja di bidang politik, tetapi juga di bidang ekonomi. Oleh karena itu, kulinisasi harus diakhiri dengan memperjuangkan agenda-agenda demokrasi ekonomi dan menghidup-hidupkan (kembali) nasionalisme ekonomi setidaknya melalui empat ranah berikut :
Pertama, di ranah politik-ekonomi, kita seharusnya mewaspadai agenda globalisasi-pasar bebas yang terbukti bermuara pada pengalihan tampuk produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak ke tangan korporat (asing). Privatisasi BUMN strategis harus dihentikan, begitu juga dengan liberalisasi perdagangan (impor) yang merugikan pelaku ekonomi rakyat, khususnya petani dan industri kecil dalam negeri. Seharusnya kita belajar dari negara-negara maju seperti halnya AS, Inggris, dan Jepang yang begitu protektif terhadap petani mereka. Pasar bebas memang hanyalah non-sense belaka. Benar ungkapan Joan Robinson bahwa “the very nature of economics is rooted in nationalism”. Dan jangan lupa, negosiasi utang LN tetap perlu dilakukan hingga ke arah pemotongan utang.
Kedua, di ranah konstitusi-regulasi, kita perlu meninjau kembali amandemen UUD ’45, khususnya terhadap Pasal 33, yang telah membelokkan agenda demokratisasi ekonomi (melalui gerakan koperasi), ke arah korporatokrasi (neo-kulinisasi). Munculnya UU Air, Listrik, dan Migas tidak terlepas dari kontek ini. Mahkamah Konstitusi hendaknya menjadi “penjaga gawang” demokrasi ekonomi, sehingga tidak meloloskan setiap Undang-Undang yang beraroma privatisasi hajat hidup orang banyak dan bertendensi menggusur daulat rakyat menjadi daulat pasar. Pasal 33 pun harus dikembalikan sesuai aslinya.
Ketiga, di ranah paradigma ekonomi, perlu ada revolusi cara berpikir (mind-set) ekonomi kita yang sejauh ini terlalu silau (terhegemoni?) dan bias pada ideologi dan ajaran-ajaran ekonomi konvensional-Barat. Pembaruan ilmu ekonomi perlu dilakukan agar makin sesuai dengan ideologi, sistem nilai, dan sistem sosial-budaya bangsa. Ilmu ekonomi khas Indonesia pun perlu terus digali dan dikembangkan berdasar kenyataan ekonomi riil (real-life economy) yang dihadapi ekonomi rakyat Indonesia. Kita perlu alternatif dari paham ekonomi yang menjadi arus utama saat ini. Ekonomi Pancasila, yang digagas Prof. Mubyarto sebagai ideologi dan ilmu ekonomi alternatif berjati diri Indonesia patut dikaji lebih mendalam oleh pemikir ekonomi.
Keempat, di ranah pendidikan, kita perlu mereformasi pendidikan ekonomi dengan menempatkannya sebagai bagian integral proses ideologisasi untuk memberdayakan peserta didik secara ideologis, sosial-kultural dan politik-ekonomi. Untuk itu, pendekatan yang digunakan mestinya tidak lagi positivistik-monodisiplin, melainkan normatif-multidisiplin. Pendidikan ekonomi harus mampu menghidupkan kajian-kajian ekonomi-politik, ekonomi-sosiologi, ekonomi-sejarah, ataupun ekonomi-antropologi. Metode pengajaran yang digunakan hendaknya metode hadap masalah (problem-posing education), bukan lagi metode bank (banking-education). Pendidikan ekonomi diarahkan untuk berorientasi dan berpihak pada ekonomi rakyat Indonesia.
Nah, kinilah saatnya tak perlu ragu bersikap untuk menentukan nasib dan masa depan bangsa kita sendiri. Tidak ada bangsa manapun yang dapat maju, sejahtera dan demokratis dengan membiarkan rakyatnya diperkuli dalam tatanan ekonomi yang eksploitatif dan subordinatif. Marilah kita mulai bersama agenda-agenda di atas dengan berlandaskan tekad kuat untuk ‘menolak menjadi kuli di negeri sendiri”.
Yogyakarta, 21 September 2005
Sejarah Kulinisasi
Sejarah ekonomi bangsa kita lekat dengan eksploitasi dan sub-ordinasi oleh bangsa lain. Ekonomi rakyat kita pun kenyang “diperkuli” dan dijadikan sapi perahan ekonomi besar, baik dari kalangan bangsa sendiri, dan terutama dari bangsa asing. Keluar dari hisapan kongsi dagang monopolis VOC, ekonomi rakyat kita dijerat sistem tanam paksa (cultuurstelsel-1830) yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda untuk memenuhi kebutuhan komoditi mereka (Eropa). 40 tahun kemudian (1870), giliran perusahaan swasta Belanda (asing) yang menguasai perkebunan kita melalui pemaksaan sistem kapitalis-liberal. Indonesia diperlakukan sebagai ondernaming besar dan penyedia buruh murah bagi pasar luar negeri. Ekonomi rakyat (pribumi) tetap sebagai kuli.
Bangsa Indoneisa adalah bangsa kuli dan kulinya bangsa-bangsa lain. Status-quonis inilah yang digugat Sukarno. Hatta pun bertekad keras bangsa ini harus menjadi tuan di negeri sendiri. Bagi mereka, merdeka berarti merdeka secara politik dan ekonomi. Untuk itu, pasca kemerdekaan perlu adanya reformasi sosial guna menghapus pola hubungan ekonomi yang timpang, eksploitatif dan sub-ordinatif terhadap ekonomi rakyat Indonesia. Namun, naluri untuk menghisap dan memperkuli bangsa lain (dan bangsa sendiri!) ternyata tetap (selalu?) ada. Atau karena juga kita yang begitu soft dan mudahnya dibodohi, dihisap dan diperkuli. Yang jelas, berurusan dengan sumber daya strategis Indonesia memanglah menggiurkan, sehingga tarik-menarik kepentingan merupakan hal yang masuk akal.
Naiknya rezim Orba pasca “krisis politik-ekonomi” yang menjatuhkan rezim Orla, pun tak lepas dari tarik-menarik ini. Paling tidak itulah yang digambarkan John Pilger dalam bukunya The New Rulers of The World (2002) perihal “kaplingisasi” kekayaan ekonomi Indonesia di era 67-an. Agenda ini dimuluskan melalui Konperensi Jenewa (1967) yang berakhir dengan kesepakatan di mana Freeport menguasai gunung tembaga di Papua, Konsorsium Eropa berhak atas nikel di Papua Barat, Alcoa mendapat tambang bouksit, dan Korporat Amerika, Perancis, dan Jepang kebagian hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua, dan Kalimantan. Birokrat berkolaborasi dengan korporat (pemodal asing) menguasai faktor (dan mode) produksi. Kulinisasi pun berlangsung kembali. Ekonomi rakyat-lah yang lagi-lagi menanggung beban, diperkuli, dihisap dan dimiskinkan. Hingga datang krisis moneter dan bergulirlah reformasi..
Neo-Kulinisasi ‘ala Korporatokrasi
Reformasi bergulir dalam koridor liberalisasi yang dipaksakan IMF dan Bank Dunia. Wajah politik kita memang berubah. Tapi arus besar yang kita ikuti masih sama : globalisme-pasar bebas. Mulailah era penggusuran terhadap daulat rakyat berganti menjadi era daulat pasar. Satu demi satu aset-aset strategis dijual ke pihak asing melalui skema privatisasi (rampokisasi?). Konstitusi-pun direka-ulang demi maksud ini. Pasal 33 (penjelasan) UUD ‘45 dihapus total, dus demokratisasi ekonomi dikerdilkan, koperasi pun direduksi hakekatnya. Muaranya adalah beralihnya tampuk produksi dari negara ke korporat, sama sekali bukan ke rakyat banyak (masyarakat). Pola produksi dan konsumsi nasional pun makin dibentuk oleh kebebasan (kekuatan) pasar internasional, sehingga tidak lagi menerima prioritas (pengutamaan) kepentingan nasional.
Pasar bebas inheren dengan kepentingan korporat dan negara maju untuk menegakkan korporatokrasi yang menelikung peran ideal pemerintah dan masyarakat. Bangsa kita digiring untuk sekedar menjadi bangsa konsumen (menikmati produk murah-sesaat) atau paling banter menjadi “bangsa makelar” (menjual produk asing-impor), yang melupakan upaya membangun industri nasional dan kewirausahaan berbasis ekonomi rakyat dan sumber daya lokal. Parahnya lagi ketika bangsa kita kembali hanya akan menjadi bangsa kuli yang tunduk dan melayani kepentingan pihak (bangsa) asing. Kita terus saja mengejar nilai tambah ekonomi, dan melupakan pentingnya nilai tambah sosial-kultural berupa kokohnya ideologi, budaya, martabat (harga diri) dan rasa percaya diri bangsa.
Pemerintahan dan teknokrat ekonomi SBY-Kalla pun masih tersandera oleh paradigma dan kebijakan ekonomi rezim-rezim sebelumnya. Mereka tetap saja bicara dan mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi dan investasi skala besar (asing). Persis yang dipikir dan dikejar rezim Orba yang maunya direformasi. Pemerintah lebih sigap menyediakan infrastruktur-infrastruktur yang diperlukan korporat besar, termasuk giat mengembangkan basis-basis produksi berskala besar, ketimbang secara konsisten menerapkan agenda-agenda demokratisasi ekonomi (pemberdayaan ekonomi rakyat). Pasar rakyat berhadapan dengan maraknya pembangunan super-mall, sementara investasi oleh ekonomi rakyat dipandang sebelah mata karena silaunya pada investasi pemodal besar (asing).
Hal ini tidak terlepas dari posisi Indonesia yang terperangkap dalam jebakan utang (debt-trap) sehingga dipaksa memenuhi agenda-agenda negara (lembaga) kreditor. Dan kita pun baru saja tahu lewat pengakuan John Perkins dalam bukunya Confessions of an Economic Hit Man (2004) bahwa semua itu terjadi melalui disain sistematis pemerintah (korporat) asing (AS) untuk ikut menguasai dan mengatur perekonomian Indonesia di era 70-an. Ceritanya tetap sama, Indonesia adalah negara kaya sumber daya strategis dan buruh murah yang menarik untuk dihisap dan diperkuli. Maka, utang pun disodor-sodorkan untuk membiayai proyek-proyek yang mereka kerjakan demi mengejar impian indah masa itu : pertumbuhan ekonomi melalui investasi skala besar (asing), sampai kemudian utang lama terpaksa dibayar dengan membuat utang-utang baru.
Kulinisasi kini makin dikukuhkan oleh pendidikan yang terlalu pro-pasar, yang semata-mata memposisikan peserta didik sebagai alat produksi pemasok pasar tenaga kerja. Pun, pendidikan ekonomi kita berkembang dalam kultur hegemoni oleh ajaran-ajaran ekonomi Barat yang sarat kepentingan kaum fundamentalis pasar (neo-liberalisme), sehingga bias uaha besar-modern dan abai dengan masalah dan real-life economy rakyatnya sendiri.
Hasilnya tentu bukan manusia didik yang peka dan paham potensi dan masalah ekonomi rakyat-nya, berjiwa enterprenuer, dan sadar martabat dan harga diri bangsa, melainkan lulusan-lulusan yang tidak percaya diri, opportunis, serta mudah dihisap dan diperkuli. Kita berebutan masuk pasar tenaga kerja yang korporatnya sudah banyak dikuasai oleh korporat (bangsa) asing. Kita tetap sekedar menjadi kuli di negeri sendiri (juga di negeri orang lain). Kebutuhan pasar tenaga kerja demikian terbatas, dan kita terus saja percaya bahwa pendidikan harus berorientasi (kebutuhan) pasar (market-oriented).
Kulinisasi oleh bangsa asing yang berlangsung lama itu pun telah menumbuhkan persistensinya inferiority complex bangsa kits, suatu budaya hidup yang tidak cerdas, penuh rasa minder, ketertundukan dan kekaguman kepada yang serba Barat dan asing. Dengan makin lunturnya nasionalisme, maka hubungan subordinasi ini hidup kembali dan sekaligus makin memperpuruk bangsa Indonesia (Swasono, 2004).
Daulat Rakyat, bukan Daulat Pasar
Jaring-jaring yang ditebar sudah sedemikian memperdaya pemerintahan, konstitusi, dan pendidikan kita. Mampukah bangsa kita keluar dari jerat kulinisasi yang sepertinya tiada akhir ini? Tentu butuh kemauan keras dan keberanian untuk menegaskan kembali jati diri bangsa kita sebagai bangsa yang bermartabat, berdaulat, dan penuh percaya diri. Kita sudah berkomitmen bahwa rakyat-lah yang berdaulat, tidak saja di bidang politik, tetapi juga di bidang ekonomi. Oleh karena itu, kulinisasi harus diakhiri dengan memperjuangkan agenda-agenda demokrasi ekonomi dan menghidup-hidupkan (kembali) nasionalisme ekonomi setidaknya melalui empat ranah berikut :
Pertama, di ranah politik-ekonomi, kita seharusnya mewaspadai agenda globalisasi-pasar bebas yang terbukti bermuara pada pengalihan tampuk produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak ke tangan korporat (asing). Privatisasi BUMN strategis harus dihentikan, begitu juga dengan liberalisasi perdagangan (impor) yang merugikan pelaku ekonomi rakyat, khususnya petani dan industri kecil dalam negeri. Seharusnya kita belajar dari negara-negara maju seperti halnya AS, Inggris, dan Jepang yang begitu protektif terhadap petani mereka. Pasar bebas memang hanyalah non-sense belaka. Benar ungkapan Joan Robinson bahwa “the very nature of economics is rooted in nationalism”. Dan jangan lupa, negosiasi utang LN tetap perlu dilakukan hingga ke arah pemotongan utang.
Kedua, di ranah konstitusi-regulasi, kita perlu meninjau kembali amandemen UUD ’45, khususnya terhadap Pasal 33, yang telah membelokkan agenda demokratisasi ekonomi (melalui gerakan koperasi), ke arah korporatokrasi (neo-kulinisasi). Munculnya UU Air, Listrik, dan Migas tidak terlepas dari kontek ini. Mahkamah Konstitusi hendaknya menjadi “penjaga gawang” demokrasi ekonomi, sehingga tidak meloloskan setiap Undang-Undang yang beraroma privatisasi hajat hidup orang banyak dan bertendensi menggusur daulat rakyat menjadi daulat pasar. Pasal 33 pun harus dikembalikan sesuai aslinya.
Ketiga, di ranah paradigma ekonomi, perlu ada revolusi cara berpikir (mind-set) ekonomi kita yang sejauh ini terlalu silau (terhegemoni?) dan bias pada ideologi dan ajaran-ajaran ekonomi konvensional-Barat. Pembaruan ilmu ekonomi perlu dilakukan agar makin sesuai dengan ideologi, sistem nilai, dan sistem sosial-budaya bangsa. Ilmu ekonomi khas Indonesia pun perlu terus digali dan dikembangkan berdasar kenyataan ekonomi riil (real-life economy) yang dihadapi ekonomi rakyat Indonesia. Kita perlu alternatif dari paham ekonomi yang menjadi arus utama saat ini. Ekonomi Pancasila, yang digagas Prof. Mubyarto sebagai ideologi dan ilmu ekonomi alternatif berjati diri Indonesia patut dikaji lebih mendalam oleh pemikir ekonomi.
Keempat, di ranah pendidikan, kita perlu mereformasi pendidikan ekonomi dengan menempatkannya sebagai bagian integral proses ideologisasi untuk memberdayakan peserta didik secara ideologis, sosial-kultural dan politik-ekonomi. Untuk itu, pendekatan yang digunakan mestinya tidak lagi positivistik-monodisiplin, melainkan normatif-multidisiplin. Pendidikan ekonomi harus mampu menghidupkan kajian-kajian ekonomi-politik, ekonomi-sosiologi, ekonomi-sejarah, ataupun ekonomi-antropologi. Metode pengajaran yang digunakan hendaknya metode hadap masalah (problem-posing education), bukan lagi metode bank (banking-education). Pendidikan ekonomi diarahkan untuk berorientasi dan berpihak pada ekonomi rakyat Indonesia.
Nah, kinilah saatnya tak perlu ragu bersikap untuk menentukan nasib dan masa depan bangsa kita sendiri. Tidak ada bangsa manapun yang dapat maju, sejahtera dan demokratis dengan membiarkan rakyatnya diperkuli dalam tatanan ekonomi yang eksploitatif dan subordinatif. Marilah kita mulai bersama agenda-agenda di atas dengan berlandaskan tekad kuat untuk ‘menolak menjadi kuli di negeri sendiri”.
Yogyakarta, 21 September 2005
Tuesday, August 23, 2005
MANIFESTO EKONOMI PANCASILA
PROGRAM KULIAH EKSTRAKURIKULER EKONOMI PANCASILA
(KEEP 2005)
Dasar Pemikiran
1. Ekonomi Pancasila adalah ideologi, ilmu, dan sistem ekonomi berjatidiri Indonesia yang mengacu pada sistem nilai dan sistem sosial-budaya bangsa Indonesia yang berlandaskan etika dan falsafah Pancasila, yang digali berdasarkan kehidupan ekonomi riil (real-life economy) rakyat Indonesia.
2. Ekonomi Pancasila sebagai ilmu dan sistem ekonomi telah memiliki latar belakang sejarah perjuangan dan pengembangan yang cukup panjang, terutama dimulai sejak tahun 1980 oleh Prof Mubyarto dkk, dan tetap eksis sampai sekarang melalui pendirian Pusat Studi Ekonomi Pancasila di UGM, penerbitan buku-buku, seminar, kuliah, dan aktivitas terkait lainnya
3. Ilmu Ekonomi Pancasila berdasar asumsi manusia sebagai makhluk sosial (homo socius) dan makhluk beretika (homo ethicus), bukan sekedar makhluk ekonomi (homo economicus) Oleh kareanya, ilmu ekonomi tidaklah bebas nilai (value free), melainkan sarat nilai (value ladden), sehingga ilmu ekonomi dikembangkan secara normatif, bukan sekedar secara positif. Dengan demikian, ilmu ekonomi mempertimbangkan aspek non-ekonomi, yang harus dikaji secara multidisiplin, bukan sekedar monodisiplin
4. Ekonomi Pancasila diperjuangkan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan berdasar pada nilai ketuhanan (moral/etik) dan nilai kemanusiaan (humanistik), melalui penerapan nasionalisme dan demokrasi ekonomi, sesuai amanat pasal 27 (ayat 1), 31, 33, dan 34 UUD 1945.
5. Ekonomi Pancasila merespon makin parahnya degradasi moral bangsa dalam wujud makin banyaknya perilaku ekonomi (bisnis) yang mengabaikan nilai-nilai moral dan agama. Hal ini diperpuruk dengan makin meluasnya paham individualisme dan liberalisme yang makin menjauhkan ilmu dan sistem ekonomi dari dimensi moral dan sosialnya. Ekonomi Pancasila berupaya mengembalikan hakekat ilmu ekonomi sebagai ilmu moral dan memperjuangkan “revolusi moral ekonomi” sehingga roda ekonomi bangsa dapat digerakkan oleh rangsangan ekonomi, moral, dan sosial.
6. Ekonomi Pancasila memprihatinkan banyak terjadinya bencana kemanusiaan sebagai ekses masih lebarnya ketimpangan sosial-ekonomi antarpenduduk, antarpelaku ekonomi, dan antarwilayah di Indonesia. Ekonomi Pancasila merefleksikan nasib rakyat kecil (kaum miskin) yang masih terpinggirkan dan terabaikan hak-hak sosial-ekonominya (kelaparan, tidak mampu berobat dan sekolah), di tengah makin merasuknya gaya hidup mewah (hedonisme) di antara sebagian elit bangsa. Ekonomi Pancasila berupaya mengembangkan pola-pola redistribusi kekayaan (pendapatan) dengan bertumpu pada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial, dan tidak membiarkan terjadi dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial.
7. Ekonomi Pancasila mengupayakan tegaknya kedaulatan ekonomi-politik dan martabat (harga diri) bangsa dan menyayangkan begitu mudahnya bangsa kita dibodohi, didikte, dan tergantung oleh kepentingan pihak asing. Hal ini akibat terpukaunya (ketertundukan) bangsa kita pada agenda globalisasi-pasar bebas yang dibaliknya bersemayam agenda neo-liberalisme, berupa pemaksaan kepentingan korporat dan negara maju untuk menguasai sumber daya nasional dan menegakkan imperium global (lewat politik utang) Tunduk pada liberalisme-pasar bebas hanya membuat bangsa kita tidak pernah belajar dari kesalahan masa lampau, sehingga hanya tetap akan menjadi kuli di negeri sendiri. Ekonomi Pancasila berfokus pada kepentingan ekonomi nasional tanpa mengabaikan tanggung jawab globalnya, atas dasar nasionalisme ekonomi untuk mewujudkan perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri.
8. Ekonomi Pancasila mendorong tegaknya kedaulatan rakyat di bidang ekonomi dengan melakukan upaya-upaya demokratisasi ekonomi agar kemampuan rakyat untuk mengendalikan jalannya perekonomian makin besar, khususnya melalui pemberdayaan koperasi dan ekonomi rakyat. Oleh karenanya, Ekonomi Pancasila berusaha membendung dominasi korporat raksasa yang makin mengukuhkan terjadinya korporatokrasi di Indonesia, khususnya melalui agenda-agenda liberalisasi ekonomi dan privatisasi yang memindahkan penguasaan tampuk produksi ke perorangan dan korporat, sehingga makin meminggirkan ekonomi rakyat dan koperasi. Sistem Ekonomi Pancasila mengembangkan demokrasi ekonomi berdasar kerakyatan, koperasi dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat. Ilmu Ekonomi Pancasila-pun berpijak pada analisis ekonomi rakyat dan paradigma kooperasi, bukan sekedar kompetisi.
9. Ekonomi Pancasila berupaya membangun keseimbangan antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi, yang merupakan dua pilar utama mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kondisi ini hanya dapat tercapai apabila aliran hasil produk domestik (PDRB), sumber keuangan (tabungan/modal), dan anggaran daerah (APBD) benar-benar untuk pembangunan yang dapat diakses oleh masyarakat lokal, bukannya banyak “disedot” untuk membiayai pembangunan di pusat-pusat kota besar (apalagi ibu kota, atau bahkan di bawa ke luar negeri).
10. Ekonomi Pancasila memandang bahwa kemiskinan yang masih menjadi masalah utama bangsa kita lebih disebabkan karena adanya masalah-masalah struktural ekonomi di antaranya berupa tiadanya akses terhadap faktor-faktor produksi dan akibat kebijakan pemerintah yang seringkali justru diskriminatif terhadap penduduk miskin. Ekonomi Pancasila mendorong pengembangan keuangan mikro sebagai strategi alternatif untuk memberdayakan penduduk miskin yang tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber keuangan dari perbankan konvensional.
11. Ekonomi Pancasila memandang bahwa kehadiran investasi asing melalui MNC/TNC tidak selalu mendatangkan kesejahteraan yang memadai (setimpal) kepada masyarakat setempat. Dalam banyak kasus, investor asing cenderung lebih berkepentingan untuk mengeruk kekayaan alam sebanyak mungkin (hutan dan tambang) dengan kontraprestasi yang sangat minimal. Oleh karenanya, investasi pemodal besar (asing) tidak perlu dipuja-puja karena dianggap satu-satunya cara menciptakan pertumbuhan ekonomi yang mendatangkan lapangan kerja. Ekonomi Pancasila memandang bahwa investasi yang dilakukan oleh pelaku ekonomi rakyat justru lebih efisien, ramah lingkungan, dan banyak menyerap tenaga kerja lokal, sehingga investasi inilah yang perlu dikembangkan oleh pemerintah pusat dan daerah.
12. Ekonomi Pancasila memandang urgensi pembangunan pertanian yang berbasis perdesaan dalam rangka mengokohkan ketahanan dan kedaulatan pangan di Indonesia, khususnya melalui upaya transformasi kaum tani miskin-marjinal ke dunia pertanian yang lebih modern dan yang memungkinkan mereka hidup lebih layak., tanpa meninggalkan akar sosial-budaya masyarakatnya. Upaya reformasi agraria perlu dipertimbangkan sebagai cara untuk memperluas partisipasi petani kecil dalam proses produksi pertanian.
13. Pendidikan Ekonomi Pancasila merupakan alternatif tergadap pendidikan ekonomi konvensional di perguruan tinggi Indonesia yang mengacu pada ajaran ekonomi Neoklasik-Barat yang lebih memfokuskan pehatian pada ekonomi modern (usaha besar) dalam kontek sosial-ekonomi bangsa Barat, sehingga mengabaikan perhatian pada pemecahan masalah-masalah riil yang dihadapi pelaku ekonomi rakyat. Pendidikan Ekonomi Pancasila tidak mengedepankan pandangan individualisme, liberalisme, kompetitivisme, self-interest, dan orientasi pertumbuhan ekonomi seperti halnya pendidikan ekonomi konvensional, melainkan memperhatikan faktor-faktor kelembagaan sosial-budaya bangsa Indonesia yang mengedepankan asas kebersamaan dan kekeluargaan.
14. Pendidikan Ekonomi Pancasila berfokus pada upaya untuk membedah dan mendobrak ketimpangan (ketidakadilan) struktural, kemiskinan struktural, kerusakan alam (lingkungan), meluasnya degradasi moral, dan merenggangnya kohesivitas sosial. Pendidikan ini diarahkan untuk memerdekakan pikiran ekonomi kita yang sejauh ini makin tehegemoni oleh ajaran-ajaran ekonomi Barat, yang pada akhirnya mampu memerdekakan ekonomi kita dari ketertundukan dan subordinasi oleh korporatokrasi dan kekuatan imperium global.
Pernyataan Sikap dan Rekomendasi
Bertolak dari dasar pemikiran di atas, Program Kuliah Ekstrakurikuler Ekonomi Pancasila menyampaikan pernyataan sikap dan rekomendasi sebagai berikut :
1. Menolak amandemen pasal 33 UUD 1945 yang menggusur agenda demokratisasi ekonomi dan mendesak kepada pemerintah, DPR, dan elemen-elemen terkait untuk mengembalikan pasal 33 UUD 1945 (asli) beserta penjelasannya.
2. Menolak agenda-agenda liberalisme-pasar bebas yang digagas negara-negara maju karena terbukti merugikan petani dan pelaku ekonomi rakyat lainnya, dan mendesak pemerintah, DPR, dan elemen terkait untuk memproteksi komoditas pertanian seperti yang dilakukan oleh negara maju.
3. Menolak agenda privatisasi BUMN dan privatisasi sumber daya alam strategis yang makin mengukuhkan korporatokrasi, dan mendesak pemerintah, DPR, dan elemen terkait untuk melibatkan sebesar-besarnya partisipasi rakyat (khususnya koperasi) dalam penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber ekonomi tersebut.
4. Menolak dipakainya kembali paradigma ekonomi Orde Baru yang terlalu berorientasi mengejar pertumbuhan ekonomi melalui investasi asing, menyerukan Revolusi Paradigmatik (Revolusi Mindset), dan mendesak kepada pemerintah dan DPR untuk menggunakan paradigma Ekonomi Pancasila yang berorientasi pada demokrasi ekonomi menuju terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5. Mendukung upaya-upaya negosiasi kembali utang luar negeri Indonesia dan mendesak pemerintah dan DPR untuk tidak membuat utang-utang luar negeri baru yang makin membebani perekonomian nasional dan mengekibatkan ketergantungan kepada negara dan lembaga luar negeri.
6. Mendukung upaya-upaya penegakan hukum terhadap praktek-praktek ekonomi yang mengabaikan nilai moral dan sosial seperti korupsi, illegal logging, penyelundupan, perjudian, pornoaksi, dan mendesak pemerintah untuk melakukannya secara srius dan konsisten.
7. Mendukung upaya-upaya redistribusi pendapatan melalui optimalisasi penarikan dan penyaluran zakat dan pajak, dan mendesak pemerintah untuk menjamin pendidikan dan pengobatan gratis (terjangkau) oleh rakyat miskin.
8. Mendukung upaya-upaya untuk mengkampanyekan penggunaan produk-produk dalam negeri yang berbasis sumber daya ekonomi lokal dan produksi ekonomi rakyat.
9. Mendukung upaya-upaya pembaruan pendidikan ekonomi di setiap tingkatan dan memperjuangkan dikembangkannya pendidikan Ekonomi Pancasila, serta secara khusus mengusulkan diajarkannya Mata Kuliah Ekonomi Pancasila di Fakultas Ekonomi dan di fakultas terkait lainnya.
10. Mengukuhkan Prof. Mubyarto sebagai Bapak Ekonomi Pancasila dan mengusulkan kepada Universitas Gadjah Mada untuk mengukuhkannya secara formal.
11. Mengajak segenap elemen bangsa untuk bersatu-padu dalam gerakan bersama mempertahankan ideologi ekonomi Pancasila, mengembangkan ilmu ekonomi Pancasila, dan memperjuangkan terwujudnya Sistem Ekonomi Pancasila di Indonesia.
Yogyakarta, 20 Agustus 2005
a.n. Tim Program KEEP 2005
Awan Santosa, S.E.
(Koordinator Program)
(KEEP 2005)
Dasar Pemikiran
1. Ekonomi Pancasila adalah ideologi, ilmu, dan sistem ekonomi berjatidiri Indonesia yang mengacu pada sistem nilai dan sistem sosial-budaya bangsa Indonesia yang berlandaskan etika dan falsafah Pancasila, yang digali berdasarkan kehidupan ekonomi riil (real-life economy) rakyat Indonesia.
2. Ekonomi Pancasila sebagai ilmu dan sistem ekonomi telah memiliki latar belakang sejarah perjuangan dan pengembangan yang cukup panjang, terutama dimulai sejak tahun 1980 oleh Prof Mubyarto dkk, dan tetap eksis sampai sekarang melalui pendirian Pusat Studi Ekonomi Pancasila di UGM, penerbitan buku-buku, seminar, kuliah, dan aktivitas terkait lainnya
3. Ilmu Ekonomi Pancasila berdasar asumsi manusia sebagai makhluk sosial (homo socius) dan makhluk beretika (homo ethicus), bukan sekedar makhluk ekonomi (homo economicus) Oleh kareanya, ilmu ekonomi tidaklah bebas nilai (value free), melainkan sarat nilai (value ladden), sehingga ilmu ekonomi dikembangkan secara normatif, bukan sekedar secara positif. Dengan demikian, ilmu ekonomi mempertimbangkan aspek non-ekonomi, yang harus dikaji secara multidisiplin, bukan sekedar monodisiplin
4. Ekonomi Pancasila diperjuangkan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan berdasar pada nilai ketuhanan (moral/etik) dan nilai kemanusiaan (humanistik), melalui penerapan nasionalisme dan demokrasi ekonomi, sesuai amanat pasal 27 (ayat 1), 31, 33, dan 34 UUD 1945.
5. Ekonomi Pancasila merespon makin parahnya degradasi moral bangsa dalam wujud makin banyaknya perilaku ekonomi (bisnis) yang mengabaikan nilai-nilai moral dan agama. Hal ini diperpuruk dengan makin meluasnya paham individualisme dan liberalisme yang makin menjauhkan ilmu dan sistem ekonomi dari dimensi moral dan sosialnya. Ekonomi Pancasila berupaya mengembalikan hakekat ilmu ekonomi sebagai ilmu moral dan memperjuangkan “revolusi moral ekonomi” sehingga roda ekonomi bangsa dapat digerakkan oleh rangsangan ekonomi, moral, dan sosial.
6. Ekonomi Pancasila memprihatinkan banyak terjadinya bencana kemanusiaan sebagai ekses masih lebarnya ketimpangan sosial-ekonomi antarpenduduk, antarpelaku ekonomi, dan antarwilayah di Indonesia. Ekonomi Pancasila merefleksikan nasib rakyat kecil (kaum miskin) yang masih terpinggirkan dan terabaikan hak-hak sosial-ekonominya (kelaparan, tidak mampu berobat dan sekolah), di tengah makin merasuknya gaya hidup mewah (hedonisme) di antara sebagian elit bangsa. Ekonomi Pancasila berupaya mengembangkan pola-pola redistribusi kekayaan (pendapatan) dengan bertumpu pada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial, dan tidak membiarkan terjadi dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial.
7. Ekonomi Pancasila mengupayakan tegaknya kedaulatan ekonomi-politik dan martabat (harga diri) bangsa dan menyayangkan begitu mudahnya bangsa kita dibodohi, didikte, dan tergantung oleh kepentingan pihak asing. Hal ini akibat terpukaunya (ketertundukan) bangsa kita pada agenda globalisasi-pasar bebas yang dibaliknya bersemayam agenda neo-liberalisme, berupa pemaksaan kepentingan korporat dan negara maju untuk menguasai sumber daya nasional dan menegakkan imperium global (lewat politik utang) Tunduk pada liberalisme-pasar bebas hanya membuat bangsa kita tidak pernah belajar dari kesalahan masa lampau, sehingga hanya tetap akan menjadi kuli di negeri sendiri. Ekonomi Pancasila berfokus pada kepentingan ekonomi nasional tanpa mengabaikan tanggung jawab globalnya, atas dasar nasionalisme ekonomi untuk mewujudkan perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri.
8. Ekonomi Pancasila mendorong tegaknya kedaulatan rakyat di bidang ekonomi dengan melakukan upaya-upaya demokratisasi ekonomi agar kemampuan rakyat untuk mengendalikan jalannya perekonomian makin besar, khususnya melalui pemberdayaan koperasi dan ekonomi rakyat. Oleh karenanya, Ekonomi Pancasila berusaha membendung dominasi korporat raksasa yang makin mengukuhkan terjadinya korporatokrasi di Indonesia, khususnya melalui agenda-agenda liberalisasi ekonomi dan privatisasi yang memindahkan penguasaan tampuk produksi ke perorangan dan korporat, sehingga makin meminggirkan ekonomi rakyat dan koperasi. Sistem Ekonomi Pancasila mengembangkan demokrasi ekonomi berdasar kerakyatan, koperasi dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat. Ilmu Ekonomi Pancasila-pun berpijak pada analisis ekonomi rakyat dan paradigma kooperasi, bukan sekedar kompetisi.
9. Ekonomi Pancasila berupaya membangun keseimbangan antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi, yang merupakan dua pilar utama mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kondisi ini hanya dapat tercapai apabila aliran hasil produk domestik (PDRB), sumber keuangan (tabungan/modal), dan anggaran daerah (APBD) benar-benar untuk pembangunan yang dapat diakses oleh masyarakat lokal, bukannya banyak “disedot” untuk membiayai pembangunan di pusat-pusat kota besar (apalagi ibu kota, atau bahkan di bawa ke luar negeri).
10. Ekonomi Pancasila memandang bahwa kemiskinan yang masih menjadi masalah utama bangsa kita lebih disebabkan karena adanya masalah-masalah struktural ekonomi di antaranya berupa tiadanya akses terhadap faktor-faktor produksi dan akibat kebijakan pemerintah yang seringkali justru diskriminatif terhadap penduduk miskin. Ekonomi Pancasila mendorong pengembangan keuangan mikro sebagai strategi alternatif untuk memberdayakan penduduk miskin yang tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber keuangan dari perbankan konvensional.
11. Ekonomi Pancasila memandang bahwa kehadiran investasi asing melalui MNC/TNC tidak selalu mendatangkan kesejahteraan yang memadai (setimpal) kepada masyarakat setempat. Dalam banyak kasus, investor asing cenderung lebih berkepentingan untuk mengeruk kekayaan alam sebanyak mungkin (hutan dan tambang) dengan kontraprestasi yang sangat minimal. Oleh karenanya, investasi pemodal besar (asing) tidak perlu dipuja-puja karena dianggap satu-satunya cara menciptakan pertumbuhan ekonomi yang mendatangkan lapangan kerja. Ekonomi Pancasila memandang bahwa investasi yang dilakukan oleh pelaku ekonomi rakyat justru lebih efisien, ramah lingkungan, dan banyak menyerap tenaga kerja lokal, sehingga investasi inilah yang perlu dikembangkan oleh pemerintah pusat dan daerah.
12. Ekonomi Pancasila memandang urgensi pembangunan pertanian yang berbasis perdesaan dalam rangka mengokohkan ketahanan dan kedaulatan pangan di Indonesia, khususnya melalui upaya transformasi kaum tani miskin-marjinal ke dunia pertanian yang lebih modern dan yang memungkinkan mereka hidup lebih layak., tanpa meninggalkan akar sosial-budaya masyarakatnya. Upaya reformasi agraria perlu dipertimbangkan sebagai cara untuk memperluas partisipasi petani kecil dalam proses produksi pertanian.
13. Pendidikan Ekonomi Pancasila merupakan alternatif tergadap pendidikan ekonomi konvensional di perguruan tinggi Indonesia yang mengacu pada ajaran ekonomi Neoklasik-Barat yang lebih memfokuskan pehatian pada ekonomi modern (usaha besar) dalam kontek sosial-ekonomi bangsa Barat, sehingga mengabaikan perhatian pada pemecahan masalah-masalah riil yang dihadapi pelaku ekonomi rakyat. Pendidikan Ekonomi Pancasila tidak mengedepankan pandangan individualisme, liberalisme, kompetitivisme, self-interest, dan orientasi pertumbuhan ekonomi seperti halnya pendidikan ekonomi konvensional, melainkan memperhatikan faktor-faktor kelembagaan sosial-budaya bangsa Indonesia yang mengedepankan asas kebersamaan dan kekeluargaan.
14. Pendidikan Ekonomi Pancasila berfokus pada upaya untuk membedah dan mendobrak ketimpangan (ketidakadilan) struktural, kemiskinan struktural, kerusakan alam (lingkungan), meluasnya degradasi moral, dan merenggangnya kohesivitas sosial. Pendidikan ini diarahkan untuk memerdekakan pikiran ekonomi kita yang sejauh ini makin tehegemoni oleh ajaran-ajaran ekonomi Barat, yang pada akhirnya mampu memerdekakan ekonomi kita dari ketertundukan dan subordinasi oleh korporatokrasi dan kekuatan imperium global.
Pernyataan Sikap dan Rekomendasi
Bertolak dari dasar pemikiran di atas, Program Kuliah Ekstrakurikuler Ekonomi Pancasila menyampaikan pernyataan sikap dan rekomendasi sebagai berikut :
1. Menolak amandemen pasal 33 UUD 1945 yang menggusur agenda demokratisasi ekonomi dan mendesak kepada pemerintah, DPR, dan elemen-elemen terkait untuk mengembalikan pasal 33 UUD 1945 (asli) beserta penjelasannya.
2. Menolak agenda-agenda liberalisme-pasar bebas yang digagas negara-negara maju karena terbukti merugikan petani dan pelaku ekonomi rakyat lainnya, dan mendesak pemerintah, DPR, dan elemen terkait untuk memproteksi komoditas pertanian seperti yang dilakukan oleh negara maju.
3. Menolak agenda privatisasi BUMN dan privatisasi sumber daya alam strategis yang makin mengukuhkan korporatokrasi, dan mendesak pemerintah, DPR, dan elemen terkait untuk melibatkan sebesar-besarnya partisipasi rakyat (khususnya koperasi) dalam penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber ekonomi tersebut.
4. Menolak dipakainya kembali paradigma ekonomi Orde Baru yang terlalu berorientasi mengejar pertumbuhan ekonomi melalui investasi asing, menyerukan Revolusi Paradigmatik (Revolusi Mindset), dan mendesak kepada pemerintah dan DPR untuk menggunakan paradigma Ekonomi Pancasila yang berorientasi pada demokrasi ekonomi menuju terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5. Mendukung upaya-upaya negosiasi kembali utang luar negeri Indonesia dan mendesak pemerintah dan DPR untuk tidak membuat utang-utang luar negeri baru yang makin membebani perekonomian nasional dan mengekibatkan ketergantungan kepada negara dan lembaga luar negeri.
6. Mendukung upaya-upaya penegakan hukum terhadap praktek-praktek ekonomi yang mengabaikan nilai moral dan sosial seperti korupsi, illegal logging, penyelundupan, perjudian, pornoaksi, dan mendesak pemerintah untuk melakukannya secara srius dan konsisten.
7. Mendukung upaya-upaya redistribusi pendapatan melalui optimalisasi penarikan dan penyaluran zakat dan pajak, dan mendesak pemerintah untuk menjamin pendidikan dan pengobatan gratis (terjangkau) oleh rakyat miskin.
8. Mendukung upaya-upaya untuk mengkampanyekan penggunaan produk-produk dalam negeri yang berbasis sumber daya ekonomi lokal dan produksi ekonomi rakyat.
9. Mendukung upaya-upaya pembaruan pendidikan ekonomi di setiap tingkatan dan memperjuangkan dikembangkannya pendidikan Ekonomi Pancasila, serta secara khusus mengusulkan diajarkannya Mata Kuliah Ekonomi Pancasila di Fakultas Ekonomi dan di fakultas terkait lainnya.
10. Mengukuhkan Prof. Mubyarto sebagai Bapak Ekonomi Pancasila dan mengusulkan kepada Universitas Gadjah Mada untuk mengukuhkannya secara formal.
11. Mengajak segenap elemen bangsa untuk bersatu-padu dalam gerakan bersama mempertahankan ideologi ekonomi Pancasila, mengembangkan ilmu ekonomi Pancasila, dan memperjuangkan terwujudnya Sistem Ekonomi Pancasila di Indonesia.
Yogyakarta, 20 Agustus 2005
a.n. Tim Program KEEP 2005
Awan Santosa, S.E.
(Koordinator Program)
Monday, May 30, 2005
EKONOM(I) TERJAJAH DAN EKONOMI PANCASILA
Awan Santosa
Dalam tiga tahun terakhir, terbit dua buku yang sama-sama mengejutkan. Buku pertama yang terbit tahun 2002 ditulis oleh John Pilger, jurnalis Australia yang tinggal di Inggris, dengan judul The New Rulers of The World (Verso, 2002). Buku yang dikutip Kwik Kian Gie dalam Kongres Indonesia Raya tahun 2004 ini di antaranya mengulas fakta dibalik dimulainya liberalisasi ekonomi Indonesia sejak tahun 1967. Pilger yang merujuk analisis dokumen historis Jeffrey Winters dan Brad Sampson mengungkap latar belakang diadakannya Konperensi Jenewa 1967 (awal Orde Baru) yang disponsori oleh Time-Life Corporation.
Konperensi yang disebutnya sebagai “pertemuan merancang pengambilalihan Indonesia” itu diikuti oleh korporat raksasa Barat dan ekonom-ekonom top Indonesia yang kemudian dikenal sebagai “Berkeley Mafia”. Konperensi 3 hari itu berbuah “kaplingisasi” kekayaan alam di Indonesia. Freeport mendapat gunung tembaga di Papua Barat, Konsorsium Eropa menguasai nikel di Papua Barat, Alcoa mendapat bagian terbesar bouksit di Indonesia, dan kelompok perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatera, Papua Barat, dan Kalimantan.
Buku kedua, yang terbit dua tahun sesudahnya, ditulis oleh John Perkins dengan judul Confessions of an Economic Hit Man (Berret-Koehler, 2004), tidak kalah menghebohkan. Perkins menulis “pengakuan dosanya” sebagai mantan “agen” ekonomi Pemerintah (AS) yang dalam kurun waktu 1971-1980 ikut “menjerumuskan” beberapa negara Asia dan Amerika Selatan seperti Panama, Equador, Colombia, Iran, termasuk Indonesia (sebagai “korban pertamanya”), dalam kubangan (jebakan) utang luar negeri dan ketergantungan politik-ekonomi kepada korporat dan pemerintah AS.
Perkins yang berpredikat sebagai “pemukul ekonomi” atau “Economic Hit Man” (EHM), megemban dua misi, yaitu memastikan bahwa utang LN yang diberikan akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek konstruksi raksasa milik perusahaan konsultan Perkins dan korporat-korporat AS, dan kemudian “membangkrutkan” negara pengutang agar selamanya tunduk pada kreditor. Proyek-proyek raksasa ini didisain untuk memenuhi kepentingan-kepentingan ekonomi-politik mereka seperti tersedianya pangkalan militer, suara di PBB, akses atas minyak, dan akses terhadap sumber daya alam lainnya.
Perkins memaparkan bahwa korporatokrasi yang dikembangkan melalui misi-misi EHM lebih berbahaya dari sekedar suatu konspirasi. Sistem ini tidak dikendalikan oleh segelintir kecil orang, melainkan oleh konsep yang sudah diterima layaknya kitab suci, bahwa setiap pertumbuhan ekonomi pasti bermanfaat bagi setiap manusia. Makin tinggi pertumbuhan ekonomi, makin besar pula manfaat yang diperoleh. Korporat, bank, dan pemerintah, sebagai agen korporatokrasi, menggunakan kekuasaan dan modal mereka untuk memastikan bahwa sekolah, bisnis, dan media, selalu mendukung konsep yang salah ini. Mereka menggiring kita untuk percaya bahwa kebudayaan global AS adalah mesin dahsyat yang membutuhkan peningkatan konsumsi (bahan bakar dan pemeliharaan), termasuk meningkatnya biaya hidup yang harus dipenuhi berapapun besarnya.
Dalam kasus Indonesia, EHM menjalankan kepentingan korporat dan pemerintah AS dengan dalih menjaga Indonesia dari pengaruh komunis yang masih eksis di Vietnam, Laos, dan Kamboja (1971-1975). EHM meyakinkan bahwa pembangunan sistem perlistrikan terpadu di Jawa merupakan kunci mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Perkins, sebagai “ekonom”, bertugas untuk memperkirakan kenaikan pertumbuhan ekonomi dengan perkiraan kuantitaif-matematis, yang kemudian menjadi legitimasi bagi Indonesia untuk memperoleh utang luar negeri.
Utang diberikan dengan syarat proyek dikerjakan oleh konsultan dan korporat yang diajukan oleh tim EHM, setelah nilai utang digelembungkan (mark-up) dari nilai riil proyeknya. Dengan cara ini, industri minyak dan perusahaan-perusahaan kaitannya (pelabuhan, pipa, dan konstruksi) makin tergantung pada sistem perlistrikan yang disediakan oleh tim EHM. Fakta selanjutnya kita tahu bahwa Indonesia disebut sebagai salah satu keajaiban pertumbuhan ekonomi Asia (East Asian economic miracle), yang ironisnya makin terjebak utang (debt-trap), berpredikat negara terkorup, sehingga kebijakan ekonomi-politiknya banyak tergantung pada negara-negara (lembaga) asing seperti CGI, IMF, dan Bank Dunia.
Bukan Sekedar Konspirasi
Kedua buku itu telah menginspirasi dua hal. Pertama, sangat tepat untuk menjawab skeptisisme ekonom neoklasik perihal neoliberalisme, setidaknya yang diwakili oleh ekonom LPEM UI, Chatib Basri dan M. Ikhsan (Gatra, April 2005), dan kedua, menjawab pertanyaan mengapa kita perlu mengembangkan dan menyebarluaskan ideologi, sistem, dan ilmu ekonomi Pancasila. Perlu diketahui bahwa Ekonomi Pancasila dikembangkan Prof. Mubyarto dkk sebagai alternatif terhadap ilmu ekonomi konvensional (neoklasik-Barat) yang menjadi mainstream dalam pendidikan ekonomi kita. Di samping itu ekonomi Pancasila juga diposisikan untuk membendung berkembangnya ideologi dan sistem ekonomi kapitalis-neoliberal di Indonesia.
Lalu, apa hubungan buku Pilger dan Perkins dengan Chatib Basri dan M. Ikhsan? Kaitannya akan nampak jika kita membaca pernyataan kedua ekonom ini dalam majalah Gatra edisi no 23 tahun XI (hal. 136). Mereka sama-sama mengelak disebut sebagai penganut paham neoliberalisme. Chatib Basri menyatakan bahwa ia “tidak mempunyai ideologi”, karena ia bertumpu pada kebijakan yang masuk akal tanpa basis ideologi, termasuk kepercayaannya pada peran negara dalam mensubsidi sektor pendidikan dan kesehatan. Sementara Ikhsan menyatakan bahwa neoliberalisme “hanya ada dalam angan-angan”, karena masyarakat Indonesia masih gandrung pada teori konspirasi. Pikiran adanya intervensi asing, termasuk oleh IMF dan lembaga donor, dianggapnya sebagai pengaruh teori konspirasi. Dalam acara Diskusi Kenaikan BBM (SCTV) kedua ekonom ini memang mengungkapkan hal yang sama untuk menanggapi kritik-kritik Revrisond Baswir dari PUSTEP-UGM perihal kepentingan asing (agen neolib) dalam liberalisasi pasar migas di Indonesia.
Sebagai ekonom yang sarannya sangat didengar pemerintah, saya harap mereka sudah membaca kedua buku tersebut. Jika memang iya, dan mereka masih tidak mau mengakui adanya intervensi asing di Indonesia dengan menuduh pikiran yang berbeda sebagai akibat teori konspirasi, salahkah jika banyak orang menilai mereka sebagai penganut neoliberalisme? Sejarah ekonomi bangsa yang sarat dengan eksploitasi dan sub-ordinasi asing sejak zaman VOC, tanam paksa, perkebunan-perkebunan kapitalis-liberal, kapitalis negara Orde Baru, Krismon 97, hingga datangnya IMF dengan LoI dan Program Penyesuaian Struktural, seharusnya mudah menjadi pelajaran “pahit” bahwa yang terjadi bukan sekedar konspirasi, melainkan hegemoni dan (neo) imperialisme.
Perspektif sejarah mengajarkan bahwa evolusi peradaban manusia, yang ditandai dengan kemajuan ekonomi, tidak serta merta diikuti evolusi kesadaran moral, politik, dan sosial-budaya, bahkan seringkali berlaku sebaliknya. Ekonom neolib yang juga seorang fundamentalis pasar cenderung mengabaikan (menyisihkan) analisis moral, politik, sosial, dan budaya (kelembagaan) dalam analisis ekonomi mereka yang makin positivistik, teknis, dan kuantitatif. Pengingkaran terhadap dianutnya ideologi tertentu adalah wujud dari ideologi itu sendiri. Itulah ideologinya market fundamentalis yang bertolakbelakang dengan ideologi Ekonomi Pancasila.
Ekonom memerlukan ideologi agar ia tidak ahistoris dan gagap dalam merancang masa depan bangsanya. Hal ini karena ideologi merupakan refleksi atau respon terhadap kondisi kesejarahan yang kemudian menjadi gagasan tentang masa depan. Sebagai contoh, nasionalisme lahir melawan penjajahan, demokrasi lahir dari dominasi dan otoritarianisme, dan sosialisme lahir dari penghisapan dan penindasan (Dawam Rahardjo, 2005). Keengganan ekonom neolib untuk mengaitkan ekonomi dengan ideologi bangsa (Pancasila) dalam perspektif ini dapat dipahami sebagai penolakan mereka untuk belajar dari sejarah bangsa sendiri, dan tidak ingin merancang masa depan bangsa secara mandiri. Mereka makin terpukau pada globalisme ajaran pasar bebas, sehingga tidak mewaspadai globalisasi ekonomi yang dikendalikan oleh korporat dan pemerintah negara maju.
Revolusi Mindset
Pelajaran lain dari buku Pilger dan Perkins, dan tentu saja menilik cara berpikir ekonomi kedua ekonom UI tersebut adalah, bahwa kita harus melakukan “revolusi mindset” melalui pengembangan ilmu ekonomi Ekonomi Pancasila. Mayoritas ekonom dan teknokrat sementara ini masih skeptis terhadap keberadaan (eksistensi) dan urgensi Ekonomi Pancasila sebagai alternatif ekonomi konvensional. Padahal, gugatan terhadap ilmu tersebut sudah dilakukan melalui tulisan-tulisan (buku-buku) pemikir utama Ekonomi Pancasila yaitu Prof. Mubyarto, Prof. Sri-Edi Swasono, dan Prof. Dawam Rahardjo sejak tahun 80-an.
Gugatan senada telah dilontarkan pakar-pakar ekonomi dunia seperti Paul Ormerod (The Death of Economics), Steve Keen (Debunking Economics), Stiglitz (The Roaring Nineties), Paul Ekins (Real-Life Economics), Nelson (Economics as Religion), dan dapat pula dirujuk pada pemikiran Gunnar Myrdal, Heilbroner, Amartya Sen, T.M. Lunati, A. Etzioni, Umer Capra, Ted Trainer, dan L.C. Thurow, dan ilmuwan atau aktivis dunia lainnya.
Buku Pilger dan Perkins menunjukkan betapa pentingnya pendekatan multidisiplin yang merupakan pendekatan yang secara konsisten diterapkan ajaran Ekonomi Pancasila. Ekonomi Pancasila menganalisis fenomena dan masalah ekonomi tidak sekedar dari kajian ekonomi an sich, melainkan mengaitkannya dengan analisis sejarah, politik, filsafat moral/etika, sosiologi, dan antropologi, yang terang-terangan diabaikan dalam pendekatan ekonomi neoklasik-Barat. Masalah-masalah struktural ekonomi berupa ketimpangan, eksploitasi, dan sub-ordinasi terhadap pelaku ekonomi rakyat (kaum miskin) hanya bisa dilihat apabila pendekatan (kacamata) yang digunakan adalah kacamata ekonomi-historis, ekonomi politik, ekonomi sosiologi, dan ekonomi antropologi. Sayangnya pendekatan ekonomi kelembagaan yang multidipliner ini telah diabaikan dalam pendidikan ekonomi kita.
Pendekatan multidisiplin dan transdisiplin dimungkinkan jika ilmu ekonomi tidak sekedar mengasumsikan manusia sebagai homo economicus, melainkan juga sebagai homo socius dan homo ethicus. Dengan begitu, analisis ekonomi tidak seharusnya dipusatkan kepada individu yang selalu mengejar kepentingan pribadi (self-interest), berorientasi keuntungan pribadi (profit orientation), dan selalu bersaing bebas (free-competition).
Sebagai homo ethicus dan homo socius, manusia memiliki pertimbangan moral/etika (agama) dan sosial yang mendorongnya untuk tidak mau dikendalikan pasar yang materialistis, melainkan mengutamakan kepentingan bersama dalam suatu tatanan masyarakat yang berasas kekeluargaan (brotherhood) dan kebersamaan (mutualism). Kesejahteraan sosial tidak dapat dianggap sebagai manifestasi kesejahteraan individu yang masing-masing mengejar kepentingan mereka sendiri (Swasono, 2005). Itulah asumsi dasar yang dibangun dalam ilmu ekonomi Pancasila.
Pendekatan dan asumsi di atas dibangun atas keyakinan bahwa ilmu ekonomi tidaklah bebas nilai (value-free), melainkan justru sarat nilai (value-ladden-istilah Gunnar Myrdal-). Sistem dan ilmu ekonomi sangat terkait dengan ideologi, sejarah, sistem nilai, dan sistem sosial-budaya (kelembagaan) masyarakat di mana sistem dan ilmu itu dikembangkan. Oleh karena itu dominasi paradigma positivistik yang menganggap kebenaran, relevansi, dan manfaat ilmu ekonomi konvensional (neoklasik-Barat) bersifat universal harus ditolak.
Positivisme hanya mengarahkan pendidikan ekonomi kita untuk semata-mata berorientasi Barat (Amerika), yang memiliki sejarah, ideologi, sistem nilai, dan sistem sosial-budaya, yang jelas berbeda dengan Indonesia. Oleh karena itu, sistem dan Ilmu ekonomi Indonesia harus digali dan dikembangkan berpijak pada realitas ekonomi (real-life economy) masyarakat Indonesia sendiri pula. Berdasar itulah ekonomi Pancasila dikembangkan melalui penelitian-penelitian lapangan tentang ekonomi rakyat Indonesia.
Untuk itu, pola pendidikan yang mendukung pengembangan ilmu ekonomi Pancasila adalah pendidikan yang menghadapkan peserta didik pada masalah-masalah ekonomi riil yang dihadapi rakyat Indonesia. Pola pendidikan seperti ini dikenal sebagai pendidikan hadap masalah (problem-posing education), yang merupakan alternatif bagi pola pendidikan yang hanya mendorong peserta didik untuk menghapal sebanyak mungkin materi untuk diujikan di akhir semester, yang disebut sebagai pendidikan gaya bank (banking education). Problem-posing education dilakukan dengan mengajak peserta didik untuk melakukan kajian (kunjungan) lapangan ke pelaku ekonomi rakyat seintensif mungkin. Mereka dapat juga diajak berdiskusi dan mengkritisi isu-isu ekonomi aktual (lokal dan nasional), terutama masalah-masalah yang dihadapi pelaku ekonomi rakyat, untuk bersama-sama mencari cara-cara pemecahannya.
Terakhir, buku Pilger dan Perkins, serta mindset dua ekonom UI di atas, makin menunjukkan kegunaan (nilai manfaat) pengembangan Ekonomi Pancasila. Pendidikan ekonomi berbasis ilmu ekonomi konvensional (Barat) mendorong tumbuh-kembangnya mindset kapitalis-neoliberal, yang sejalan dengan cita-cita sistem kapitalis-neoliberal yaitu terbentuknya masyarakat berkelimpahan barang dan jasa (affluent society).
Pendidikan ekonomi konvensional tidak mampu mendobrak ketimpangan (ketidakdilan) struktural, kemiskinan struktural, kerusakan alam (lingkungan), meluasnya degradasi moral, dan merenggangnya kohesivitas sosial. Pendidikan seperti ini tidak mampu melihat faktor-faktor di luar ekonomi (politik, sosial, budaya) dan fakta-fakta politik-ideologis yang mengabaikan nalar teoritik-keilmuan, yang sangat berpengaruh dalam kebijakan ekonomi. Akibat lebih pahit berbentuk pikiran kita yang makin terjajah (terhegemoni) dan ekonomi kita yang tereksploitasi (rekolonialisasi) oleh kekuatan korporatokrasi imperium global (Mubyarto, 2005).
Ekonomi Pancasila dikembangkan untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang terwujud dalam tatanan masyarakat adil dan makmur. Tujuan ini tidak akan sekedar menjadi utopia manakala landasan sistem dan ilmu Ekonomi Pancasila yaitu ekonomika etik (bukan materialistik), humanistik (anti eksploitasi dan sub-ordinasi), nasionalistik (bukan pasar bebas), dan kerakyatan (demokrasi ekonomi) digunakan dalam pengembangan sistem dan pendidikan ekonomi di Indonesia. Ini membutuhkan revolusi mindset bangsa yang sejauh ini makin kagum pada kemajuan fisik-material ekonomi Barat, yang ditopang oleh nilai-nilai hedonisme dan individualisme.
Pendidikan Ekonomi Pancasila berupaya membangun mindset pendidik dan peserta didik yang peka terhadap isu-isu (masalah) ketuhanan (agama, moral, dan etika), kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan. Kepekaan ini membuat kita memiliki gagasan-gagasan sendiri tentang masa depan ekonomi bangsa. Larut dan takluk pada imperium global hanya membuat bangsa Indonesia kehilangan jatidiri dan tak ubahnya seperti “kuli di negeri sendiri”. Inilah perjuangan panjang yang berpegang tidak saja pada semangat dunia yang lain adalah mungkin (another world is possible), melainkan juga ilmu ekonomi yang lain adalah mungkin (another economics is possible). Dalam bahasa lain, pendidikan ekonomi alternatif adalah tak terelakkan. Itulah pendidikan Ekonomi Pancasila.
Yogyakarta, 28 Mei 2005
BACAAN
Gatra, majalah, Edisi No 23 Tahun XI, April 2005
Mubyarto, 1998, Ekonomi Pancasila : Lintasan Pemikiran Mubyarto, Aditya Media, Yogyakarta
________ , 2002, A Development Alternative for Indonesia, Gama Press, Yogyakarta
________ , 2002, Ekonomi Pancasila : Landasan Pikir, Visi, dan Misi Pendirian PUSTEP-UGM, BPFE, Yogyakarta
________ , 2004, Neoliberalisme dan Krisis Ilmu Ekonomi, Aditya Media, Yogyakarta
________ , 2004, Ekonomi Pasar Populis, Aditya Media, Yogyakarta
________ , 2004, Pendidikan Ekonomi Kita, Aditya Media, Yogyakarta
________ , 2004, Teknokrat dan Ekonomi Pancasila, Aditya Media, Yogyakarta
Perkins, John, 2004, Confession of an Economic Hit Man, Berret-Koehler Pub. Inc, San Fransisco
Pilger, John, 2002, The New Rulers of The World, Verso, London
Rahardjo, Dawam, 2004, Ekonomi Pancasila : Jalan Lurus Menuju Masyarakat Adil dan Makmur, Aditya Media, Yogyakarta
_______ , Ekonomi Pancasila dalam Tinjauan Filsafat Ilmu, Sistem, dan Konstitusi, makalah Kuliah Ekstrakurikuler Ekonomi Pancasila, 9 April 2005
Swasono, Sri-Edi, 2003, Ekspose Ekonomika : Mewaspadai Globalisme dan Pasar Bebas, PUSTEP-UGM, Yogyakarta
________ , 2004, Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan : Mutualism and Brotherhood, UNJ-Press, Jakarta
________ , 2005, Daulat Pasar vs Daulat Rakyat, PUSTEP-UGM, Yogyakarta
Dalam tiga tahun terakhir, terbit dua buku yang sama-sama mengejutkan. Buku pertama yang terbit tahun 2002 ditulis oleh John Pilger, jurnalis Australia yang tinggal di Inggris, dengan judul The New Rulers of The World (Verso, 2002). Buku yang dikutip Kwik Kian Gie dalam Kongres Indonesia Raya tahun 2004 ini di antaranya mengulas fakta dibalik dimulainya liberalisasi ekonomi Indonesia sejak tahun 1967. Pilger yang merujuk analisis dokumen historis Jeffrey Winters dan Brad Sampson mengungkap latar belakang diadakannya Konperensi Jenewa 1967 (awal Orde Baru) yang disponsori oleh Time-Life Corporation.
Konperensi yang disebutnya sebagai “pertemuan merancang pengambilalihan Indonesia” itu diikuti oleh korporat raksasa Barat dan ekonom-ekonom top Indonesia yang kemudian dikenal sebagai “Berkeley Mafia”. Konperensi 3 hari itu berbuah “kaplingisasi” kekayaan alam di Indonesia. Freeport mendapat gunung tembaga di Papua Barat, Konsorsium Eropa menguasai nikel di Papua Barat, Alcoa mendapat bagian terbesar bouksit di Indonesia, dan kelompok perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatera, Papua Barat, dan Kalimantan.
Buku kedua, yang terbit dua tahun sesudahnya, ditulis oleh John Perkins dengan judul Confessions of an Economic Hit Man (Berret-Koehler, 2004), tidak kalah menghebohkan. Perkins menulis “pengakuan dosanya” sebagai mantan “agen” ekonomi Pemerintah (AS) yang dalam kurun waktu 1971-1980 ikut “menjerumuskan” beberapa negara Asia dan Amerika Selatan seperti Panama, Equador, Colombia, Iran, termasuk Indonesia (sebagai “korban pertamanya”), dalam kubangan (jebakan) utang luar negeri dan ketergantungan politik-ekonomi kepada korporat dan pemerintah AS.
Perkins yang berpredikat sebagai “pemukul ekonomi” atau “Economic Hit Man” (EHM), megemban dua misi, yaitu memastikan bahwa utang LN yang diberikan akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek konstruksi raksasa milik perusahaan konsultan Perkins dan korporat-korporat AS, dan kemudian “membangkrutkan” negara pengutang agar selamanya tunduk pada kreditor. Proyek-proyek raksasa ini didisain untuk memenuhi kepentingan-kepentingan ekonomi-politik mereka seperti tersedianya pangkalan militer, suara di PBB, akses atas minyak, dan akses terhadap sumber daya alam lainnya.
Perkins memaparkan bahwa korporatokrasi yang dikembangkan melalui misi-misi EHM lebih berbahaya dari sekedar suatu konspirasi. Sistem ini tidak dikendalikan oleh segelintir kecil orang, melainkan oleh konsep yang sudah diterima layaknya kitab suci, bahwa setiap pertumbuhan ekonomi pasti bermanfaat bagi setiap manusia. Makin tinggi pertumbuhan ekonomi, makin besar pula manfaat yang diperoleh. Korporat, bank, dan pemerintah, sebagai agen korporatokrasi, menggunakan kekuasaan dan modal mereka untuk memastikan bahwa sekolah, bisnis, dan media, selalu mendukung konsep yang salah ini. Mereka menggiring kita untuk percaya bahwa kebudayaan global AS adalah mesin dahsyat yang membutuhkan peningkatan konsumsi (bahan bakar dan pemeliharaan), termasuk meningkatnya biaya hidup yang harus dipenuhi berapapun besarnya.
Dalam kasus Indonesia, EHM menjalankan kepentingan korporat dan pemerintah AS dengan dalih menjaga Indonesia dari pengaruh komunis yang masih eksis di Vietnam, Laos, dan Kamboja (1971-1975). EHM meyakinkan bahwa pembangunan sistem perlistrikan terpadu di Jawa merupakan kunci mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Perkins, sebagai “ekonom”, bertugas untuk memperkirakan kenaikan pertumbuhan ekonomi dengan perkiraan kuantitaif-matematis, yang kemudian menjadi legitimasi bagi Indonesia untuk memperoleh utang luar negeri.
Utang diberikan dengan syarat proyek dikerjakan oleh konsultan dan korporat yang diajukan oleh tim EHM, setelah nilai utang digelembungkan (mark-up) dari nilai riil proyeknya. Dengan cara ini, industri minyak dan perusahaan-perusahaan kaitannya (pelabuhan, pipa, dan konstruksi) makin tergantung pada sistem perlistrikan yang disediakan oleh tim EHM. Fakta selanjutnya kita tahu bahwa Indonesia disebut sebagai salah satu keajaiban pertumbuhan ekonomi Asia (East Asian economic miracle), yang ironisnya makin terjebak utang (debt-trap), berpredikat negara terkorup, sehingga kebijakan ekonomi-politiknya banyak tergantung pada negara-negara (lembaga) asing seperti CGI, IMF, dan Bank Dunia.
Bukan Sekedar Konspirasi
Kedua buku itu telah menginspirasi dua hal. Pertama, sangat tepat untuk menjawab skeptisisme ekonom neoklasik perihal neoliberalisme, setidaknya yang diwakili oleh ekonom LPEM UI, Chatib Basri dan M. Ikhsan (Gatra, April 2005), dan kedua, menjawab pertanyaan mengapa kita perlu mengembangkan dan menyebarluaskan ideologi, sistem, dan ilmu ekonomi Pancasila. Perlu diketahui bahwa Ekonomi Pancasila dikembangkan Prof. Mubyarto dkk sebagai alternatif terhadap ilmu ekonomi konvensional (neoklasik-Barat) yang menjadi mainstream dalam pendidikan ekonomi kita. Di samping itu ekonomi Pancasila juga diposisikan untuk membendung berkembangnya ideologi dan sistem ekonomi kapitalis-neoliberal di Indonesia.
Lalu, apa hubungan buku Pilger dan Perkins dengan Chatib Basri dan M. Ikhsan? Kaitannya akan nampak jika kita membaca pernyataan kedua ekonom ini dalam majalah Gatra edisi no 23 tahun XI (hal. 136). Mereka sama-sama mengelak disebut sebagai penganut paham neoliberalisme. Chatib Basri menyatakan bahwa ia “tidak mempunyai ideologi”, karena ia bertumpu pada kebijakan yang masuk akal tanpa basis ideologi, termasuk kepercayaannya pada peran negara dalam mensubsidi sektor pendidikan dan kesehatan. Sementara Ikhsan menyatakan bahwa neoliberalisme “hanya ada dalam angan-angan”, karena masyarakat Indonesia masih gandrung pada teori konspirasi. Pikiran adanya intervensi asing, termasuk oleh IMF dan lembaga donor, dianggapnya sebagai pengaruh teori konspirasi. Dalam acara Diskusi Kenaikan BBM (SCTV) kedua ekonom ini memang mengungkapkan hal yang sama untuk menanggapi kritik-kritik Revrisond Baswir dari PUSTEP-UGM perihal kepentingan asing (agen neolib) dalam liberalisasi pasar migas di Indonesia.
Sebagai ekonom yang sarannya sangat didengar pemerintah, saya harap mereka sudah membaca kedua buku tersebut. Jika memang iya, dan mereka masih tidak mau mengakui adanya intervensi asing di Indonesia dengan menuduh pikiran yang berbeda sebagai akibat teori konspirasi, salahkah jika banyak orang menilai mereka sebagai penganut neoliberalisme? Sejarah ekonomi bangsa yang sarat dengan eksploitasi dan sub-ordinasi asing sejak zaman VOC, tanam paksa, perkebunan-perkebunan kapitalis-liberal, kapitalis negara Orde Baru, Krismon 97, hingga datangnya IMF dengan LoI dan Program Penyesuaian Struktural, seharusnya mudah menjadi pelajaran “pahit” bahwa yang terjadi bukan sekedar konspirasi, melainkan hegemoni dan (neo) imperialisme.
Perspektif sejarah mengajarkan bahwa evolusi peradaban manusia, yang ditandai dengan kemajuan ekonomi, tidak serta merta diikuti evolusi kesadaran moral, politik, dan sosial-budaya, bahkan seringkali berlaku sebaliknya. Ekonom neolib yang juga seorang fundamentalis pasar cenderung mengabaikan (menyisihkan) analisis moral, politik, sosial, dan budaya (kelembagaan) dalam analisis ekonomi mereka yang makin positivistik, teknis, dan kuantitatif. Pengingkaran terhadap dianutnya ideologi tertentu adalah wujud dari ideologi itu sendiri. Itulah ideologinya market fundamentalis yang bertolakbelakang dengan ideologi Ekonomi Pancasila.
Ekonom memerlukan ideologi agar ia tidak ahistoris dan gagap dalam merancang masa depan bangsanya. Hal ini karena ideologi merupakan refleksi atau respon terhadap kondisi kesejarahan yang kemudian menjadi gagasan tentang masa depan. Sebagai contoh, nasionalisme lahir melawan penjajahan, demokrasi lahir dari dominasi dan otoritarianisme, dan sosialisme lahir dari penghisapan dan penindasan (Dawam Rahardjo, 2005). Keengganan ekonom neolib untuk mengaitkan ekonomi dengan ideologi bangsa (Pancasila) dalam perspektif ini dapat dipahami sebagai penolakan mereka untuk belajar dari sejarah bangsa sendiri, dan tidak ingin merancang masa depan bangsa secara mandiri. Mereka makin terpukau pada globalisme ajaran pasar bebas, sehingga tidak mewaspadai globalisasi ekonomi yang dikendalikan oleh korporat dan pemerintah negara maju.
Revolusi Mindset
Pelajaran lain dari buku Pilger dan Perkins, dan tentu saja menilik cara berpikir ekonomi kedua ekonom UI tersebut adalah, bahwa kita harus melakukan “revolusi mindset” melalui pengembangan ilmu ekonomi Ekonomi Pancasila. Mayoritas ekonom dan teknokrat sementara ini masih skeptis terhadap keberadaan (eksistensi) dan urgensi Ekonomi Pancasila sebagai alternatif ekonomi konvensional. Padahal, gugatan terhadap ilmu tersebut sudah dilakukan melalui tulisan-tulisan (buku-buku) pemikir utama Ekonomi Pancasila yaitu Prof. Mubyarto, Prof. Sri-Edi Swasono, dan Prof. Dawam Rahardjo sejak tahun 80-an.
Gugatan senada telah dilontarkan pakar-pakar ekonomi dunia seperti Paul Ormerod (The Death of Economics), Steve Keen (Debunking Economics), Stiglitz (The Roaring Nineties), Paul Ekins (Real-Life Economics), Nelson (Economics as Religion), dan dapat pula dirujuk pada pemikiran Gunnar Myrdal, Heilbroner, Amartya Sen, T.M. Lunati, A. Etzioni, Umer Capra, Ted Trainer, dan L.C. Thurow, dan ilmuwan atau aktivis dunia lainnya.
Buku Pilger dan Perkins menunjukkan betapa pentingnya pendekatan multidisiplin yang merupakan pendekatan yang secara konsisten diterapkan ajaran Ekonomi Pancasila. Ekonomi Pancasila menganalisis fenomena dan masalah ekonomi tidak sekedar dari kajian ekonomi an sich, melainkan mengaitkannya dengan analisis sejarah, politik, filsafat moral/etika, sosiologi, dan antropologi, yang terang-terangan diabaikan dalam pendekatan ekonomi neoklasik-Barat. Masalah-masalah struktural ekonomi berupa ketimpangan, eksploitasi, dan sub-ordinasi terhadap pelaku ekonomi rakyat (kaum miskin) hanya bisa dilihat apabila pendekatan (kacamata) yang digunakan adalah kacamata ekonomi-historis, ekonomi politik, ekonomi sosiologi, dan ekonomi antropologi. Sayangnya pendekatan ekonomi kelembagaan yang multidipliner ini telah diabaikan dalam pendidikan ekonomi kita.
Pendekatan multidisiplin dan transdisiplin dimungkinkan jika ilmu ekonomi tidak sekedar mengasumsikan manusia sebagai homo economicus, melainkan juga sebagai homo socius dan homo ethicus. Dengan begitu, analisis ekonomi tidak seharusnya dipusatkan kepada individu yang selalu mengejar kepentingan pribadi (self-interest), berorientasi keuntungan pribadi (profit orientation), dan selalu bersaing bebas (free-competition).
Sebagai homo ethicus dan homo socius, manusia memiliki pertimbangan moral/etika (agama) dan sosial yang mendorongnya untuk tidak mau dikendalikan pasar yang materialistis, melainkan mengutamakan kepentingan bersama dalam suatu tatanan masyarakat yang berasas kekeluargaan (brotherhood) dan kebersamaan (mutualism). Kesejahteraan sosial tidak dapat dianggap sebagai manifestasi kesejahteraan individu yang masing-masing mengejar kepentingan mereka sendiri (Swasono, 2005). Itulah asumsi dasar yang dibangun dalam ilmu ekonomi Pancasila.
Pendekatan dan asumsi di atas dibangun atas keyakinan bahwa ilmu ekonomi tidaklah bebas nilai (value-free), melainkan justru sarat nilai (value-ladden-istilah Gunnar Myrdal-). Sistem dan ilmu ekonomi sangat terkait dengan ideologi, sejarah, sistem nilai, dan sistem sosial-budaya (kelembagaan) masyarakat di mana sistem dan ilmu itu dikembangkan. Oleh karena itu dominasi paradigma positivistik yang menganggap kebenaran, relevansi, dan manfaat ilmu ekonomi konvensional (neoklasik-Barat) bersifat universal harus ditolak.
Positivisme hanya mengarahkan pendidikan ekonomi kita untuk semata-mata berorientasi Barat (Amerika), yang memiliki sejarah, ideologi, sistem nilai, dan sistem sosial-budaya, yang jelas berbeda dengan Indonesia. Oleh karena itu, sistem dan Ilmu ekonomi Indonesia harus digali dan dikembangkan berpijak pada realitas ekonomi (real-life economy) masyarakat Indonesia sendiri pula. Berdasar itulah ekonomi Pancasila dikembangkan melalui penelitian-penelitian lapangan tentang ekonomi rakyat Indonesia.
Untuk itu, pola pendidikan yang mendukung pengembangan ilmu ekonomi Pancasila adalah pendidikan yang menghadapkan peserta didik pada masalah-masalah ekonomi riil yang dihadapi rakyat Indonesia. Pola pendidikan seperti ini dikenal sebagai pendidikan hadap masalah (problem-posing education), yang merupakan alternatif bagi pola pendidikan yang hanya mendorong peserta didik untuk menghapal sebanyak mungkin materi untuk diujikan di akhir semester, yang disebut sebagai pendidikan gaya bank (banking education). Problem-posing education dilakukan dengan mengajak peserta didik untuk melakukan kajian (kunjungan) lapangan ke pelaku ekonomi rakyat seintensif mungkin. Mereka dapat juga diajak berdiskusi dan mengkritisi isu-isu ekonomi aktual (lokal dan nasional), terutama masalah-masalah yang dihadapi pelaku ekonomi rakyat, untuk bersama-sama mencari cara-cara pemecahannya.
Terakhir, buku Pilger dan Perkins, serta mindset dua ekonom UI di atas, makin menunjukkan kegunaan (nilai manfaat) pengembangan Ekonomi Pancasila. Pendidikan ekonomi berbasis ilmu ekonomi konvensional (Barat) mendorong tumbuh-kembangnya mindset kapitalis-neoliberal, yang sejalan dengan cita-cita sistem kapitalis-neoliberal yaitu terbentuknya masyarakat berkelimpahan barang dan jasa (affluent society).
Pendidikan ekonomi konvensional tidak mampu mendobrak ketimpangan (ketidakdilan) struktural, kemiskinan struktural, kerusakan alam (lingkungan), meluasnya degradasi moral, dan merenggangnya kohesivitas sosial. Pendidikan seperti ini tidak mampu melihat faktor-faktor di luar ekonomi (politik, sosial, budaya) dan fakta-fakta politik-ideologis yang mengabaikan nalar teoritik-keilmuan, yang sangat berpengaruh dalam kebijakan ekonomi. Akibat lebih pahit berbentuk pikiran kita yang makin terjajah (terhegemoni) dan ekonomi kita yang tereksploitasi (rekolonialisasi) oleh kekuatan korporatokrasi imperium global (Mubyarto, 2005).
Ekonomi Pancasila dikembangkan untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang terwujud dalam tatanan masyarakat adil dan makmur. Tujuan ini tidak akan sekedar menjadi utopia manakala landasan sistem dan ilmu Ekonomi Pancasila yaitu ekonomika etik (bukan materialistik), humanistik (anti eksploitasi dan sub-ordinasi), nasionalistik (bukan pasar bebas), dan kerakyatan (demokrasi ekonomi) digunakan dalam pengembangan sistem dan pendidikan ekonomi di Indonesia. Ini membutuhkan revolusi mindset bangsa yang sejauh ini makin kagum pada kemajuan fisik-material ekonomi Barat, yang ditopang oleh nilai-nilai hedonisme dan individualisme.
Pendidikan Ekonomi Pancasila berupaya membangun mindset pendidik dan peserta didik yang peka terhadap isu-isu (masalah) ketuhanan (agama, moral, dan etika), kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan. Kepekaan ini membuat kita memiliki gagasan-gagasan sendiri tentang masa depan ekonomi bangsa. Larut dan takluk pada imperium global hanya membuat bangsa Indonesia kehilangan jatidiri dan tak ubahnya seperti “kuli di negeri sendiri”. Inilah perjuangan panjang yang berpegang tidak saja pada semangat dunia yang lain adalah mungkin (another world is possible), melainkan juga ilmu ekonomi yang lain adalah mungkin (another economics is possible). Dalam bahasa lain, pendidikan ekonomi alternatif adalah tak terelakkan. Itulah pendidikan Ekonomi Pancasila.
Yogyakarta, 28 Mei 2005
BACAAN
Gatra, majalah, Edisi No 23 Tahun XI, April 2005
Mubyarto, 1998, Ekonomi Pancasila : Lintasan Pemikiran Mubyarto, Aditya Media, Yogyakarta
________ , 2002, A Development Alternative for Indonesia, Gama Press, Yogyakarta
________ , 2002, Ekonomi Pancasila : Landasan Pikir, Visi, dan Misi Pendirian PUSTEP-UGM, BPFE, Yogyakarta
________ , 2004, Neoliberalisme dan Krisis Ilmu Ekonomi, Aditya Media, Yogyakarta
________ , 2004, Ekonomi Pasar Populis, Aditya Media, Yogyakarta
________ , 2004, Pendidikan Ekonomi Kita, Aditya Media, Yogyakarta
________ , 2004, Teknokrat dan Ekonomi Pancasila, Aditya Media, Yogyakarta
Perkins, John, 2004, Confession of an Economic Hit Man, Berret-Koehler Pub. Inc, San Fransisco
Pilger, John, 2002, The New Rulers of The World, Verso, London
Rahardjo, Dawam, 2004, Ekonomi Pancasila : Jalan Lurus Menuju Masyarakat Adil dan Makmur, Aditya Media, Yogyakarta
_______ , Ekonomi Pancasila dalam Tinjauan Filsafat Ilmu, Sistem, dan Konstitusi, makalah Kuliah Ekstrakurikuler Ekonomi Pancasila, 9 April 2005
Swasono, Sri-Edi, 2003, Ekspose Ekonomika : Mewaspadai Globalisme dan Pasar Bebas, PUSTEP-UGM, Yogyakarta
________ , 2004, Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan : Mutualism and Brotherhood, UNJ-Press, Jakarta
________ , 2005, Daulat Pasar vs Daulat Rakyat, PUSTEP-UGM, Yogyakarta
Sunday, May 29, 2005
EKONOMI PANCASILA MAJU TERUS
Awan Santosa
Belum reda duka karena kepergian Pak Muby, guru sekaligus ayah ideologis, pada hari Selasa, 24 Mei 2005 di RS Sardjito karena sakit paru-paru basah dan jantung yang diderita beliau, ketika muncul tulisan Mas Tony Prasetyantono berjudul “Perginya Legenda Ekonomi Pancasila’ (Kompas, 25 Mei 2005). Tulisan itu begitu kuat menginspirasi tanggapan saya karena berisi pertanyaan kritis, akan berlalu dan sirnakah gagasan dan perjuangan mewujudkan ide Ekonomi Pancasila seiring kepergian Pak Muby? Ungkapannya bahwa masa depan ide Ekonomi Pancasila akan menjadi tanda tanya besar pasca Mubyarto pun layak dijawab.
Benar bahwa Ekonomi Pancasila sering diidentikkan dengan Pak Muby, begitupun sebaliknya. Pak Muby-lah yang paling konsisten berpikir, menulis, dan menyuarakan ide Ekonomi Pancasila sejak tahun 1980 dalam Seminar Nasional Ekonomi Pancasila di UGM hingga saat terakhir hayat beliau. Namun, perikatan Pak Muby dengan gagasannya pun telah melahirkan anak-anak ideologis, yang saya yakin kelak akan mampu menjadi kader-kader penerus Ekonomi Pancasila. Staf ahli Pustep-UGM lah yang kiranya berkompeten dan mapan secara akademik dalam mengawal proses transformasi intelektualitas dan ideologisasi yang diwariskan pak Muby.
Ada baiknya Mas Tony, yang sedang studi di ANU, mengkonfirmasi perkembangan pemikiran Ekonomi Pancasila di tanah air. Kealpaan Mas Toni dalam memetakan aliran pemikiran ekonom bagi saya akan memupus kekhawatiran diabaikannya potensi 9 orang staf ahli Pustep-UGM, sebagai generasi ketiga pejuang Ekonomi Pancasila. Subjektif memang, saya menganggap semangat pemikiran ekonomi Bung Hatta sebagai manifestasi generasi pertama ide Ekonomi Pancasila (meskipun beliau tidak menggunakan istilah itu). Generasi keduanya adalah Pak Muby sendiri, beserta Pak Sri-Edi Swasono dan Pak Dawam Rahardjo.
Kaderisasi Jalan Terus
Di saat yang sama, transformasi kesadaran dan komitmen yang menjadi ruh pergerakan Ekonomi Pancasila sedang berlangsung. Anak-anak muda yang bermind-set Ekonomi Pancasila pun mulai bermunculan. Hingga saat terakhir hidupnya, gagasan Pak Muby belum diterima luas oleh teknokrat dan ekonom arus utama. Meski begitu, Pak Muby pergi di tengah optimisme akan kebangkitan ide Ekonomi Pancasila. Selain menulis dan berbicara di forum-forum seminar, sejak tiga bulan yang lalu beliau pun membuka program Kuliah Ekstrakurikuler Ekonomi Pancasila sebagai media pengembangan dan penyebarluasan ideologi, ilmu, dan sistem Ekonomi Pancasila.
Program yang diorganisir bersama anak-anak muda dari kelompok Sekolah Ekonomi Rakyat (SER) dan baru akan berakhir bulan Agustus nanti ini diharapkan menjadi “ruang persalinan” bagi kelahiran generasi keempat pejuang Ekonomi Pancasila. Saya berkali-kali menerima email dan berdiskusi secara langsung dengan mahasiswa-mahasiswa yang concern untuk terlibat dalam kancah perjuangan mewujudkan ide Ekonomi Pancasila. Bagi saya, mereka lah masa depan Ekonomi Pancasila. Konsolidasi antargenerasi diperlukan untuk menopang bangunan perjuangan Ekonomi Pancasila sehingga makin sistematis-terorganisasi, dengan semangat regenerasi dan kaderisasi pada kaum muda.
Keberadaan sosok-sosok pejuang yang gigih, seperti yang ditunjukkan Pak Muby, memang mutlak ada sebagai prasyarat tumbuh-kembangnya Ekonomi Pancasila. Namun, itu saja tidak lah cukup. Semangat dan isi yang terkandung dalam gagasan Ekonomi Pancasila itu sendiri jugalah yang akan selalu menjadi sumber inspirasi bagi siapa saja yang peduli pada masa depan ekonomi rakyat Indonesia. Jika kita mau mengakui bahwa carut marut masalah struktural ekonomi hanya dapat dipecahkan dengan konsep yang utuh (komprehensif), konstitusional, dan visioner, maka itulah tempat bagi bersemainya mindset, ilmu, dan sistem Ekonomi Pancasila.
Sebuah Pendekatan Alternatif
Pengamatan sebagian orang terhadap isi Ekonomi Pancasila seringkali tidak lagi up-to date., atau bahkan terlalu simplistis. Pengembangan Ekonomi Pancasila memang berpijak pada kesadaran bahwa aneka masalah ekonomi bangsa tidak cukup dipecahkan dengan ilmu ekonomi an sich. Kita perlu ekonomi-politik, ekonomi-sosiologi, ekonomi-antropologi, dan ekonomi-lingkungan, sehingga Ekonomi Pancasila menggunakan pendekatan multidisiplin. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan manakala ada kesediaan untuk mengubah asumsi dasar manusia, tidak sekedar sebagai homo economicus (seperti dalam ekonomi neoklasik), melainkan juga sebagai homo socius dan homo ethicus sekaligus.
Sebagai homo ethicus dan homo socius, manusia memiliki pertimbangan moral/etika (agama) dan sosial yang mendorongnya untuk tidak mau dikendalikan pasar yang materialistis, melainkan mengutamakan kepentingan bersama dalam suatu tatanan masyarakat yang berasas kekeluargaan (brotherhood) dan kebersamaan (mutualism). Kesejahteraan sosial tidak dapat dianggap sebagai manifestasi kesejahteraan individu yang masing-masing mengejar kepentingan mereka sendiri (Swasono, 2005). Itulah asumsi dasar yang dibangun dalam ilmu ekonomi Pancasila.
Pendekatan dan asumsi di atas dibangun atas keyakinan bahwa ilmu ekonomi tidaklah bebas nilai (value-free), melainkan justru sarat nilai (value-ladden-istilah Gunnar Myrdal-). Sistem dan ilmu ekonomi sangat terkait dengan ideologi, sejarah, sistem nilai, dan sistem sosial-budaya (kelembagaan) masyarakat di mana sistem dan ilmu itu dikembangkan. Oleh karena itu dominasi paradigma positivistik yang menganggap kebenaran, relevansi, dan manfaat ilmu ekonomi konvensional (neoklasik-Barat) bersifat universal ditolak oleh (pemikir) Ekonomi Pancasila..
Positivisme hanya mengarahkan pendidikan ekonomi kita untuk semata-mata berorientasi Barat (Amerika), yang memiliki sejarah, ideologi, sistem nilai, dan sistem sosial-budaya, yang jelas berbeda dengan Indonesia. Oleh karena itu, sistem dan Ilmu ekonomi Indonesia harus digali dan dikembangkan berpijak pada realitas ekonomi (real-life economy) masyarakat Indonesia sendiri pula. Berdasar itulah Ekonomi Pancasila dikembangkan melalui penelitian-penelitian lapangan tentang ekonomi rakyat Indonesia dan pola-pola pendidikan hadap masalah (problem-posing education).
Optimis Merajut Masa Depan
Ekonomi Pancasila telah dikukuhkan Pak Muby untuk melawan berkembangnya paham kapitalis-neoliberal yang makin merasuk dalam sendi-sendi kebijakan ekonomi pemerintah dan pengajaran ekonomi di setiap tingkatan. Ekonomi Pancasila juga menolak globalisasi ekonomi dalam wujudnya sekarang yang sekedar kepanjangan neoliberalisme dan imperium (korporatokrasi) global dengan agenda pasar bebasnya (Mubyarto, 2005). Pasar bebas makin menjauhkan upaya pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang dicita-citakan dalam Ekonomi Pancasila. Tatanan ekonomi kapitalistik yang terbentuk pun makin meminggirkan ekonomi rakyat yang menjadi concern Ekonomi Pancasila.
Prasyarat tumbuh kembang Ekonomi Pancasila itu masih ada, dan mungkin di masa-mendatang akan makin ada. Selama kita percaya bahwa, ilmu dan sistem ekonomi harus berlandaskan moral dan etika (ketuhanan), ketimpangan harus dilawan dengan pemerataan, kepentingan ekonomi nasional harus diperjuangkan, ekonomi rakyat harus diberdayakan, dan keadilan sosial harus diwujudkan, maka ini akan menjadi ladang yang luas bagi tumbuh-suburnya Ekonomi Pancasila. Pun, selama kita sadar bahwa ilmu ekonomi tidak mampu berdiri sendiri, manusia bukan saja makhluk ekonomi, dan ilmu ekonomi tidak boleh bebas nilai, maka ini akan menjadi air penyiram bagi mekarnya pemikiran-pemikiran Ekonomi Pancasila.
Selama kita ingin merancang masa depan yang lebih baik, dengan tidak mau tunduk begitu saja pada paham dan kepentingan ekonomi asing (imperium global), tidak sudi sekedar menjadi kuli di negeri sendiri, tidak rela diperdaya ajaran-ajaran ekonomi yang mendewakan pasar bebas, pertumbuhan ekonomi, investasi asing, dan utang luar negeri, maka itu akan menjadi energi yang akan senantiasa menyalakan semangat untuk mewujudkan dan menerapkan Ekonomi Pancasila. Dan apabila kita tidak alpa dengan jati diri bangsa yang termaktub dalam Pancasila, Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945, maka Ekonomi Pancasila akan menjadi amanat konstitusi yang perlu diejawantahkan bersama-sama segenap elemen bangsa Indonesia.
Kiranya tidak perlu lagi ada keraguan perihal kelanjutan Ekonomi Pancasila, kecuali karena keraguan diri kita sendiri dalam menjawab tantangan zaman dan menuntaskan masalah-masalah struktural ekonomi bangsa. Ekonomi Pancasila adalah milik bangsa Indonesia. Ia bukan sekedar warisan Pak Muby untuk staf-stafnya di Pustep-UGM, melainkan warisan beliau untuk bangsa Indonesia. Jadi, mari kita berpikir, menulis, dan berdiskusi Ekonomi Pancasila. Itulah cara bijak untuk terlibat dalam kancah perjuangan mengembangkan ideologi, ilmu, dan sistem Ekonomi Pancasila. Selamat jalan Pak Muby, Bapak Ekonomi Pancasila, guru sekaligus ayah yang senantiasa mengajarkan sikap optimis dan rasa percaya diri. Kini saatnya menunjukkan optimisme tersebut dengan tidak ragu bersuara lantang, Ekonomi Pancasila maju terus!
Yogyakarta, 27 Mei 2005
Belum reda duka karena kepergian Pak Muby, guru sekaligus ayah ideologis, pada hari Selasa, 24 Mei 2005 di RS Sardjito karena sakit paru-paru basah dan jantung yang diderita beliau, ketika muncul tulisan Mas Tony Prasetyantono berjudul “Perginya Legenda Ekonomi Pancasila’ (Kompas, 25 Mei 2005). Tulisan itu begitu kuat menginspirasi tanggapan saya karena berisi pertanyaan kritis, akan berlalu dan sirnakah gagasan dan perjuangan mewujudkan ide Ekonomi Pancasila seiring kepergian Pak Muby? Ungkapannya bahwa masa depan ide Ekonomi Pancasila akan menjadi tanda tanya besar pasca Mubyarto pun layak dijawab.
Benar bahwa Ekonomi Pancasila sering diidentikkan dengan Pak Muby, begitupun sebaliknya. Pak Muby-lah yang paling konsisten berpikir, menulis, dan menyuarakan ide Ekonomi Pancasila sejak tahun 1980 dalam Seminar Nasional Ekonomi Pancasila di UGM hingga saat terakhir hayat beliau. Namun, perikatan Pak Muby dengan gagasannya pun telah melahirkan anak-anak ideologis, yang saya yakin kelak akan mampu menjadi kader-kader penerus Ekonomi Pancasila. Staf ahli Pustep-UGM lah yang kiranya berkompeten dan mapan secara akademik dalam mengawal proses transformasi intelektualitas dan ideologisasi yang diwariskan pak Muby.
Ada baiknya Mas Tony, yang sedang studi di ANU, mengkonfirmasi perkembangan pemikiran Ekonomi Pancasila di tanah air. Kealpaan Mas Toni dalam memetakan aliran pemikiran ekonom bagi saya akan memupus kekhawatiran diabaikannya potensi 9 orang staf ahli Pustep-UGM, sebagai generasi ketiga pejuang Ekonomi Pancasila. Subjektif memang, saya menganggap semangat pemikiran ekonomi Bung Hatta sebagai manifestasi generasi pertama ide Ekonomi Pancasila (meskipun beliau tidak menggunakan istilah itu). Generasi keduanya adalah Pak Muby sendiri, beserta Pak Sri-Edi Swasono dan Pak Dawam Rahardjo.
Kaderisasi Jalan Terus
Di saat yang sama, transformasi kesadaran dan komitmen yang menjadi ruh pergerakan Ekonomi Pancasila sedang berlangsung. Anak-anak muda yang bermind-set Ekonomi Pancasila pun mulai bermunculan. Hingga saat terakhir hidupnya, gagasan Pak Muby belum diterima luas oleh teknokrat dan ekonom arus utama. Meski begitu, Pak Muby pergi di tengah optimisme akan kebangkitan ide Ekonomi Pancasila. Selain menulis dan berbicara di forum-forum seminar, sejak tiga bulan yang lalu beliau pun membuka program Kuliah Ekstrakurikuler Ekonomi Pancasila sebagai media pengembangan dan penyebarluasan ideologi, ilmu, dan sistem Ekonomi Pancasila.
Program yang diorganisir bersama anak-anak muda dari kelompok Sekolah Ekonomi Rakyat (SER) dan baru akan berakhir bulan Agustus nanti ini diharapkan menjadi “ruang persalinan” bagi kelahiran generasi keempat pejuang Ekonomi Pancasila. Saya berkali-kali menerima email dan berdiskusi secara langsung dengan mahasiswa-mahasiswa yang concern untuk terlibat dalam kancah perjuangan mewujudkan ide Ekonomi Pancasila. Bagi saya, mereka lah masa depan Ekonomi Pancasila. Konsolidasi antargenerasi diperlukan untuk menopang bangunan perjuangan Ekonomi Pancasila sehingga makin sistematis-terorganisasi, dengan semangat regenerasi dan kaderisasi pada kaum muda.
Keberadaan sosok-sosok pejuang yang gigih, seperti yang ditunjukkan Pak Muby, memang mutlak ada sebagai prasyarat tumbuh-kembangnya Ekonomi Pancasila. Namun, itu saja tidak lah cukup. Semangat dan isi yang terkandung dalam gagasan Ekonomi Pancasila itu sendiri jugalah yang akan selalu menjadi sumber inspirasi bagi siapa saja yang peduli pada masa depan ekonomi rakyat Indonesia. Jika kita mau mengakui bahwa carut marut masalah struktural ekonomi hanya dapat dipecahkan dengan konsep yang utuh (komprehensif), konstitusional, dan visioner, maka itulah tempat bagi bersemainya mindset, ilmu, dan sistem Ekonomi Pancasila.
Sebuah Pendekatan Alternatif
Pengamatan sebagian orang terhadap isi Ekonomi Pancasila seringkali tidak lagi up-to date., atau bahkan terlalu simplistis. Pengembangan Ekonomi Pancasila memang berpijak pada kesadaran bahwa aneka masalah ekonomi bangsa tidak cukup dipecahkan dengan ilmu ekonomi an sich. Kita perlu ekonomi-politik, ekonomi-sosiologi, ekonomi-antropologi, dan ekonomi-lingkungan, sehingga Ekonomi Pancasila menggunakan pendekatan multidisiplin. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan manakala ada kesediaan untuk mengubah asumsi dasar manusia, tidak sekedar sebagai homo economicus (seperti dalam ekonomi neoklasik), melainkan juga sebagai homo socius dan homo ethicus sekaligus.
Sebagai homo ethicus dan homo socius, manusia memiliki pertimbangan moral/etika (agama) dan sosial yang mendorongnya untuk tidak mau dikendalikan pasar yang materialistis, melainkan mengutamakan kepentingan bersama dalam suatu tatanan masyarakat yang berasas kekeluargaan (brotherhood) dan kebersamaan (mutualism). Kesejahteraan sosial tidak dapat dianggap sebagai manifestasi kesejahteraan individu yang masing-masing mengejar kepentingan mereka sendiri (Swasono, 2005). Itulah asumsi dasar yang dibangun dalam ilmu ekonomi Pancasila.
Pendekatan dan asumsi di atas dibangun atas keyakinan bahwa ilmu ekonomi tidaklah bebas nilai (value-free), melainkan justru sarat nilai (value-ladden-istilah Gunnar Myrdal-). Sistem dan ilmu ekonomi sangat terkait dengan ideologi, sejarah, sistem nilai, dan sistem sosial-budaya (kelembagaan) masyarakat di mana sistem dan ilmu itu dikembangkan. Oleh karena itu dominasi paradigma positivistik yang menganggap kebenaran, relevansi, dan manfaat ilmu ekonomi konvensional (neoklasik-Barat) bersifat universal ditolak oleh (pemikir) Ekonomi Pancasila..
Positivisme hanya mengarahkan pendidikan ekonomi kita untuk semata-mata berorientasi Barat (Amerika), yang memiliki sejarah, ideologi, sistem nilai, dan sistem sosial-budaya, yang jelas berbeda dengan Indonesia. Oleh karena itu, sistem dan Ilmu ekonomi Indonesia harus digali dan dikembangkan berpijak pada realitas ekonomi (real-life economy) masyarakat Indonesia sendiri pula. Berdasar itulah Ekonomi Pancasila dikembangkan melalui penelitian-penelitian lapangan tentang ekonomi rakyat Indonesia dan pola-pola pendidikan hadap masalah (problem-posing education).
Optimis Merajut Masa Depan
Ekonomi Pancasila telah dikukuhkan Pak Muby untuk melawan berkembangnya paham kapitalis-neoliberal yang makin merasuk dalam sendi-sendi kebijakan ekonomi pemerintah dan pengajaran ekonomi di setiap tingkatan. Ekonomi Pancasila juga menolak globalisasi ekonomi dalam wujudnya sekarang yang sekedar kepanjangan neoliberalisme dan imperium (korporatokrasi) global dengan agenda pasar bebasnya (Mubyarto, 2005). Pasar bebas makin menjauhkan upaya pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang dicita-citakan dalam Ekonomi Pancasila. Tatanan ekonomi kapitalistik yang terbentuk pun makin meminggirkan ekonomi rakyat yang menjadi concern Ekonomi Pancasila.
Prasyarat tumbuh kembang Ekonomi Pancasila itu masih ada, dan mungkin di masa-mendatang akan makin ada. Selama kita percaya bahwa, ilmu dan sistem ekonomi harus berlandaskan moral dan etika (ketuhanan), ketimpangan harus dilawan dengan pemerataan, kepentingan ekonomi nasional harus diperjuangkan, ekonomi rakyat harus diberdayakan, dan keadilan sosial harus diwujudkan, maka ini akan menjadi ladang yang luas bagi tumbuh-suburnya Ekonomi Pancasila. Pun, selama kita sadar bahwa ilmu ekonomi tidak mampu berdiri sendiri, manusia bukan saja makhluk ekonomi, dan ilmu ekonomi tidak boleh bebas nilai, maka ini akan menjadi air penyiram bagi mekarnya pemikiran-pemikiran Ekonomi Pancasila.
Selama kita ingin merancang masa depan yang lebih baik, dengan tidak mau tunduk begitu saja pada paham dan kepentingan ekonomi asing (imperium global), tidak sudi sekedar menjadi kuli di negeri sendiri, tidak rela diperdaya ajaran-ajaran ekonomi yang mendewakan pasar bebas, pertumbuhan ekonomi, investasi asing, dan utang luar negeri, maka itu akan menjadi energi yang akan senantiasa menyalakan semangat untuk mewujudkan dan menerapkan Ekonomi Pancasila. Dan apabila kita tidak alpa dengan jati diri bangsa yang termaktub dalam Pancasila, Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945, maka Ekonomi Pancasila akan menjadi amanat konstitusi yang perlu diejawantahkan bersama-sama segenap elemen bangsa Indonesia.
Kiranya tidak perlu lagi ada keraguan perihal kelanjutan Ekonomi Pancasila, kecuali karena keraguan diri kita sendiri dalam menjawab tantangan zaman dan menuntaskan masalah-masalah struktural ekonomi bangsa. Ekonomi Pancasila adalah milik bangsa Indonesia. Ia bukan sekedar warisan Pak Muby untuk staf-stafnya di Pustep-UGM, melainkan warisan beliau untuk bangsa Indonesia. Jadi, mari kita berpikir, menulis, dan berdiskusi Ekonomi Pancasila. Itulah cara bijak untuk terlibat dalam kancah perjuangan mengembangkan ideologi, ilmu, dan sistem Ekonomi Pancasila. Selamat jalan Pak Muby, Bapak Ekonomi Pancasila, guru sekaligus ayah yang senantiasa mengajarkan sikap optimis dan rasa percaya diri. Kini saatnya menunjukkan optimisme tersebut dengan tidak ragu bersuara lantang, Ekonomi Pancasila maju terus!
Yogyakarta, 27 Mei 2005
Sunday, May 22, 2005
DUGEMNOMIC
Awan Santosa
Pasar bebas makin merajai denyut malam di kota-kota besar, tak terkecuali di Jogja. Pasar bebas, yang dipuja kaum neoliberal, menjelma di tempat-tempat hiburan malam, dari kelas elit sampai kelas jelata. Pemodal yang selalu bergairah memburu rente bertemu manusia-manusia “lapar”, yang setiap keinginannya mesti dipenuhi. Kebebasan menjadi dewa bagi perilaku ekonomi yang makin meminggirkan Tuhan. Tidak ada kamus etika, moral, dan norma dalam cara meraup uang dan media meneguk kepuasan bagi mereka.
Pasar bebas menumbuhkan klub malam yang menjadi ajang menghamburkan uang. Ia lah yang mampu mematok harga aqua Rp 7.500, air es Rp 9.000, bir Rp 25.000, di klub yang relatif “murahan”. Ia juga lah yang memiliki keperkasaan mengobral sambil mengeksploitasi perempuan. Tubuh, suara, dan gerakan dinominalkan dalam geliat sexy dancer, kontes rok mini, dan semacamnya. Semua demi menuruti “kebutuhan manusia yang tak terbatas”, sehingga terus dan terus mencari sarana pemuasan pribadi. Tak peduli makin menjadi Machiavelis.
Jogja masih kota budaya dan kota pendidikan, namun pasar bebas tidak peduli hal itu. Dia terus saja mengepakkan sayap hegemoninya. Bahkan makin ahli menyelinap di ruang-ruang kelas dan mengisi otak-otak penuntut ilmu dengan ajarannya. Ia selalu meyakinkan bahwa manusia adalah makhluk ekonomi (homo economicus) yang harus mengejar kepentingannya sendiri. Kita diajarkan untuk meraup laba sebanyak-banyaknya dengan terus bersaing sebebas-bebasnya.
Pasar bebas memojokkan Jogja yang makin mengalami hipokrisi alias berkepribadian ganda. Pendidikan dimajukan namun perilaku ekonomi dibebaskan. Pagi kuliah moral, yang dicampaknya di bak sampah ketika masuk klub malam. Begitu juga, budaya diagung-agungkan tapi hedonisme makin tumbuh subur. Etika dilestarikan namun ekonomisme dipeluk makin erat. Sampai kapan kita bertahan dengan kontradiksi-kontradiksi ini?
Kuliah “Ekonomika Etik” dalam program Kuliah Esktrakurikuler Ekonomi Pancasila (KEEP) tanggal 23 April yang lalu makin mengilhami saya perihal fenomena ini. Makin “glamour”nya Jogja di malam hari, dalam perspektif ekonomika etik akan membawa implikasi mengerikan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Pangkal masalah dan dampaknya bukan sekedar pada meluasnya degradasi moral. Ini adalah tentang matinya kemanusiaan, hilangnya nasionalisme, rapuhnya demokrasi ekonomi, dan jalan yang tidak lagi lurus menuju keadilan. Mengapa bisa begitu?
Luka perih orang miskin seakan makin disayat-sayat tatkala gaya hidup mewah dan efek pamer dipampangkan di depan mereka. Matinya kemanusiaan terjadi ketika kepekaan untuk berbagi tenggelam di balik glamournya pesta-pesta malam. Murungnya wajah gadis cilik di perempatan jalan-jalan Jogja tak lagi mengusik perasaan mereka. Mestikah menunggu dahsyatnya “bencana kemanusiaan” seperti terjadi di daerah lain? Beberapa siswa di Jawa Barat nekat bunuh diri karena tidak mampu membayar uang sekolah. Banyak anak putus sekolah dan gedung sekolah yang rusak,... )bersambung)
Pasar bebas makin merajai denyut malam di kota-kota besar, tak terkecuali di Jogja. Pasar bebas, yang dipuja kaum neoliberal, menjelma di tempat-tempat hiburan malam, dari kelas elit sampai kelas jelata. Pemodal yang selalu bergairah memburu rente bertemu manusia-manusia “lapar”, yang setiap keinginannya mesti dipenuhi. Kebebasan menjadi dewa bagi perilaku ekonomi yang makin meminggirkan Tuhan. Tidak ada kamus etika, moral, dan norma dalam cara meraup uang dan media meneguk kepuasan bagi mereka.
Pasar bebas menumbuhkan klub malam yang menjadi ajang menghamburkan uang. Ia lah yang mampu mematok harga aqua Rp 7.500, air es Rp 9.000, bir Rp 25.000, di klub yang relatif “murahan”. Ia juga lah yang memiliki keperkasaan mengobral sambil mengeksploitasi perempuan. Tubuh, suara, dan gerakan dinominalkan dalam geliat sexy dancer, kontes rok mini, dan semacamnya. Semua demi menuruti “kebutuhan manusia yang tak terbatas”, sehingga terus dan terus mencari sarana pemuasan pribadi. Tak peduli makin menjadi Machiavelis.
Jogja masih kota budaya dan kota pendidikan, namun pasar bebas tidak peduli hal itu. Dia terus saja mengepakkan sayap hegemoninya. Bahkan makin ahli menyelinap di ruang-ruang kelas dan mengisi otak-otak penuntut ilmu dengan ajarannya. Ia selalu meyakinkan bahwa manusia adalah makhluk ekonomi (homo economicus) yang harus mengejar kepentingannya sendiri. Kita diajarkan untuk meraup laba sebanyak-banyaknya dengan terus bersaing sebebas-bebasnya.
Pasar bebas memojokkan Jogja yang makin mengalami hipokrisi alias berkepribadian ganda. Pendidikan dimajukan namun perilaku ekonomi dibebaskan. Pagi kuliah moral, yang dicampaknya di bak sampah ketika masuk klub malam. Begitu juga, budaya diagung-agungkan tapi hedonisme makin tumbuh subur. Etika dilestarikan namun ekonomisme dipeluk makin erat. Sampai kapan kita bertahan dengan kontradiksi-kontradiksi ini?
Kuliah “Ekonomika Etik” dalam program Kuliah Esktrakurikuler Ekonomi Pancasila (KEEP) tanggal 23 April yang lalu makin mengilhami saya perihal fenomena ini. Makin “glamour”nya Jogja di malam hari, dalam perspektif ekonomika etik akan membawa implikasi mengerikan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Pangkal masalah dan dampaknya bukan sekedar pada meluasnya degradasi moral. Ini adalah tentang matinya kemanusiaan, hilangnya nasionalisme, rapuhnya demokrasi ekonomi, dan jalan yang tidak lagi lurus menuju keadilan. Mengapa bisa begitu?
Luka perih orang miskin seakan makin disayat-sayat tatkala gaya hidup mewah dan efek pamer dipampangkan di depan mereka. Matinya kemanusiaan terjadi ketika kepekaan untuk berbagi tenggelam di balik glamournya pesta-pesta malam. Murungnya wajah gadis cilik di perempatan jalan-jalan Jogja tak lagi mengusik perasaan mereka. Mestikah menunggu dahsyatnya “bencana kemanusiaan” seperti terjadi di daerah lain? Beberapa siswa di Jawa Barat nekat bunuh diri karena tidak mampu membayar uang sekolah. Banyak anak putus sekolah dan gedung sekolah yang rusak,... )bersambung)
Wednesday, May 18, 2005
EKONOMI RAKYAT DALAM BAHAYA
Isu-Isu Ekonomi-Politik Strategis Ekonomi Rakyat dan Pasar bebas
Awan Santosa
Peta politik nasional telah berubah seiring kemenangan SBY-Kalla dalam Pilpres 2004. Kini, kesempatan rakyat untuk melihat realisasi janji “perubahan” yang selalu dicanangkan SBY-Kalla. Mampukah kabinet baru yang mereka pimpin menjawab tantangan isu-isu strategis (fundamental-struktural) terkait dengan peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat? Mudah-mudahan SBY-Kalla dan kabinetnya mau (sudah?) membaca tulisan Bung Hatta “Ekonomi Rakyat Dalam Bahaya” (Daulat Rakyat, 1934), sehingga pemerintahan baru benar-benar terinspirasi untuk peduli terhadap masalah-masalah ekonomi-politik strategis faktual yang mengancam (membahayakan) kedaulatan dan kesejahteraan ekonomi rakyat Indonesia. Butir-butir isu strategis berikut merupakan tantangan (untuk dijawab) pemerintahan SBY-Kalla jika ingin membuktikan keberpihakannya terhadap ekonomi rakyat, bukannya kepada ekonomi konglomerat.
1. Amandemen Pasal 33 UUD 45
Korporat pemilik modal berkolaborasi dengan birokrat oportunis dan intelektual (ekonom) berhaluan neo-liberal berhasil memenangkan ideologi (kepentingan) mereka untuk me-liberalisasi sistem ekonomi Indonesia (Mubyarto, 2002). Mereka yang memuja pasar bebas ini telah menyingkirkan koperasi dari UUD 1945. Membonceng agenda reformasi sistem politik (dan dalih “tidak ada Penjelasan di UUD negara-negara lain”) mereka menghapus seluruh Penjelasan UUD 1945 secara membabi buta. Tidak hanya koperasi yang mereka kerdilkan. Makna demokrasi ekonomi pun telah mereka telikung. Tidak ada lagi konsepsi “produksi dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat”, “kemakmuran bersama yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang”, dan “jika tampuk produksi ditangan orang seorang, maka rakyat yang banyak akan ditindasinya”.
Demokrasi ekonomi masuk ke pasal baru (pasal 4) dengan tafsir buram, disejajarkan dengan makna kemandirian, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan. Telah terjadi pelumpuhan kekuatan rakyat, di mana kedaulatan (ekonomi) rakyat berganti dengan kedaulatan pasar (Swasono, 2003). Patut disadari bahwa mudah menghancurkan ekonomi (ekonomi rakyat) suatu negara dengan mengobrak-abrik sistem konstitusi (perundang-undangan) di negara tersebut. Ironisnya, sedikit suara dan gerakan yang melawan agenda ini . Gerakan koperasi (sebagai korban) rupanya masih sibuk dengan masalah-masalah fungsional (usaha-internal) mereka sendiri sehingga alpa dengan masalah struktural (fundamental) yang (kelak) “menjegal” gerakan mereka.
2. Privatisasi
Agenda yang mereka disain selanjutnya adalah privatisasi (swastanisasi) BUMN, penjualan aset-aset strategis negara (milik rakyat) dengan dalih efisiensi dan pengurangan intervensi pemerintah yang mendistorsi pasar. Privatisasi berubah menjadi “rampokisasi” karena dilakukan terhadap BUMN-BUMN yang kinerjanya lebih baik, terutama di sektor non keuangan (Baswir, 2002).
Privatisasi ditandai beralihnya kepemilikan tampuk produksi ke pihak asing (Indosat). Akibatnya, pola produksi dan pola konsumsi nasional akan dibentuk oleh kebebasan kekuatan pasar internasional sehingga tidak lagi menerima prioritas pengutamaan kepentingan nasional. Indonesia akan lebih dikuasai pihak asing dan kembali menjadi koloni atau jajahan pihak asing (Sritua, 2001). Nasionalisme ekonomi telah dianggap sebagai barang usang yang patut digudangkan. Ekonomi rakyat kehilangan akses dan kontrol terhadap sumber daya alam mereka (hutan, air, dan tambang). Privatisasi harus segera diganti dengan agenda demokratisasi ekonomi.
3. Liberalisasi-Pasar Bebas
Globalisasi ekonomi yang dikendalikan kaum fundamentalis pasar ternyata makin merusak tatanan sistem ekonomi nasional, sehingga merugikan kepentingan nasional yang merupakan prinsip utama interaksi ekonomi dengan negara lain. Demikian pula, globalisasi ekonomi seperti ini makin memperpuruk pelaksanaan demokrasi ekonomi, karena hanya melayani kepentingan pemilik modal dan mengabaikan ekonomi rakyat. Globalisasi tidak mampu memecahkan masalah struktural ekonomi Indonesia, bahkan mengokohkannya, dalam wujud struktur ekonomi yang makin timpang dan terfragmentasi.
Pasar bebas mengharuskan dihilangkannya proteksi perdagangan internasional (subsidi, tarif, dan kuota). Akibatnya, Indonesia dibanjiri impor beras, gula, ayam, dan buah-buahan yang mengancam kehidupan petani lokal. Ironisnya, negara-negara maju (AS, Inggris, dan Jepang) adalah negara-negara yang paling protektif terhadap petani mereka (melalui subsidi). Indonesia dipaksa (dibodohi) untuk bersaing secara tidak adil (un-fair trade). Liberalisasi ekonomi (pasar bebas) hanya menghasilkan “ekonomi perang” yang memunculkan adikuasa ekonomi (the winner take all the place) melalui politik-ekonomi imperialisme gaya baru.
Bangsa kita digiring untuk sekedar menjadi bangsa konsumen (menikmati produk murah –sesaat-) atau paling banter “bangsa makelar” (menjual produk asing –impor-), yang melupakan upaya membangun industri nasional dan kewirausahaan (enterpreneurship) berbasis ekonomi rakyat. Pasar rakyat berhadapan dengan super mall, sedangkan investasi ekonomi rakyat dikalahkan investasi pemodal besar (asing).
4. Hak Cipta
Komodifikasi produk lokal melalui hak cipta telah memenangkan negara-negara maju yang kaya modal, SDM, dan teknologi-informasi. Produksi tempe telah ada yang dipatenkan di AS, kecap dan tahu di Jepang, ragam batik di Jerman dan Inggris, dan keranjang rotan di Singapura (Sritua Arief, 2001). Biodiversifikasi (keanekaragaman hayati) terancam karena kita ketinggalan inovasi dan pengetahuan dari mereka. Hal ini dapat menyingkirkan penguasaan rakyat atas sumber-sumber ekonomi tersebut. Kita harus berani menentang dan melawan segala bentuk-bentuk rekayasa kesepakatan penganut globalisme yang merugikan kepentingan nasional, khususnya yang mengancam kehidupan ekonomi rakyat.
4. Subsidi Ekonomi Rakyat ke Korporasi Raksasa
Kesejahteraan petani sampai hari ini tidak meningkat secara signifikan. Harga produk pertanian anjlok, harga pupuk mahal, dan harga kebutuhan hidup makin tinggi. Produk murah mereka adalah hasil paksaan sistem ekonomi yang masih mengandalkan tingkat upah buruh yang rendah. Buruh (kota) menikmati sedikit surplus perusahaan sehingga daya beli mereka disangga oleh harga murah produk sektor informal (ekonomi rakyat). Artinya, petani kita (ekonomi rakyat) telah mensubsidi korporat raksasa, ekonomi perdesaan mensubsidi ekonomi perkotaan. Sebuah sistem dan pola hubungan (dialektik) ekonomi yang timpang, tidak adil, dan eksploitatif terhadap ekonomi rakyat di perdesaan.
Fakta lain, ekonomi rakyat kita telah mensubsidi ekonomi konglomerat pemilik bank yang direkapitalisasi senilai Rp 650 trilyun dengan dana APBN. Sementara, untuk mengalokasikan anggaran Rp 8,5 trilyun bagi ekonomi rakyat harus melalui proses pembahasan lama yang menunjukkan lemahnya kemauan politik untuk membangun ekonomi nasional berbasis ekonomi rakyat. Pada waktu krismon 1997/98, ekonomi rakyat terbukti memiliki daya tahan yang tinggi. Di saat perusahaan besar (konglomerat) bertumbangan sehingga menjadi beban pemerintah ekonomi rakyat tetap eksis karena memiliki kemandirian (tidak tergantung utang) dan kehati-hatian dalam berusaha.
“Rakyat kita mengenal budaya tolong menolong, gotong royong, termasuk mampu mengemban prinsip “shared–poverty” sebagai ujud nyata berlakunya sistem “social safety net” Indonesia yang sebenarnya (genuine). Tatkala buruh-buruh sektor besar dan modern terkena PHK, kemana mereka terlempar? Mereka sebagian tersebar “diterima” dan “dihidupi” oleh ekonomi kerakyatan, dengan hidup secara “sithik eding” meskipun dalam tingkat subsistansi” (Sri Edi Swasono, 2002 : 16).
“Ekonomi rakyat adalah ekonomi yang mandiri, tidak bergantung pada bahan baku luar negeri, dan melayani pasar ekonomi rakyat juga yang cukup besar di dalam negeri. Bahwa ekonomi Indonesia tumbuh positif sebesar 3,5% pada tahun 2002 ketika investasi menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) merosot hampir 35% (modal asing) dan 57% (modal domestik) serta modal asing banyak yang hengkang ke luar negeri. Ini hanya membuktikan bahwa investasi telah dilakukan oleh ekonomi rakyat dalam jumlah kecil-kecilan tetapi secara total sangat besar” (Mubyarto. 2000 dan 2003 ).
5. Kembalinya Paradigma Ekonomi Orba
Pandangan bahwa pertumbuhan ekonomi melalui investasi (asing) dapat (otomatis) menciptakan lapangan kerja menunjukkan dianutnya kembali teori (paradigma) trickle down effect, yang dipuja oleh rezim Orba. Apakah masuknya modal dan pendirian (pengoperasian kembali) pabrik-pabrik memang dapat memecahkan masalah pengangguran tanpa menimbulkan masalah yang lebih sulit diatasi? Lagi pula apakah juga realistis harapan akan datangnya investor untuk membangun infrastruktur (sesuai keperluan) yang menyerap tenaga kerja Indonesia?
Jika saja pemerintah dan ekonom mau pergi ke pelosok-pelosok daerah mungkin pandangan yang dianutnya berubah. Seperti yang terlihat di Kabupaten Kutai Barat misalnya, investasi asing (penambangan batu bara, emas, dan eksploitasi hutan) bukan saja hanya sedikit memperkerjakan penduduk sekitar, melainkan juga telah “menguras” kekayaan alam mereka yang berujung pada penggundulan hutan, pencemaran sungai, dan menipisnya kekayaan tambang (Abidin, 2003).
6. Bias Terminologi UKM
Istilah ekonomi rakyat dijauhi dan diganti dengan istilah Usaha Kecil Menengah (UKM) yang hanya meniru istilah Small and Medium Enterprises (SME) di Barat. Implikasinya adalah pada kriteria klasifikasi jenis usaha. Usaha kecil adalah yang omsetnya sekitar Rp 50 juta sampai dengan Rp 500 juta dan usaha menengah omsetnya antara Rp 500 juta sampai dengan Rp 5 milyar. Belakangan istilah ini dikoreksi dengan menambah jenis Usaha Mikro, yang tidak lain adalah ekonomi rakyat yang omsetnya hanya berkisar ratusan ribu dan pasti dibawah Rp 50 juta. Yang terakhir inilah mayoritas pelaku usaha di Indonesia.
Jumlah UMKM di Indonesia lebih dari 40 juta atau 99% dari seluruh pelaku usaha nasional, yang terdiri dari 40.137.773 usaha kecil dan 57.743 usaha menengah. Sebanyak 97,6% (39 juta) dari jumlah usaha kecil yang menyerap 99,4% tenaga kerja di Indonesia adalah pelaku ekonomi rakyat (usaha mikro) (Ali Marwan Harnan, 2002). Dari 39 juta usaha mikro (sekitar 35 juta keluarga) terdapat sekitar 175 juta orang (asumsi satu keluarga lima jiwa) yang menggantungkan diri pada usaha ekonomi rakyat, yang berarti pula 83% penduduk Indonesia (dari total 210 juta jiwa) berkecimpung dalam usaha mikro (ekonomi rakyat) (Bambang Ismawan, 2002). Implikasi bias terminologi adalah bias skema kredit pada UKM dan bukan pada usaha mikro.
7. Kekeliruan Pendidikan Ekonomi
Pendidikan ekonomi di perguruan tinggi Indonesia mengacu pada ajaran ekonomi konvensional Barat yang bercorak Neoklasik. Ajaran ini lebih memfokuskan perhatian pada ekonomi modern (usaha besar) sehingga mengabaikan perhatian pada pemecahan masalah-masalah riil yang dihadapi pelaku ekonomi rakyat (Mubyarto, 2003). Bahkan, teori-teori tentang ekonomi rakyat tidak dikembangkan karena asumsi pelaku produksi hanyalah perusahaan (besar). Pendidikan ekonomi di perguruan tinggi yang bertumpu pada ajaran ini lebih mengedepankan pandangan rasionalisme, kompetitivisme, self interest, orientasi pertumbuhan, dan profit maximization yang diajarkan secara positif, sehingga mengabaikan faktor-faktor kelembagaan sosial-budaya dan nilai-nilai kerja sama, kebersamaan, dan moralitas/etika lokal yang dimiliki ekonomi rakyat.
Beberapa isu-isu strategis faktual tersebut mengindikasikan makin perlunya reformasi sistem ekonomi nasional sehingga makin berpihak dan berpijak pada ekonomi rakyat. Upaya melakukan perubahan harus didukung adanya koreksi mendasar (revolusi paradigma ekonomi), yang dapat dimulai dari bidang pendidikan, yaitu melalui pengembangan ilmu dan sistem ekonomi yang sesuai dengan sistem nilai (ideologi) dan sosial-budaya bangsa Indonesia, ialah ilmu dan sistem ekonomi Pancasila . Demikian. Isu-isu strategis ini kiranya mendapat perhatian serius (pemecahan konkret) dari pemerintahan SBY-Kalla, sehingga wacana “perubahan” yang diperjuangkan merupakan perubahan yang bersifat substantif (bukan residual), fundamental (tidak karitatif), dan holistik (bukan sekedar tambal sulam).
Yogyakarta, 12 Mei 2005
Awan Santosa
Peta politik nasional telah berubah seiring kemenangan SBY-Kalla dalam Pilpres 2004. Kini, kesempatan rakyat untuk melihat realisasi janji “perubahan” yang selalu dicanangkan SBY-Kalla. Mampukah kabinet baru yang mereka pimpin menjawab tantangan isu-isu strategis (fundamental-struktural) terkait dengan peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat? Mudah-mudahan SBY-Kalla dan kabinetnya mau (sudah?) membaca tulisan Bung Hatta “Ekonomi Rakyat Dalam Bahaya” (Daulat Rakyat, 1934), sehingga pemerintahan baru benar-benar terinspirasi untuk peduli terhadap masalah-masalah ekonomi-politik strategis faktual yang mengancam (membahayakan) kedaulatan dan kesejahteraan ekonomi rakyat Indonesia. Butir-butir isu strategis berikut merupakan tantangan (untuk dijawab) pemerintahan SBY-Kalla jika ingin membuktikan keberpihakannya terhadap ekonomi rakyat, bukannya kepada ekonomi konglomerat.
1. Amandemen Pasal 33 UUD 45
Korporat pemilik modal berkolaborasi dengan birokrat oportunis dan intelektual (ekonom) berhaluan neo-liberal berhasil memenangkan ideologi (kepentingan) mereka untuk me-liberalisasi sistem ekonomi Indonesia (Mubyarto, 2002). Mereka yang memuja pasar bebas ini telah menyingkirkan koperasi dari UUD 1945. Membonceng agenda reformasi sistem politik (dan dalih “tidak ada Penjelasan di UUD negara-negara lain”) mereka menghapus seluruh Penjelasan UUD 1945 secara membabi buta. Tidak hanya koperasi yang mereka kerdilkan. Makna demokrasi ekonomi pun telah mereka telikung. Tidak ada lagi konsepsi “produksi dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat”, “kemakmuran bersama yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang”, dan “jika tampuk produksi ditangan orang seorang, maka rakyat yang banyak akan ditindasinya”.
Demokrasi ekonomi masuk ke pasal baru (pasal 4) dengan tafsir buram, disejajarkan dengan makna kemandirian, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan. Telah terjadi pelumpuhan kekuatan rakyat, di mana kedaulatan (ekonomi) rakyat berganti dengan kedaulatan pasar (Swasono, 2003). Patut disadari bahwa mudah menghancurkan ekonomi (ekonomi rakyat) suatu negara dengan mengobrak-abrik sistem konstitusi (perundang-undangan) di negara tersebut. Ironisnya, sedikit suara dan gerakan yang melawan agenda ini . Gerakan koperasi (sebagai korban) rupanya masih sibuk dengan masalah-masalah fungsional (usaha-internal) mereka sendiri sehingga alpa dengan masalah struktural (fundamental) yang (kelak) “menjegal” gerakan mereka.
2. Privatisasi
Agenda yang mereka disain selanjutnya adalah privatisasi (swastanisasi) BUMN, penjualan aset-aset strategis negara (milik rakyat) dengan dalih efisiensi dan pengurangan intervensi pemerintah yang mendistorsi pasar. Privatisasi berubah menjadi “rampokisasi” karena dilakukan terhadap BUMN-BUMN yang kinerjanya lebih baik, terutama di sektor non keuangan (Baswir, 2002).
Privatisasi ditandai beralihnya kepemilikan tampuk produksi ke pihak asing (Indosat). Akibatnya, pola produksi dan pola konsumsi nasional akan dibentuk oleh kebebasan kekuatan pasar internasional sehingga tidak lagi menerima prioritas pengutamaan kepentingan nasional. Indonesia akan lebih dikuasai pihak asing dan kembali menjadi koloni atau jajahan pihak asing (Sritua, 2001). Nasionalisme ekonomi telah dianggap sebagai barang usang yang patut digudangkan. Ekonomi rakyat kehilangan akses dan kontrol terhadap sumber daya alam mereka (hutan, air, dan tambang). Privatisasi harus segera diganti dengan agenda demokratisasi ekonomi.
3. Liberalisasi-Pasar Bebas
Globalisasi ekonomi yang dikendalikan kaum fundamentalis pasar ternyata makin merusak tatanan sistem ekonomi nasional, sehingga merugikan kepentingan nasional yang merupakan prinsip utama interaksi ekonomi dengan negara lain. Demikian pula, globalisasi ekonomi seperti ini makin memperpuruk pelaksanaan demokrasi ekonomi, karena hanya melayani kepentingan pemilik modal dan mengabaikan ekonomi rakyat. Globalisasi tidak mampu memecahkan masalah struktural ekonomi Indonesia, bahkan mengokohkannya, dalam wujud struktur ekonomi yang makin timpang dan terfragmentasi.
Pasar bebas mengharuskan dihilangkannya proteksi perdagangan internasional (subsidi, tarif, dan kuota). Akibatnya, Indonesia dibanjiri impor beras, gula, ayam, dan buah-buahan yang mengancam kehidupan petani lokal. Ironisnya, negara-negara maju (AS, Inggris, dan Jepang) adalah negara-negara yang paling protektif terhadap petani mereka (melalui subsidi). Indonesia dipaksa (dibodohi) untuk bersaing secara tidak adil (un-fair trade). Liberalisasi ekonomi (pasar bebas) hanya menghasilkan “ekonomi perang” yang memunculkan adikuasa ekonomi (the winner take all the place) melalui politik-ekonomi imperialisme gaya baru.
Bangsa kita digiring untuk sekedar menjadi bangsa konsumen (menikmati produk murah –sesaat-) atau paling banter “bangsa makelar” (menjual produk asing –impor-), yang melupakan upaya membangun industri nasional dan kewirausahaan (enterpreneurship) berbasis ekonomi rakyat. Pasar rakyat berhadapan dengan super mall, sedangkan investasi ekonomi rakyat dikalahkan investasi pemodal besar (asing).
4. Hak Cipta
Komodifikasi produk lokal melalui hak cipta telah memenangkan negara-negara maju yang kaya modal, SDM, dan teknologi-informasi. Produksi tempe telah ada yang dipatenkan di AS, kecap dan tahu di Jepang, ragam batik di Jerman dan Inggris, dan keranjang rotan di Singapura (Sritua Arief, 2001). Biodiversifikasi (keanekaragaman hayati) terancam karena kita ketinggalan inovasi dan pengetahuan dari mereka. Hal ini dapat menyingkirkan penguasaan rakyat atas sumber-sumber ekonomi tersebut. Kita harus berani menentang dan melawan segala bentuk-bentuk rekayasa kesepakatan penganut globalisme yang merugikan kepentingan nasional, khususnya yang mengancam kehidupan ekonomi rakyat.
4. Subsidi Ekonomi Rakyat ke Korporasi Raksasa
Kesejahteraan petani sampai hari ini tidak meningkat secara signifikan. Harga produk pertanian anjlok, harga pupuk mahal, dan harga kebutuhan hidup makin tinggi. Produk murah mereka adalah hasil paksaan sistem ekonomi yang masih mengandalkan tingkat upah buruh yang rendah. Buruh (kota) menikmati sedikit surplus perusahaan sehingga daya beli mereka disangga oleh harga murah produk sektor informal (ekonomi rakyat). Artinya, petani kita (ekonomi rakyat) telah mensubsidi korporat raksasa, ekonomi perdesaan mensubsidi ekonomi perkotaan. Sebuah sistem dan pola hubungan (dialektik) ekonomi yang timpang, tidak adil, dan eksploitatif terhadap ekonomi rakyat di perdesaan.
Fakta lain, ekonomi rakyat kita telah mensubsidi ekonomi konglomerat pemilik bank yang direkapitalisasi senilai Rp 650 trilyun dengan dana APBN. Sementara, untuk mengalokasikan anggaran Rp 8,5 trilyun bagi ekonomi rakyat harus melalui proses pembahasan lama yang menunjukkan lemahnya kemauan politik untuk membangun ekonomi nasional berbasis ekonomi rakyat. Pada waktu krismon 1997/98, ekonomi rakyat terbukti memiliki daya tahan yang tinggi. Di saat perusahaan besar (konglomerat) bertumbangan sehingga menjadi beban pemerintah ekonomi rakyat tetap eksis karena memiliki kemandirian (tidak tergantung utang) dan kehati-hatian dalam berusaha.
“Rakyat kita mengenal budaya tolong menolong, gotong royong, termasuk mampu mengemban prinsip “shared–poverty” sebagai ujud nyata berlakunya sistem “social safety net” Indonesia yang sebenarnya (genuine). Tatkala buruh-buruh sektor besar dan modern terkena PHK, kemana mereka terlempar? Mereka sebagian tersebar “diterima” dan “dihidupi” oleh ekonomi kerakyatan, dengan hidup secara “sithik eding” meskipun dalam tingkat subsistansi” (Sri Edi Swasono, 2002 : 16).
“Ekonomi rakyat adalah ekonomi yang mandiri, tidak bergantung pada bahan baku luar negeri, dan melayani pasar ekonomi rakyat juga yang cukup besar di dalam negeri. Bahwa ekonomi Indonesia tumbuh positif sebesar 3,5% pada tahun 2002 ketika investasi menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) merosot hampir 35% (modal asing) dan 57% (modal domestik) serta modal asing banyak yang hengkang ke luar negeri. Ini hanya membuktikan bahwa investasi telah dilakukan oleh ekonomi rakyat dalam jumlah kecil-kecilan tetapi secara total sangat besar” (Mubyarto. 2000 dan 2003 ).
5. Kembalinya Paradigma Ekonomi Orba
Pandangan bahwa pertumbuhan ekonomi melalui investasi (asing) dapat (otomatis) menciptakan lapangan kerja menunjukkan dianutnya kembali teori (paradigma) trickle down effect, yang dipuja oleh rezim Orba. Apakah masuknya modal dan pendirian (pengoperasian kembali) pabrik-pabrik memang dapat memecahkan masalah pengangguran tanpa menimbulkan masalah yang lebih sulit diatasi? Lagi pula apakah juga realistis harapan akan datangnya investor untuk membangun infrastruktur (sesuai keperluan) yang menyerap tenaga kerja Indonesia?
Jika saja pemerintah dan ekonom mau pergi ke pelosok-pelosok daerah mungkin pandangan yang dianutnya berubah. Seperti yang terlihat di Kabupaten Kutai Barat misalnya, investasi asing (penambangan batu bara, emas, dan eksploitasi hutan) bukan saja hanya sedikit memperkerjakan penduduk sekitar, melainkan juga telah “menguras” kekayaan alam mereka yang berujung pada penggundulan hutan, pencemaran sungai, dan menipisnya kekayaan tambang (Abidin, 2003).
6. Bias Terminologi UKM
Istilah ekonomi rakyat dijauhi dan diganti dengan istilah Usaha Kecil Menengah (UKM) yang hanya meniru istilah Small and Medium Enterprises (SME) di Barat. Implikasinya adalah pada kriteria klasifikasi jenis usaha. Usaha kecil adalah yang omsetnya sekitar Rp 50 juta sampai dengan Rp 500 juta dan usaha menengah omsetnya antara Rp 500 juta sampai dengan Rp 5 milyar. Belakangan istilah ini dikoreksi dengan menambah jenis Usaha Mikro, yang tidak lain adalah ekonomi rakyat yang omsetnya hanya berkisar ratusan ribu dan pasti dibawah Rp 50 juta. Yang terakhir inilah mayoritas pelaku usaha di Indonesia.
Jumlah UMKM di Indonesia lebih dari 40 juta atau 99% dari seluruh pelaku usaha nasional, yang terdiri dari 40.137.773 usaha kecil dan 57.743 usaha menengah. Sebanyak 97,6% (39 juta) dari jumlah usaha kecil yang menyerap 99,4% tenaga kerja di Indonesia adalah pelaku ekonomi rakyat (usaha mikro) (Ali Marwan Harnan, 2002). Dari 39 juta usaha mikro (sekitar 35 juta keluarga) terdapat sekitar 175 juta orang (asumsi satu keluarga lima jiwa) yang menggantungkan diri pada usaha ekonomi rakyat, yang berarti pula 83% penduduk Indonesia (dari total 210 juta jiwa) berkecimpung dalam usaha mikro (ekonomi rakyat) (Bambang Ismawan, 2002). Implikasi bias terminologi adalah bias skema kredit pada UKM dan bukan pada usaha mikro.
7. Kekeliruan Pendidikan Ekonomi
Pendidikan ekonomi di perguruan tinggi Indonesia mengacu pada ajaran ekonomi konvensional Barat yang bercorak Neoklasik. Ajaran ini lebih memfokuskan perhatian pada ekonomi modern (usaha besar) sehingga mengabaikan perhatian pada pemecahan masalah-masalah riil yang dihadapi pelaku ekonomi rakyat (Mubyarto, 2003). Bahkan, teori-teori tentang ekonomi rakyat tidak dikembangkan karena asumsi pelaku produksi hanyalah perusahaan (besar). Pendidikan ekonomi di perguruan tinggi yang bertumpu pada ajaran ini lebih mengedepankan pandangan rasionalisme, kompetitivisme, self interest, orientasi pertumbuhan, dan profit maximization yang diajarkan secara positif, sehingga mengabaikan faktor-faktor kelembagaan sosial-budaya dan nilai-nilai kerja sama, kebersamaan, dan moralitas/etika lokal yang dimiliki ekonomi rakyat.
Beberapa isu-isu strategis faktual tersebut mengindikasikan makin perlunya reformasi sistem ekonomi nasional sehingga makin berpihak dan berpijak pada ekonomi rakyat. Upaya melakukan perubahan harus didukung adanya koreksi mendasar (revolusi paradigma ekonomi), yang dapat dimulai dari bidang pendidikan, yaitu melalui pengembangan ilmu dan sistem ekonomi yang sesuai dengan sistem nilai (ideologi) dan sosial-budaya bangsa Indonesia, ialah ilmu dan sistem ekonomi Pancasila . Demikian. Isu-isu strategis ini kiranya mendapat perhatian serius (pemecahan konkret) dari pemerintahan SBY-Kalla, sehingga wacana “perubahan” yang diperjuangkan merupakan perubahan yang bersifat substantif (bukan residual), fundamental (tidak karitatif), dan holistik (bukan sekedar tambal sulam).
Yogyakarta, 12 Mei 2005
PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN : Kritik Terhadap Paradigma Agribisnis
Mubyarto dan Awan Santosa
Pendahuluan
Pertanian (agriculture) bukan hanya merupakan aktivitas ekonomi untuk menghasilkan pendapatan bagi petani saja. Lebih dari itu, pertanian/agrikultur adalah sebuah cara hidup (way of life atau livehood) bagi sebagian besar petani di Indonesia. Oleh karena itu pembahasan mengenai sektor dan sistem pertanian harus menempatkan subjek petani, sebagai pelaku sektor pertanian secara utuh, tidak saja petani sebagai homo economicus, melainkan juga sebagai homo socius dan homo religius.
Konsekuensi pandangan ini adalah dikaitkannya unsur-unsur nilai sosial-budaya lokal, yang memuat aturan dan pola hubungan sosial, politik, ekonomi, dan budaya ke dalam kerangka paradigma pembangunan sistem pertanian. Tulisan ini sekaligus menanggapi tulisan Saudara Pantjar Simatupang (Jakarta Post, April 14 and 15, 2003) tentang Pendekatan Sistem Agribisnis dalam Pembangunan Pertanian, yang juga didasarkan pada kerangka konsep pembangunan pertanian Departemen Pertanian tahun 2001.
Secara ringkas tulisan tersebut menguraikan tentang perlu dikembangkannya paradigma baru pembangunan pertanian yang didasarkan pada pendekatan sistem agribisnis. Pantjar mengacu dengan jelas pada paradigma agribisnis yang dikembangkan oleh Davies dan Goldberg, yang berdasar pada lima premis dasar agribisnis. Pertama, adalah suatu kebenaran umum bahwa semua usaha pertanian berorientasi laba (profit oriented), termasuk di Indonesia. Kedua, pertanian adalah komponen rantai dalam sistem komoditi, sehingga kinerjanya ditentukan oleh kinerja sistem komoditi secara keseluruhan. Ketiga, pendekatan sistem agribisnis adalah formulasi kebijakan sektor pertanian yang logis, dan harus dianggap sebagai alasan ilmiah yang positif, bukan ideologis dan normatif.
Keempat, Sistem agribisnis secara intrinsik netral terhadap semua skala usaha, dan kelima, pendekatan sistem agribisnis khususnya ditujukan untuk negara sedang berkembang. Rumusan inilah yang nampaknya digunakan sebagai konsep pembangunan pertanian dari Departemen Pertanian, yang dituangkan dalam visi terwujudnya perekonomian nasional yang sehat melalui pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan, dan terdesentralisasi.
Ideologi Agribisnis
Mula-mula ilmu ekonomi (Neoklasik) dikritik pedas karena telah berubah menjadi ideologi (Burk. dalam Lewis dan Warneryd, 1994: 312-334), bahkan semacam agama (Nelson: 2001). Kemudian pertanian dijadikan bisnis, sehingga utuk mengikuti perkembangan zaman konsep agriculture (budaya bertani) dianggap perlu diubah menjadi agribusiness (bisnis pertanian). Maka di IPB dan UGM tidak dikembangkan program S2 Pertanian, tetapi lebih dikembangkan program Magister atau MM Agribisnis, yang jika diteliti substansi kuliah-kuliahnya hampir semua berorientasi pada buku-buku teks Amerika 2 dekade terakhir yang mengajarkan ideologi atau bahkan mendekati “agama” baru bahwa “farming is business”.
Mengapa agribisnis? Ya, agribisnis memang diangggap lebih modern dan lebih efisien karena lebih berorientasi pada pasar, bukan hanya pada “komoditi yang dapat dihasilkan petani”. Perubahan dari agriculture menjadi agribisnis berarti segala usaha produksi pertanian ditujukan untuk mencari keuntungan, bukan untuk sekedar memenuhi kebutuhan sendiri termasuk pertanian gurem atau subsisten sekalipun. Penggunaan sarana produksi apapun adalah untuk menghasilkan “produksi”, termasuk penggunaan tenaga kerja keluarga, dan semua harus dihitung dan dikombinasikan dengan teliti untuk mencapai efisiensi tertinggi
Sepintas paradigma agribisnis memang menjanjikan perubahan kesejahteraan yang signifikan bagi para petani. Namun jika kita kaji lebih mendalam, maka perlu ada beberapa koreksi mendasar terhadap paradigma yang menjadi arah kebijakan Deptan tersebut. Sebuah paradigma semestinya lahir dari akumulasi pemikiran yang berkembang di suatu wilayah dan kelompok tertentu. Jadi sudah sewajarnya jika kita mempertanyakan, apakah pengembangan paradigma agribisnis adalah hasil dari konsepsi dan persepsi para petani kita?. Lebih lanjut dapat kita kaji kembali apakah sudah ada riset/penelitian mendalam, yang melibatkan partisipasi petani, berkaitan dengan pola/sistem pertanian di wilayah mereka?.
Hal ini sangat penting karena jangan-jangan paradigma agrisbisnis hanyalah dikembangkan secara topdown dari pusat, yang tidak sesuai dengan visi desentralisasi sistem lokal, atau lebih berbahaya lagi hanya mengadopsi paradigma dari luar (barat). Lebih tepat apabila pemerintah berupaya untuk membantu menemukenali segala permasalahan yang dihadapi petani dan bersama-sama mereka mengusahakan jalan keluarnya, dengan memposisikan diri sebagai kekuatan pelindung petani. Selama ini masalah yang muncul adalah anjloknya harga komoditi, kenaikan harga pupuk, dan persaingan tidak sehat, yang lebih disebabkan oleh kekeliruan atau tidak bekerjanya kebijakan atau peraturan (hukum) yang dibuat oleh pemerintah.
Paradigma Agribisnis Yang Keliru
Asumsi utama paradigma agribisnis bahwa semua tujuan aktivitas pertanian kita adalah profit oriented sangat menyesatkan. Masih sangat banyak petani kita yang hidup secara subsisten, dengan mengkonsumsi komoditi pertanian hasil produksi mereka sendiri. Mereka adalah petani-petani yang luas tanah dan sawahnya sangat kecil, atau buruh tani yang mendapat upah berupa pangan, seperti padi, jagung, ataupun ketela. Mencari keuntungan adalah wajar dalam usaha pertanian, namun hal itu tidak dapat dijadikan orientasi dalam setiap kegiatan usaha para petani. Petani kita pada umumnya lebih mengedepankan orientasi sosial-kemasyarakatan, yang diwujudkan dengan tradisi gotong royong (sambatan/kerigan) dalam kegiatan mereka. Seperti di awal tulisan, bertani bukan saja aktivitas ekonomi, melainkan sudah menjadi budaya hidup yang sarat dengan nilai-nilai sosial-budaya masyarakat lokal.
Sehingga perencanaan terhadap perubahan kegiatan pertanian harus pula mempertimbangkan konsep dan dampak perubahan sosial-budaya yang akan terjadi. Seperti halnya industrialisasi yang tanpa didasari transformasi sosial terencana, telah menghasilkan dekadensi nilai moral, degradasi lingkungan, berkembangnya paham kapitalisme dan individualisme, ketimpangan ekonomi, dan marjinalisasi kaum petani dan buruh. Hal ini yang nampaknya tidak terlalu dikedepankan dalam pengembangan paradigma pendekatan sistem agribisnis..Tidak semua kegiatan pertanian dalam skala petani kecil dapat dibisniskan, seperti yang dilakukan oleh petani-petani (perusahaan) besar di luar negeri, yang memiliki tanah luas dan sistem nilai/budaya berbeda yang lain sekali dengan petani kita
Agriculture bisa berubah menjadi agribisnis seperti halnya PT QSAR, jika usaha dan kegiatannya “menjanjikan keuntungan sangat besar”, misalnya 50% dalam waktu kurang dari satu tahun, padahal tingkat bunga bank rata-rata hanya sekitar 10%. Semangat mengejar untung besar dalam waktu pendek inilah semangat dan sifat agribisnis yang dalam agriculture (pertanian) suatu hal yang dianggap mustahil. Demikian tanpa disadari pakar-pakar ekonomi pertanian terutama lulusan Amerika telah memasukkan budaya Amerika ke (pertanian) Indonesia dengan janji atau teori bahwa agribisnis lebih modern, lebih efisien, dan lebih menguntungkan ketimbang agriculture.
Itulah yang terjadi dengan PT QSAR yang mampu mengecoh banyak bapak-bapak dan ibu-ibu “investor” untuk menanamkan modal ratusan juta rupiah, meskipun akhirnya terbukti agribisnis PT QSAR merupakan ladang penipuan baru untuk menjerat investor-investor “homo-ekonomikus” (manusia serakah) yang berfikir “adalah bodoh menerima keuntungan rendah jika memang ada peluang memperoleh keuntungan jauh lebih besar”. Di Indonesia homo-ekonomikus ini makin banyak ditemukan sehingga seorang ketua ISEI pernah tanpa ragu menyatakan “orang Indonesia dan orang Amerika sama saja”, mereka sama-sama “makhluk ekonomi”.
Konsep dan paradigma sistem agribisnis tidak akan menjadi suatu kebenaran umum, karena akan selalu terkait dengan paradigma dan nilai budaya petani lokal, yang memiliki kebenaran umum tersendiri. Oleh karena itu pemikiran sistem agribisnis yang berdasarkan prinsip positivisme sudah saatnya kita pertanyakan kembali. Paradigma agribisnis tentu saja sarat dengan sistem nilai, budaya, dan ideologi dari tempat asalnya yang patut kita kaji kesesuaiannya untuk diterapkan di negara kita. Masyarakat petani kita memiliki seperangkat sistem nilai, falsafah, dan pandangan terhadap kehidupan (ideologi) mereka sendiri, yang perlu digali dan dianggap sebagai potensi besar di sektor pertanian.
Sementara itu perubahan orientasi dari peningkatan produksi ke oreientasi peningkatan pendapatan petani belum cukup jika tanpa dilandasi pada orientasi kesejahteraan petani. Peningkatan pendapatan tanpa diikuti dengan kebijakan struktural pemerintah di dalam pembuatan aturan/hukum, persaingan, distribusi, produksi dan konsumsi yang melindungi petani tidak akan mampu mengangkat kesejahteraan petani ke tingkat yang lebih baik. Kisah suramnya nasib petani kita lebih banyak terjadi daripada sekedar contoh keberhasilan perusahaan McDonald dalam memberi “order’ kelompok petani di Jawa Barat. Industri gula dan usaha tani tebu serta usaha tani padi kini “sangat sakit” dengan jumlah dan nilai impor yang makin meningkat. Kondisi swasembada beras yang pernah tercapai tahun 1984 kini berbalik. Dan pemerintah mulai sangat gusar karena tanah-tanah sawah yang subur makin cepat beralih fungsi menjadi permukiman, lokasi pabrik, gedung-gedung sekolah, bahkan lapangan golf.
Jika kesejahteraan petani menjadi sasaran pembaruan kebijakan pembangunan pertanian, mengapa kata pertanian kini tidak banyak disebut-sebut? Mengapa Departemen Pertanian rupanya kini lebih banyak mengurus agribusiness dan tidak lagi mengurus agriculture. Padahal seperti juga di Amerika departemennya masih tetap bernama Department of Agriculture bukan Department of Agribusiness? Doktor-doktor Ekonomi Pertanian lulusan Amerika tanpa ragu-ragu sering mengatakan bahwa farming is business. Benarkah farming (bertani) adalah bisnis? Jawab atas pertanyaan ini dapat ya (di Amerika) tetapi di Indonesia bisa tidak. Di Indonesia farming ada yang sudah menjadi bisnis seperti usaha PT QSAR di Sukabumi yang kemudian bangkrut, tetapi bisa tetap merupakan kehidupan (livelihood) atau mata pencaharian yang di Indonesia menghidupi puluhan juta petani tanpa menjadi bisnis.
Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Kini tidak mudah lagi menyepakati apa yang dimaksud dengan pembangunan Pertanian Berkelanjutan, karena berbagai peringatan dan “potensi penyimpangan” di masa lalu kurang mendapat perhatian. Pembangunan pertanian yang di atas kertas mendapat prioritas sejak Repelita I tokh kebijakan dan strateginya dengan mudah dilanggar, dan program-program “industrialisasi” lebih didahulukan. Sumber utama kekeliruan adalah lebih populernya model-model pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan yang lebih cepat meningkatkan produksi dan pendapatan (GDP dan GNP), meskipun tanpa disertai pemerataan dan keadilan sosial.
Seharusnya kita tidak lupa peristiwa Malari Januari 1974 yang memprotes terjadinya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial padahal Repelita I pada saat itu baru berjalan 4,5 tahun, dan pertanian telah tumbuh rata-rata 5% per tahun. Pemerintah Indonesia yang waktu itu bertekad memulai dan meningkatkan program-program pemerataan “termanjakan” oleh bonanza minyak yang dengan sangat mudah membelokkan dana-dana yang melimpah untuk “membantu” pengusaha-pengusaha swasta yang leluasa membangun segala macam industri subsistitusi impor dan kemudian industri promosi ekspor, kebanyakan dengan bekerjasama dengan investor asing, khususnya dari Jepang.
Demikian sekali lagi telah terjadi ketidakseimbangan pembangunan antara industri dan pertanian, yang anehnya dianggap wajar, karena “model pembangunan yang dianggap benar adalah yang mampu meningkatkan sumbangan sektor industri dan “menurunkan” sumbangan sektor pertanian. Inilah suasana awal kelahiran dan mulai populernya ajaran “agribusiness” (agribisnis) yang menggantikan agriculture (pertanian). Jika kita ingin mengadakan pembaruan menuju Pertanian Berkelanjutan justru harus ada kesediaan meninjau kembali konsep dan pengertian sistem dan usaha agribisnis.
Saya tidak sependapat agribisnis dimengerti sebagai “pertanian dalam arti luas” atau bahkan istilah pertanian sudah tidak lagi dianggap relevan dan perlu diganti agribisnis. Jika konsekuen Departemen Pertanian juga perlu diubah menjadi Departemen Agribisnis atau Institut Pertanian (INSTIPER) diganti menjadi Insitut Agribisnis. Kami menolak kecenderungan yang demikian yang di kalangan Fakultas-fakultas Ekonomi kita juga sudah muncul keinginan mengganti nama Fakultas Ekonomi menjadi Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Memang di Amerika sudah banyak School of Business, dan Department of Economics hanya merupakan satu departement saja dalam School of Business. Kami berpendapat ini sudah kebablasan. Seharusnya kita di Indonesia tidak menjiplak begitu saja apa yang terjadi di Amerika jika kita tahu dan patut menduga hal itu tidak cocok bagi tatanan nilai dan budaya petani dan pertanian kita.
Kesimpulan
Sistem ekonomi yang mengacu pada Pancasila yaitu Sistem Ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi pasar yang memihak pada upaya-upaya pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Meskipun pertanian berkelanjutan sudah dapat mencakup upaya-upaya mewujudkan keadilan namun pedoman-pedoman moralistik, manusiawi, nasionalisme, dan demokrasi/ ’kerakyatan’ secara utuh tidak mudah memadukannya dalam pengertian berkelanjutan. Asas Pancasila yang utuh memadukan ke-5 sila Pancasila lebih tegas mengarahkan kebijakan yang memihak pada pengembangan pertanian rakyat, perkebunan rakyat, peternakan rakyat, atau perikanan rakyat. Pertanian yang mengacu atau berperspektif Pancasila pasti memihak pada kebijakan yang mengarah secara kongkrit pada program-program pengurangan kemiskinan di pertanian dan peningkatan kesejahteraan petani.
Misalnya dalam kasus distribusi raskin (beras untuk penduduk miskin), orientasi ekonomi Pancasila pasti tidak mengijinkan pengiriman raskin ke daerah-daerah sentra produksi padi karena pasti menekan harga jual gabah/padi petani. Demikian pula dalam kebijakan pengembangan Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang kini sudah dicabut, orientasi ekonomi Pancasila tidak akan membiarkan terjadinya persaingan sengit di antara petani tebu dalam menjual tebunya ke pabrik, dan sebaliknya pemerintah seharusnya tidak membiarkan pabrik-pabrik gula bertindak sebagai monopsonis (pembeli tunggal) yang menekan petani tebu dalam menampung tebu yang dijual oleh petani tebu rakyat
Tinjauan aspek sosial-ekonomi pembangunan pertanian dan pengelolaan sumber daya alam yang kami sampaikan di sini berbeda atau mungkin berseberangan dengan kerangka pikir yang mengarahkan semua topik pada pengembangan sistem dan usaha agribisnis. Kami berpendapat istilah pertanian tetap relevan dan pembangunan pertanian tetap merupakan bagian dari pembangunan perdesaan (rural development) yang menekankan pada upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk desa, termasuk di antaranya petani. Fokus yang berlebihan pada agribisnis akan berakibat berkurangnya perhatian kita pada petani-petani kecil, petani gurem, dan buruh-buruh tani yang miskin, penyakap, petani penggarap, dan lain-lain yang kegiatannya tidak merupakan bisnis. Apakah mereka ini semua sudah tidak ada lagi di pertanian dan perdesaan kita?
Masih banyak sekali, dan merekalah penduduk miskin di perdesaan kita yang membutuhkan perhatian dan pemihakan para pakar terutama pakar-pakar pertanian dan ekonomi pertanian. Pakar-pakar agribisnis rupanya lebih memikirkan bisnis pertanian, yaitu segala sesuatu yang harus dihitung untung-ruginya, efisiensinya, dan sama sekali tidak memikirkan keadilannya dan moralnya. Pembangunan pertanian Indonesia harus berarti pembaruan penataan pertanian yang menyumbang pada upaya mengatasi kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan mereka yang paling kurang beruntung di perdesaan.
30 April 2003
--------------------------------------------------------------------------------
Prof. Dr. Mubyarto – Guru Besar FE-UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM (Pustep UGM)
Awan Santosa - Staf Peneliti Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM (Pustep UGM)
Pendahuluan
Pertanian (agriculture) bukan hanya merupakan aktivitas ekonomi untuk menghasilkan pendapatan bagi petani saja. Lebih dari itu, pertanian/agrikultur adalah sebuah cara hidup (way of life atau livehood) bagi sebagian besar petani di Indonesia. Oleh karena itu pembahasan mengenai sektor dan sistem pertanian harus menempatkan subjek petani, sebagai pelaku sektor pertanian secara utuh, tidak saja petani sebagai homo economicus, melainkan juga sebagai homo socius dan homo religius.
Konsekuensi pandangan ini adalah dikaitkannya unsur-unsur nilai sosial-budaya lokal, yang memuat aturan dan pola hubungan sosial, politik, ekonomi, dan budaya ke dalam kerangka paradigma pembangunan sistem pertanian. Tulisan ini sekaligus menanggapi tulisan Saudara Pantjar Simatupang (Jakarta Post, April 14 and 15, 2003) tentang Pendekatan Sistem Agribisnis dalam Pembangunan Pertanian, yang juga didasarkan pada kerangka konsep pembangunan pertanian Departemen Pertanian tahun 2001.
Secara ringkas tulisan tersebut menguraikan tentang perlu dikembangkannya paradigma baru pembangunan pertanian yang didasarkan pada pendekatan sistem agribisnis. Pantjar mengacu dengan jelas pada paradigma agribisnis yang dikembangkan oleh Davies dan Goldberg, yang berdasar pada lima premis dasar agribisnis. Pertama, adalah suatu kebenaran umum bahwa semua usaha pertanian berorientasi laba (profit oriented), termasuk di Indonesia. Kedua, pertanian adalah komponen rantai dalam sistem komoditi, sehingga kinerjanya ditentukan oleh kinerja sistem komoditi secara keseluruhan. Ketiga, pendekatan sistem agribisnis adalah formulasi kebijakan sektor pertanian yang logis, dan harus dianggap sebagai alasan ilmiah yang positif, bukan ideologis dan normatif.
Keempat, Sistem agribisnis secara intrinsik netral terhadap semua skala usaha, dan kelima, pendekatan sistem agribisnis khususnya ditujukan untuk negara sedang berkembang. Rumusan inilah yang nampaknya digunakan sebagai konsep pembangunan pertanian dari Departemen Pertanian, yang dituangkan dalam visi terwujudnya perekonomian nasional yang sehat melalui pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan, dan terdesentralisasi.
Ideologi Agribisnis
Mula-mula ilmu ekonomi (Neoklasik) dikritik pedas karena telah berubah menjadi ideologi (Burk. dalam Lewis dan Warneryd, 1994: 312-334), bahkan semacam agama (Nelson: 2001). Kemudian pertanian dijadikan bisnis, sehingga utuk mengikuti perkembangan zaman konsep agriculture (budaya bertani) dianggap perlu diubah menjadi agribusiness (bisnis pertanian). Maka di IPB dan UGM tidak dikembangkan program S2 Pertanian, tetapi lebih dikembangkan program Magister atau MM Agribisnis, yang jika diteliti substansi kuliah-kuliahnya hampir semua berorientasi pada buku-buku teks Amerika 2 dekade terakhir yang mengajarkan ideologi atau bahkan mendekati “agama” baru bahwa “farming is business”.
Mengapa agribisnis? Ya, agribisnis memang diangggap lebih modern dan lebih efisien karena lebih berorientasi pada pasar, bukan hanya pada “komoditi yang dapat dihasilkan petani”. Perubahan dari agriculture menjadi agribisnis berarti segala usaha produksi pertanian ditujukan untuk mencari keuntungan, bukan untuk sekedar memenuhi kebutuhan sendiri termasuk pertanian gurem atau subsisten sekalipun. Penggunaan sarana produksi apapun adalah untuk menghasilkan “produksi”, termasuk penggunaan tenaga kerja keluarga, dan semua harus dihitung dan dikombinasikan dengan teliti untuk mencapai efisiensi tertinggi
Sepintas paradigma agribisnis memang menjanjikan perubahan kesejahteraan yang signifikan bagi para petani. Namun jika kita kaji lebih mendalam, maka perlu ada beberapa koreksi mendasar terhadap paradigma yang menjadi arah kebijakan Deptan tersebut. Sebuah paradigma semestinya lahir dari akumulasi pemikiran yang berkembang di suatu wilayah dan kelompok tertentu. Jadi sudah sewajarnya jika kita mempertanyakan, apakah pengembangan paradigma agribisnis adalah hasil dari konsepsi dan persepsi para petani kita?. Lebih lanjut dapat kita kaji kembali apakah sudah ada riset/penelitian mendalam, yang melibatkan partisipasi petani, berkaitan dengan pola/sistem pertanian di wilayah mereka?.
Hal ini sangat penting karena jangan-jangan paradigma agrisbisnis hanyalah dikembangkan secara topdown dari pusat, yang tidak sesuai dengan visi desentralisasi sistem lokal, atau lebih berbahaya lagi hanya mengadopsi paradigma dari luar (barat). Lebih tepat apabila pemerintah berupaya untuk membantu menemukenali segala permasalahan yang dihadapi petani dan bersama-sama mereka mengusahakan jalan keluarnya, dengan memposisikan diri sebagai kekuatan pelindung petani. Selama ini masalah yang muncul adalah anjloknya harga komoditi, kenaikan harga pupuk, dan persaingan tidak sehat, yang lebih disebabkan oleh kekeliruan atau tidak bekerjanya kebijakan atau peraturan (hukum) yang dibuat oleh pemerintah.
Paradigma Agribisnis Yang Keliru
Asumsi utama paradigma agribisnis bahwa semua tujuan aktivitas pertanian kita adalah profit oriented sangat menyesatkan. Masih sangat banyak petani kita yang hidup secara subsisten, dengan mengkonsumsi komoditi pertanian hasil produksi mereka sendiri. Mereka adalah petani-petani yang luas tanah dan sawahnya sangat kecil, atau buruh tani yang mendapat upah berupa pangan, seperti padi, jagung, ataupun ketela. Mencari keuntungan adalah wajar dalam usaha pertanian, namun hal itu tidak dapat dijadikan orientasi dalam setiap kegiatan usaha para petani. Petani kita pada umumnya lebih mengedepankan orientasi sosial-kemasyarakatan, yang diwujudkan dengan tradisi gotong royong (sambatan/kerigan) dalam kegiatan mereka. Seperti di awal tulisan, bertani bukan saja aktivitas ekonomi, melainkan sudah menjadi budaya hidup yang sarat dengan nilai-nilai sosial-budaya masyarakat lokal.
Sehingga perencanaan terhadap perubahan kegiatan pertanian harus pula mempertimbangkan konsep dan dampak perubahan sosial-budaya yang akan terjadi. Seperti halnya industrialisasi yang tanpa didasari transformasi sosial terencana, telah menghasilkan dekadensi nilai moral, degradasi lingkungan, berkembangnya paham kapitalisme dan individualisme, ketimpangan ekonomi, dan marjinalisasi kaum petani dan buruh. Hal ini yang nampaknya tidak terlalu dikedepankan dalam pengembangan paradigma pendekatan sistem agribisnis..Tidak semua kegiatan pertanian dalam skala petani kecil dapat dibisniskan, seperti yang dilakukan oleh petani-petani (perusahaan) besar di luar negeri, yang memiliki tanah luas dan sistem nilai/budaya berbeda yang lain sekali dengan petani kita
Agriculture bisa berubah menjadi agribisnis seperti halnya PT QSAR, jika usaha dan kegiatannya “menjanjikan keuntungan sangat besar”, misalnya 50% dalam waktu kurang dari satu tahun, padahal tingkat bunga bank rata-rata hanya sekitar 10%. Semangat mengejar untung besar dalam waktu pendek inilah semangat dan sifat agribisnis yang dalam agriculture (pertanian) suatu hal yang dianggap mustahil. Demikian tanpa disadari pakar-pakar ekonomi pertanian terutama lulusan Amerika telah memasukkan budaya Amerika ke (pertanian) Indonesia dengan janji atau teori bahwa agribisnis lebih modern, lebih efisien, dan lebih menguntungkan ketimbang agriculture.
Itulah yang terjadi dengan PT QSAR yang mampu mengecoh banyak bapak-bapak dan ibu-ibu “investor” untuk menanamkan modal ratusan juta rupiah, meskipun akhirnya terbukti agribisnis PT QSAR merupakan ladang penipuan baru untuk menjerat investor-investor “homo-ekonomikus” (manusia serakah) yang berfikir “adalah bodoh menerima keuntungan rendah jika memang ada peluang memperoleh keuntungan jauh lebih besar”. Di Indonesia homo-ekonomikus ini makin banyak ditemukan sehingga seorang ketua ISEI pernah tanpa ragu menyatakan “orang Indonesia dan orang Amerika sama saja”, mereka sama-sama “makhluk ekonomi”.
Konsep dan paradigma sistem agribisnis tidak akan menjadi suatu kebenaran umum, karena akan selalu terkait dengan paradigma dan nilai budaya petani lokal, yang memiliki kebenaran umum tersendiri. Oleh karena itu pemikiran sistem agribisnis yang berdasarkan prinsip positivisme sudah saatnya kita pertanyakan kembali. Paradigma agribisnis tentu saja sarat dengan sistem nilai, budaya, dan ideologi dari tempat asalnya yang patut kita kaji kesesuaiannya untuk diterapkan di negara kita. Masyarakat petani kita memiliki seperangkat sistem nilai, falsafah, dan pandangan terhadap kehidupan (ideologi) mereka sendiri, yang perlu digali dan dianggap sebagai potensi besar di sektor pertanian.
Sementara itu perubahan orientasi dari peningkatan produksi ke oreientasi peningkatan pendapatan petani belum cukup jika tanpa dilandasi pada orientasi kesejahteraan petani. Peningkatan pendapatan tanpa diikuti dengan kebijakan struktural pemerintah di dalam pembuatan aturan/hukum, persaingan, distribusi, produksi dan konsumsi yang melindungi petani tidak akan mampu mengangkat kesejahteraan petani ke tingkat yang lebih baik. Kisah suramnya nasib petani kita lebih banyak terjadi daripada sekedar contoh keberhasilan perusahaan McDonald dalam memberi “order’ kelompok petani di Jawa Barat. Industri gula dan usaha tani tebu serta usaha tani padi kini “sangat sakit” dengan jumlah dan nilai impor yang makin meningkat. Kondisi swasembada beras yang pernah tercapai tahun 1984 kini berbalik. Dan pemerintah mulai sangat gusar karena tanah-tanah sawah yang subur makin cepat beralih fungsi menjadi permukiman, lokasi pabrik, gedung-gedung sekolah, bahkan lapangan golf.
Jika kesejahteraan petani menjadi sasaran pembaruan kebijakan pembangunan pertanian, mengapa kata pertanian kini tidak banyak disebut-sebut? Mengapa Departemen Pertanian rupanya kini lebih banyak mengurus agribusiness dan tidak lagi mengurus agriculture. Padahal seperti juga di Amerika departemennya masih tetap bernama Department of Agriculture bukan Department of Agribusiness? Doktor-doktor Ekonomi Pertanian lulusan Amerika tanpa ragu-ragu sering mengatakan bahwa farming is business. Benarkah farming (bertani) adalah bisnis? Jawab atas pertanyaan ini dapat ya (di Amerika) tetapi di Indonesia bisa tidak. Di Indonesia farming ada yang sudah menjadi bisnis seperti usaha PT QSAR di Sukabumi yang kemudian bangkrut, tetapi bisa tetap merupakan kehidupan (livelihood) atau mata pencaharian yang di Indonesia menghidupi puluhan juta petani tanpa menjadi bisnis.
Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Kini tidak mudah lagi menyepakati apa yang dimaksud dengan pembangunan Pertanian Berkelanjutan, karena berbagai peringatan dan “potensi penyimpangan” di masa lalu kurang mendapat perhatian. Pembangunan pertanian yang di atas kertas mendapat prioritas sejak Repelita I tokh kebijakan dan strateginya dengan mudah dilanggar, dan program-program “industrialisasi” lebih didahulukan. Sumber utama kekeliruan adalah lebih populernya model-model pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan yang lebih cepat meningkatkan produksi dan pendapatan (GDP dan GNP), meskipun tanpa disertai pemerataan dan keadilan sosial.
Seharusnya kita tidak lupa peristiwa Malari Januari 1974 yang memprotes terjadinya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial padahal Repelita I pada saat itu baru berjalan 4,5 tahun, dan pertanian telah tumbuh rata-rata 5% per tahun. Pemerintah Indonesia yang waktu itu bertekad memulai dan meningkatkan program-program pemerataan “termanjakan” oleh bonanza minyak yang dengan sangat mudah membelokkan dana-dana yang melimpah untuk “membantu” pengusaha-pengusaha swasta yang leluasa membangun segala macam industri subsistitusi impor dan kemudian industri promosi ekspor, kebanyakan dengan bekerjasama dengan investor asing, khususnya dari Jepang.
Demikian sekali lagi telah terjadi ketidakseimbangan pembangunan antara industri dan pertanian, yang anehnya dianggap wajar, karena “model pembangunan yang dianggap benar adalah yang mampu meningkatkan sumbangan sektor industri dan “menurunkan” sumbangan sektor pertanian. Inilah suasana awal kelahiran dan mulai populernya ajaran “agribusiness” (agribisnis) yang menggantikan agriculture (pertanian). Jika kita ingin mengadakan pembaruan menuju Pertanian Berkelanjutan justru harus ada kesediaan meninjau kembali konsep dan pengertian sistem dan usaha agribisnis.
Saya tidak sependapat agribisnis dimengerti sebagai “pertanian dalam arti luas” atau bahkan istilah pertanian sudah tidak lagi dianggap relevan dan perlu diganti agribisnis. Jika konsekuen Departemen Pertanian juga perlu diubah menjadi Departemen Agribisnis atau Institut Pertanian (INSTIPER) diganti menjadi Insitut Agribisnis. Kami menolak kecenderungan yang demikian yang di kalangan Fakultas-fakultas Ekonomi kita juga sudah muncul keinginan mengganti nama Fakultas Ekonomi menjadi Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Memang di Amerika sudah banyak School of Business, dan Department of Economics hanya merupakan satu departement saja dalam School of Business. Kami berpendapat ini sudah kebablasan. Seharusnya kita di Indonesia tidak menjiplak begitu saja apa yang terjadi di Amerika jika kita tahu dan patut menduga hal itu tidak cocok bagi tatanan nilai dan budaya petani dan pertanian kita.
Kesimpulan
Sistem ekonomi yang mengacu pada Pancasila yaitu Sistem Ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi pasar yang memihak pada upaya-upaya pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Meskipun pertanian berkelanjutan sudah dapat mencakup upaya-upaya mewujudkan keadilan namun pedoman-pedoman moralistik, manusiawi, nasionalisme, dan demokrasi/ ’kerakyatan’ secara utuh tidak mudah memadukannya dalam pengertian berkelanjutan. Asas Pancasila yang utuh memadukan ke-5 sila Pancasila lebih tegas mengarahkan kebijakan yang memihak pada pengembangan pertanian rakyat, perkebunan rakyat, peternakan rakyat, atau perikanan rakyat. Pertanian yang mengacu atau berperspektif Pancasila pasti memihak pada kebijakan yang mengarah secara kongkrit pada program-program pengurangan kemiskinan di pertanian dan peningkatan kesejahteraan petani.
Misalnya dalam kasus distribusi raskin (beras untuk penduduk miskin), orientasi ekonomi Pancasila pasti tidak mengijinkan pengiriman raskin ke daerah-daerah sentra produksi padi karena pasti menekan harga jual gabah/padi petani. Demikian pula dalam kebijakan pengembangan Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang kini sudah dicabut, orientasi ekonomi Pancasila tidak akan membiarkan terjadinya persaingan sengit di antara petani tebu dalam menjual tebunya ke pabrik, dan sebaliknya pemerintah seharusnya tidak membiarkan pabrik-pabrik gula bertindak sebagai monopsonis (pembeli tunggal) yang menekan petani tebu dalam menampung tebu yang dijual oleh petani tebu rakyat
Tinjauan aspek sosial-ekonomi pembangunan pertanian dan pengelolaan sumber daya alam yang kami sampaikan di sini berbeda atau mungkin berseberangan dengan kerangka pikir yang mengarahkan semua topik pada pengembangan sistem dan usaha agribisnis. Kami berpendapat istilah pertanian tetap relevan dan pembangunan pertanian tetap merupakan bagian dari pembangunan perdesaan (rural development) yang menekankan pada upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk desa, termasuk di antaranya petani. Fokus yang berlebihan pada agribisnis akan berakibat berkurangnya perhatian kita pada petani-petani kecil, petani gurem, dan buruh-buruh tani yang miskin, penyakap, petani penggarap, dan lain-lain yang kegiatannya tidak merupakan bisnis. Apakah mereka ini semua sudah tidak ada lagi di pertanian dan perdesaan kita?
Masih banyak sekali, dan merekalah penduduk miskin di perdesaan kita yang membutuhkan perhatian dan pemihakan para pakar terutama pakar-pakar pertanian dan ekonomi pertanian. Pakar-pakar agribisnis rupanya lebih memikirkan bisnis pertanian, yaitu segala sesuatu yang harus dihitung untung-ruginya, efisiensinya, dan sama sekali tidak memikirkan keadilannya dan moralnya. Pembangunan pertanian Indonesia harus berarti pembaruan penataan pertanian yang menyumbang pada upaya mengatasi kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan mereka yang paling kurang beruntung di perdesaan.
30 April 2003
--------------------------------------------------------------------------------
Prof. Dr. Mubyarto – Guru Besar FE-UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM (Pustep UGM)
Awan Santosa - Staf Peneliti Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM (Pustep UGM)
Friday, May 13, 2005
KEMISKINAN DAN RESTRUKTURISASI AKSES
Awan Santosa
IPM dan Ketimpangan
Sebuah berita “kecil” beberapa hari yang lalu hadir di sela-sela pembicaraan “besar” elit politik dan ekonomi kita : Indek Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada di peringkat 112 dari 175 negara yang menjadi sampel survey United Nation Development Program (UNDP). Timbul pertanyaan apakah berita ini telah secara serius ditanggapi? Apakah data-data beserta implikasinya ini lebih penting dibanding tarik ulur anggaran dewan-eksekutif di daerah tentang dana pensiun, dana asuransi, dan macam-macam tunjangan kesejahteraan pejabat lainnya?
Apakah juga kondisi manusia Indonesia menurut UNDP tersebut lebih krusial dibanding rencana pembayaran BLBI, privatisasi BUMN, rekapitalisasi perbankan, dan tarik ulur kepentingan politik-ekonomi di tingkat pusat?. Jika jawabannya tidak maka kita perlu menggugat kembali, apa yang diinginkan negara kita dengan tujuan nasional pembangunannya, di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Tidakkah seperti yang diamanatkan oleh konstitusi bahwa tujuan pembangunan nasional kita adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya?. Kini kita lihat hasilnya, negara kita masih tertinggal sekedar hanya memenuhi kebutuhan dasar manusianya untuk menikmati pendidikan, kesehatan, dan kemampuan membeli barang kebutuhan sehari-hari.
Salah arah-kah pembangunan kita sehingga pendirian gedung-gedung mewah, infrastruktur ekonomi, rumah sakit dan sekolah-sekolah elit di pusat-pusat kota dapat berbarengan dengan banyaknya balita yang kurang gizi atau bahkan bergizi buruk serta banyaknya wanita subur yang menderita resiko kekurangan energi kronis (Khudori, 2003). Di satu sisi banyak warga negara yang gemar pesta, bergaya hidup glamour, hedonis, namun di sisi lain masih banyak anak-anak yang putus sekolah atau tidak tertampung di sekolah yang ada hingga sebagian terpaksa menghabiskan masa kecilnya di jalanan, berbaur dengan asap penyakit.
Ironis memang jika Indonesia diposisikan sebagai negara peringkat 112 HDI dunia. Indonesia memang negara yang pemerintah dan sebagian masyarakatnya miskin (terjerat hutang dan senantiasa mendatangkan hutang baru) namun pejabat pemerintahnya, elit ekonomi, dan politiknya sangat jauh sekedar untuk dikatakan hidup sederhana. Peringkat IPM Indonesia tersebut hanya menggambarkan bahwa ketimpangan dan ketidakadilan distribusi hasil pembangunan masih terjadi di negeri reformasi ini. Hal itu juga menunjukkan bahwa pembangunan manusia Indonesia secara utuh dan menyeluruh belum sepenuhnya diprioritaskan oleh para pengambil kebijakan politik-ekonomi kita.
Dapat dipahami bahwa kondisi kemiskinan dari 38,39 juta orang yang merupakan 19% dari penduduk total tahun 2003 (Hari Sabarno, 2003) tidak cukup menjadi perhatian besar bagi negara besar seperti Indonesia. Program-program yang ditujukan untuk mengurangi kemiskinan masih belum menyentuh aspek pembangunan manusia bagi penduduk miskin yang ada.
Amartya Sen dalam bukunya “Development as Freedom” mengutarakan bahwa penyebab kemiskinan dan keterbelakangan adalah persoalan aksesibilitas. Akibat keterbatasan dan ketertiadaan akses maka manusia mempunyai keterbatasan (bahkan tak ada pilihan) untuk mengembangkan hidupnya, kecuali menjalankan apa terpaksa saat ini yang dapat dilakukan (bukan yang seharusnya bisa dilakukan). Akibatnya potensi manusia untuk mengembangkan hidupnya menjadi terhambat (Bambang Ismawan, 2002).
Berpijak pada konsep pemenuhan kebutuhan dasar manusia, akses terhadap pemenuhan kebutuhan sehari-hari (dalam wujud daya beli), akses terhadap fasilitas kesehatan yang murah dan memadai, serta akses untuk menikmati setiap jenjang pendidikan adalah prasyarat minimal bagi tercapainya kesejahteraan masyarakat. Pemikiran ini sudah jauh-jauh hari dirumuskan oleh founding father kita, yang dituangkan dalam UUD 1945, landasan konstitusi tertinggi kita. Masih ingatkah kita dengan pasal 29, pasal 31, pasal 33, dan pasal 34 UUD 1945 (yang diamandemen menjadi UUD 2002)?.
Pasal-pasal tersebut telah jelas dan tegas mengamanatkan bahwa akses terhadap penghidupan yang layak, termasuk kesehatan dan pendidikan adalah hak setiap warga negara. Bahkan kondisi ideal yang diatur hukum kita adalah bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara, tentu saja dengan penekanan pada kewajiban pemerintah, baik di pusat maupun daerah.
Pembangunan selama 58 tahun tidak bisa dipungkiri telah membawa kemajuan yang berarti, khususnya di bidang sarana-prasarana sosial dan ekonomi. Telah banyak rumah sakit, puskesmas, sekolah, dan pusat-pusat kegiatan ekonomi dibangun. Namun sayangnya pembangunan ini tidak diikuti dengan persebaran akses secara merata ke seluruh lapisan masyarakat di Indonesia. Fenomena ketimpangan akses adalah kondisi awal yang menimbulkan kondisi berikutnya yaitu kemiskinan masyarakat. Akses sosial terhadap kesehatan dan pendidikan adalah milik mereka yang berpunya (the have) karena prasyarat memanfaatkannya adalah daya beli (uang) yang sulit dipenuhi oleh mereka yang “the have not”, atau dalam istilah strukturalis, golongan kelas bawah (underclass).
Daya beli kelompok masyarakat ini sudah dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka, yaitu pangan, sandang, dan papan (kalau memungkinkan). Mujur bagi mereka, pemerintah dan sebagian masyarakat masih memiliki cukup kepekaan sosial untuk memperhatikan mereka dengan merancang program-program bertajuk penanggulanganan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Program Anti Kemiskinan
Program-program penanggulangan kemiskinan membawa sejuta harapan untuk memperbaharui hidup masyarakat miskin, baik di kota maupun di desa. Program kemiskinan dirancang dengan berbagai model pendekatan yang dianggap cocok dan efektif untuk menolong penduduk miskin, mulai dari pendekatan sektoral, regional, dan pendekatan langsung. Program-program yang saat ini masih dijalankan secara nasional meliputi Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), dan program lain yang dibuat oleh pemerintah dan masyarakat di tingkat lokal.
Berbagai program tersebut menumpukan ide dasarnya pada model dana bergulir, yang diharapkan dapat digunakan untuk mengembangkan usaha, memberdayakan masyarakat, dan membangun ekonomi rakyat. Namun sayangnya, kembali pada ide awal pemenuhan akses bagi masyarakat paling miskin (the poorest), program-program tersebut seringkali tidak dapat dengan mudah diakses oleh mereka yang benar-benar termiskin. Karena program dilaksanakan di satu wilayah administratif tertentu (RW atau kelurahan), maka sulit bagi masyarakat miskin di luar wilayah adminstratif tersebut untuk mengakses program (the outer program). Seperti halnya mereka yang hidup dan tinggal di jalan (termasuk anak terlantar), di pinggir-pinggir sungai, ataupun yang tinggal di pemukiman-pemukiman kumuh, jembatan, stasiun, dan terminal, apapun profesi mereka.
Termasuk juga yang kurang beruntung terjebak dalam pekerjaan yang bertentangan dengan moral dan agama.
Sementara dana program kemiskinan di wilayah administratif tertentu didistribusikan kepada masyarakat lokal, yang belum tentu miskin dan membutuhkan. Dengan model seperti itu ada kemungkinan penyaluran dana program lebih didasarkan pada kapasitas/kemampuan pengembalian dana, karena pertimbangan resiko dan sulitnya (tidak mau?) menemukan warga yang benar-benar miskin di wilayah tersebut. Padahal sudah ratusan milyar, bahkan trilyunan rupiah (sejak krisis moneter 1997) dana yang disalurkan untuk mengurangi kemiskinan di negara kita, sejauh ini belum jelas ukuran hasilnya selain berita yang diungkapkan UNDP di muka.
Ada dugaan bahwa dana program penanggulangan kemiskinan tidak benar-benar disalurkan hanya untuk penduduk miskin saja, sehingga hasil program tidak terlalu signifikan dibanding dana yang telah dikucurkan. Perlu ada pembuktian dari pemerintah selaku pelaksana program untuk menunjukkan bahwa program kemiskinan telah tepat sasaran dengan derajat ketepatan tertentu. Sehingga dapat disimpulkan seberapa besar akses masyarakat yang benar-benar miskin terhadap program penanggulangan kemiskinan tersebut.
Di sisi lain program penanggulangan kemiskinan yang selama ini dilakukan belum sepenuhnya berorientasi pada pembangunan manusia. Pada umumnya orientasi program lebih ditujukan pada kelancaran perguliran dana, rendahnya kredit macet, dan pemupukan modal bagi usaha anggota program.
Belum terlihat jelas bagaimanakah model dan orientasi pembangunan manusia yang diharapkan dari program tersebut. Orientasi pembangunan manusia berarti pemenuhan akses penduduk miskin terhadap kesehatan, pendidikan, dan kesempatan ekonomi yang memadai dan terjangkau daya beli mereka (bahkan gratis). Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) di bidang pendidikan dan kesehatan belum dapat digunakan sebagai instrumen yang berkelanjutan (sustainable) karena programnya yang bersifat pertolongan darurat (emergency rescue), berjangka pendek (crash program) dan terbatas (belum meluas).
Harapan yang mungkin adalah menggeser orientasi program penanggulangan kemiskinan yang sekarang ada (seperti PPK dan P2KP) untuk mengkaitkannya dengan pemenuhan akses penduduk termiskin peserta program terhadap kesehatan dan pendidikan. Dengan model lain pemerintah dapat mengambil kebijakan pendidikan dan kesehatan murah (gratis) bagi penduduk termiskin peserta program dan penduduk miskin di luar program (the outer program). Pemberlakuan model dana pinjaman usaha dari program penanggulangan kemiskinan tidak akan efektif tanpa kemudahan akses penduduk miskin terhadap pemenuhan kebutuhan dasar berupa kesehatan dan pendidikan yang murah dan memadai. Bagaimana penduduk miskin dapat meningkatkan penghasilannya melalui program kemiskinan jika ketika dia sakit atau bermaksud menyekolahkan anaknya harus mengeluarkan biaya banyak yang membebaninya.
“Restrukturisasi” Akses
Tidak saja perubahan paradigma pembangunan, dari orientasi pertumbuhan ke orientasi pemerataan, seperti diungkapkan Kwik Kian Gie (Republika, Juli 2003), yang perlu kita lakukan menanggapi penurunan peringkat IPM kita. Lebih dari itu negara kita memerlukan sebuah perubahan struktural yang dimanifestasikan dari kebijakan dan program-program pemerintah yang lebih adil, manusiawi, demokratis, dan memihak rakyat kecil/penduduk miskin. Perubahan struktural memerlukan adanya mekanisme yang jelas untuk menjamin terjadinya redistribusi pendapatan antar anggota masyarakat, dari mereka yang “the have” ke mereka yang “the have not” atau “have little”.. Kita tidak perlu memperdebatkan landasan kebijakan ini karena telah jelas digariskan dalam dasar hukum agama maupun konstitusi bangsa Indonesia.
Yang perlu dilakukan bukan sekedar model jaminan sosial ataupun proteksi sosial, yang lebih terkesan karikatif, namun sebuah mekanisme struktural berupa “restrukturisasi” akses bagi penduduk miskin, yang meliputi akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan ekonomi (kesempatan usaha dan pekerjaan). Mekanisme ini relatif lebih mungkin dilakukan dengan mengunakan instrumen struktur anggaran negara (APBN) dan struktur program penanggulangan kemiskinan yang telah ada.
Melalui instrumen anggaran negara, pemerintah menjalankan “restrukturisasi” akses dengan mengalokasikan dana yang lebih besar di bidang kesehatan dan pendidikan tertuju pada penduduk miskin (sosial-ekonomi lemah). Bagaimanapun kedua bidang ini adalah investasi yang sangat strategis bagi masa depan negara kita. Apakah kita tidak belajar pada masa lalu, manakala investasi asing (terbesar di bidang ekonomi) dianggap sebagai dewa kemajuan pembangunan. pertumbuhan ekonomi, dan kesempatan kerja bagi masyarakat kita? Dan kita buktikan sendiri hasilnya, krisis moneter yang diikuti krisis di segala sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, disertai penurunan kualitas pembangunan manusia (HDI) kita.
Adalah sesuai pemikiran Prof Mubyarto bahwa selama kurun waktu 4 tahun setelah krisis (1999-2002), disaat investasi lesu dan banyak terjadi pelarian modal ke luar negeri, pertumbuhan ekonomi kita (kurang lebih sebesar 3,5%) ditopang oleh investasi sosial-ekonomi rakyat. Mereka adalah pelaku-pelaku ekonomi kecil, bahkan miskin, yang dapat menunjukkan kekuatan, kepercayaan diri, dan daya tahan menghadapi kondisi sulit dengan mengandalkan modal sosial (social capital) dan sedikit modal usaha yang mereka miliki. Dan kini pemerintah kembali berharap bahwa investasi asing adalah kunci pemulihan ekonomi nasional. Ya, pemulihan ekonomi menuju kondisi awal sebelum krisis berupa kondisi yang timpang, penuh ketidakadilan, dan pengabaian hak-hak dasar masyarakat.
Pemerintah dan DPR sendirilah yang perlu melakukan investasi, bukan hanya penonjolan pada investasi asing dan pengeluaran untuk belanja rutin saja. Investasi pemerintah yang paling strategis bagi pembangunan manusia Indonesia adalah di bidang pendidikan dan kesehatan, melalui alokasi dana APBN yang lebih besar di kedua bidang tersebut. Dana ini dapat dialokasikan ke dalam struktur dana program penanggulangan kemiskinan atau melalui mekanisme tersendiri yang diatur bersama-sama pemerintah dan DPR melalui landasan hukum yang jelas. Tidak cukup banyakkah anggaran yang sudah dialokasikan ke elit politik/ekonomi, melalui pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi perbankan, tunjangan, dan biaya “studi banding” ke luar negeri?
“Restrukturisasi” akses juga perlu dilakukan melalui perubahan paradigma dan perubahan struktural program anti kemiskinan yang berskala nasional dan melibatkan dana yang cukup besar. Masih terkesan bahwa dana yang disalurkan ke penduduk miskin dimaknai sebagai “bantuan”, baik oleh pengelola program ataupun masyarakat miskin itu sendiri. Sehingga penting untuk dibangun paradigma program anti kemiskinan yang berorientasi pada penguatan hak masyarakat miskin sebagai dasar bagi paradigma pembangunan manusia dalam program tersebut. Penduduk miskin hanya dapat membangun diri dan kemanusiaannya apabila ia sadar dan paham akan hak-hak dasar hidupnya di Indonesia, untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan,, dan penghidupan yang layak (kesempatan berusaha).
Perubahan struktural program anti kemiskinan yang berorientasi pemerataan akses dan pembangunan manusia dapat dijalankan melalui dua cara, yaitu restrukturisasi keanggotaan dan restrukturisasi alokasi dana program. Restrukturisasi anggota program berarti meninjau kembali profil masyarakat yang mengakses dana program, apakah dia benar-benar miskin dan membutuhkan, ataukah dia sekedar ingin melakukan ekspansi usaha. Masyarakat yang tidak miskin relatif tidak mengalami kesulitan dalam mengembangkan diri dan mengakses fasilitas sosial-ekonomi yang mereka butuhkan. Sehingga dengan dana program yang terbatas, dapat dialokasikan untuk penduduk yang benar-benar miskin, terutama yang saat ini masih belum terjangkau program (the outer program). Mereka adalah kelompok masyarakat yang rentan, tidak berdaya, dan perlu dibantu mendapatkan hak akses sosial-ekonomi untuk membangun dirinya.
Restrukturisasi alokasi dana program dilakukan dengan memberikan porsi yang cukup untuk akses kebutuhan dasar penduduk miskin peserta program dan di luar program seperti akses kesehatan dan pendidikan. Dana program anti kemiskinan tidak hanya diperuntukkan sebagai modal usaha melainkan juga sebagai dana cadangan bagi anggotanya yang membutuhkan akses pendidikan dan kesehatan. Jika dimungkinkan dana ini disalurkan secara gratis, namun jika belum memungkinkan dana ini dapat disalurkan melalui kredit lunak yang murah dan berjangka panjang, sehingga dapat dijadikan dana bergulir di bidang pendidikan dan kesehatan. Cara lain adalah melalui kerja sama antara pengelola program dengan institusi kesehatan dan pendidikan terkait sehingga dihasilkan struktur pembiayaan yang murah dan memadai bagi penduduk miskin.
Yang perlu dicatat adalah ketepatan sasaran program bagi penduduk yang benar-benar miskin dan sedapat mungkin sumber pembiayaan berasal dari dana program, anggaran pemerintah, atau sumber lain yang tidak memberatkan penduduk miskin. Hal ini memang dipengaruhi seberapa besar komitmen pengelola program dan pemerintah untuk benar-benar memperhatikan nasib dan hak-hak penduduk miskin serta seberapa besar alokasi anggaran (APBN dan APBD) yang dapat disediakan, khususnya untuk bidang pendidikan dan kesehatan penduduk miskin. Namun kita perlu tetap optimis bahwa suara hati masih sangat dipegang teguh di negeri ini. Memang kita perlu lebih giat untuk menyuarakan :“ “restrukturisasi” akses untuk penduduk miskin”.
IPM dan Ketimpangan
Sebuah berita “kecil” beberapa hari yang lalu hadir di sela-sela pembicaraan “besar” elit politik dan ekonomi kita : Indek Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada di peringkat 112 dari 175 negara yang menjadi sampel survey United Nation Development Program (UNDP). Timbul pertanyaan apakah berita ini telah secara serius ditanggapi? Apakah data-data beserta implikasinya ini lebih penting dibanding tarik ulur anggaran dewan-eksekutif di daerah tentang dana pensiun, dana asuransi, dan macam-macam tunjangan kesejahteraan pejabat lainnya?
Apakah juga kondisi manusia Indonesia menurut UNDP tersebut lebih krusial dibanding rencana pembayaran BLBI, privatisasi BUMN, rekapitalisasi perbankan, dan tarik ulur kepentingan politik-ekonomi di tingkat pusat?. Jika jawabannya tidak maka kita perlu menggugat kembali, apa yang diinginkan negara kita dengan tujuan nasional pembangunannya, di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Tidakkah seperti yang diamanatkan oleh konstitusi bahwa tujuan pembangunan nasional kita adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya?. Kini kita lihat hasilnya, negara kita masih tertinggal sekedar hanya memenuhi kebutuhan dasar manusianya untuk menikmati pendidikan, kesehatan, dan kemampuan membeli barang kebutuhan sehari-hari.
Salah arah-kah pembangunan kita sehingga pendirian gedung-gedung mewah, infrastruktur ekonomi, rumah sakit dan sekolah-sekolah elit di pusat-pusat kota dapat berbarengan dengan banyaknya balita yang kurang gizi atau bahkan bergizi buruk serta banyaknya wanita subur yang menderita resiko kekurangan energi kronis (Khudori, 2003). Di satu sisi banyak warga negara yang gemar pesta, bergaya hidup glamour, hedonis, namun di sisi lain masih banyak anak-anak yang putus sekolah atau tidak tertampung di sekolah yang ada hingga sebagian terpaksa menghabiskan masa kecilnya di jalanan, berbaur dengan asap penyakit.
Ironis memang jika Indonesia diposisikan sebagai negara peringkat 112 HDI dunia. Indonesia memang negara yang pemerintah dan sebagian masyarakatnya miskin (terjerat hutang dan senantiasa mendatangkan hutang baru) namun pejabat pemerintahnya, elit ekonomi, dan politiknya sangat jauh sekedar untuk dikatakan hidup sederhana. Peringkat IPM Indonesia tersebut hanya menggambarkan bahwa ketimpangan dan ketidakadilan distribusi hasil pembangunan masih terjadi di negeri reformasi ini. Hal itu juga menunjukkan bahwa pembangunan manusia Indonesia secara utuh dan menyeluruh belum sepenuhnya diprioritaskan oleh para pengambil kebijakan politik-ekonomi kita.
Dapat dipahami bahwa kondisi kemiskinan dari 38,39 juta orang yang merupakan 19% dari penduduk total tahun 2003 (Hari Sabarno, 2003) tidak cukup menjadi perhatian besar bagi negara besar seperti Indonesia. Program-program yang ditujukan untuk mengurangi kemiskinan masih belum menyentuh aspek pembangunan manusia bagi penduduk miskin yang ada.
Amartya Sen dalam bukunya “Development as Freedom” mengutarakan bahwa penyebab kemiskinan dan keterbelakangan adalah persoalan aksesibilitas. Akibat keterbatasan dan ketertiadaan akses maka manusia mempunyai keterbatasan (bahkan tak ada pilihan) untuk mengembangkan hidupnya, kecuali menjalankan apa terpaksa saat ini yang dapat dilakukan (bukan yang seharusnya bisa dilakukan). Akibatnya potensi manusia untuk mengembangkan hidupnya menjadi terhambat (Bambang Ismawan, 2002).
Berpijak pada konsep pemenuhan kebutuhan dasar manusia, akses terhadap pemenuhan kebutuhan sehari-hari (dalam wujud daya beli), akses terhadap fasilitas kesehatan yang murah dan memadai, serta akses untuk menikmati setiap jenjang pendidikan adalah prasyarat minimal bagi tercapainya kesejahteraan masyarakat. Pemikiran ini sudah jauh-jauh hari dirumuskan oleh founding father kita, yang dituangkan dalam UUD 1945, landasan konstitusi tertinggi kita. Masih ingatkah kita dengan pasal 29, pasal 31, pasal 33, dan pasal 34 UUD 1945 (yang diamandemen menjadi UUD 2002)?.
Pasal-pasal tersebut telah jelas dan tegas mengamanatkan bahwa akses terhadap penghidupan yang layak, termasuk kesehatan dan pendidikan adalah hak setiap warga negara. Bahkan kondisi ideal yang diatur hukum kita adalah bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara, tentu saja dengan penekanan pada kewajiban pemerintah, baik di pusat maupun daerah.
Pembangunan selama 58 tahun tidak bisa dipungkiri telah membawa kemajuan yang berarti, khususnya di bidang sarana-prasarana sosial dan ekonomi. Telah banyak rumah sakit, puskesmas, sekolah, dan pusat-pusat kegiatan ekonomi dibangun. Namun sayangnya pembangunan ini tidak diikuti dengan persebaran akses secara merata ke seluruh lapisan masyarakat di Indonesia. Fenomena ketimpangan akses adalah kondisi awal yang menimbulkan kondisi berikutnya yaitu kemiskinan masyarakat. Akses sosial terhadap kesehatan dan pendidikan adalah milik mereka yang berpunya (the have) karena prasyarat memanfaatkannya adalah daya beli (uang) yang sulit dipenuhi oleh mereka yang “the have not”, atau dalam istilah strukturalis, golongan kelas bawah (underclass).
Daya beli kelompok masyarakat ini sudah dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka, yaitu pangan, sandang, dan papan (kalau memungkinkan). Mujur bagi mereka, pemerintah dan sebagian masyarakat masih memiliki cukup kepekaan sosial untuk memperhatikan mereka dengan merancang program-program bertajuk penanggulanganan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Program Anti Kemiskinan
Program-program penanggulangan kemiskinan membawa sejuta harapan untuk memperbaharui hidup masyarakat miskin, baik di kota maupun di desa. Program kemiskinan dirancang dengan berbagai model pendekatan yang dianggap cocok dan efektif untuk menolong penduduk miskin, mulai dari pendekatan sektoral, regional, dan pendekatan langsung. Program-program yang saat ini masih dijalankan secara nasional meliputi Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), dan program lain yang dibuat oleh pemerintah dan masyarakat di tingkat lokal.
Berbagai program tersebut menumpukan ide dasarnya pada model dana bergulir, yang diharapkan dapat digunakan untuk mengembangkan usaha, memberdayakan masyarakat, dan membangun ekonomi rakyat. Namun sayangnya, kembali pada ide awal pemenuhan akses bagi masyarakat paling miskin (the poorest), program-program tersebut seringkali tidak dapat dengan mudah diakses oleh mereka yang benar-benar termiskin. Karena program dilaksanakan di satu wilayah administratif tertentu (RW atau kelurahan), maka sulit bagi masyarakat miskin di luar wilayah adminstratif tersebut untuk mengakses program (the outer program). Seperti halnya mereka yang hidup dan tinggal di jalan (termasuk anak terlantar), di pinggir-pinggir sungai, ataupun yang tinggal di pemukiman-pemukiman kumuh, jembatan, stasiun, dan terminal, apapun profesi mereka.
Termasuk juga yang kurang beruntung terjebak dalam pekerjaan yang bertentangan dengan moral dan agama.
Sementara dana program kemiskinan di wilayah administratif tertentu didistribusikan kepada masyarakat lokal, yang belum tentu miskin dan membutuhkan. Dengan model seperti itu ada kemungkinan penyaluran dana program lebih didasarkan pada kapasitas/kemampuan pengembalian dana, karena pertimbangan resiko dan sulitnya (tidak mau?) menemukan warga yang benar-benar miskin di wilayah tersebut. Padahal sudah ratusan milyar, bahkan trilyunan rupiah (sejak krisis moneter 1997) dana yang disalurkan untuk mengurangi kemiskinan di negara kita, sejauh ini belum jelas ukuran hasilnya selain berita yang diungkapkan UNDP di muka.
Ada dugaan bahwa dana program penanggulangan kemiskinan tidak benar-benar disalurkan hanya untuk penduduk miskin saja, sehingga hasil program tidak terlalu signifikan dibanding dana yang telah dikucurkan. Perlu ada pembuktian dari pemerintah selaku pelaksana program untuk menunjukkan bahwa program kemiskinan telah tepat sasaran dengan derajat ketepatan tertentu. Sehingga dapat disimpulkan seberapa besar akses masyarakat yang benar-benar miskin terhadap program penanggulangan kemiskinan tersebut.
Di sisi lain program penanggulangan kemiskinan yang selama ini dilakukan belum sepenuhnya berorientasi pada pembangunan manusia. Pada umumnya orientasi program lebih ditujukan pada kelancaran perguliran dana, rendahnya kredit macet, dan pemupukan modal bagi usaha anggota program.
Belum terlihat jelas bagaimanakah model dan orientasi pembangunan manusia yang diharapkan dari program tersebut. Orientasi pembangunan manusia berarti pemenuhan akses penduduk miskin terhadap kesehatan, pendidikan, dan kesempatan ekonomi yang memadai dan terjangkau daya beli mereka (bahkan gratis). Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) di bidang pendidikan dan kesehatan belum dapat digunakan sebagai instrumen yang berkelanjutan (sustainable) karena programnya yang bersifat pertolongan darurat (emergency rescue), berjangka pendek (crash program) dan terbatas (belum meluas).
Harapan yang mungkin adalah menggeser orientasi program penanggulangan kemiskinan yang sekarang ada (seperti PPK dan P2KP) untuk mengkaitkannya dengan pemenuhan akses penduduk termiskin peserta program terhadap kesehatan dan pendidikan. Dengan model lain pemerintah dapat mengambil kebijakan pendidikan dan kesehatan murah (gratis) bagi penduduk termiskin peserta program dan penduduk miskin di luar program (the outer program). Pemberlakuan model dana pinjaman usaha dari program penanggulangan kemiskinan tidak akan efektif tanpa kemudahan akses penduduk miskin terhadap pemenuhan kebutuhan dasar berupa kesehatan dan pendidikan yang murah dan memadai. Bagaimana penduduk miskin dapat meningkatkan penghasilannya melalui program kemiskinan jika ketika dia sakit atau bermaksud menyekolahkan anaknya harus mengeluarkan biaya banyak yang membebaninya.
“Restrukturisasi” Akses
Tidak saja perubahan paradigma pembangunan, dari orientasi pertumbuhan ke orientasi pemerataan, seperti diungkapkan Kwik Kian Gie (Republika, Juli 2003), yang perlu kita lakukan menanggapi penurunan peringkat IPM kita. Lebih dari itu negara kita memerlukan sebuah perubahan struktural yang dimanifestasikan dari kebijakan dan program-program pemerintah yang lebih adil, manusiawi, demokratis, dan memihak rakyat kecil/penduduk miskin. Perubahan struktural memerlukan adanya mekanisme yang jelas untuk menjamin terjadinya redistribusi pendapatan antar anggota masyarakat, dari mereka yang “the have” ke mereka yang “the have not” atau “have little”.. Kita tidak perlu memperdebatkan landasan kebijakan ini karena telah jelas digariskan dalam dasar hukum agama maupun konstitusi bangsa Indonesia.
Yang perlu dilakukan bukan sekedar model jaminan sosial ataupun proteksi sosial, yang lebih terkesan karikatif, namun sebuah mekanisme struktural berupa “restrukturisasi” akses bagi penduduk miskin, yang meliputi akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan ekonomi (kesempatan usaha dan pekerjaan). Mekanisme ini relatif lebih mungkin dilakukan dengan mengunakan instrumen struktur anggaran negara (APBN) dan struktur program penanggulangan kemiskinan yang telah ada.
Melalui instrumen anggaran negara, pemerintah menjalankan “restrukturisasi” akses dengan mengalokasikan dana yang lebih besar di bidang kesehatan dan pendidikan tertuju pada penduduk miskin (sosial-ekonomi lemah). Bagaimanapun kedua bidang ini adalah investasi yang sangat strategis bagi masa depan negara kita. Apakah kita tidak belajar pada masa lalu, manakala investasi asing (terbesar di bidang ekonomi) dianggap sebagai dewa kemajuan pembangunan. pertumbuhan ekonomi, dan kesempatan kerja bagi masyarakat kita? Dan kita buktikan sendiri hasilnya, krisis moneter yang diikuti krisis di segala sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, disertai penurunan kualitas pembangunan manusia (HDI) kita.
Adalah sesuai pemikiran Prof Mubyarto bahwa selama kurun waktu 4 tahun setelah krisis (1999-2002), disaat investasi lesu dan banyak terjadi pelarian modal ke luar negeri, pertumbuhan ekonomi kita (kurang lebih sebesar 3,5%) ditopang oleh investasi sosial-ekonomi rakyat. Mereka adalah pelaku-pelaku ekonomi kecil, bahkan miskin, yang dapat menunjukkan kekuatan, kepercayaan diri, dan daya tahan menghadapi kondisi sulit dengan mengandalkan modal sosial (social capital) dan sedikit modal usaha yang mereka miliki. Dan kini pemerintah kembali berharap bahwa investasi asing adalah kunci pemulihan ekonomi nasional. Ya, pemulihan ekonomi menuju kondisi awal sebelum krisis berupa kondisi yang timpang, penuh ketidakadilan, dan pengabaian hak-hak dasar masyarakat.
Pemerintah dan DPR sendirilah yang perlu melakukan investasi, bukan hanya penonjolan pada investasi asing dan pengeluaran untuk belanja rutin saja. Investasi pemerintah yang paling strategis bagi pembangunan manusia Indonesia adalah di bidang pendidikan dan kesehatan, melalui alokasi dana APBN yang lebih besar di kedua bidang tersebut. Dana ini dapat dialokasikan ke dalam struktur dana program penanggulangan kemiskinan atau melalui mekanisme tersendiri yang diatur bersama-sama pemerintah dan DPR melalui landasan hukum yang jelas. Tidak cukup banyakkah anggaran yang sudah dialokasikan ke elit politik/ekonomi, melalui pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi perbankan, tunjangan, dan biaya “studi banding” ke luar negeri?
“Restrukturisasi” akses juga perlu dilakukan melalui perubahan paradigma dan perubahan struktural program anti kemiskinan yang berskala nasional dan melibatkan dana yang cukup besar. Masih terkesan bahwa dana yang disalurkan ke penduduk miskin dimaknai sebagai “bantuan”, baik oleh pengelola program ataupun masyarakat miskin itu sendiri. Sehingga penting untuk dibangun paradigma program anti kemiskinan yang berorientasi pada penguatan hak masyarakat miskin sebagai dasar bagi paradigma pembangunan manusia dalam program tersebut. Penduduk miskin hanya dapat membangun diri dan kemanusiaannya apabila ia sadar dan paham akan hak-hak dasar hidupnya di Indonesia, untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan,, dan penghidupan yang layak (kesempatan berusaha).
Perubahan struktural program anti kemiskinan yang berorientasi pemerataan akses dan pembangunan manusia dapat dijalankan melalui dua cara, yaitu restrukturisasi keanggotaan dan restrukturisasi alokasi dana program. Restrukturisasi anggota program berarti meninjau kembali profil masyarakat yang mengakses dana program, apakah dia benar-benar miskin dan membutuhkan, ataukah dia sekedar ingin melakukan ekspansi usaha. Masyarakat yang tidak miskin relatif tidak mengalami kesulitan dalam mengembangkan diri dan mengakses fasilitas sosial-ekonomi yang mereka butuhkan. Sehingga dengan dana program yang terbatas, dapat dialokasikan untuk penduduk yang benar-benar miskin, terutama yang saat ini masih belum terjangkau program (the outer program). Mereka adalah kelompok masyarakat yang rentan, tidak berdaya, dan perlu dibantu mendapatkan hak akses sosial-ekonomi untuk membangun dirinya.
Restrukturisasi alokasi dana program dilakukan dengan memberikan porsi yang cukup untuk akses kebutuhan dasar penduduk miskin peserta program dan di luar program seperti akses kesehatan dan pendidikan. Dana program anti kemiskinan tidak hanya diperuntukkan sebagai modal usaha melainkan juga sebagai dana cadangan bagi anggotanya yang membutuhkan akses pendidikan dan kesehatan. Jika dimungkinkan dana ini disalurkan secara gratis, namun jika belum memungkinkan dana ini dapat disalurkan melalui kredit lunak yang murah dan berjangka panjang, sehingga dapat dijadikan dana bergulir di bidang pendidikan dan kesehatan. Cara lain adalah melalui kerja sama antara pengelola program dengan institusi kesehatan dan pendidikan terkait sehingga dihasilkan struktur pembiayaan yang murah dan memadai bagi penduduk miskin.
Yang perlu dicatat adalah ketepatan sasaran program bagi penduduk yang benar-benar miskin dan sedapat mungkin sumber pembiayaan berasal dari dana program, anggaran pemerintah, atau sumber lain yang tidak memberatkan penduduk miskin. Hal ini memang dipengaruhi seberapa besar komitmen pengelola program dan pemerintah untuk benar-benar memperhatikan nasib dan hak-hak penduduk miskin serta seberapa besar alokasi anggaran (APBN dan APBD) yang dapat disediakan, khususnya untuk bidang pendidikan dan kesehatan penduduk miskin. Namun kita perlu tetap optimis bahwa suara hati masih sangat dipegang teguh di negeri ini. Memang kita perlu lebih giat untuk menyuarakan :“ “restrukturisasi” akses untuk penduduk miskin”.
Subscribe to:
Posts (Atom)