Awan Santosa
Kaum intelegensia Indonesia mempunyai tradisi yang baik dalam menentukan nasib bangsa. Selagi rakyat yang banyak masih berselimut dengan kegelapan, kaum terpelajarlah yang membukakan matanya bahwa ia mempunyai hak atas hidup sebagai bangsa yang merdeka. (Hatta, 1966)
Latar Belakang : Potret Buram Pendidikan
Keprihatinan umum terhadap sistem pendidikan kita adalah kegagalannya dalam memaknai proses “memanusiakan manusia” yang bahkan cenderung mengarah pada dehumanisasi peserta didik. Pendidikan terjebak dalam formalisme tranfer materi (pengetahuan) semata dengan melupakan hakekat tujuan dan idealisasi pencerahan dan proses penyadaran yang melatarbelakanginya. Lebih parah lagi, pendidikan terhegemoni virus kapitalisme yang menularkan ajaran individualisme, rasionalisme, dan materialisme, dan hanya menganggap peserta didik sebagai alat produksi, bagian kecil (sekrup) operasional agen kapitalisme global. Akibatnya, pendidikan tercerabut dari akar sosial-budaya lokal, tidak peduli dengan keadaan dan masalah yang dialami peserta didik, dan hanya menghasilkan manusia (lulusan) yang “terasing” dari lingkungannya sendiri.
Pendidikan gagal dalam mengemban hakekat luhurnya sebagai media perubahan sosial-politik dan ekonomi yang menjadi jembatan mobilitas vertikal bagi rakyat kecil. Pendidikan justru menjadi alat untuk melegitimasi dan melanggengkan sistem dan struktur politik-ekonomi yang timpang, yang lebih berpihak pada kaum pemilik modal dan tidak aspiratif bagi si miskin. Pada masa Orde Baru, pendidikan terjebak hegemoni negara yang selalu diintervensi, terkooptasi, dan digunakan sebagai alat politik rezim Soeharto. Setelah reformasi, hegemoni negara mulai surut (otonomi) karena pemerintah (negara) telah “bangkrut” sehingga tidak mampu (tidak mau) lagi menanggung sepenuhnya beban anggaran pendidikan. Sebagai gantinya, pendidikan kita telah jatuh ke “pangkuan” pasar yang dikuasai oleh korporat raksasa (asing) dan birokrat oportunis, sehingga makin liberal (kehilangan jati diri), pro-pasar (market oriented), dan didesain sesuai kepentingan mereka.
Pendidikan di perdesaan (pedalaman) tidak luput dari skenario sistem perekonomian yang menempatkan desa sebagai periferal (underbow) dan pemasok kebutuhan perkotaan dengan kontraprestasi yang sangat minimal. Anak-anak dan pemuda desa di pedalaman dididik dengan ajaran-ajaran “modern” bahwa kota besar adalah sumber penghidupan, barang-barang produksi perusahaan sangat mereka butuhkan, dan bahwa desa adalah “kegelapan” dan kota adalah “kebahagiaan hidup”. Mereka dididik dengan buku-buku teks (Barat) yang sama dengan yang ada di kota-kota besar dengan cara mengajar yang lebih kaku dan tidak inovatif. Alhasil, mereka “awam” dengan potensi, masalah, dan kebutuhan mereka sendiri. Maraklah urbanisasi, mengadu nasib di luar negeri, pemukiman kumuh, anak jalanan, yang sering berakhir penggusuran, penipuan, dan eksploitasi yang merampas hak-hak kemanusiaan mereka. Demikian pendidikan yang tidak berorientasi kepentingan rakyat dan pembangunan di tingkat lokal (daerah/desa) telah menjerumuskan SDM desa pada situasi keterjepitan ekonomi dan terampasnya harkat dan martabat sebagai manusia dan warga negara.
Idealita Kampus Rakyat
Kampus rakyat atau kampus kerakyatan hendaknya tidak dimaknai sekedar melihat dari proses seleksi masuk ke UGM yang membuka akses seluas-luasnya pada rakyat banyak. Oleh karenanya, pembicaraan perihal kampus rakyat tidak boleh berhenti sebatas pada diskursus pendidikan murah. Bukannya isu ini tidak penting, namun harus disadari bahwa eksistensi kampus rakyat juga dipengaruhi berbagai faktor-faktor fundamental dalam setiap proses pendidikan. Melihat “derajat kerakyatan” UGM dapat dilakukan melalui telaah kebijakan birokrat kampus dalam hal pembiayaan pendidikan. Sementara, dalam kontek keilmuan kita perlu mengkaji sistem, pendekatan, ajaran-ajaran, dan metodologi pendidikan (pengajaran) ilmu ekonomi, termasuk visi civitas akademika (dosen dan mahasiswa) dan kualitas lulusan yang dihasilkan.
Kampus rakyat harus dimaknai sebagai komitmen total civitas akademikanya untuk memikirkan dan memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan rakyat. Hal ini dilakukan dengan mengembangkan ilmu-ilmu yang sesuai dan bermanfaat bagi rakyat banyak. Disain pendidikan harus berpijak pada realitas sosial-ekonomi rakyat dan berorientasi pada pemecahan masalah-masalah yang dihadapi rakyat. UGM layak menyandang predikat sebagai kampus rakyat hanya jika tiap-tiap disiplin ilmu (fakultas) berupaya mengembangkan pendidikan yang bervisi kerakyatan. Fakultas Teknik bervisi kampus teknologi rakyat, Fakultas Pertanian sebagai kampus pertanian rakyat, Fakultas Isipol sebagai kampus politik kerakyatan, Fakultas Hukum sebagai kampus hukum kerakyatan, termasuk Fakultas Ekonomi sudah sewajarnya membangun visi sebagai kampus ekonomi rakyat.
Visi ini berguna untuk mengukur kualitas manusia yang dihasilkan dalam proses pendidikan. Lulusan FE UGM berkualitas bukan sekedar diukur dari penguasaannya terhadap materi ajar dan alat analisis ekonomi, melainkan dilihat dari kemampuannya membangun visi, idealisme, komitmen sosial, dan sikap untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Mereka bukanlah manusia yang tidak sanggup mandiri, berwawasan sempit, tanpa kemauan membangun daerah, dan sekedar “sarjana tukang” (sarjana textbook) yang gagap ideologi dan menafikan sejarah. Lulusan yang dilahirkan bukanlah intelektual-intelektual yang egois (individualis), pragmatis, dan lupa (tidak mau tahu) nasib rakyatnya.
Kaum intelektual adalah kaum yang bertanggung jawab atas kemajuan suatu bangsa: namun apabila mereka tidak dapat lepas dari empat penjara manusia, mereka tidak ada bedanya dengan kuda-kuda penarik kereta. Empat penjara manusia yang dimaksud adalah penjara alam, penjara sejarah, penjara masyarakat, dan penjara ego. Tiga buah penjara yang disebutkan pertama adalah penjara-penjara yang mudah ditaklukkan oleh ilmu pengetahuan yang dimiliki para intelektual. Tetapi, yang keempat adalah penjara yang selama ini mengurung para intelektual bagaikan ayam petarung di dalam kandang sehingga tak terlihat tajinya. Penjara ego-lah yang membuat para intelektual hanya mengejar kepentingan sempit, menjadi egois, dan lupa nasib rakyat yang dulu pernah dan mungkin sedang mereka perjuangkan. (Ali Syariati)
Pendidikan Yang Menjauhi Rakyat
Ilmu ekonomi konvensional sudah banyak “digugat” pakar-pakar ekonomi “alternatif” seperti Paul Ormerod (The Death of Economics), Steve Keen (Debunking Economics), Stiglitz (The Roaring Nineties), Paul Ekins (Real-Life Economics), Nelson (Economics as Religion), dan sebagainya. FE UGM pun banyak dikritik (secara kelembagaan dan keilmuan) sebagai kampus yang “tidak merakyat”, “kapitalis”, bahkan Hartojo menganggap bahwa pendidikan ekonomi di FE UGM memperparah keterpurukan bangsa (KR, 2004). Prof Mubyarto selalu mengkritik dosen-dosen FE UGM yang mengajarkan ekonomi neoklasik Barat yang hanya sedikit berguna dalam memecahkan masalah ekonomi rakyat. Mengapa bisa begitu? Apa kaitan antara pendidikan ekonomi dan rendahnya “derajat kerakyatan” FE UGM? Beberapa poin berikut dapat dikaji bersama :
1. Metode pengajaran ekonomi yang sering dipakai adalah metode deduktif-logis (kuliah kelas), sehingga kurang memberi kesempatan mahasiswa untuk melakukan kajian lapangan dan berinteraksi dengan pelaku ekonomi rakyat. Pola yang terbangun kemudian adalah pola pendidikan gaya bank (banking education). Mahasiswa yang dianggap tidak tahu “dijejali” materi sebanyak-banyaknya (kadang tanpa tahu apa relevansi dan manfaatnya), untuk dihapalkan dan diujikan pada akhir semester.
2. Diskursus tentang ekonomi rakyat dan sistem ekonomi khas Indonesia tidak banyak berkembang. Diskursus ekonomi berpusat pada analisis manusia sebagai homo economicus yang selalu mengejar kepentingan pribadi (self interest) dan menonjolkan kompetitivisme. Diskursus ekonomi terlalu bias sektor modern (usaha besar di kota) dan terpaku pada kepercayaan terhadap pasar bebas dan globalisme.
3. Ilmu ekonomi diajarkan secara positif (bebas nilai) sesuai kontek di mana ilmu ini dikembangkan (Barat). Pendidikan ekonomi mengabaikan nilai-nilai sosial-budaya lokal dan peranan kelembagaan yang berpengaruh dalam kegiatan ekonomi rakyat.
4. Keberhasilan (kualitas) pendidikan ekonomi sering diukur dengan capaian-capaian kuantitatif seperti nilai tinggi, kuliah cepat, dan masa tunggu pekerjaan tidak lama, yang justru dapat memperpuruk kualitas itu sendiri. Ini akibat makin mahalnya biaya kuliah dan tuntutan pasar yang membuat mahasiswa tidak mempunyai banyak pilihan. Mengapa mahasiswa tidak diajarkan untuk mandiri (wirausaha/mengembangkan ekonomi rakyat)?
5. Dosen-dosen ekonomi umumnya enggan merespon wacana ekonomi rakyat dan sistem ekonomi alternatif yang memihak rakyat. Tidak banyak dosen yang serius melakukan penelitian ekonomi rakyat dan mempublikasikannya di penerbitan ilmiah. Sedikit dosen yang bersuara kritis mengkritik kebijakan pemerintah (privatisasi, utang LN, liberalisasi pertanian, dll) yang merugikan rakyat dan disampaikan sebagai pendidikan politik-ekonomi kepada rakyat. Dosen ekonomi jarang yang komit dengan masalah-masalah pendidikan ekonomi di sekolah lanjutan.
6. Mahasiswa ekonomi masih banyak yang pragmatis dan tidak peduli dengan wacana ekonomi rakyat padahal mereka masih disubsidi dari uang rakyat (dari dana APBN, APBD, dan dana perusahaan yang kerja sama dengan UGM).
7. Lulusan (sarjana) ekonomi sedikit yang responsif terhadap pendidikan ekonomi. Penelitian alumni perihal kurikulum di QUE IESP hanya sedikit ditanggapi alumni. Demikian pula halnya penelitian di Pustep UGM (topik perbaikan pendidikan ekonomi) responnya rendah dan lambat. Jarang alumni FE UGM yang terjun dalam lembaga-lembaga perjuangan ekonomi rakyat. Poin 5, 6, dan 7 banyak dipengaruhi sistem (ideologi) pendidikan ekonomi (poin 1-4) di atas.
Mahasiswa adalah intelektual muda yang paling mungkin berperan dalam mengembalikan jati diri FE UGM sebagai kampus rakyat, yang selalu mengembangkan ilmu-ilmu untuk kesejahteraan ekonomi rakyat. Sesuai kontek dan kompetensi keilmuan mahasiswa perlu membangun visi FE UGM sebagai Kampus Ekonomi Rakyat.
Menuju Kampus Ekonomi Rakyat
Pertanyaan yang sebelumnya harus dijawab adalah mengapa harus membangun visi untuk mengembangkan pendidikan ekonomi di FE UGM yang berpijak dan berpihak pada ekonomi rakyat? Berikut beberapa dasar pemikiran yang menguatkan pentingnya visi tersebut :
1. Pelaku ekonomi rakyat (usaha mikro/sektor informal) yang bergerak sebagai petani kecil, pedagang kecil, pengrajin kecil, nelayan kecil, industri rumah tangga, jasa, transportasi, dan usaha lainnya merupakan mayoritas pelaku usaha di Indonesia. Jumlah UKM di Indonesia lebih dari 40 juta atau 99% dari seluruh pelaku usaha nasional, yang terdiri dari 40.137.773 usaha kecil dan 57.743 usaha menengah. Sebanyak 97,6% (39 juta) dari jumlah usaha kecil yang menyerap 99,4% tenaga kerja di Indonesia adalah pelaku ekonomi rakyat (usaha mikro) (Ali Marwan Harnan, 2002). Dari 39 juta usaha mikro (sekitar 35 juta keluarga) terdapat sekitar 175 juta orang (asumsi satu keluarga lima jiwa) yang menggantungkan diri pada usaha ekonomi rakyat, yang berarti pula 83% penduduk Indonesia (dari total 210 juta jiwa) berkecimpung dalam usaha mikro (ekonomi rakyat) (Bambang Ismawan, 2002).
2. Ekonomi rakyat terbukti memiliki daya tahan yang tinggi dalam menghadapi badai krisis moneter tahun 1997/1998. Di saat perusahaan besar (konglomerat) bertumbangan sehingga menjadi beban pemerintah (rakyat) melalui BLBL, rekapitalisasi perbankan, dan restrukturisasi perusahaan, ekonomi rakyat tetap eksis karena memiliki kemandirian (tidak tergantung utang) dan kehati-hatian dalam berusaha. Namun, saat ini perusahaan besar masih dianggap sebagai kunci kemajuan ekonomi melalui investasi (asing) dan kemampuannya menciptakan pertumbuhan ekonomi.
3. Kemiskinan masih menjadi masalah besar bagi sekitar 35 juta pelaku ekonomi rakyat yang harus diprioritaskan penanggulangannya oleh pemerintah dan pihak-pihak yang berkompeten. Sementara, masih sedikit kajian-kajian atau teori berkaitan dengan sebab, akibat, dan solusi kemiskinan yang dikembangkan dan diajarkan pada peserta didik baik di sekolah lanjutan maupun di perguruan tinggi. Banyaknya program penanggulangan kemiskinan yang dikembangkan tanpa diikuti penurunan tingkat kemiskinan penduduk secara signifikan merupakan sinyal bahwa masih banyak aspek-aspek (masalah) yang belum digali (secara luas dan menyeluruh) terkait dengan realitas kemiskinan pelaku ekonomi rakyat.
4. Cita-cita salah satu founding father kita, Bung Hatta, untuk memajukan ekonomi rakyat menjadi warisan bagi kalangan (intelegensia) muda Indonesia : “Nasional, dalam arti membangun perekonomian rakyat..., bukan membangun kapitalisme nasional “ (1954).
5. Ekonomi Pancasila sebagai sebuah ilmu atau sistem (aturan main) yang lebih berorientasi pada upaya memajukan ekonomi rakyat dan memeratakan ekonomi nasional belum sepenuhnya diterima (dan dijalankan) oleh pemerintah. Dalam era globalisasi lebih besar bahaya bahwa sistem ekonomi nasional mengarah pada watak ekonomi kapitalisme-neoliberal yang dapat mengancam (meminggirkan) kehidupan ekonomi rakyat. Mengekor pada arus globalisme hanya membuat bangsa kita menjadi bangsa kacung (kuli di negeri sendiri). Gejala ini perlu disikapi dengan mengembangkan sistem dan ilmu ekonomi yang bercorak keIndonesiaan untuk mengisi sistem (ilmu) ekonomi nasional.
Visi FE UGM sebagai Kampus Ekonomi Rakyat tidak sekedar berhenti di atas kertas semata. Perlu ada langkah-langkah kongkret untuk mewujudkannya yang dipelopori oleh mahasiswa bekerja sama dengan pihak-pihak atau lembaga-lembaga yang berkompeten dan menaruh perhatian serius pada upaya pengembangan ekonomi rakyat di Indonesia. Beberapa upaya teoritis dan praksis yang dapat direkomendasikan mahasiswa (atau dilakukan sendiri bekerja sama dengan lembaga lain) kepada pengambil kebijakan kampus (fakultas) dan dosen adalah :
1. Mengunakan metode pengajaran induktif-empirik dengan mengajak mahasiswa melakukan kajian lapangan untuk menganalisis dan memikirkan cara-cara memecahkan masalah yang dihadapi ekonomi rakyat. Pola yang dikembangkan adalah pola pengajaran hadap masalah (problem posing education). Melalui ini baik mahasiswa maupun dosennya dapat belajar untuk mengembangkan konsep-konsep dan teori ekonomi yang sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi riil masyarakat.
2. Mengembangkan diskursus kritis perihal ekonomi rakyat yang dapat dilakukan melalui studi kasus-kasus aktual seperti penggusuran, eksploitasi TKW, Teluk Buyat, TNGM, pembangunan mall-mall, privatisasi BUMN, impor komoditi pertanian, dampak globalisasi, dan sebagainya. Diskursus lama perlu direvitalisasi dengan semangat pemberdayaan ekonomi rakyat seperti koperasi (kekeluargaan), ekonomi perdesaan, dan diskursus lain yang menonjolkan analisis manusia sebagai makhluk sosial yang harus bekerja sama satu sama lain..
3. Mengembangkan pendidikan ekonomi normatif, dikaitkan dengan ilmu moral (etika) dan ideologi nasional (Pancasila) yang sesuai dengan nilai-nilai sosial-budaya bangsa Indonesia. Mata kuliah Ekonomi Pancasila dan Ekonomi Rakyat perlu dimasukkan dalam kurikulum resmi.
4. Meninjau kembali kualitas yang dihasilkan dengan model pendidikan ekonomi saat ini. Perlu dimasukkan indikator kualitas yang terkait dengan kompetensi sarjana ekonomi dalam memecahkan masalah-masalah ekonomi rakyat, mampu dan mau memperjuangkan kesejahteraan ekonomi rakyat.
5. Menuntut pemerintah (negara) untuk bertanggung jawab terhadap pendidikan dengan mengalokasikan anggaran yang optimal sehingga dapat menekan biaya pendidikan di perguruan tinggi. Memperjuangkan mahasiswa miskin untuk mendapat akses yang luas dan sama di UGM, khususnya di FE UGM.
Demikian, tanggung jawab mahasiswa ekonomi untuk membangun visi FE UGM sebagai kampus ekonomi rakyat hanya dapat terwujud apabila mereka menjalankan perannya sebagai intelektual organik. Mereka adalah intelektual muda yang diharapkan Bung Hatta selalu proaktif ikut menentukan nasib bangsa, menyadarkan dan memperjuangkan hak-hak rakyat melalui organisasi-organisasi yang solid dan visioner. Harapannya adalah FE UGM menjadi kampus terdepan dalam mengembangkan ilmu ekonomi yang sesuai dan bermanfaat besar bagi ekonomi rakyat dan memperjuangkan gagsan-gagasan ekonomi untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Yogyakarta, 7 Agustus 2004
Thursday, May 12, 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment