Awan Santosa
Pasar bebas makin merajai denyut malam di kota-kota besar, tak terkecuali di Jogja. Pasar bebas, yang dipuja kaum neoliberal, menjelma di tempat-tempat hiburan malam, dari kelas elit sampai kelas jelata. Pemodal yang selalu bergairah memburu rente bertemu manusia-manusia “lapar”, yang setiap keinginannya mesti dipenuhi. Kebebasan menjadi dewa bagi perilaku ekonomi yang makin meminggirkan Tuhan. Tidak ada kamus etika, moral, dan norma dalam cara meraup uang dan media meneguk kepuasan bagi mereka.
Pasar bebas menumbuhkan klub malam yang menjadi ajang menghamburkan uang. Ia lah yang mampu mematok harga aqua Rp 7.500, air es Rp 9.000, bir Rp 25.000, di klub yang relatif “murahan”. Ia juga lah yang memiliki keperkasaan mengobral sambil mengeksploitasi perempuan. Tubuh, suara, dan gerakan dinominalkan dalam geliat sexy dancer, kontes rok mini, dan semacamnya. Semua demi menuruti “kebutuhan manusia yang tak terbatas”, sehingga terus dan terus mencari sarana pemuasan pribadi. Tak peduli makin menjadi Machiavelis.
Jogja masih kota budaya dan kota pendidikan, namun pasar bebas tidak peduli hal itu. Dia terus saja mengepakkan sayap hegemoninya. Bahkan makin ahli menyelinap di ruang-ruang kelas dan mengisi otak-otak penuntut ilmu dengan ajarannya. Ia selalu meyakinkan bahwa manusia adalah makhluk ekonomi (homo economicus) yang harus mengejar kepentingannya sendiri. Kita diajarkan untuk meraup laba sebanyak-banyaknya dengan terus bersaing sebebas-bebasnya.
Pasar bebas memojokkan Jogja yang makin mengalami hipokrisi alias berkepribadian ganda. Pendidikan dimajukan namun perilaku ekonomi dibebaskan. Pagi kuliah moral, yang dicampaknya di bak sampah ketika masuk klub malam. Begitu juga, budaya diagung-agungkan tapi hedonisme makin tumbuh subur. Etika dilestarikan namun ekonomisme dipeluk makin erat. Sampai kapan kita bertahan dengan kontradiksi-kontradiksi ini?
Kuliah “Ekonomika Etik” dalam program Kuliah Esktrakurikuler Ekonomi Pancasila (KEEP) tanggal 23 April yang lalu makin mengilhami saya perihal fenomena ini. Makin “glamour”nya Jogja di malam hari, dalam perspektif ekonomika etik akan membawa implikasi mengerikan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Pangkal masalah dan dampaknya bukan sekedar pada meluasnya degradasi moral. Ini adalah tentang matinya kemanusiaan, hilangnya nasionalisme, rapuhnya demokrasi ekonomi, dan jalan yang tidak lagi lurus menuju keadilan. Mengapa bisa begitu?
Luka perih orang miskin seakan makin disayat-sayat tatkala gaya hidup mewah dan efek pamer dipampangkan di depan mereka. Matinya kemanusiaan terjadi ketika kepekaan untuk berbagi tenggelam di balik glamournya pesta-pesta malam. Murungnya wajah gadis cilik di perempatan jalan-jalan Jogja tak lagi mengusik perasaan mereka. Mestikah menunggu dahsyatnya “bencana kemanusiaan” seperti terjadi di daerah lain? Beberapa siswa di Jawa Barat nekat bunuh diri karena tidak mampu membayar uang sekolah. Banyak anak putus sekolah dan gedung sekolah yang rusak,... )bersambung)
Sunday, May 22, 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment