Thursday, May 12, 2005

Banking of the Poor ala Kulon Progo

“BANKING OF THE POOR” ‘ala KULON PROGO

Awan Santosa


Krisis moneter 1997/1998 telah membuka kesadaran masyarakat Indonesia akan rapuhnya tatanan/sistem keuangan yang setelah liberalisasi keuangan (Pakto 1988) didominasi oleh banyak bank dalam skala besar. Terjadinya krisis juga membuat masyarakat paham bahwa perbankan nasional lebih banyak melayani pengusaha skala besar (konglomerat), yang sayangnya tidak bertanggung jawab dan berlindung di balik fasilitas (kemudahan) dari pemerintah. Bermula dari kegagalan sistem keuangan konvensional (yang liberal) tersebut saat ini mulai banyak dikembangkan pemikiran dan praktek lembaga keuangan mikro (LKM). LKM sudah memiliki akar sejarah yang cukup panjang di Indonesia. Beragam model perkumpulan arisan (simpan pinjam) yang dikembangkan di banyak daerah perdesaan merupakan contoh bahwa masyarakat kita sudah lekat dengan tradisi keuangan mikro.

Di sektor formal, keberadaan kredit skala kecil (kredit usaha perdesaan) yang dikembangkan BRI juga merupakan salah satu bentuk keuangan mikro yang melayani nasabah pengusaha kecil (miskin). Keuangan mikro juga telah lama dikembangkan melalui pengguliran dana dalam skema program penanggulangan kemiskinan, seperti IDT yang dilaksanakan mulai 1993/1994 selama tiga tahun. Program Takesra/Kukesra dilaksanakan pada tahun berikutnya di desa-desa non-IDT. Sampai saat ini pun program penanggulangan kemiskinan seperti PPK, P2KP, P4K, PDMDKE, dan program lainnya tetap dikembangkan melalui pendekatan keuangan mikro yang telah mengakar dalam tradisi sosial-ekonomi masyarakat. Kebijakan pemerintah yang lebih bias kepada usaha besar telah meminggirkan keuangan mikro, sehingga titik balik reformasi 1998 merupakan berkah bagi kebangkitan keuangan mikro di Indonesia.

Keuangan mikro memang selalu diidentikkan dengan upaya mengembangkan usaha mikro yang sekaligus juga merupakan cara menanggulangai kemiskinan penduduk. Namun begitu, pada saat ini tidak mudah untuk mengenali keterkaitan langsung antara keuangan mikro dengan upaya-upaya menanggulangi kemiskinan melalui program-program yang dikembangkan. Salah satu masalah mendasar adalah sering tidak tepatnya alokasi dana kepada sasaran orang miskin yang telah ditentukan. Alasan kehati-hatian, mengurangi resiko, dan efisiensi dana sering dijadikan dalih untuk menggeser orientasi alokasi dana ke orang yang dinilai lebih layak (mampu mengembalikan), lebih membutuhkan, dan lebih dapat dipercaya, walaupun dapat ditunjukkan sebenarnya bahwa penduduk miskin tidak memiliki “tradisi ngemplang”, seperti halnya tradisi yang justru ditumbuh-suburkan oleh pengusaha besar (konglomerat) di Indonesia.

Kriteria miskin (yang memang beragam) tidak lagi dipegang sebagai dasar penentuan skala prioritas penyaluran sumber daya keuangan dan pemberdayaan penduduk miskin. Kendala moral memang dihadapi tidak saja oleh pengelola keuangan yang berkecimpung dalam aktivitas sosial-ekonomi masyarakat yang memegang prinsip “sithik eding” atau “dum-dil” (dibagi rata), namun juga oleh banyaknya “orang mampu” di perdesaan yang tidak cukup peka terhadap masalah kemiskinan.

Di sisi lain, dalam aspek legal-formal, batasan mengenai skala usaha juga turut “mengkondisikan” terciptanya ruang-ruang pergeseran makna keuangan mikro dari tujuan/upaya penanggulangan kemiskinan. Walaupun “pengakuan” terhadap usaha mikro (ekonomi rakyat) telah mulai muncul namun pemberlakuan kriteria nilai omzet atau modal usaha mikro masih juga bias kepada “pengusaha besar” sehingga berpotensi menumbuhkan “predator-predator” yang siap berebut “kue pinjaman” berbunga murah, prosedur mudah, dan persyaratan ringan. Dalam PP No 5/1995 dan UU No 9/1995 misalnya, usaha kecil didefinisikan sebagai usaha dengan kategori omset maksimal 1 milyar, yang berarti usaha yang beromset Rp. 999 juta pun (nilai yang sangat besar dalam pandangan petani di perdesaan) dapat menikmati fasilitas kredit untuk usaha kecil dengan jumlah yang cukup besar (maksimum Rp 400 juta). Terlebih lagi kriteria BPPN yang mengkategorikan usaha kecil dengan maksimum kredit Rp 10 milyar. Departemen Koperasi dan PKM sendiri mematok kredit untuk usaha kecil maksimal Rp 5 milyar, sedangkan Bank Mandiri menggunakan nilai omset sebesar Rp 360 milyar sebagai patokan .

Dalam berbagai tulisan di media juga disebutkan bahwa pengusaha kerajinan dengan pendapatan antara satu hingga dua juta rupiah per bulan diklasifikasi juga sebagai pengusaha mikro. Lalu bagaimana dengan banyaknya penduduk perdesaan (khususnya di Kulonprogo) yang memiliki pendapatan maksimal Rp 500.000 per bulan, atau bahkan 25,1 persen penduduk Kulon Progo yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan kabupaten senilai Rp 105.404,-? Tidakkah usaha 112.246 orang (penduduk miskin di Kulon Progo) kemudian dapat disebut sebagai usaha “super-mikro”? Bagaimana upaya penanggulangan kemiskinan dapat dikatakan berhasil apabila mereka yang diperhatikan dan diberdayakan bukanlah termasuk penduduk yang benar-benar miskin. Sejauh ini belum ada data-data akurat dari berbagai pengelola program sejauh mana penduduk miskin telah berkurang, kesejahteraannya telah membaik, atau pendapatan mereka telah meningkat setelah dikembangkannya program-program bermodel keuangan mikro di wilayah perdesaan atau perkotaan.

Masalah lain yang dihadapi penduduk miskin adalah ketidakpercayaan akan kemampuan mereka sendiri untuk memanfaatkan sumber-sumber keuangan mikro yang telah disediakan. Di samping kearifan untuk tidak berkeinginan tergantung pada “utang” dari pihak luar, kenyataan ini sebetulnya juga menggambarkan betapa sistem keuangan mikro melalui program penanggulangan kemiskinan menjadi kurang relevan, kurang akrab, atau pendekatan yang mengiringi program tersebut kurang sesuai dengan ciri-ciri penduduk miskin. Pada kenyataannya mereka tetap memerlukan sumber pembiayaan, yang dipenuhi dengan meminjam saudara/tetangga, rumah-rumah gadai, atau perkumpulan arisan.

Selain itu mereka pun tetap merasa “kekurangan dana”, berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar baik sehari-hari maupun insidental, misalnya untuk membayar sekolah anak, berobat, “sumbangan”, dan lain-lainnya. Secara tegas dinyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang berhak untuk memanfaatkan sumber daya keuangan. Keadaan ini memberi pelajaran bahwa keuangan mikro tidak cukup hanya dikembangkan dengan pendekatan profesional (apalagi berorientasi pada pemupukan aset/omset), melainkan dengan pendekatan sosio-antropologis berbasis pada pemihakan dan perhatian tulus kepada penduduk miskin.

Keuangan Mikro : Banking for the Poor ‘ala Kulon Progo
Komitmen pemerintah kabupaten Kulon Progo untuk mengembangkan lembaga keuangan mikro merupakan wujud dari “pengakuan” terhadap kekuatan, peran, dan potensi ekonomi rakyat di kabupaten yang berpenduduk 446.843 jiwa itu. Kebijakan untuk mengalokasikan dana cadangan APBD sebesar Rp 22 milyar, yang populer disebut Dana Cadangan Pemberdayaan Desa (DCPD), merupakan langkah awal pemihakan terhadap pelaku ekonomi mayoritas penduduk di wilayah perdesaan tersebut. Dalam kontek ekonomi-politik, pengembangan keuangan mikro dapat dimaknai sebagai salah satu metode “redistribusi pendapatan” dan model investasi ekonomi rakyat. Sudah sepantasnya bila anggaran daerah dialokasikan utamanya kepada upaya peningkatan kesejahteraan penduduk miskin, melalui pengalokasian dana ke seluruh desa di Kabupaten Kulon Progo. Politik anggaran ini diperlukan untuk mengimbangi tatanan/sistem keuangan yang masih belum sepenuhnya memihak pada penduduk miskin.

Sebagai ilustrasi, data Bank Pasar Wates tahun 2002 menunjukkan bahwa dari total simpanan masyarakat di bank tersebut sebesar Rp 24,94 milyar, hanya sebesar Rp 8,40 milyar (atau senilai 33,7%) yang disalurkan kembali dalam bentuk kredit kepada masyarakat. Walaupun ada kenaikan besar dibanding alokasi kredit tahun 2001 yang hanya Rp 1,98 milyar, namun belum dapat dipastikan berapa persen yang dinikmati oleh pengusaha mikro karena pembagian kredit adalah sebesar Rp 1,25 milyar untuk pedagang, dan Rp 7,1 milyar untuk lainnya .

Sementara data BRI menunjukkan bahwa nilai tabungan masyarakat di BRI Wates sebesar Rp 107 milyar hanya sebesar Rp 32,68 milyar (atau senilai 30,3%) yang disalurkan dalam bentuk Kredit Usaha Perdesaan (Kupedes). Nilai ini masih jauh lebih kecil dibanding rasio Kupedes dan total simpanan di BRI Gunungkidul (Wonosari) sebesar 61,3%. Sedangkan perbandingan nilai Kupedes dengan nilai Simpedes di BRI Kulon Progo hanya sebesar 36,37%, dengan nilai Simpedes dan Kupedes masing-masing adalah sebesar Rp 89,84 milyar dan Rp 32,68 milyar. Keadaan ini mungkin menjadi salah satu pendorong dikembangkannya lembaga keuangan mikro di Kabupaten Kulon Progo, seperti halnya Kredit Makarya yang baru saja digulirkan BPD Kulon Progo.

Di sisi lain pengembangan lembaga keuangan mikro dapat dijadikan media bagi pengembangan model investasi ekonomi rakyat kabupaten Kulon Progo. Penduduk Kabupaten Kulon Progo sebagian besar tinggal di wilayah perdesaan dengan mata pencaharian pokok bertani. Sampai tahun 2002 PDRB Kulon Progo masih didominasi oleh sektor pertanian dengan nilai sumbangannya sebesar 38,42% dari total PDRB sebesar Rp 1.113,42 milyar (harga berlaku, 2002) . Investasi ekonomi rakyat di sektor pertanian perlu dikembangkan melalui penguatan modal dari berbagai sumber-sumber keuangan mikro karena sektor ini menjadi tumpuan ekonomi daerah yang menghidupi mayoritas penduduk dan lebih dapat dipercaya memajukan perekonomian yang dapat mewujudkan pemerataan dan keadilan sosial.

Pengembangan keuangan mikro diperlukan untuk membangun kekuatan ekonomi daerah Kulon Progo yang berbasis sumber daya lokal, kemandirian, dan keberlanjutan. Untuk itu dapat dipelajari kemungkinan pengembangan tiga model lembaga keuangan mikro yang lazim diterapkan di negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Model pertama adalah banking of the poor, yang mengupayakan pendanaan keuangan mikro dari anggota dan disalurkan ke anggota kelompok itu sendiri. Model ini telah dikembangkan dengan baik di beberapa desa di Kulon Progo melalui kelompok-kelompok arisan simpan pinjam, IDT, dan Bandus, walaupun masa programnya sudah berakhir namun program-program tersebut masih dikembangkan masyarakat secara swadaya sampai sekarang. Model kedua adalah banking with the poor, dimana bank berusaha menyesuaikan kriteria perbankan dengan kelompok jika perlu disertai perantara seperti Lembaga Pendamping Usaha Mikro (LPUM).

Model ini telah lama dikembangkan oleh banyak LSM seperti Bina Swadaya di beberapa wilayah di Indonesia. Sedangkan model ketiga adalah banking for the poor, yang melakukan penghimpunan dana dari pihak ketiga baik pemerintah, lembaga donor, yayasan, dan lain-lain untuk disalurkan kepada penduduk miskin (pelaku usaha mikro) . Pada awalnya program-program penanggulangsn kemiskinan seperti IDT, Takesra/Kukesra, dan PPK menggunakan model ini dengan menyalurkan dana dari APBN atau dari lembaga lain. Model ini yang pada awalnya juga akan dikembangkan oleh pemerintah Kabupaten Kulon Progo melalui alokasi dana APBD yang dipopulerkan dengan istilah “dana abadi: untuk pemberdayaan penduduk Kulon Progo.

Masalah yang timbul adalah bagaimana menempatkan lembaga keuangan mikro yang baru di tengah maraknya model keuangan mikro utamanya dari program penanggulangan kemiskinan seperti PPK, IDT, atau program lain. Walaupun berbagai program tersebut memiliki lingkup berbeda dan keterbatasan yang dihadapi, namun memang perlu ada spesifikasi yang dapat dijadikan “positioning” bagi lembaga keuangan mikro yang akan dibentuk. Jangan sampai keberadaan LKM baru justru menjadi sumber masalah baru di masyarakat perdesaan, termasuk kekhawatiran akan tumbuhnya budaya “gali lobang tutup lobang” dalam berhutang karena banyaknya sumber keuangan yang dapat dijangkau. Selain itu tidak diperhatikannya pola-pola tradisional masyarakat dalam pengelolaan keuangan justru dapat menjauhkan keuangan mikro dari tujuan melayani penduduk miskin di perdesaan. Di Kulon Progo sendiri terdapat berbagai pola/sistem perguliran dana yang berbeda satu sama lain, baik menyangkut pola angsuran (bulanan/ musiman), maupun dalam hal penentuan alokasi (pemanfaatan) jasa/bunga pinjaman.

Kemiskinan, Demokrasi Ekonomi, dan Keuangan Mikro

Penerapan demokrasi ekonomi sebagai suatu sistem ekonomi yang memihak ekonomi rakyat dipercaya dapat dijadikan metode untuk menanggulangi kemiskinan. Dalam demokrasi ekonomi penduduk miskin diberi kesempatan untuk ikut berperan dalam setiap kegiatan atau program ekonomi, baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi. Masalah yang biasanya muncul adalah timbulnya “gejala ketidakpercayaan” terhadap kemampuan penduduk miskin yang akhirnya menghambat upaya pemberdayaan terhadap mereka.

Keadaan ini sebenarnya merupakan akibat dari tarik ulur kepentingan yang disebabkan juga oleh ketidakpercayaan di setiap level birokrasi pemerintahan. “gejala ketidakpercayaan” ini merupakan sisa-sisa warisan sistem politik-ekonomi sentralisme-otoriter Orde Baru yang dikembangkan atas dasar paradigma top-down. Pemerintah pusat tidak “sepenuh hati” percaya kepada kapasitas pemerintah kabupaten, yang juga menjadi “tidak percaya sepenuh hati” kepada level pemerintahan dibawahnya, baik tingkat kecamatan maupun desa dan dusun. Ujung-ujungnya adalah ketidakpercayaan setiap level pemerintahan tersebut terhadap kemampuan penduduk miskin di perdesaan untuk mengelola sumber daya baik sumberdaya alam maupun keuangan.

Kenyataan ini mempengaruhi pertimbangan dalam penentuan lingkup pengelolaan lembaga keuangan mikro yang akan didirikan di Kabupaten Kulon Progo. Jika demokrasi ekonomi dipercaya dapat menjadi pilar pengembangan ekonomi rakyat maka berkaitan dengan lingkup pengelolaan keuangan mikro perlu diperhatikan beberapa acuan/kriteria dasar yang menjadi ciri penerapan demokrasi ekonomi. Pertama : kepercayaan kepada penduduk miskin, bahwa mereka mampu untuk tidak saja memanfaatkan sumber keuangan mikro namun juga sanggup untuk mengelolanya. Fakta-fakta menunjukkan bahwa penduduk miskin di beberapa perdesaan Kulon Progo sampai saat ini masih aktif mengelola dana IDT, Bandus, dan arisan simpan pinjam dengan nilai modal mencapi lima hingga tujuh juta rupiah, tanpa ada persoalan-persoalan (kemacetan) yang berarti. Berbagai masalah berkaitan dengan pengembalian pinjaman lebih disebabkan karena kinerja dan moralitas pengurus yang buruk, serta tidak sungguh-sungguhnya pengelola program dalam memberdayakan penduduk miskin.

Kedua : akses yang luas kepada penduduk miskin untuk memanfaatkan sumber keuangan mikro yang tersedia. Masalah yang dihadapi penduduk miskin (termasuk di Kulon Progo) adalah relatif panjangnya prosedur dan jauhnya pusat layanan keuangan mikro sehingga sebagian mereka tidak dapat menjangkau manfaat dana tersebut. Mobilitas penduduk perdesaan yang mayoritas bekerja sebagai petani tradisional (semi-subsisten) relatif rendah sehingga pendekatan yang mungkin diterapkan adalah “pola jemput bola”, sebuah pendekatan yang sudah lazim dikembangkan oleh masyarakat perdesaan sendiri. Beragam sumber keuangan mikro ternyata bukan jaminan mudahnya akses bagi usaha mikro atau usaha “super-mikro” jika sistem atau polanya tidak didasarkan pada prinsip kedekatan layanan, prioritas penduduk miskin, dan penyesuaian terhadap tradisi sosial-ekonomi masyarakat perdesaan.

Ketiga : kesempatan bagi penduduk perdesaan untuk melakukan pengawasan (kontrol) terhadap pengelolaan dan pencapaian tujuan lembaga keuangan mikro. Paradigma lama menitikberatkan pengawasan secara top-down, yaitu pengawasan dari level pemerintahan teratas hingga ke level yang paling bawah. Hal ini mendasari adanya pandangan bahwa lingkup pengelolaan keuangan mikro sebaiknya pada level yang memudahkan pengawasan oleh pemerintah kabupaten sehingga kinerja keuangan mikro dapat terus dipantau dan dievaluasi. Namun hal itu mengakibatkan minimnya kesempatan masyarakat perdesaan untuk ikut mengawasi pengelolaan keuangan mikro karena daya jangkau mereka yang menjadi terbatas. Pengalaman menunjukkan bahwa lemahnya kontrol masyarakat menjadi sebab utama terjadinya berbagai penyimpangan dalam penyaluran dan pengelolaan kredit mikro di perdesaan.

Keempat : pengelolaan keuangan mikro dijiwai oleh semangat pemberdayaan untuk mencapai tujuan pemerataan, keadilan, dan efisiensi. Pemberdayaan penduduk miskin di perdesaan perlu dilakukan sehingga mereka dapat mengaktualisasikan peran dan potensi mereka dalam mengelola lembaga keuangan mikro. Penduduk miskin di perdesaan dapat diberdayakan melalui pelatihan dan pendampingan dengan tujuan agar mereka tidak saja dapat memanfaatkan namun juga mampu mengelola keuangan mikro. Tujuan pemerataan dan keadilan hanya dapat tercapai apabila ada kemauan (dan pemihakan) yang kuat untuk menjadikan penduduk miskin di perdesaan sebagai pelaku utama dan prioritas dalam pengambilan kebijakan. Beberapa nilai dasar demokrasi ekonomi tersebut merupakan pertimbangan utama dalam penentuan lingkup pengelolaan dan pola operasional lembaga keuangan mikro di Kulon Progo.

Selama ini masih banyak anggapan dan pemahaman umum yang keliru tentang hakikat kemiskinan di seluruh dunia yaitu bahwa mereka menjadi miskin karena hambatan-hambatan budaya, kurang berusaha, agama yang tidak mendukung, tak bersemangat, atau hidup bermalas-malas. Anggapan-anggapan ini semuanya keliru. Yang benar, mereka yang dianggap dan nampak miskin itu sebenarnya adalah pekerja keras yang mampu menggunakan segala cara untuk bertahan hidup. Itulah cara-cara berekonomi dari rakyat, itulah ekonomi rakyat. Ekonomi rakyat adalah cara-cara rakyat memecahkan masalah ekonominya (solution), dan keliru sekali jika justru fakta dan cara-cara kerja mereka itu dianggap sebagai “masalah” dan “beban” ekonomi bangsa.

Jika keuangan mikro dikembangkan untuk memberdayakan penduduk miskin maka pemerintah kabupaten perlu belajar dari mereka, dalam mengelola modal sosial yang mereka miliki. Pelaku ekonomi rakyat (usaha mikro penduduk miskin) di Kabupaten Kulon Progo memiliki modal sosial yang mendukung pengembangan keuangan mikro, yaitu berupa rasa tanggung jawab yang tinggi, solidaritas dan kegotongroyongan yang kental, serta tradisi sejarah yang panjang dalam mengembangkan sumber keuangan di perdesaan. Usaha mikro yang masih bertahan dan bahkan berkembang saat ini menunjukkan bahwa penduduk miskin memiliki pengalaman dan strategi sendiri dalam menghadapi setiap masalah hidup (survival strategy).

Di samping itu, tingkat kesadaran yang tinggi akan pentingnya pendidikan bagi anak-anak mendorong masyarakat perdesaan di Kulon Progo untuk senantiasa mengupayakan cara guna memenuhi kebutuhan akan masa depan anak-anak mereka. Keuangan mikro harus dikembangkan dengan rasa empati terhadap keadaan dan semangat hidup penduduk miskin di Kulon Progo, dengan keyakinan bahwa keuangan mikro merupakan salah satu jalan bagi upaya menanggulangi kemiskinan mereka. Tidak berlebihan jika Prof. Muhammad Yunus (pendiri Grammen Bank di Banglades) menggelorakan idealisme melalui ungkapannya : “suatu hari nanti anak cucu kita akan pergi ke musium dan belajar tentang kemiskinan dari sana”.

No comments: