Awan Santosa
Dalam seminar di Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM, Prof. Sri Edi Swasono mengungkapkan cara berpikir ekonomi yang menarik untuk dikaji. Seperti halnya terdapat dalam gagasan Ekonomi Pancasila yang dikembangkan Prof. Mubyarto, Prof. Sri Edi Swasono menumpukan perhatian dan analisisnya pada perilaku ekonomi manusia yang paling mendasar. Manusia sejak lahir membawa dua “kecenderungan”, yang dalam istilah biologi kita kenal dengan gen. Kecenderungan itu adalah; Pertama, kecenderungan manusia sebagai makhluk ekonomi (homo economicus) dan kedua, kecenderungan manusia sebagai makhluk etik/moral (homo ethicus atau homo moralis). Kedua sifat dasar tersebut berkembang sesuai dengan keadaan individu dan lingkungan yang mempengaruhinya. Bisa jadi sifat dasar manusia sebagai homo economicus-nya yang menonjol, atau pula yang sebaliknya, manusia tersebut mengedepankan sifat dasarnya sebagai homo ethicus, walau tentu yang terbaik adalah penyeimbangan keduanya. Kalau kita perhatikan, maka perilaku ekonomi, baik individu maupun masyarakat sangat terkait dengan sifat dasar manakah yang dominan dalam diri mereka.
Akumulasi dari berbagai karakter yang melandasi perilaku ekonomi tersebut akan mempengaruhi corak ekonomi yang terbentuk dalam suatu masyarakat atau negara. Kalau kita cermati, mau tidak mau harus kita akui bahwa corak ekonomi yang saat ini masih dominan adalah kapitalisme. Suatu corak ekonomi yang didasarkan pada perilaku ekonomi untuk selalu mementingkan diri sendiri (self interest), motivasi utama meraih laba (profit oriented), dan strategi pencapaian tujuan dengan bersaing sebebas bebasnya (free fight competition dan liberalisme). Menarik untuk dikaji, Prof Sri Edi Swasono mengungkapkan bahwa kapitalisme mempunyai “gen jahat” dalam dirinya, yaitu serakah, eksploitatif, materialistis, dan individualis.
Walaupun saat ini sulit kita temukan corak kapitalisme murni/ortodok seperti pada awal perkembangannya, namun pada dasarnya transformasi kapitalisme ke dalam berbagai bentuk/corak sistem ekonomi tetap tidak dapat melepaskan karakter dasar “gen jahat” nya tersebut. Corak dominan ideologi dan moral kapitalisme saat ini telah merambah pada segenap perilaku ekonomi individu atau masyarakat, yang tumpuan dasarnya adalah pengedepanan sifat homo economicus daripada homo ethicus/moralis. Perilaku ini tidak saja ditunjukkan oleh para elit yang berkuasa baik pemerintah, elit partai, elit bisnis, elit masyarakat, namun juga sudah mulai berkembang di dataran masyarakat biasa (rakyat kecil), dan inilah yang perlu kita waspadai.
Erotisme dan Moral Ekonomi
Marilah kita kaitkan pemikiran di atas dengan mengambil contoh sederhana yang sudah menjadi fenomena di masyarakat dan negara kita. Adalah artis-artis dangdut populer (yang kemudian paling fenomenal “penyanyi dangdut erotis” Daratista) telah menimbulkan pro-kontra di masyarakat karena penampilan “goyang ngebor, goyang patah-patah”, dan goyang erotis lain, yang berbuntut kontroversi, kecaman, pencekalan, termasuk pula dukungan dan pembelaan. Mereka yang pro berargumen bahwa aktivitas penyanyi (penari?) dangdut tersebut adalah salah satu bentuk kreasi dan ekspresi seni, yang jika dihalangi tentu saja akan melanggar HAM, keadilan, kebebasan berekspresi, dan kesempatan ekonomi, bahkan melecehkan perempuan. Mengapa harus “penyanyi dangdut erotis”?, begitu pembelaan yang sering mereka lontarkan.
Pada umumnya yang melontarkan suara-suara ini adalah beberapa dari kalangan bisnis, aktivis demokrasi, dan gerakan perempuan di Indonesia. Sementara yang kontra berpandangan bahwa goyangan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai agama, merusak moral bangsa, dan merendahkan harkat dan martabat manusia terutama kaum wanita. Diantara yang gencar menyuarakan pandangan tersebut adalah MUI, beberapa PemKot, kaum agama, dan terakhir Rhoma Irama, dengan “gerakan moralnya” yang berusaha mengubah “perilaku” “penyanyi dangdut erotis”.
Kalau kita mau arif, sejujurnya terdapat faktor di luar “penyanyi dangdut erotis” yang sangat berpengaruh dalam menimbulkan kontroversi, seperti halnya antusiasme masyarakat penonton “penyanyi dangdut erotis” sendiri, belum jelasnya landasan hukum (UU) tentang pornografi/pornoaksi, dan kaburnya pemehaman moralitas dan etika dalam masyarakat yang sedang mengalami transformasi sosial. Dalam tulisan ini analisis ditujukan untuk memperhatikan perilaku “penyanyi dangdut erotis” dalam kontek pelaku kesenian rakyat (musik dangdut) yang menurut saya tidak dapat dipisahkan dengan perilaku ekonomi mereka sebagai pelaku-pelaku ekonomi rakyat itu sendiri. Dengan menggunakan analisis perilaku ekonomi, seperti yang telah diuraikan di muka, maka kita bisa mendapatkan suatu pemahaman baru terhadap fenomena “goyang erotis” tersebut.
Salah satu konsep mendasar yang dapat dijadikan acuan adalah konsep Ekonomi Pancasila, yang dikembangkan oleh Prof Mubyarto. Dalam diktum pertama konsep Ekonomi Pancasila ditegaskan bahwa “roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral”. Jelas disini bahwa setiap perilaku ekonomi individu atau masyarakat seharusnya didasarkan tidak saja pada upaya untuk mendapatkan untung (secara ekonomi), namun juga harus didasarkan pada pertimbangan moral, yang sumbernya dapat diperoleh dari agama, budaya, dan etika.ral dan etika, sehingga kebebasan tersebut tidak diartikan dengan kebebasan penuh (liberalisme). Perihal rumusan etika dan moral tersebut dapat kita rujuk pada nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat secara umum (normal) dan nilai-nilai agama yang bersumber dari ajaran Tuhan Yang Maha Esa.
Menggunakan kerangka berpikir Prof. Sri Edi Swasono, secara logis dapat kita sampaikan bahwa perilaku “penyanyi dangdut erotis” dkk lebih mengedepankan perilaku manusia sebagai makhluk ekonomi (homo economicus), dengan mengabaikan konsepsi manusia sebagai homo ethicus/moralis, seperti halnya “watak” kapitalisme. Dalam hal ini tidak saja penyanyi dangdut, manajemen, dan produsernya yang telah berperilaku ekonomi mengabaikan prinsip homo ethicus, namun juga media massa (TV) dan pelaku bisnis (lewat iklan mereka), yang telah mengeruk keuntungan tanpa memprtimbangkan moral, selain juga tempat-tempat hiburan dan pelaku bisnis entertainment yang melibatkan penyanyi-penyanyi tersebut. “Gen jahat” kapitalisme nampaknya bukan sekedar konsepsi/asumsi teoritik semata, namun dapat kita lihat dalam fenomena perilaku ekonomi yang sederhana. Sungguh berbahaya apabila “gen jahat kapitalisme” ini sudah mulai menyebar di masyarakat kita. Kerusakan moral, eksploitasi manusia, persaingan saling mematikan (liberalisme), dan memudarnya nilai-nilai sosial masyarakat akan menjadi keadaan akhir dari perkembangannya yang tidak terkendali.
Selain pertimbangan moral, kegiatan ekonomi juga harus didasarkan pada pertimbangan sosial, artinya jangan sampai kegiatan ekonomi tersebut merugikan orang lain atau masyarakat dalam skala yang luas. Sepintas memang pihak yang dirugikan secara khusus/spesifik oleh penampilan “penyanyi dangdut erotis” dkk susah ditemukenali, kecuali sebatas pandangan terjadinya penggerogotan moral atas masyarakat umum. Namun sebenarnya perilaku tersebut dapat dirasakan dampak riilnya yang merugikan secara sosial, setidaknya pada dua elemen bangsa, yaitu anak-anak dan kaum perempuan. Tayangan “goyang erotis” yang dapat dengan mudah diakses di TV telah memberikan pendidikan yang buruk kepada anak-anak kita. Bagaimanakah perasaan anda jika anak-anak perempuan anda meniru-niru dengan “rasa suka” tarian/goyang erotis tersebut?.
Itu yang terjadi dan membuktikan bahwa pendidikan anak kita telah “terkontaminasi” akibat perilaku yang banyak dipengaruhi “gen jahat kapitalisme”. Lalu, bagaimana perasaan anda sebagai perempuan jika sesuatu yang sangat anda jaga (nilainya), ternyata “diobral” oleh orang lain, hanya atas nama “kebebasan dan kesempatan ekonomi”? Tidakkah anda merasa dirugikan? Atau justru anda merasa bangga, karena sesuai prinsip ekonomi, dengan “harga yang murah” maka lebih banyak orang yang dapat membeli/menikmatinya? Virus kapitalisme mengajarkan kepada kaum perempuan untuk “memasarkan” produk berupa fisik mereka, atas nama “permintaan pasar (masyarakat)” yang ujung-ujungnya adalah keuntungan finansial.
Memang “watak kapitalisme” lebih banyak mendominasi perilaku ekonomi kaum elit, baik elit politik maupun bisnis (pengusaha besar). Bahwa kegiatan ekonomi mereka pun seringkali tidak mempertimbangkan moral, merugikan rakyat banyak, dan mengabaikan kepentingan sosial sudah jelas tidak sesuai dengan gagasan ekonomi yang berfalsafahkan moral Pancasila. Namun kita tentu tidak rela apabila “watak kapitalisme” itu juga menghinggapi pelaku ekonomi kecil, ekonomi rakyat kita. Saya menghargai bahwa “penyanyi dangdut erotis” dkk adalah pelaku ekonomi rakyat (awalnya), namun karena “omzet”,“pendapatannya”, dan “segmen/skala usahanya” sudah jauh lebih tinggi dari semula, maka apakah tepat apabila kita masih mengkaitkan “penyanyi dangdut erotis” sebagai icon perjuangan (seni dan ekonomi) rakyat kecil?.Begitu mudahkah. belenggu “watak kapitalisme” menjerat pelaku ekonomi rakyat kita? Sebagai simpulan dari pendekatan perilaku ekonomi ini, dapat digariskan bahwa perilaku ekonomi sudah seharusnya didasarkan pada pertimbangan tidak saja ekonomi melainkan moral, etika, dan sosial. Kegiatan ekonomi terutama didasarkan pada dua manifestasi manusia tidak saja sebagai homo economicus, melainkan juga sebagai homo ethicus/ homo moralis.
Character Building Bangsa
Pelajaran yang dapat kita gali dan gunakan untuk menyikapi fenomena tersebut adalah pelajaran sejarah (historis). Jika pemimpin bangsa kita mau kembali belajar pada sejarah, maka bercerminlah pada tokoh-tokoh pendiri dan pemikir bangsa yang sangat peduli dengan berbagai permasalahan rakyatnya. Adalah Bung Karno yang sangat populer dengan gagasan character building-nya, yang beranggapan bahwa karakter, mental, dan moral bangsa harus dibangun berbarengan dengan pembangunan material. Bahkan semangat ini sempat diwujudkan dengan langkah nyata gerakan-gerakan nasional yang populer, semisal gerakan “ganyang you can see” (Alwi Shihab, Republika, /5/2003). Gerakan ini dilakukan untuk melakukan perlawanan kultural terhadap dominasi budaya berpakaian ala barat, yang dapat merusak karakter/moral bangsa. Sehingga pada waktu itu terjadi juga “pencekalan” terhadap aktivitas-aktivitas seni yang berbau barat, seperti dansa, musik ngik-ngok, yang tidak sesuai dengan semangat revolusi.
Terlepas dari kontroversi kebijakan Bung Karno tersebut, tidakkah dapat kita ambil pelajaran, betapa perhatiannya beliau terhadap moralitas bangsa? Dan kalau kita lihat sekarang bagaimanakah sikap pemerintah? Sementara gerakan-gerakan yang kontra “goyang erotis” justru dianggap (oleh berbagai pihak yang pro) menghambat kesempatan ekonomi rakyat, mengekang kebebasan berekspresi rakyat. Bangsa seperti apakah kita ini? Jika kita mau berpikir jernih, kita harus melihat tidak saja sistem di luar “penyanyi dangdut erotis”, melainkan juga sistem yang melingkupi “penyanyi dangdut erotis” tersebut.
Bung Hatta yang sangat peduli dalam penegakan hak-hak asasi manusia, untuk tidak diekplotasi, untuk tidak hanya memikirkan diri sendiri (homo economicus), dan semangat untuk melawan liberalisme yang merupakan ruh dari imperialisme dalam segala bentuknya. Tulisan Bung Hatta, “Ekonomi Rakyat Dalam Bahaya”, memberi pelajaran kepada kita bahwa saat inipun ekonomi rakyat kita sedang dalam bahaya jika mengadopsi perilaku ekonomi yang berwatak kapitalistik, liberal dan menafikan etika/moral. Apakah tidak kita sadari bahwa “penyanyi dangdut erotis” adalah “korban” eksploitasi “watak kapitalisme” yang jahat dan serakah, yang saat ini tengah mencoba merambah segenap sendi-sendi masyarakat. sehingga pandangan dan nilai-nilai yang kita gunakan pun makin “terkontaminasi” oleh nilai-nilai kapitalisme.
Terakhir, R.A. Kartini sebagai pejuang emansipasi Indonesia yang berusaha menyejajarkan kaum perempuan dengan lelaki, meniadakan diskriminasi, dan eksploitasi terhadap perempuan. Apakah yang dilakukan R.A. Kartini untuk mencapai tujuan mulianya tersebut? Apakah dengan “menonjolkan dan memasarkan” keindahan tubuh perempuan yang tidak dimilki kaum laki-laki (atas nama seni dan keindahan)? Apakah dengan mengeksploitasi kecantikannya, kelembutannya, dan keanggunannya untuk ditunjukkan kepada orang banyak?. Tentu saja tidak!. Beliau melakukannya dengan melakukan pendidikan, melalui pemikiran-pemikirannya, dan melalui kiprahnya di masyarakat secara nyata. Sesuai dengan ajaran R.A Kartini, pantaskah apabila mereka yang kontra “goyang erotis” disebut sebagai “melecehkan” perempuan, melakukan diskriminasi terhadap hak-hak kaum perempuan? Saya kira mereka yang aktif dalam gerakan perempuan dapat menjawabnya sendiri. Rasanya kita (terutama pemimpin-pemimpin kita) perlu kembali belajar pada sejarah bangsa kita yang telah melahirkan tokoh-tokoh besar dengan segenap pemikiran dan kiprah mereka, untuk selalu bertekad memerangi liberalisme, kapitalisme, dan imperialisme dalam segala bentuk dan perilakunya.
Sebagai penutup kiranya perlu kita sadari bahwa fenomena kontroversi “goyang erotis” adalah momentum bagi bangsa kita untuk merefleksi kembali perjalan hidupnya sebagai bangsa yang berkeTuhanan, berkemanusiaan, bersatu, berkerakyatan, dan berkeadilan. Kita perlu melakukan koreksi kembali terhadap paradigma dan ideologi yang melatarbelakangi perilaku ekonomi bangsa kita. Jangan sampai “watak kapitalisme” benar-benar merasuk dalam cara berpikir dan berperilaku kita. Oleh karena itu penyeimbangan antara pertimbangan moral dan ekonomi mutlak diperlukan, selain penyelarasan antara manifestasi sifat dasar manusia sebagai homo economicus dan homo ethicus/homo moralis. Kita harus melihat penyanyi-penyanyi yang masih menonjolkan “goyang erotis”nya sebagai manusia, yang masih banyak kemungkinan untuk berubah. Namun perilaku yang menonjolkan kebebasan penuh (liberal) dan tidak sesuai dengan muatan moral, etika dan snilai sosial itulah yang perlu untuk dilawan dengan cara-cara yang santun dan elegan. Kebebasan dan kesempatan ekonomi tentu saja berbatasan dengan nilai-nilai moral dan etika, yang dalam sistem ekonomi sejalan dengan konsep Ekonomi Pancasila. Saatnya kita kembali belajar dari sejarah para tokoh pendiri bangsa kita.
Thursday, May 12, 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment