Friday, May 13, 2005

KEMISKINAN DAN RESTRUKTURISASI AKSES

Awan Santosa

IPM dan Ketimpangan
Sebuah berita “kecil” beberapa hari yang lalu hadir di sela-sela pembicaraan “besar” elit politik dan ekonomi kita : Indek Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada di peringkat 112 dari 175 negara yang menjadi sampel survey United Nation Development Program (UNDP). Timbul pertanyaan apakah berita ini telah secara serius ditanggapi? Apakah data-data beserta implikasinya ini lebih penting dibanding tarik ulur anggaran dewan-eksekutif di daerah tentang dana pensiun, dana asuransi, dan macam-macam tunjangan kesejahteraan pejabat lainnya?

Apakah juga kondisi manusia Indonesia menurut UNDP tersebut lebih krusial dibanding rencana pembayaran BLBI, privatisasi BUMN, rekapitalisasi perbankan, dan tarik ulur kepentingan politik-ekonomi di tingkat pusat?. Jika jawabannya tidak maka kita perlu menggugat kembali, apa yang diinginkan negara kita dengan tujuan nasional pembangunannya, di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Tidakkah seperti yang diamanatkan oleh konstitusi bahwa tujuan pembangunan nasional kita adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya?. Kini kita lihat hasilnya, negara kita masih tertinggal sekedar hanya memenuhi kebutuhan dasar manusianya untuk menikmati pendidikan, kesehatan, dan kemampuan membeli barang kebutuhan sehari-hari.

Salah arah-kah pembangunan kita sehingga pendirian gedung-gedung mewah, infrastruktur ekonomi, rumah sakit dan sekolah-sekolah elit di pusat-pusat kota dapat berbarengan dengan banyaknya balita yang kurang gizi atau bahkan bergizi buruk serta banyaknya wanita subur yang menderita resiko kekurangan energi kronis (Khudori, 2003). Di satu sisi banyak warga negara yang gemar pesta, bergaya hidup glamour, hedonis, namun di sisi lain masih banyak anak-anak yang putus sekolah atau tidak tertampung di sekolah yang ada hingga sebagian terpaksa menghabiskan masa kecilnya di jalanan, berbaur dengan asap penyakit.

Ironis memang jika Indonesia diposisikan sebagai negara peringkat 112 HDI dunia. Indonesia memang negara yang pemerintah dan sebagian masyarakatnya miskin (terjerat hutang dan senantiasa mendatangkan hutang baru) namun pejabat pemerintahnya, elit ekonomi, dan politiknya sangat jauh sekedar untuk dikatakan hidup sederhana. Peringkat IPM Indonesia tersebut hanya menggambarkan bahwa ketimpangan dan ketidakadilan distribusi hasil pembangunan masih terjadi di negeri reformasi ini. Hal itu juga menunjukkan bahwa pembangunan manusia Indonesia secara utuh dan menyeluruh belum sepenuhnya diprioritaskan oleh para pengambil kebijakan politik-ekonomi kita.

Dapat dipahami bahwa kondisi kemiskinan dari 38,39 juta orang yang merupakan 19% dari penduduk total tahun 2003 (Hari Sabarno, 2003) tidak cukup menjadi perhatian besar bagi negara besar seperti Indonesia. Program-program yang ditujukan untuk mengurangi kemiskinan masih belum menyentuh aspek pembangunan manusia bagi penduduk miskin yang ada.

Amartya Sen dalam bukunya “Development as Freedom” mengutarakan bahwa penyebab kemiskinan dan keterbelakangan adalah persoalan aksesibilitas. Akibat keterbatasan dan ketertiadaan akses maka manusia mempunyai keterbatasan (bahkan tak ada pilihan) untuk mengembangkan hidupnya, kecuali menjalankan apa terpaksa saat ini yang dapat dilakukan (bukan yang seharusnya bisa dilakukan). Akibatnya potensi manusia untuk mengembangkan hidupnya menjadi terhambat (Bambang Ismawan, 2002).

Berpijak pada konsep pemenuhan kebutuhan dasar manusia, akses terhadap pemenuhan kebutuhan sehari-hari (dalam wujud daya beli), akses terhadap fasilitas kesehatan yang murah dan memadai, serta akses untuk menikmati setiap jenjang pendidikan adalah prasyarat minimal bagi tercapainya kesejahteraan masyarakat. Pemikiran ini sudah jauh-jauh hari dirumuskan oleh founding father kita, yang dituangkan dalam UUD 1945, landasan konstitusi tertinggi kita. Masih ingatkah kita dengan pasal 29, pasal 31, pasal 33, dan pasal 34 UUD 1945 (yang diamandemen menjadi UUD 2002)?.

Pasal-pasal tersebut telah jelas dan tegas mengamanatkan bahwa akses terhadap penghidupan yang layak, termasuk kesehatan dan pendidikan adalah hak setiap warga negara. Bahkan kondisi ideal yang diatur hukum kita adalah bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara, tentu saja dengan penekanan pada kewajiban pemerintah, baik di pusat maupun daerah.

Pembangunan selama 58 tahun tidak bisa dipungkiri telah membawa kemajuan yang berarti, khususnya di bidang sarana-prasarana sosial dan ekonomi. Telah banyak rumah sakit, puskesmas, sekolah, dan pusat-pusat kegiatan ekonomi dibangun. Namun sayangnya pembangunan ini tidak diikuti dengan persebaran akses secara merata ke seluruh lapisan masyarakat di Indonesia. Fenomena ketimpangan akses adalah kondisi awal yang menimbulkan kondisi berikutnya yaitu kemiskinan masyarakat. Akses sosial terhadap kesehatan dan pendidikan adalah milik mereka yang berpunya (the have) karena prasyarat memanfaatkannya adalah daya beli (uang) yang sulit dipenuhi oleh mereka yang “the have not”, atau dalam istilah strukturalis, golongan kelas bawah (underclass).

Daya beli kelompok masyarakat ini sudah dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka, yaitu pangan, sandang, dan papan (kalau memungkinkan). Mujur bagi mereka, pemerintah dan sebagian masyarakat masih memiliki cukup kepekaan sosial untuk memperhatikan mereka dengan merancang program-program bertajuk penanggulanganan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Program Anti Kemiskinan

Program-program penanggulangan kemiskinan membawa sejuta harapan untuk memperbaharui hidup masyarakat miskin, baik di kota maupun di desa. Program kemiskinan dirancang dengan berbagai model pendekatan yang dianggap cocok dan efektif untuk menolong penduduk miskin, mulai dari pendekatan sektoral, regional, dan pendekatan langsung. Program-program yang saat ini masih dijalankan secara nasional meliputi Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), dan program lain yang dibuat oleh pemerintah dan masyarakat di tingkat lokal.

Berbagai program tersebut menumpukan ide dasarnya pada model dana bergulir, yang diharapkan dapat digunakan untuk mengembangkan usaha, memberdayakan masyarakat, dan membangun ekonomi rakyat. Namun sayangnya, kembali pada ide awal pemenuhan akses bagi masyarakat paling miskin (the poorest), program-program tersebut seringkali tidak dapat dengan mudah diakses oleh mereka yang benar-benar termiskin. Karena program dilaksanakan di satu wilayah administratif tertentu (RW atau kelurahan), maka sulit bagi masyarakat miskin di luar wilayah adminstratif tersebut untuk mengakses program (the outer program). Seperti halnya mereka yang hidup dan tinggal di jalan (termasuk anak terlantar), di pinggir-pinggir sungai, ataupun yang tinggal di pemukiman-pemukiman kumuh, jembatan, stasiun, dan terminal, apapun profesi mereka.

Termasuk juga yang kurang beruntung terjebak dalam pekerjaan yang bertentangan dengan moral dan agama.
Sementara dana program kemiskinan di wilayah administratif tertentu didistribusikan kepada masyarakat lokal, yang belum tentu miskin dan membutuhkan. Dengan model seperti itu ada kemungkinan penyaluran dana program lebih didasarkan pada kapasitas/kemampuan pengembalian dana, karena pertimbangan resiko dan sulitnya (tidak mau?) menemukan warga yang benar-benar miskin di wilayah tersebut. Padahal sudah ratusan milyar, bahkan trilyunan rupiah (sejak krisis moneter 1997) dana yang disalurkan untuk mengurangi kemiskinan di negara kita, sejauh ini belum jelas ukuran hasilnya selain berita yang diungkapkan UNDP di muka.

Ada dugaan bahwa dana program penanggulangan kemiskinan tidak benar-benar disalurkan hanya untuk penduduk miskin saja, sehingga hasil program tidak terlalu signifikan dibanding dana yang telah dikucurkan. Perlu ada pembuktian dari pemerintah selaku pelaksana program untuk menunjukkan bahwa program kemiskinan telah tepat sasaran dengan derajat ketepatan tertentu. Sehingga dapat disimpulkan seberapa besar akses masyarakat yang benar-benar miskin terhadap program penanggulangan kemiskinan tersebut.
Di sisi lain program penanggulangan kemiskinan yang selama ini dilakukan belum sepenuhnya berorientasi pada pembangunan manusia. Pada umumnya orientasi program lebih ditujukan pada kelancaran perguliran dana, rendahnya kredit macet, dan pemupukan modal bagi usaha anggota program.

Belum terlihat jelas bagaimanakah model dan orientasi pembangunan manusia yang diharapkan dari program tersebut. Orientasi pembangunan manusia berarti pemenuhan akses penduduk miskin terhadap kesehatan, pendidikan, dan kesempatan ekonomi yang memadai dan terjangkau daya beli mereka (bahkan gratis). Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) di bidang pendidikan dan kesehatan belum dapat digunakan sebagai instrumen yang berkelanjutan (sustainable) karena programnya yang bersifat pertolongan darurat (emergency rescue), berjangka pendek (crash program) dan terbatas (belum meluas).

Harapan yang mungkin adalah menggeser orientasi program penanggulangan kemiskinan yang sekarang ada (seperti PPK dan P2KP) untuk mengkaitkannya dengan pemenuhan akses penduduk termiskin peserta program terhadap kesehatan dan pendidikan. Dengan model lain pemerintah dapat mengambil kebijakan pendidikan dan kesehatan murah (gratis) bagi penduduk termiskin peserta program dan penduduk miskin di luar program (the outer program). Pemberlakuan model dana pinjaman usaha dari program penanggulangan kemiskinan tidak akan efektif tanpa kemudahan akses penduduk miskin terhadap pemenuhan kebutuhan dasar berupa kesehatan dan pendidikan yang murah dan memadai. Bagaimana penduduk miskin dapat meningkatkan penghasilannya melalui program kemiskinan jika ketika dia sakit atau bermaksud menyekolahkan anaknya harus mengeluarkan biaya banyak yang membebaninya.

“Restrukturisasi” Akses

Tidak saja perubahan paradigma pembangunan, dari orientasi pertumbuhan ke orientasi pemerataan, seperti diungkapkan Kwik Kian Gie (Republika, Juli 2003), yang perlu kita lakukan menanggapi penurunan peringkat IPM kita. Lebih dari itu negara kita memerlukan sebuah perubahan struktural yang dimanifestasikan dari kebijakan dan program-program pemerintah yang lebih adil, manusiawi, demokratis, dan memihak rakyat kecil/penduduk miskin. Perubahan struktural memerlukan adanya mekanisme yang jelas untuk menjamin terjadinya redistribusi pendapatan antar anggota masyarakat, dari mereka yang “the have” ke mereka yang “the have not” atau “have little”.. Kita tidak perlu memperdebatkan landasan kebijakan ini karena telah jelas digariskan dalam dasar hukum agama maupun konstitusi bangsa Indonesia.

Yang perlu dilakukan bukan sekedar model jaminan sosial ataupun proteksi sosial, yang lebih terkesan karikatif, namun sebuah mekanisme struktural berupa “restrukturisasi” akses bagi penduduk miskin, yang meliputi akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan ekonomi (kesempatan usaha dan pekerjaan). Mekanisme ini relatif lebih mungkin dilakukan dengan mengunakan instrumen struktur anggaran negara (APBN) dan struktur program penanggulangan kemiskinan yang telah ada.

Melalui instrumen anggaran negara, pemerintah menjalankan “restrukturisasi” akses dengan mengalokasikan dana yang lebih besar di bidang kesehatan dan pendidikan tertuju pada penduduk miskin (sosial-ekonomi lemah). Bagaimanapun kedua bidang ini adalah investasi yang sangat strategis bagi masa depan negara kita. Apakah kita tidak belajar pada masa lalu, manakala investasi asing (terbesar di bidang ekonomi) dianggap sebagai dewa kemajuan pembangunan. pertumbuhan ekonomi, dan kesempatan kerja bagi masyarakat kita? Dan kita buktikan sendiri hasilnya, krisis moneter yang diikuti krisis di segala sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, disertai penurunan kualitas pembangunan manusia (HDI) kita.

Adalah sesuai pemikiran Prof Mubyarto bahwa selama kurun waktu 4 tahun setelah krisis (1999-2002), disaat investasi lesu dan banyak terjadi pelarian modal ke luar negeri, pertumbuhan ekonomi kita (kurang lebih sebesar 3,5%) ditopang oleh investasi sosial-ekonomi rakyat. Mereka adalah pelaku-pelaku ekonomi kecil, bahkan miskin, yang dapat menunjukkan kekuatan, kepercayaan diri, dan daya tahan menghadapi kondisi sulit dengan mengandalkan modal sosial (social capital) dan sedikit modal usaha yang mereka miliki. Dan kini pemerintah kembali berharap bahwa investasi asing adalah kunci pemulihan ekonomi nasional. Ya, pemulihan ekonomi menuju kondisi awal sebelum krisis berupa kondisi yang timpang, penuh ketidakadilan, dan pengabaian hak-hak dasar masyarakat.

Pemerintah dan DPR sendirilah yang perlu melakukan investasi, bukan hanya penonjolan pada investasi asing dan pengeluaran untuk belanja rutin saja. Investasi pemerintah yang paling strategis bagi pembangunan manusia Indonesia adalah di bidang pendidikan dan kesehatan, melalui alokasi dana APBN yang lebih besar di kedua bidang tersebut. Dana ini dapat dialokasikan ke dalam struktur dana program penanggulangan kemiskinan atau melalui mekanisme tersendiri yang diatur bersama-sama pemerintah dan DPR melalui landasan hukum yang jelas. Tidak cukup banyakkah anggaran yang sudah dialokasikan ke elit politik/ekonomi, melalui pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi perbankan, tunjangan, dan biaya “studi banding” ke luar negeri?

“Restrukturisasi” akses juga perlu dilakukan melalui perubahan paradigma dan perubahan struktural program anti kemiskinan yang berskala nasional dan melibatkan dana yang cukup besar. Masih terkesan bahwa dana yang disalurkan ke penduduk miskin dimaknai sebagai “bantuan”, baik oleh pengelola program ataupun masyarakat miskin itu sendiri. Sehingga penting untuk dibangun paradigma program anti kemiskinan yang berorientasi pada penguatan hak masyarakat miskin sebagai dasar bagi paradigma pembangunan manusia dalam program tersebut. Penduduk miskin hanya dapat membangun diri dan kemanusiaannya apabila ia sadar dan paham akan hak-hak dasar hidupnya di Indonesia, untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan,, dan penghidupan yang layak (kesempatan berusaha).

Perubahan struktural program anti kemiskinan yang berorientasi pemerataan akses dan pembangunan manusia dapat dijalankan melalui dua cara, yaitu restrukturisasi keanggotaan dan restrukturisasi alokasi dana program. Restrukturisasi anggota program berarti meninjau kembali profil masyarakat yang mengakses dana program, apakah dia benar-benar miskin dan membutuhkan, ataukah dia sekedar ingin melakukan ekspansi usaha. Masyarakat yang tidak miskin relatif tidak mengalami kesulitan dalam mengembangkan diri dan mengakses fasilitas sosial-ekonomi yang mereka butuhkan. Sehingga dengan dana program yang terbatas, dapat dialokasikan untuk penduduk yang benar-benar miskin, terutama yang saat ini masih belum terjangkau program (the outer program). Mereka adalah kelompok masyarakat yang rentan, tidak berdaya, dan perlu dibantu mendapatkan hak akses sosial-ekonomi untuk membangun dirinya.

Restrukturisasi alokasi dana program dilakukan dengan memberikan porsi yang cukup untuk akses kebutuhan dasar penduduk miskin peserta program dan di luar program seperti akses kesehatan dan pendidikan. Dana program anti kemiskinan tidak hanya diperuntukkan sebagai modal usaha melainkan juga sebagai dana cadangan bagi anggotanya yang membutuhkan akses pendidikan dan kesehatan. Jika dimungkinkan dana ini disalurkan secara gratis, namun jika belum memungkinkan dana ini dapat disalurkan melalui kredit lunak yang murah dan berjangka panjang, sehingga dapat dijadikan dana bergulir di bidang pendidikan dan kesehatan. Cara lain adalah melalui kerja sama antara pengelola program dengan institusi kesehatan dan pendidikan terkait sehingga dihasilkan struktur pembiayaan yang murah dan memadai bagi penduduk miskin.

Yang perlu dicatat adalah ketepatan sasaran program bagi penduduk yang benar-benar miskin dan sedapat mungkin sumber pembiayaan berasal dari dana program, anggaran pemerintah, atau sumber lain yang tidak memberatkan penduduk miskin. Hal ini memang dipengaruhi seberapa besar komitmen pengelola program dan pemerintah untuk benar-benar memperhatikan nasib dan hak-hak penduduk miskin serta seberapa besar alokasi anggaran (APBN dan APBD) yang dapat disediakan, khususnya untuk bidang pendidikan dan kesehatan penduduk miskin. Namun kita perlu tetap optimis bahwa suara hati masih sangat dipegang teguh di negeri ini. Memang kita perlu lebih giat untuk menyuarakan :“ “restrukturisasi” akses untuk penduduk miskin”.

No comments: