Friday, May 13, 2005

EKONOMI RAKYAT VS EKONOMI TAMBANG

Awan Santosa

Dilematis! Inilah ungkapan untuk menggambarkan pertautan antara aktivitas petani dan perusahaan tambang batu bara Gunung Bayan Prima Coal di Kecamatan Muara Pahu. Sejak terjadi banyak protes dari petani-nelayan di sepanjang Sungai Kedang Pahu terhadap aktivitas pengangkutan batu bara melewati sungai yang dinilai merugikan nelayan penduduk sekitar sungai Mahakam, PT Gunung Bayan telah membangun jalan darat sepanjang 12 km sebagai jalan alternatif pengangkutan batu bara perusahaan tersebut. Pembangunan jalan ini telah menimbulkan masalah baru bagi petani di sekitarjalan yang melewati sawah petani. Pak Nanang Besta (61) yang ketua RT I kampung Tanjung Laong, Kecamatan Muara Pahu mengatakan bahwa sejak dibuatnya jalan tersebut sawah-sawah di sepanjang jalan mengalami kekeringan, karena parit di kanan kiri jalan tersebut telah menyedot air sawah petani. Para petani kini menuntut ganti rugi pada perusahaan yang telah menggunakan lahan persawahan seluas 4500 m2 milik petani.

Pak Bahrani, salah seorang anggota kelompok tani Bina Karya menuturkan bahwa para petani menuntut kompensasi sebesar Rp 1500,- per meter persegi, yang katanya hanya disanggupi oleh perusahaan sebesar Rp 100,- per meter persegi. Karena belum ada kesepakatan, penduduk kampung “memblokir” jalan yang pembangunannya belum selesai sepenuhnya. Sampai sejauh ini belum ada titik temu yang dapat memuaskan semua pihak, sementara peran pemerintah kabupaten juga belum berarti. Lahan sawah petani kekurangan air, sedangkan jalan yang baru dibangun belum dapat digunakan. Konflik yang berkepanjangan makin menurunkan kesejahteraan petani-nelayan di Muara Pahu. Selain lahan yang kering, masih digunakannya jalur transportasi sungai juga membawa “dampak negatif” seperti yang diungkapkan Pak A.W. Abidin (49), kepala kampung Jerang Melayu, Kecamatan Muara Pahu, bahwa:
(1.) Arus transportasi air terganggu oleh ponton-ponton besar pengangkut batu bara;
(2.) Debu batu bara yang diangkut ke ponton;
(3.) Masyarakat nelayan tidak dapat memasang alat penangkap ikan (rengge, rawai, bubu, tamba, dan sangga) karena dapat diterjang ponton dan rakit kayu (log), sedangkan ikan di sungai mulai berkurang. Hal ini terutama dirasakan oleh masyarakat kampung di sekitar perusahaan seperti Tanjung Laong, Bloan, dan Dasaq;
(4.) Pendangkalan sungai, rumah-rumah di pinggir sungai mulai miring dan terancam longsor karena sungai dikeruk dan ikan pesut mulai sulit ditemui;
(5.) Ponton yang berisi batu bara sering tenggelam di sungai Kedang Pahu, dan pasir batu bara dibuang ke sungai untuk mengangkat ponton yang tenggelam tersebut;
(6.) Mulai timbul wabah penyakit di wilayah sekitar perusahaan terutama pengguna air sungai Kedang Pahu, air sungai diperkirakan sudah tercemar.

Masalah lainnya adalah konflik tapal batas antar kampung, “perebutan” tanah yang terkena areal tambang batu bara, dan konflik ganti rugi tanah oleh perusahaan yang sangat rendah (Rp 2,5 juta/ha), akibatnya masyarakat sering berunjuk rasa a.l: tanggal 7/2/03 masyarakat (Tj Laong, Teluk Tempudau, Muara Baroh, dan Sebelang) menggugat perusahaan batubara di BPU Kecamatan Muara pahu tentang uang Rp 200 juta (diserahkan kepada siapa dan dipakai untuk apa). Sebelumnya masyarakat berunjuk rasa dan memperoleh dana Rp 75.000/kk/tahun. Areal tambang batubara tumpang tindih dengan perkebunan sawit. Penyelesaian sengketa ternyata memenangkan pihak perusahaan dan masyarakat dikalahkan.

Inilah dilema dalam pengelolaan sumber daya alam (tambang) oleh perusahaan-perusahaan swasta yang selalu berpotensi menimbulkan “benturan kepentingan” dengan kepentingan penduduk kampung (ekonomi rakyat). Dalam kasus kelompok tani Bina Karya misalnya, penyelesaian atas satu masalah (memenuhi tuntutan masyarakat) ternyata menimbulkan masalah baru, yang akhirnya pemecahan masalah pertama pun tidak tercapai. Para petani yang sudah miskin menjadi lebih sulit lagi kehidupannya karena panen padi mereka yang terancam gagal. Tidak tersedianya sarana-prasarana dan teknologi pertanian yang dibutuhkan petani mengakibatkan terbatasnya kemampuan petani dalam memanfaatkan lahan dan memecahkan masalah –masalah usahatani mereka. Demikian pula, tidak adanya teknologi pengairan yang tepat, menyebabkan air di sawah mereka “tergusur” ke parit “hasil” pembuatan jalan perusahaan. Dengan alat-alat produksi yang tidak memadai, modal minim (dana bergulir Rp 710.000,- untuk 32 orang!), dan kemampuan SDM yang rendah, petani di Tanjung Laong, Muara Pahu menghadapi konflik yang jika berlarut-larut akan benar-benar mengancam kesejahteraan mereka. Hasil panen dengan lahan yang sempit nyaris tidak dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Jika hasil panen menurun atau gagal mereka hanya menggantungkan pekerjaan sampingan mencari ikan yang hasilnya sama sekali tidak dapat dipastikan.

Kunjungan lapangan tim PUSTEP pada awalnya diarahkan pada evaluasi kondisi “program GSM” di bidang pertanian yaitu pengembangan padi sawah di Muara Pahu. Namun ditemukannya kasus di atas makin menguatkan kesimpulan bahwa upaya-upaya menyejahterakan rakyat masih bersifat “parsial atau sektoral”, yang berarti tujuan GSM untuk mengembangkan sinergi multisektoral belum terwujud. Dalam hal ini keterkaitan langsung antara perusahaan-perusahaan swasta besar di sektor pertambangan dengan usaha pertanian rakyat sangat erat. Upaya-upaya pemberdayaan pertanian rakyat tanpa melihat keterkaitan ini akan menjadi sia-sia. Masalah yang dihadapi petani bukan saja terkait dengan masalah-masalah usahatani mereka, melainkan lebih komplek lagi terkait dengan sistem pengelolaan sumber daya alam yang “ramah lingkungan” dan tidak menimbulkan kerugian pada usaha-usaha ekonomi rakyat. Keadaan ini harus mendorong aparat dinas-dinas untuk lebih “saling berinteraksi” dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi ekonomi rakyat. Dalam kasus di atas perlu keterkaitan multipihak terutama antara dinas pertanian, dinas pekerjaan umum dan prasarana wilayah, dinas lingkungan hidup, dinas pemberdayaan masyarakat, dan dinas-dinas terkait lainnya.
Kegiatan pertambangan merupakan kegiatan yang dominan di Kutai Barat di luar kegiatan subsektor kehutanan. Dalam kaitan itu, prioritas perhatian pada pertambangan dan dampaknya, baik terhadap lingkungan, maupun masyarakat kampung perlu lebih ditekankan. Inilah “masalah struktural” yang selalu menghambat usaha ekonomi rakyat untuk berkembang. Pelaku ekonomi rakyat tidak akan mampu memecahkan masalah tersebut tanpa dukungan pemerintah daerah. Ekonomi rakyat berhadapan dengan pihak-pihak yang memiliki kekuatan modal, teknologi, dan pengetahuan. Gerakan Sendawar Makmur (GSM) yang bertujuan untuk menangggulangi kemiskinan penduduk Kutai Barat harus lebih diarahkan untuk memecahkan masalah-masalah riil yang dihadapi pelaku ekonomi rakyat. Seperti halnya di bidang kehutanan, dimana pemerintah daerah telah membentuk Kelompok Kerja Program Kehutanan Daerah (KKPKD), belum ada kelompok kerja atau komisi untuk menangani masalah-masalah pertambangan. Walaupun perusahaan-perusahaan swasta telah memiliki izin operasional tambang, tidak berarti pemerintah daerah dan masyarakat kampung tidak memiliki “kekuasaan” untuk mengatur aktivitas mereka agar tidak merugikan ekonomi rakyat dan merusak lingkungan.

Salah satu model yang digunakan sebagai alat evaluasi kinerja proyek –proyek pertambangan adalah model “audit lingkungan” atau yang lazim disebut Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Konsep ini digunakan untuk mengukur dampak operasional proyek terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat sekitar proyek. Dalam lokakarya GSM bulan Juli 2003, konsep ini telah diusulkan untuk menjadi program yang ditangani oleh Dinas Lingkungan Hidup. Nama program yang direncanakan di semua kecamatan adalah ‘Penegakan Hukum, Pengawasan dan Implementasi Amdal dalam Pengelolaan”. Program ini sangat tepat ditujukan untuk mengukur sejauh mana dampak operasional proyek pertambangan yang tersebar di beberapa kecamatan di Kabupaten Kutai Barat. Sebagai contoh, jika perusahaan Gunung Bayan (dan pemerintah daerah) konsisten untuk melakukan Amdal, maka dampak-dampak negatif operasioanl perusahaan seperti yang telah dipaparkan Pak Nanang Besta dan Pak Abidin di atas tidak akan terjadi. Perusahaan dan dinas-dinas pemerintah terkait tentu akan mengusahakan mencari pemecahan agar lahan sawah petani Muara Pahu tidak mengalami kekeringan, kapal (ponton) tidak merusak “pencaharian” nelayan, dan potensi sumber berbagai penyakit dapat dicegah secara dini. Sungguh amat sulit mengharapkan penegakan hukum hanya diprogramkan oleh Dinas Lingkungan Hidup saja tanpa keterlibatan pihak-pihak lain yang memiliki komitmen terhadap supremasi hukum. Penegakan hukum menjadi sangat penting di saat terjadi konflik terutama antara perusahaan tambang dengan masyarakat yang merasa dirugikan.

Jika kemiskinan tidak saja disebabkan kelemahan usaha internal melainkan juga faktor struktural, maka GSM perlu memberi perhatian yang lebih serius terhadap masalah ini. Masalah di luar usaha seperti halnya dampak operasional tambang, konflik-konflik berkepanjangan, dan lambatnya penanganan pemerintah berpotensi untuk lebih “memiskinkan” penduduk Kutai Barat. Hal ini bukannya tidak disadari oleh Pemkab yang dalam Konsep Gerakan Sendawar Makmur sudah menegaskan bahwa :

Kemiskinan dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang ada dalam diri individu, keluarga, atau komunitas masyarakat miskin itu sendiri, seperti rendahnya tingkat pendidikan dan rendahnya tingkat pendapatan (internal), atau disebabkan oleh faktor-faktor eksternal, seperti kondisi sosial, politik, hukum, dan ekonomi yang ada.

Apabila dipahami, langkah-langkah penanggulangan kemiskinan melalui GSM tentu tidak dapat memisahkan faktor internal dan eksternal tersebut. Penanggulangan kemiskinan tidak saja membutuhkan keterpaduan multisektor dan multistakeholder, melainkan juga keterpaduan dua pemecahan masalah kemiskinan di atas. Kasus dilema tis proyek pertambangan dengan aktivitas ekonomi rakyat di bidang pertanian dapat menunjukkan bahwa pemberdayaan ekonomi rakyat (melalui GSM) hanya dapat dilakukan dengan terpecahkannya masalah-masalah struktural berupa “benturan kepentingan” yang berdampak kerugian bagi ekonomi rakyat dan mengarah pada konflik-konflik sosial-ekonomi, dan politik

No comments: