PENDIDIKAN EKONOMI PANCASILA
-another economics is inevitable-
Awan Santosa
Dalam tiga tahun terakhir, terbit dua buku yang sama-sama mengejutkan. Buku pertama yang terbit tahun 2002 ditulis oleh John Pilger, jurnalis Australia yang tinggal di Inggris, dengan judul The New Rulers of The World (Verso, 2002). Buku yang dikutip Kwik Kian Gie dalam Kongres Indonesia Raya tahun 2004 ini di antaranya mengulas fakta dibalik dimulainya liberalisasi ekonomi Indonesia sejak tahun 1967. Pilger yang merujuk analisis dokumen historis Jeffrey Winters dan Brad Sampson mengungkap latar belakang diadakannya Konperensi Jenewa 1967 (awal Orde Baru) yang disponsori oleh Time-Life Corporation.
Konperensi yang disebutnya sebagai “pertemuan merancang pengambilalihan Indonesia” itu diikuti oleh korporat raksasa Barat dan ekonom-ekonom top Indonesia yang kemudian dikenal sebagai “Berkeley Mafia”. Konperensi 3 hari itu berbuah “kaplingisasi” kekayaan alam di Indonesia. Freeport mendapat gunung tembaga di Papua Barat, Konsorsium Eropa menguasai nikel di Papua Barat, Alcoa mendapat bagian terbesar bouksit di Indonesia, dan kelompok perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatera, Papua Barat, dan Kalimantan.
Buku kedua, yang terbit dua tahun sesudahnya, ditulis oleh John Perkins dengan judul Confessions of an Economic Hit Man (Berret-Koehler, 2004), tidak kalah menghebohkan. Perkins menulis “pengakuan dosanya” sebagai mantan “agen” ekonomi Pemerintah (AS) yang dalam kurun waktu 1971-1980 ikut “menjerumuskan” beberapa negara Asia dan Amerika Selatan seperti Panama, Equador, Colombia, Iran, termasuk Indonesia (sebagai “korban pertamanya”), dalam kubangan (jebakan) utang luar negeri dan ketergantungan politik-ekonomi kepada korporat dan pemerintah AS.
Perkins yang berpredikat sebagai “pemukul ekonomi” atau “Economic Hit Man” (EHM), megemban dua misi, yaitu memastikan bahwa utang LN yang diberikan akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek konstruksi raksasa milik perusahaan konsultan Perkins dan korporat-korporat AS, dan kemudian “membangkrutkan” negara pengutang agar selamanya tunduk pada kreditor. Proyek-proyek raksasa ini didisain untuk memenuhi kepentingan-kepentingan ekonomi-politik mereka seperti tersedianya pangkalan militer, suara di PBB, akses atas minyak, dan akses terhadap sumber daya alam lainnya.
Perkins memaparkan bahwa korporatokrasi yang dikembangkan melalui misi-misi EHM lebih berbahaya dari sekedar suatu konspirasi. Sistem ini tidak dikendalikan oleh segelintir kecil orang, melainkan oleh konsep yang sudah diterima layaknya kitab suci, bahwa setiap pertumbuhan ekonomi pasti bermanfaat bagi setiap manusia. Makin tinggi pertumbuhan ekonomi, makin besar pula manfaat yang diperoleh. Korporat, bank, dan pemerintah, sebagai agen korporatokrasi, menggunakan kekuasaan dan modal mereka untuk memastikan bahwa sekolah, bisnis, dan media, selalu mendukung konsep yang salah ini. Mereka menggiring kita untuk percaya bahwa kebudayaan global AS adalah mesin dahsyat yang membutuhkan peningkatan konsumsi (bahan bakar dan pemeliharaan), termasuk meningkatnya biaya hidup yang harus dipenuhi berapapun besarnya.
Dalam kasus Indonesia, EHM menjalankan kepentingan korporat dan pemerintah AS dengan dalih menjaga Indonesia dari pengaruh komunis yang masih eksis di Vietnam, Laos, dan Kamboja (1971-1975). EHM meyakinkan bahwa pembangunan sistem perlistrikan terpadu di Jawa merupakan kunci mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Perkins, sebagai “ekonom”, bertugas untuk memperkirakan kenaikan pertumbuhan ekonomi dengan perkiraan kuantitaif-matematis, yang kemudian menjadi legitimasi bagi Indonesia untuk memperoleh utang luar negeri.
Utang diberikan dengan syarat proyek dikerjakan oleh konsultan dan korporat yang diajukan oleh tim EHM, setelah nilai utang digelembungkan (mark-up) dari nilai riil proyeknya. Dengan cara ini, industri minyak dan perusahaan-perusahaan kaitannya (pelabuhan, pipa, dan konstruksi) makin tergantung pada sistem perlistrikan yang disediakan oleh tim EHM. Fakta selanjutnya kita tahu bahwa Indonesia disebut sebagai salah satu keajaiban pertumbuhan ekonomi Asia (East Asian economic miracle), yang ironisnya makin terjebak utang (debt-trap), berpredikat negara terkorup, sehingga kebijakan ekonomi-politiknya banyak tergantung pada negara-negara (lembaga) asing seperti CGI, IMF, dan Bank Dunia.
Bukan Sekedar Konspirasi
Kedua buku itu telah menginspirasi dua hal. Pertama, sangat tepat untuk menjawab skeptisisme ekonom neoklasik perihal neoliberalisme, setidaknya yang diwakili oleh ekonom LPEM UI, Chatib Basri dan M. Ikhsan (Gatra, April 2005), dan kedua, menjawab pertanyaan mengapa kita perlu mengembangkan dan menyebarluaskan ideologi, sistem, dan ilmu ekonomi Pancasila. Perlu diketahui bahwa Ekonomi Pancasila dikembangkan Prof. Mubyarto dkk sebagai alternatif terhadap ilmu ekonomi konvensional (neoklasik-Barat) yang menjadi mainstream dalam pendidikan ekonomi kita. Di samping itu ekonomi Pancasila juga diposisikan untuk membendung berkembangnya ideologi dan sistem ekonomi kapitalis-neoliberal di Indonesia.
Lalu, apa hubungan buku Pilger dan Perkins dengan Chatib Basri dan M. Ikhsan? Kaitannya akan nampak jika kita membaca pernyataan kedua ekonom ini dalam majalah Gatra edisi no 23 tahun XI (hal. 136). Mereka sama-sama mengelak disebut sebagai penganut paham neoliberalisme. Chatib Basri menyatakan bahwa ia “tidak mempunyai ideologi”, karena ia bertumpu pada kebijakan yang masuk akal tanpa basis ideologi, termasuk kepercayaannya pada peran negara dalam mensubsidi sektor pendidikan dan kesehatan. Sementara Ikhsan menyatakan bahwa neoliberalisme “hanya ada dalam angan-angan”, karena masyarakat Indonesia masih gandrung pada teori konspirasi. Pikiran adanya intervensi asing, termasuk oleh IMF dan lembaga donor, dianggapnya sebagai pengaruh teori konspirasi. Dalam acara Diskusi Kenaikan BBM (SCTV) kedua ekonom ini memang mengungkapkan hal yang sama untuk menanggapi kritik-kritik Revrisond Baswir dari PUSTEP-UGM perihal kepentingan asing (agen neolib) dalam liberalisasi pasar migas di Indonesia.
Sebagai ekonom yang sarannya sangat didengar pemerintah, saya harap mereka sudah membaca kedua buku tersebut. Jika memang iya, dan mereka masih tidak mau mengakui adanya intervensi asing di Indonesia dengan menuduh pikiran yang berbeda sebagai akibat teori konspirasi, salahkah jika banyak orang menilai mereka sebagai penganut neoliberalisme? Sejarah ekonomi bangsa yang sarat dengan eksploitasi dan sub-ordinasi asing sejak zaman VOC, tanam paksa, perkebunan-perkebunan kapitalis-liberal, kapitalis negara Orde Baru, Krismon 97, hingga datangnya IMF dengan LoI dan Program Penyesuaian Struktural, seharusnya mudah menjadi pelajaran “pahit” bahwa yang terjadi bukan sekedar konspirasi, melainkan hegemoni dan (neo) imperialisme.
Perspektif sejarah mengajarkan bahwa evolusi peradaban manusia, yang ditandai dengan kemajuan ekonomi, tidak serta merta diikuti evolusi kesadaran moral, politik, dan sosial-budaya, bahkan seringkali berlaku sebaliknya. Ekonom neolib yang juga seorang fundamentalis pasar cenderung mengabaikan (menyisihkan) analisis moral, politik, sosial, dan budaya (kelembagaan) dalam analisis ekonomi mereka yang makin positivistik, teknis, dan kuantitatif. Pengingkaran terhadap dianutnya ideologi tertentu adalah wujud dari ideologi itu sendiri. Itulah ideologinya market fundamentalis yang bertolakbelakang dengan ideologi Ekonomi Pancasila.
Ekonom memerlukan ideologi agar ia tidak ahistoris dan gagap dalam merancang masa depan bangsanya. Hal ini karena ideologi merupakan refleksi atau respon terhadap kondisi kesejarahan yang kemudian menjadi gagasan tentang masa depan. Sebagai contoh, nasionalisme lahir melawan penjajahan, demokrasi lahir dari dominasi dan otoritarianisme, dan sosialisme lahir dari penghisapan dan penindasan (Dawam Rahardjo, 2005). Keengganan ekonom neolib untuk mengaitkan ekonomi dengan ideologi bangsa (Pancasila) dalam perspektif ini dapat dipahami sebagai penolakan mereka untuk belajar dari sejarah bangsa sendiri, dan tidak ingin merancang masa depan bangsa secara mandiri. Mereka makin terpukau pada globalisme ajaran pasar bebas, sehingga tidak mewaspadai globalisasi ekonomi yang dikendalikan oleh korporat dan pemerintah negara maju.
Mindset Alternatif
Pelajaran lain dari buku Pilger dan Perkins, dan tentu saja menilik cara berpikir ekonomi kedua ekonom UI tersebut adalah, bahwa kita harus melakukan “revolusi mindset” melalui pengembangan ilmu ekonomi Ekonomi Pancasila. Mayoritas ekonom dan teknokrat sementara ini masih skeptis terhadap keberadaan (eksistensi) dan urgensi Ekonomi Pancasila sebagai alternatif ekonomi konvensional. Padahal, gugatan terhadap ilmu tersebut sudah dilakukan melalui tulisan-tulisan (buku-buku) pemikir utama Ekonomi Pancasila yaitu Prof. Mubyarto, Prof. Sri-Edi Swasono, dan Prof. Dawam Rahardjo sejak tahun 80-an.
Gugatan senada telah dilontarkan pakar-pakar ekonomi dunia seperti Paul Ormerod (The Death of Economics), Steve Keen (Debunking Economics), Stiglitz (The Roaring Nineties), Paul Ekins (Real-Life Economics), Nelson (Economics as Religion), dan dapat pula dirujuk pada pemikiran Gunnar Myrdal, Heilbroner, Amartya Sen, T.M. Lunati, A. Etzioni, Umer Capra, Ted Trainer, dan L.C. Thurow, dan ilmuwan atau aktivis dunia lainnya.
Buku Pilger dan Perkins menunjukkan betapa pentingnya pendekatan multidisiplin yang merupakan pendekatan yang secara konsisten diterapkan ajaran Ekonomi Pancasila. Ekonomi Pancasila menganalisis fenomena dan masalah ekonomi tidak sekedar dari kajian ekonomi an sich, melainkan mengaitkannya dengan analisis sejarah, politik, filsafat moral/etika, sosiologi, dan antropologi, yang terang-terangan diabaikan dalam pendekatan ekonomi neoklasik-Barat. Masalah-masalah struktural ekonomi berupa ketimpangan, eksploitasi, dan sub-ordinasi terhadap pelaku ekonomi rakyat (kaum miskin) hanya bisa dilihat apabila pendekatan (kacamata) yang digunakan adalah kacamata ekonomi-historis, ekonomi politik, ekonomi sosiologi, dan ekonomi antropologi. Sayangnya pendekatan ekonomi kelembagaan yang multidipliner ini telah diabaikan dalam pendidikan ekonomi kita.
Pendekatan multidisiplin dan transdisiplin dimungkinkan jika ilmu ekonomi tidak sekedar mengasumsikan manusia sebagai homo economicus, melainkan juga sebagai homo socius dan homo ethicus. Dengan begitu, analisis ekonomi tidak seharusnya dipusatkan kepada individu yang selalu mengejar kepentingan pribadi (self-interest), berorientasi keuntungan pribadi (profit orientation), dan selalu bersaing bebas (free-competition).
Sebagai homo ethicus dan homo socius, manusia memiliki pertimbangan moral/etika (agama) dan sosial yang mendorongnya untuk tidak mau dikendalikan pasar yang materialistis, melainkan mengutamakan kepentingan bersama dalam suatu tatanan masyarakat yang berasas kekeluargaan (brotherhood) dan kebersamaan (mutualism). Kesejahteraan sosial tidak dapat dianggap sebagai manifestasi kesejahteraan individu yang masing-masing mengejar kepentingan mereka sendiri (Swasono, 2005). Itulah asumsi dasar yang dibangun dalam ilmu ekonomi Pancasila.
Pendekatan dan asumsi di atas dibangun atas keyakinan bahwa ilmu ekonomi tidaklah bebas nilai (value-free), melainkan justru sarat nilai (value-ladden-istilah Gunnar Myrdal-). Sistem dan ilmu ekonomi sangat terkait dengan ideologi, sejarah, sistem nilai, dan sistem sosial-budaya (kelembagaan) masyarakat di mana sistem dan ilmu itu dikembangkan. Oleh karena itu dominasi paradigma positivistik yang menganggap kebenaran, relevansi, dan manfaat ilmu ekonomi konvensional (neoklasik-Barat) bersifat universal harus ditolak.
Positivisme hanya mengarahkan pendidikan ekonomi kita untuk semata-mata berorientasi Barat (Amerika), yang memiliki sejarah, ideologi, sistem nilai, dan sistem sosial-budaya, yang jelas berbeda dengan Indonesia. Oleh karena itu, sistem dan Ilmu ekonomi Indonesia harus digali dan dikembangkan berpijak pada realitas ekonomi (real-life economy) masyarakat Indonesia sendiri pula. Berdasar itulah ekonomi Pancasila dikembangkan melalui penelitian-penelitian lapangan tentang ekonomi rakyat Indonesia.
Untuk itu, pola pendidikan yang mendukung pengembangan ilmu ekonomi Pancasila adalah pendidikan yang menghadapkan peserta didik pada masalah-masalah ekonomi riil yang dihadapi rakyat Indonesia. Pola pendidikan seperti ini dikenal sebagai pendidikan hadap masalah (problem-posing education), yang merupakan alternatif bagi pola pendidikan yang hanya mendorong peserta didik untuk menghapal sebanyak mungkin materi untuk diujikan di akhir semester, yang disebut sebagai pendidikan gaya bank (banking education). Problem-posing education dilakukan dengan mengajak peserta didik untuk melakukan kajian (kunjungan) lapangan ke pelaku ekonomi rakyat seintensif mungkin. Mereka dapat juga diajak berdiskusi dan mengkritisi isu-isu ekonomi aktual (lokal dan nasional), terutama masalah-masalah yang dihadapi pelaku ekonomi rakyat, untuk bersama-sama mencari cara-cara pemecahannya.
Terakhir, buku Pilger dan Perkins, serta mindset dua ekonom UI di atas, makin menunjukkan kegunaan (nilai manfaat) pengembangan Ekonomi Pancasila. Pendidikan ekonomi berbasis ilmu ekonomi konvensional (Barat) mendorong tumbuh-kembangnya mindset kapitalis-neoliberal, yang sejalan dengan cita-cita sistem kapitalis-neoliberal yaitu terbentuknya masyarakat berkelimpahan barang dan jasa (affluent society).
Pendidikan ekonomi konvensional tidak mampu mendobrak ketimpangan (ketidakdilan) struktural, kemiskinan struktural, kerusakan alam (lingkungan), meluasnya degradasi moral, dan merenggangnya kohesivitas sosial. Pendidikan seperti ini tidak mampu melihat faktor-faktor di luar ekonomi (politik, sosial, budaya) dan fakta-fakta politik-ideologis yang mengabaikan nalar teoritik-keilmuan, yang sangat berpengaruh dalam kebijakan ekonomi. Akibat lebih pahit berbentuk pikiran kita yang makin terjajah (terhegemoni) dan ekonomi kita yang tereksploitasi (rekolonialisasi) oleh kekuatan korporatokrasi imperium global (Mubyarto, 2005).
Ekonomi Pancasila dikembangkan untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang terwujud dalam tatanan masyarakat adil dan makmur. Tujuan ini tidak akan sekedar menjadi utopia manakala landasan sistem dan ilmu Ekonomi Pancasila yaitu ekonomika etik (bukan materialistik), humanistik (anti eksploitasi dan sub-ordinasi), nasionalistik (bukan pasar bebas), dan kerakyatan (demokrasi ekonomi) digunakan dalam pengembangan sistem dan pendidikan ekonomi di Indonesia. Ini membutuhkan revolusi mindset bangsa yang sejauh ini makin kagum pada kemajuan fisik-material ekonomi Barat, yang ditopang oleh nilai-nilai hedonisme dan individualisme.
Pendidikan Ekonomi Pancasila berupaya membangun mindset pendidik dan peserta didik yang peka terhadap isu-isu (masalah) ketuhanan (agama, moral, dan etika), kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan. Kepekaan ini membuat kita memiliki gagasan-gagasan sendiri tentang masa depan ekonomi bangsa. Larut dan takluk pada imperium global hanya membuat bangsa Indonesia kehilangan jatidiri dan tak ubahnya seperti “kuli di negeri sendiri”. Inilah perjuangan panjang yang berpegang tidak saja pada semangat dunia yang lain adalah mungkin (another world is possible), melainkan juga ilmu ekonomi yang lain adalah mungkin (another economics is possible). Dalam bahasa lain, pendidikan ekonomi alternatif adalah tak terelakkan. Itulah pendidikan Ekonomi Pancasila.
Yogyakarta, 3 Mei 2005
BACAAN
Gatra, majalah, Edisi No 23 Tahun XI, April 2005
Mubyarto, 1998, Ekonomi Pancasila : Lintasan Pemikiran Mubyarto, Aditya Media, Yogyakarta
________ , 2002, A Development Alternative for Indonesia, Gama Press, Yogyakarta
________ , 2002, Ekonomi Pancasila : Landasan Pikir, Visi, dan Misi Pendirian PUSTEP-UGM, BPFE, Yogyakarta
________ , 2004, Neoliberalisme dan Krisis Ilmu Ekonomi, Aditya Media, Yogyakarta
________ , 2004, Ekonomi Pasar Populis, Aditya Media, Yogyakarta
________ , 2004, Pendidikan Ekonomi Kita, Aditya Media, Yogyakarta
________ , 2004, Teknokrat dan Ekonomi Pancasila, Aditya Media, Yogyakarta
Perkins, John, 2004, Confession of an Economic Hit Man, Berret-Koehler Pub. Inc, San Fransisco
Pilger, John, 2002, The New Rulers of The World, Verso, London
Rahardjo, Dawam, 2004, Ekonomi Pancasila : Jalan Lurus Menuju Masyarakat Adil dan Makmur, Aditya Media, Yogyakarta
_______ , Ekonomi Pancasila dalam Tinjauan Filsafat Ilmu, Sistem, dan Konstitusi, makalah Kuliah Ekstrakurikuler Ekonomi Pancasila, 9 April 2005
Swasono, Sri-Edi, 2003, Ekspose Ekonomika : Mewaspadai Globalisme dan Pasar Bebas, PUSTEP-UGM, Yogyakarta
________ , 2004, Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan : Mutualism and Brotherhood, UNJ-Press, Jakarta
________ , 2005, Daulat Pasar vs Daulat Rakyat, PUSTEP-UGM, Yogyakarta
Wednesday, May 11, 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment