Thursday, May 12, 2005

Ekonomi Rakyat Tidak Tunduk pada Globalisme

EKONOMI RAKYAT TIDAK TUNDUK PADA GLOBALISME
Pelajaran dari Kabupaten Kutai Barat

Awan Santosa


Mensejahterakan rakyat tidak perlu ‘dalam waktu yang sesingkat singkatnya’, karena pengorbanannya akan terlalu besar
A,W, Abidin (Petinggi Kampung Jerang Melayu, Kutai Barat)

Paham globalisme (kapitalisme global) yang melandasi proses globalisasi telah memaksa banyak pemerintah negara sedang berkembang termasuk Indonesia untuk menerima segala ketentuan politik-ekonomi global, termasuk yang merugikan pelaku ekonomi rakyat kita. Gagasan pemberdayaan ekonomi rakyat hanya merupakan bagian kecil dari gagasan yang dianggap “besar dan benar” seperti privatisasi dan liberalisasi perdagangan melalui kebebasan impor, penghilangan hambatan tarif, dan peniadaan segala bentuk proteksi yang selama ini dianggap hanya dilakukan negara-negara sedang berkembang.

Secara jelas kebijakan ekonomi pemerintah untuk memihak ekonomi rakyat telah dibelokkan dengan nasihat-nasihat yang “menjerumuskan” untuk menghapuskan subsidi dengan dalih efisiensi dan mengganggu mekanisme pasar. Padahal kebijakan yang juga berdasar nasihat lembaga asing berupa rekapitalisasi dan restrukturisasi perbankan telah “menyandera” pemerintah untuk mengeluarkan dana APBN yang sangat besar (Rp 650 trilyun) untuk membiayai program-program tersebut. Apakah dana yang disuntikkan kepada pelaku ekonomi besar tidak bisa disebut sebagai subsidi? Kebijakan-kebijakan yang kontradiktif inilah yang turut melanggengkan tatanan ekonomi-politik yang bersifat kapitalistik yang pada akhirnya memunculkan kondisi kemiskinan pelaku ekonomi rakyat, yang disebut kemiskinan struktural.

Sampai saat ini pemerintah dan kebanyakan ekonom masih berkeyakinan bahwa masuknya kembali investasi (asing) dan integrasi ke dalam tatanan globalisme merupakan jalan yang paling masuk akal guna memulihkan kembali ekonomi Indonesia. Berbagai paket kebijakan dikeluarkan dengan tujuan memberikan “kemudahan” bagi pemilik modal (besar) untuk menanamkan uang mereka yang diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesempatan kerja. Sejarah kacaunya perekonomian nasional, terutama di sektor moneter-perbankan, yang merupakan ekses liberalisasi keuangan dan investasi seolah terlupakan dari ingatan kita. Kita tidak lagi menyadari betapa kita tidak dapat “menggantungkan harapan” kemajuan sosial-ekonomi masyarakat di pundak investor-investor global yang selalu bermotif mengejar keuntungan maksimum bagi diri dan perusahaan meraka.

Selama ini pun ekonomi rakyat, yang merupakan pelaku ekonomi terbesar di Indonesia dengan modal kemandirian, pergulatan panjang melawan kemiskinan, dan teknologi sederhana, seolah-olah hanya menjadi “pelengkap penderita” dalam hiruk-pikuknya perilaku “ekonomisme” dalam tatanan politik-ekonomi kapitalisme global. Banyak orang tidak mau mengakui bahwa ekonomi rakyat adalah tulang punggung ekonomi bangsa, yang memiliki “kearifan lokal” mereka sendiri dalam berinvestasi, berproduksi, bahkan dalam menikmati apa yang sudah mereka hasilkan. Nun jauh di Kampung Jerang Melayu, Kabupaten Kutai Barat kita dapat belajar (untuk mengakui) bahwa yang perlu dikembangkan, dan perlu mendapat “pemihakan” pemerintah adalah investasi oleh ekonomi rakyat, bukannya mengekor pada gagasan pasar bebas (globalisme).

Sebagai bagian kecil dari wilayah NKRI, kampung Jerang Melayu juga turut merasakan pahitnya sentralisasi kekuasaan politik-ekonomi yang berakibat terkurasnya sumber daya alam yang ada. Kemiskinan yang ada sekarang pun tidak terlepas dari sejarah panjang “pembodohan” dan “penipuan” elit negara dan kaum kapitalis terhadap rakyat perdesaan, tak terkecuali Kampung Jerang Melayu. Sejak 58 tahun kemerdekaan RI, sebagian besar penduduk Jerang Melayu masih belum dapat merasakan nikmatnya menggunakan listrik, terlebih lagi air bersih (PAM). Baru 15 kk yang memiliki generator dengan swadaya sendiri, sedangkan untuk keperluan MCK sungai Kedang Pahu masih menjadi andalan penduduk kampung. Masih mujur terdapat sebuah sekolah dasar negeri yang dapat menampung 42 anak kampung dengan 3 orang guru (PNS), dan 2 guru honorer (PTT), walaupun untuk dapat memanfaatkan sarana kesehatan masyarakat diperlukan perjalanan 2 jam ke puskesmas terdekat di Kecamatan Muara Pahu.

Masyarakat Jerang Melayu bukanlah tipe masyarakat yang malas dan enggan mengubah nasib dan kondisi kemiskinan mereka. Berbagai macam usaha telah mereka tempuh mulai dari mencari ikan, menanam rotan, buah-buahan, memelihara ternak, mengolah sawah, hingga mencoba mengubah nasib ke luar kampung. Bekerja dari pagi hingga sore hari, bergelut dengan alam, namun seolah kesejahteraan belum berpihak kepada mereka. Seperti halnya Indonesia, negeri yang kaya sumber daya alam dan manusia, harus terpuruk dalam ketergantungan politik-ekonomi kepada negara lain, Kampung Jerang Melayu (dan Kalimantan Timur pada umumnya) harus merasakan kemiskinan di tengah pengurasan hasil hutan, batu bara, emas, dan kekayaan lain yang berlebihan di ‘tanah’ mereka. Kondisi ini menimbulkan dugaan bahwa masyarakat memang "termiskinkan", baik oleh struktur, maupun oleh sistem (aturan main) ekonomi-politik yang ada.

Berbeda dengan ekonomi Indonesia yang "terpaksa" menumpukan harapan pada "dukungan" lembaga internasional (IMF, Bank Dunia) dan investor (pemilik modal asing), kampung Jerang Melayu memilih untuk berjuang secara mandiri, mengikis ketergantungan terhadap alam dan menolak intervensi perusahaan. Pengalaman mengamati interaksi penduduk kampung dengan perusahaan swasta yang lebih banyak merugikan, membawa Pak A.W. Abidin (49th) kepala kampung Jerang Melayu berkesimpulan bahwa “ekonomi rakyat Jerang Melayu lebih baik dikembangkan tanpa masuknya perusahaan”. Cerita-cerita yang pernah didengar bahwa perusahaan dapat menampung tenaga kerja lokal, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan membantu mengurangi kemiskinan penduduk telah terkubur oleh kenyataan yang dilihatnya di lapangan.

Beroperasinya perusahaan swasta (eksplorasi batu bara) di sekitar sungai Kedang Pahu telah mengakibatkan berkurangnya sumber penghidupan masyarakat berupa ikan dan hasil hutan. Selain itu tidak diperhatikannya dampak lingkungan telah menyebabkan timbulnya pencemaran dan pendangkalan sungai yang berujung pada menyebarnya berbagai penyakit. Terlebih lagi perilaku sejumlah perusahaan swasta yang tidak bertanggung jawab dan lebih mengejar keuntungan pribadi menambah panjang daftar "ketidakpercayaan" masyarakat terhadap investasi dari luar.

Kemiskinan dan Investasi Ekonomi Rakyat

Jika pemerintah dan para ekonom banyak yang meragukan (dan tidak mau mengakui) kekuatan ekonomi rakyat, maka pelajaran dari Kampung Jerang Melayu dapat dijadikan bahan kajian. Sejak kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun 1997 yang menghanguskan sebagian besar hasil tanaman siap panen, hingga kini ekonomi rakyat Jerang Melayu masih tetap bertahan. Walaupun dalam taraf kemiskinan yang dihadapi, hal itu tidak membuat mereka "mengemis" dana-dana bantuan, modal usaha, ataupun faslitas lainnya. Hal ini berbeda dengan para konglomerat (pengusaha besar) yang "merengek" untuk meminta subsidi, dana BLBI, pengampunan utang (R & D), yang harus dibayar mahal (ratusan trilyun) dengan obligasi pemerintah (uang rakyat). Kenyataan yang ironis ini sering diartikan bahwa karena ekonomi rakyat sudah tahan banting maka tidak perlu mendapat alokasi anggaran dan kebijakan. Kesimpulan yang seharusnya diambil adalah bahwa ekonomi rakyat lebih efisien, dan adil apabila pemerintah mendorong dikembangkannya "investasi oleh dan untuk ekonomi rakyat". Tidakkah investasi pemodal besar (asing) terbukti lebih beresiko dan selalu self-profit oriented?.

Saat ini masyarakat Kampung Jerang Melayu sedang mencoba membuka kembali lahan persawahan yang sudah ditinggalkan sejak 3 tahun yang lalu. Memang banyak kendala yang dihadapi dalam upaya pengembangan pertanian rakyat tersebut. Masalah yang dihadapi adalah masih besarnya ketergantungan usaha pertanian mereka terhadap alam. Keadaan yang lazim dialami petani di daerah lain adalah banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Selain itu masalah lain yang dihadapi adalah terbatasnya teknologi pertanian, minimnya modal untuk pengadaan bibit dan pupuk, serta serangan hama tikus, belalang, dan rumput liar yang dapat mematikan tanaman mereka. Berkaitan dengan usaha perkebunan karet dan rotan masyarakat mengalami kendala jatuhnya harga saat panen karena “eksploitasi” tengkulak yang datang ke kampung.

Masyarakat tidak dapat menentukan harga karena posisi tawarnya yang lemah dan belum adanya alternatif pemasaran (pengumpul) di wilyah lain. Khusus untuk usaha perikanan, pak A.W. Abidin (49th) mengungkapkan bahwa lahan yang dapat digunakan penduduk untuk menangkap ikan sangat terbatas, sehingga hasilnya hanya untuk konsumsi sehari-hari. Minimnya sarana transportasi (tidak ada jalan tembus), komunikasi (hanya ada 1 orang yang punya HT), dan informasi juga menyebabkan sulitnya pemasaran dan akses masyarakat ke pasar.

Sebenarnya masyarakat kampung sudah mempunyai skenario untuk mengembangkan investasi ekonomi rakyat dan memecahkan berbagai kendala yang mereka hadapi. Untuk mengatasi pengaruh musim misalnya, masyarakat berprakarsa untuk membuat bendungan kecil (DAM) di sungai Jerang sehingga dapat dijadikan alternatif pengairan bagi lahan persawahan mereka, sekaligus tempat pembudidayaan ikan. Sementara untuk mengembangkan potensi perikanan masyarakat mempunyai gagasan untuk membuat terusan (kanal) di sungai Kedang Pahu yang dapat dijadikan lahan bagi pengembangan usaha keramba dan wilayah kelola perikanan rakyat.

Usulan-usulan investasi ini sudah disampaikan kepada pemerintah daerah namun sampai saat ini hasilnya belum ada. Pemecahan yang direncanakan pun masih mempunyai keterbatasan untuk direalisasikan, terutama berkaitan dengan minimnya daya dukung keuangan msyarakat. Kelompok usaha tani yang beranggotakan 61 orang masih belum sanggup mengerjakan rencana investasi bersama mereka. Masyarakat kampung Jerang Melayu melalui petinggi-petinggi mereka tidak tinggal diam dan putus harapan untuk mencari jalan mewujudkan harapan mereka. Mungkinkah diperoleh “dana perimbangan” kampung dari APBD Kutai Barat?

Pembangunan Alternatif berbasis Modal Sosial

Potensi besar dibalik kemiskinan penduduk Jerang Melayu adalah tingkat ketimpangan sosial-ekonomi masyarakat yang relatif lunak. Untuk tetap mempertahankan kondisi kemerataan ini masyarakat Jerang Melayu percaya bahwa usaha yang harus mereka kembangkan adalah usaha bersama yang bersifat mandiri dan berciri kekeluargaan, kegotongrotongan, dan rasa persamaan nasib. Manusia dilahirkan untuk hidup bersama dan membawa sifat dasar sebagai makhluk sosial (homo socius), makhluk beretika (homo ethicus), dan makhluk ekonomi (homo economicus). Keputusan untuk mengembangkan ekonomi rakyat dan bukannya mati-matian merangsang masuknya investor dari luar menunjukkan keinginan masyarakat Jerang Melayu untuk memprioritaskan pemerataan bukannya pertumbuhan ekonomi. Hal ini sesuai dengan ungkapan Pak Abidin (kepala kampung) bahwa jika pemerintah ingin mensejahterakan rakyat maka tidak perlu dicapai “dalam waktu sesingkat-singkatnya” karena pengorbanannya akan sangat besar.

Pembangunan yang dipercepat pastilah membawa ekses yang justru menjauhkan dari tujuan mensejahterakan rakyat. Seperti halnya pembangunan ekonomi Indonesia yang bersifat top down dan mendasarkan pada keyakinan berlakunya trickle down effect justru berakibat pada peminggiran hak, eksploitasi SDA secara berlebihan, penggusuran, dan akhirnya menimbulkan kemiskinan struktural yang sulit disembuhkan.

Masuknya perusahaan swasta (Multi National Coorporation/MNCs) untuk mengelola (mengeksploitasi) lahan dan kekayaan alam kampung dalam jangka pendek memang menggiurkan masyarakat. Iming-iming ganti rugi, direkrut sebagai tenaga kerja, dan bujukan lain merupakan jalan beralihnya kontrol dan akses penduduk ke sumber penghidupan mereka yaitu tanah, lahan, dan hutan. Pengurus kampung sadar bahwa lebih banyak konflik yang telah diciptakan dari pengelolaan SDA oleh investor dan lebih mungkin terkikisnya pola hubungan sosial dan persaudaraan diganti dengan paham ekonomisme, uangisasi, kapitalisme, sebagai akibat berubahnya pola pemilikan dan sistem produksi di masyarakat kampung. Kemungkinan terwujudnya demokrasi ekonomi (ekonomi kerakyatan) dimana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, dibawah pimpinan atau penilikan anggota masyarakat menjadi lebih sulit.

Kesempatan masyarakat Jerang Melayu untuk mengelola lahan sesuai dengan keinginan dan kearifan lokal mereka pun akan menjadi lebih terbatas atau bahkan hilang. Pola produksi berganti menjadi buruh-majikan, dengan menggantungkan harapan kesejahteraan masyarakat pada "belas kasihan" para elit perusahaan. Kepala kampung Jerang Melayu menegaskan bahwa dia tidak anti perusahaan swasta, namun sekali lagi dia dan masyarakatnya saat ini memilih untuk membangun ekonomi masyarakat berdasar potensi dan modal sosial (social capital) yang dimikiki.

Kemauan sosial (social will) masyarakat Kampung Jerang Melayu untuk mengembangkan ekonomi usaha bersama dalam suasana egalitarian. kekerabatan, keterbukaan (semangat berinteraksi dengan “dunia luar), dan kerja sama (bukannya kompetisi) merupakan modal dasar bagi pembangunan sosial-ekonomi kampung tersebut. Kepercayaan bahwa aktivitas ekonomi harus dipadukan dalam kerangka aktivitas sosial masih sangat mewarnai kehidupan sehari-hari penduduk. Pengejaran pada kemajuan ekonomi (materiil) semata hanya akan menumbuhsuburkan paham individualisme, materialisme, dan berujung pada terciptanya sistem kapitalisme di masyarakat. Konsep ekonomi (economics) yang berarti mengatur rumah tangga, ternyata telah “mengajari” orang bersikap individualistis yaitu mengajarkan bagaimana mengatur atau mengelola kekayaan pribadi agar semakin besar (tanpa batas) dengan mengabaikan dampak sosial atau akibat yang bisa merugikan orang lain. (Mubyarto. 1999)

Mirco Bunc dalam bukunya Global Economy In The Age of Science-Base Knowledge menggagas sebuah istilah atau ilmu baru yang dikenal dengan sosionomi, yaitu ilmu yang mengatur dan mengelola kehidupan manusia yang hidup bersama (the science of organizing and managing people living together):

Socionomy is both a theory and the science of a new search of wealth based on the knowledge of new socio-environtmental, socio-economic, and capital structure, changes and developments .

Jauh di kampung Jerang Melayu masyarakatnya sudah melakukan praktek-praktek sosionomi berpijak pada kearifan lokal dalam berinteraksi dengan Tuhan, alam, dan sesama manusia,

Globalisme, Kemiskinan, Kekuatan Ekonomi Rakyat

Jika kemiskinan dianggap sebagai masalah struktural, akibat ketimpangan politik-ekonomi global, kebijakan dan aturan yang lebih menguntungkan pihak yang kuat, maka pemecahannya seharusnya juga bersifat fundamental (mendasar). Dalam hal ini pemerintah, sebagai elit pemimpin yang melaksanakan kedaulatan rakyat, seharusnya aktif berperan dalam mengatasi berbagai masalah pengembangan ekonomi rakyatnya. Untuk itu diperlukan “pemihakan” sepenuhnya oleh pemerintah terhadap pelaku ekonomi rakyat dalam bentuk perlindungan dari dampak negatif liberalisme dan kapitalisme pada tingkat lokal dan global.

Sampai saat ini perhatian pemerintah nampaknya masih sebatas kemauan politik yang belum direalisasikan di lapangan. Di kampung Jerang Melayu sendiri pun belum banyak upaya yang dilakukan untuk membantu berkembangnya ekonomi rakyat. Program penanggulangan kemiskinan belum sampai ke masyarakat kampung, kecuali sebatas raskin yang juga hanya dikonsumsi sebagian kecil penduduk yang memiliki uang saja. Sebagai daerah yang masih muda (3 tahun) masih cukup peluang untuk meletakkan pondasi bagi pengembangan ekonomi kerakyatan berbasis pada pemberdayaan ekonomi rakyat di kampung-kampung.

Secara umum kebijakan yang dijiwai gagasan pasar bebas global terbukti berperanan besar dalam memerosokkan kesejahteraan pelaku ekonomi rakyat terutama yang bergerak di sektor pertanian. Penurunan bea masuk komoditi pertanian yang berujung pada meluasnya impor komoditi gula, beras, dan daging, telah memaksa petani kita untuk menjual produk mereka dengan harga murah sehingga kesejahteraan mereka tetap rendah.

Kondisi inilah yang diinginkan oleh negara-negara maju penganjur globalisasi supaya produk mereka dapat menguasai pasar negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Kita perlu waspada jangan sampai bangsa kita digiring hanya sekedar menjadi “bangsa konsumen” yang selalu “diiming-imingi” manfaat harga murah sesaat dari sistem pasar bebas atau “bangsa makelar” yang hanya bisa menjual produk negara lain tanpa peduli dengan pemberdayaan pelaku ekonomi rakyat sebagai produsen potensial penyangga masa depan bangsa.

Oleh karena itu upaya pemberdayaan ekonomi rakyat dan penanggulangan kemiskinan tidak akan berhasil tanpa adanya kesadaran untuk mengoreksi tatanan ekonomi-politik yang cenderung timpang baik dalam skala global maupun nasional. Diperlukan dua langkah dari segenap komponen bangsa kita, terutama pemerintah selaku pengambil kebijakan dan para ekonom-politisi yang selama ini turut memberikan nasihat teoritis dan kebijakan di negara kita. Langkah pertama adalah membendung pengaruh negatif berkembangnya paham globalisme pasar bebas sebagai bagian dari skenario kapitalisme global dengan tidak begitu saja menerima segala teori, kebijakan, dan agenda-agenda global tanpa adanya signifikansi dengan perjuangan untuk memberdayakan pelaku ekonomi rakyat, penanggulangan kemiskinan, dan pembebasan negara kita dari ketergantungan politik-ekonomi dari negara atau lembaga apapun.

Dalam hal ini pemerintah dan para ekonom seharusnya menjadi penganjur utama untuk memperjuangkan kemandirian bangsa bukannya tunduk pada positivisme ilmu yang belum tentu benar dan sesuai untuk memperbaiki nasib rakyat Indonesia. Langkah kedua, sudah saatnya kita mengembangkan sistem ekonomi alternatif yang lebih sesuai dengan ciri khas kehidupan sosial-ekonomi riil (real-life economy) rakyat Indonesia. Sistem ekonomi yang perlu dikembangkan bersumber dari nilai-nilai Pancasila yang merupakan ideologi pemersatu bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan sistem ekonomi untuk mengoreksi tatanan ekonomi yang cenderung liberal-kapitalistik. Sistem ekonomi yang disebut sebagai Sistem Ekonomi Pancasila ini merupakan manifestasi perjuangan untuk menegakkan demokrasi ekonomi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang berbasiskan pada nilai-nilai moral (Ketuhanan), kemanusiaan, dan kebangsaan (nasionalisme ekonomi).

Dalam demokrasi ekonomi yang mengacu pasal 33 UUD 1945 pemerintah daerah perlu membangun perannya untuk bersama-sama dengan rakyat mengelola segala kekayaan alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak di Kutai Barat, seperti air, tambang, hewan, hutan, dan lainnya. Liberalisasi pengelolaan SDA oleh investor swasta tidak dapat diharapkan mensejahterakan penduduk kampung. Hasil kajian di Kampung Jerang Melayu dapat dijadikan model bagi pengembangan ekonomi kerakyatan, yaitu aturan main berekonomi yang memihak ekonomi rakyat, berpijak pada upaya pemerataan, dan berupaya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat. Pengembangan sistem ekonomi kerakyatan diharapkan dapat menjadi modal “melawan” globalisme yang berakibat pada ketergantungan total ekonomi rakyat terhadap perusahaan dan lembaga global.

Ekonomi rakyat yang terbukti memiliki daya tahan tinggi dalam menghadapi krisis seharusnya memberi pelajaran kepada pemerintah dan ekonom-ekonom kita untuk lebih serius lagi menjadikan penguatan peran ekonomi rakyat sebagai agenda besar pembangunan ekonomi bangsa. Ketidakpercayaan terhadap ekonomi rakyat, yang sebenarnya adalah wujud ketidakpercayaan diri (inferiority complex), merupakan kendala bangsa kita untuk benar-benar dapat lepas dari ketergantungan ekonomi terhadap negara/lembaga luar negeri seperti IMF. Hal ini pula yang mendorong lebih dominannya kebijakan yang berorientasi pada merangsang masuknya investasi asing dengan melupakan investasi yang telah dilakukan pelaku ekonomi rakyat dalam skala kecil namun yang nilai totalnya sangat besar.


Yogyakarta, 2 Desember 2003

No comments: