Awan Santosa
Ketika anda memutuskan satu hal, bayangkan gambaran orang termiskin yang pernah anda temui dan tanyakan kepada mereka, apa keputusan tersebut akan menolongnya. Jika jawabannya positif ambillah keputusan tanpa menunggu waktu
Ghandi
Membongkar ‘Mitos Klasik’
‘Sindrom takut utang’, itulah yang dirasakan oleh sebagian penduduk miskin di Kabupaten Kulon Progo, yang mengakibatkan mereka sama sekali belum tersentuh program-program dana bergulir. Kondisi psikologis ini pada umumnya timbul karena ‘ketidakpercayaan diri’ akan kemampuan mereka dalam mengembalikan pinjaman, atau bayangan mereka tentang sistem kredit yang ‘rumit, eksklusif, dan modern’. Di luar itu, persepsi yang keliru terhadap ‘kinerja’ penduduk miskin dalam aktivitas simpan-pinjam juga turut berperan dalam ‘mengasingkan’ mereka dari program-program yang menjadi ‘hak’ mereka.
Pandangan-pandangan aparat, pengelola program, bahkan masyarakat sendiri sudah ‘melembaga’ karena berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama, sehingga sudah berkembang jauh menjadi ‘mitos’, yang sebenarnya keliru. ‘Mitos klasik’ ini beranggapan bahwa penduduk miskin mempunyai ‘predikat’ yang jelek dalam mengelola atau memanfaatkan sumber-sumber keuangan. Mereka tidak dapat dipercaya, sumber potensial ‘penunggak’ pinjaman, dan bukan tipikal ‘wirausahawan’ yang gigih. Sehingga diambil kesimpulan bahwa menyalurkan kredit kepada penduduk miskin adalah tidak efisien, tidak menjamin kelangsungan dana, dan tidak akan produktif.
Mitos ini berujung pada pesimisme dan ketidakpercayaan terhadap penduduk miskin, yang mengakibatkan mereka pun menjadi lebih ‘tidak percaya diri’ lagi. Tanpa disadari, mitos ini juga telah menelikung banyak ‘pihak’ yang terlibat dalam pengembangan model keuangan mikro melalui program-program penanggulangan kemiskinan. Banyak program, yang pada awalnya dikhususkan untuk penduduk miskin, namun kemudian ‘menghalalkan’ orang non-miskin untuk ikut mengakses program tersebut. Sampai akhirnya ‘perhatian’ yang utamanya untuk memberdayakan penduduk miskin telah ‘dikalahkan’ untuk ‘memanajemen’ dana program yang kian hari kian banyak ‘permintaan’. Memang, di satu sisi sebagian penduduk miskin mengalami ‘sindrom takut utang’, namun di sisi lain ada orang non-miskin yang mengalami ‘sindrom berburu utang’, yaitu utang yang berbunga murah, prosedur mudah, dan ‘sanksi’ lemah. Kedua pihak ini sama-sama membutuhkan kredit yang tentu saja dengan jumlah (skala) berbeda.
Keadaan ini juga dipengaruhi oleh dianutnya nilai-nilai yang dianggap modern sebagai ukuran keberhasilan program, yang sebenarnya juga tidak lebih dari sekedar ‘mitos’. Aparat dan pengelola program mudah merasa ‘bangga’ jika program yang mereka kelola telah berhasil menumpuk modal (aset), ataupun nasabah dalam jumlah yang besar. Mereka beranggapan itulah hakikat efisiensi yang menjadi tujuan dana bergulir. Sebagian dari mereka lupa bahwa jika keberhasilan program harus diukur, maka ukuran yang paling masuk akal adalah sejauh mana program tersebut telah menolong penduduk miskin keluar dari kondisi mereka. Ukuran ini mensyaratkan bahwa nilai efektifitas juga tidak kalah penting (bahkan lebih penting) dari sekedar mengejar efisiensi (dalam wujud pemupukan modal/aset) semata.
Dana bergulir dinilai efektif apabila tepat sasaran kepada penduduk miskin yang selalu aktif berusaha (economic activally poor), bukannya jatuh kepada orang non-miskin yang sudah mampu berhubungan dengan bank atau lembaga keuangan lain. Lebih lanjut banyaknya nasabah program kredit tanpa pemetaan seberapa besar persentase penduduk miskin adalah contoh lain ukuran keberhasilan program yang hanya sekedar ‘mitos’. Mungkinkah ada kesepakatan untuk menegaskan batas toleransi peminjam non-miskin (non-poor borrowers) sebagai kompromi kepentingan seperti halnya konsep batas toleransi tunggakan (non-performing loans) dalam kredit bergulir?
Sungguh mengkhawatirkan jika saat ini banyak program (pengelola program?) yang nampak ragu-ragu untuk kembali menjadikan penduduk miskin sebagai ‘orientasi perjuangan’-nya. Hal ini karena pengaruh mitos-mitos keliru yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya melalui kajian-kajian empirik di lapangan. Patut diduga bahwa mitos-mitos ini dikembangkan untuk ‘melegitimasi’ kecenderungan yang saat ini sudah telanjur terjadi tentang sasaran program yang sarat dengan kepentingan. Budaya masyarakat tradisional yang lekat dengan nilai-nilai kebersamaan (gotong royong) menjadi rentan untuk dimanipulasi sesuai dengan kepentingan bisnis berburu utang.
Tanpa kita sadari pula terminologi pemberdayaan penduduk miskin telah digantikan dengan wacana-wacana pemberdayaan Usaha Kecil Menengah (UKM), yang kini mengakomodir sektor usaha mikro (UMKM). Sehingga banyak orang lebih suka menggunakan istilah ‘usaha mikro’ dibanding usaha ekonomi penduduk miskin (ekonomi rakyat) karena pengertian usaha mikro yang ‘lebih luwes’, dimana pengusaha berpenghasilan Rp 1 juta sampai dengan Rp 2 juta pun dapat disebut sebagai ‘usaha mikro’. Padahal inilah yang potensial menumbuhkan ‘predator-predator’ dalam mengakses sumber keuangan bagi penduduk miskin.
Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro di Kulon Progo diharapkan dapat menjadi ‘resep’ untuk ‘membongkar’ mitos yang melemahkan upaya penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan ekonomi rakyat tersebut. Patut disayangkan apabila aparatur pemerintah dan calon pengelola LKM tidak secara tegas memposisikan penduduk miskin sebagai ‘target perjuangan’ pengembangan LKM. Bukan saja karena terkungkung oleh kepercayaan terhadap mitos yang keliru, namun juga karena hal tersebut berarti mengingkari sejarah awal pengembangan LKM dalam forum Micro-credit Summit di Washington tahun 1997, yang ditujukan untuk menanggulangi kemiskinan 100 juta keluarga miskin di seluruh dunia, termasuk 10 juta di antaranya di Indonesia. Pengembangan LKM merupakan upaya untuk membuktikan bahwa penduduk miskin memiliki tanggung jawab dan kemampuan untuk mengelola dan memanfaatkan sumber-sumber permodalan.
The Microfinance Institutions (MFIs) are in the process of destroying several very old myths : the poor are not creditworthy; they are not reliable borrowers; they are not resourceful enough to make savings; they are bad investors and even worse enterpreneur. The MFIs are demonstrating the exact opposite. They are showing in practice that the poor have a saving sense, do save, and are reliable borrowers. (Jacques B Gelinas, 1998: 108)
Ada baiknya Pemkab Kulon Progo meresapi ungkapan Ghandi untuk ‘belajar mendengar aspirasi orang miskin’, yang selalu memiliki cara untuk bertahan hidup dalam segala keterbatasannya, sebelum memutuskan model LKM yang sedang digagas oleh Tim Pemkab. Apakah model tersebut sesuai (sederhana dan familiar) bagi mereka, dapat membantu mereka, dan benar-benar dapat dimanfaatkan oleh mereka, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang perlu dipertimbangkan oleh Tim Pemkab.
Menuju Pola ‘Mobile Banking’
Belajar dari pengalaman mengamati persepsi dan tradisi penduduk miskin di perdesaan, maka perlu dikembangkan model LKM yang ‘sesuai’ dengan tipikal penduduk miskin tersebut. Mungkin kita tidak perlu malu untuk ‘belajar’ kepada ‘rentenir’ yang telah memiliki sejarah panjang dalam berinteraksi dengan penduduk miskin (umumnya pedagang kecil). Rentenir, yang populer disebut dengan ‘lintah darat’, selalu berusaha secara proaktif untuk memenuhi kebutuhan modal penduduk miskin. Sebagai imbalan atas kesediaannya ‘keluar-masuk’ rumah orang, pasar, atau tempat-tempat umum lainnya, mereka mematok bunga yang sangat tinggi, sehingga karena tingginya beban bunga tersebut mereka sebenarnya sedang ‘mencekik’ nasabah mereka. Namun karena merasa butuh, mudah untuk didapatkan, dan cepat prosesnya, para pedagang kecil tetap memanfaatkan ‘jasa’ rentenir. Kini, setelah banyak program kredit mikro yang digulirkan kepada masyarakat, peran rentenir semakin terpinggirkan. Namun, apakah ini berarti penduduk miskin semakin memiliki keinginan kuat untuk berhubungan dengan program-program tersebut? Seperti telah diuraikan dimuka, mereka tetap saja mengalami ‘hambatan psikologis’ dan ‘hambatan struktural’ untuk dapat mengakses sumber modal yang mereka butuhkan.
Pola-pola kredit mikro yang sederhana dan familiar dapat diwujudkan dengan menggunakan model ‘mobile banking’, yaitu sistem penyaluran kredit yang mengandalkan mobilitas layanan dari pengelola LKM. Jika penduduk miskin merasa ‘tidak nyaman’ atau ‘sungkan’ untuk datang ke kantor pelayanan LKM, maka petugas LKM-lah yang harus ‘rajin’ mendatangi rumha-rumah atau pertemuan-pertemuan (arisan simpan pinjam) yang diadakan oleh penduduk miskin. Model ini sudah banyak dipakai oleh LSM yang mereplikasi LKM di luar negeri seperti Grameen Bank di Bangladesh. Di Bangladesh, dan juga negara lain di Afrika (Pantai Gading) dan Kamerun), dan di India, sudah banyak dikembangkan model ‘mobile banking’ tersebut.
Para petugas lembaga keuangan di negara-negara tersebut ‘berkeliling’ untuk ‘melayani’ nasabah mereka yang termasuk penduduk miskin. ‘Mobile banking’ tidak saja menyediakan kredit murah yang dibutuhkan oleh penduduk miskin, melainkan juga melayani jasa tabungan yang dihimpun dari penduduk miskin itu juga. Demikian keberadaan ‘mobile banking’ benar-benar dapat berfungsi sebagai perantara keuangan (financial intermediatory) khususnya bagi penduduk miskin yang pada umumnya perempuan petani, pedagang, dan pengrajin yang ‘alergi’ dengan bank konvensional.
In Ivory Coast, the use of mobile bankings is the most common from of saving and acces to credit for the vast majority of women. These thousands of peasants, saleswomen, smallcraftwomen would never enter a bank ‘out of fear, because they think that banks are for the rich, or simply because they are illiterate’. Says Jeanne Kouao, a CIFAD representative (Comite’ International des Femines Africaines Pour le de’velopment) in Ivory Coast. In her oppinion, the use of mobile bankings fits with traditional society customs, where one reaches out to parents and friends when in need of money.
Pengelola program bukan hanya ‘pasif menunggu’ kedatangan penduduk miskin, melainkan berupaya mendatangi mereka untuk melihat dan mengidentifikasi keadaan serta kebutuhan-kebutuhan mereka akan pinjaman. Hal ini tentu saja membutuhkan keahlian dan komitmen untuk dapat ‘memetakan’ kemiskinan di wilayah kerja mereka, serta memahami persepsi dan karakteristik penduduk miskin setempat. Dengan metode ini lebih terbuka kemungkinan untuk melakukan fungsi-fungsi pemberdayaan terhadap penduduk miskin secara lebih terbuka dan partisipatif. Sayangnya, metode ini lebih banyak diterapkan secara ‘keblinger’ oleh para rentenir yang dibalik ‘cara baik’-nya tersebut tersimpan maksud menghisap uang para pedagang dan petani di Indonesia. Banyak jenis kredit mikro yang dikucurkan kepada usaha mikro yang karena ‘metode’ atau ‘pendekatannya’ tidak ‘familiar’ belum sepenuhnya dapat dimanfaatkan penduduk miskin. Pola mobile banking dapat diterapkan dalam rencana pendirian LKM baru di Kulon Progo. LKM yang dibentuk oleh Pemda jangan sampai terlalu menekankan pada pola ‘birokrasi’ yang justru menghambat perkembangan peran LKM untuk memberdayakan penduduk miskin.
Thursday, May 12, 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment