Thursday, May 12, 2005

REFORMASI TOTAL PENDIDIKAN

Awan Santosa



Pendahulan
Keprihatinan umum terhadap dunia pendidikan kita adalah kegagalannya dalam memaknai proses “memanusiakan manusia” yang bahkan cenderung mengarah pada dehumanisasi terhadap peserta didik. Pendidikan telah terjebak dalam formalisme transfer materi (pengetahuan) semata dengan melupakan hakekat tujuan dan idealisasi pencerahan dan proses penyadaran yang melatarbelakanginya. Lebih parah lagi, pendidikan kita telah terhegemoni virus kapitalisme yang menularkan ajaran individualisme, rasionalisme, dan materialisme, yang hanya menganggap peserta didik sebagai alat produksi, bagian kecil (sekrup) operasional agen kapitalisme global. Akibatnya, pendidikan tercerabut dari akar sosial-budaya lokal, tidak peduli dengan keadaan dan masalah yang dialami peserta didik, dan hanya menghasilkan manusia (lulusan) yang “terasing” dari lingkungannya sendiri. Keluaran dari pendidikan formal adalah manusia yang tidak sanggup mandiri, berwawasan sempit, tanpa kemauan membangun daerah, serta cenderung menghasilkan “sarjana tukang”, “sarjana textbook” (Mubyarto, 2003) yang gagap ideologi dan menafikan sejarah.

Arus globalisasi yang diikuti liberalisasi media telah ikut bermain dalam proses pendidikan yang makin komplek. Idealisasi pendidikan yang ditata dalam instrumen persekolahan dapat dengan mudah luluh-lantak karena keserakahan pelaku media (televisi) yang tidak bertanggung jawab. Televisi sebagai media pendidikan informal telah menggempur kesadaran siswa dengan budaya hedonistik, kekerasan, dan pornografi yang semata-mata ditiru dari Barat. Munculnya “trend” baru “bunuh diri” yang dalam beberapa kasus benar-benar dipraktekkan anak sekolah (Republika, Juni 2004) merupakan dampak kebebasan tayangan (kekerasan) yang semata-mata berorientasi komersial, tanpa pertimbangan sosial dan pendidikan sedikitpun. Di sisi lain, kenekatan anak sekolah ini merupakan petunjuk bahwa sekolah (pengelola dan guru) telah kehilangan kepekaan untuk memahami kondisi psikologis dan situasi sosial-ekonomi siswa.

Secara makro pendidikan kita telah gagal mengemban hakekat luhurnya sebagai media perubahan sosial-politik dan ekonomi yang menjadi jembatan mobilitas vertikal bagi rakyat kecil. Pendidikan justru menjadi alat untuk melegitimasi dan melanggengkan sistem dan struktur politik-ekonomi yang timpang, yang lebih berpihak pada kaum pemilik modal dan tidak aspiratif bagi si miskin. Pada masa Orde Baru, pendidikan kita terjebak pada hegemoni negara (status quo) yang selalu diintervensi, diintimidasi, dan digunakan sebagai alat politik rezim Soeharto. Setelah reformasi, hegemoni negara mulai surut (otonomi) karena pemerintah (negara) telah bangkrut sehingga tidak mampu (tidak mau) lagi menanggung sepenuhnya beban anggaran pendidikan. Sebagai gantinya, pendidikan kita telah jatuh ke “pangkuan” pasar yang dikuasai oleh korporat raksasa (asing) dan birokrat oportunis, sehingga makin liberal (kehilangan jati diri), merosot kualitasnya, tak terjangkau si miskin, pro-pasar (market friendly), dan didisain sesuai kepentingan mereka. Pendidikan seperti ini hanya melahirkan intelektual-intelektual yang egois (individualis), pragmatis, dan lupa (tidak mau tahu) nasib rakyatnya.

Kaum intelektual adalah kaum yang bertanggung jawab atas kemajuan suatu bangsa: namun apabila mereka tidak dapat lepas dari empat penjara manusia, mereka tidak ada bedanya dengan kuda-kuda penarik kereta. Empat penjara manusia yang dimaksud adalah penjara alam, penjara sejarah, penjara masyarakat, dan penjara ego. Tiga buah penjara yang disebutkan pertama adalah penjara-penjara yang mudah ditaklukkan oleh ilmu pengetahuan yang dimiliki para intelektual. Tetapi, yang keempat adalah penjara yang selama ini mengurung para intelektual bagaikan ayam petarung di dalam kandang sehingga tak terlihat tajinya. Penjara ego-lah yang membuat para intelektual hanya mengejar kepentingan sempit, menjadi egois, dan lupa nasib rakyat yang dulu pernah dan mungkin sedang mereka perjuangkan (Ali Syariati)

Intelektual masa kini sangat berbeda dengan mereka yang hidup di era pergerakan: di masa itu para intelektual hidup dan membentuk élan serta komunitas politik dan watak kebangsaan masyarakatnya; di masa kini para intelektual kalau tidak dibentuk oleh kepentingan-kepentingan pragmatis di luar dirinya maka mereka akan lari ke studio-studio untuk mengisi acara kuis bersama para pelawak dan artis. Sebagian lain yang masih bertahan, memilih dengan berada di luar (Robertus Robet)


Pendidikan di perdesaan (pedalaman) tidak luput dari skenario sistem perekonomian yang menempatkan desa sebagai periferal (underbow) dan pemasok kebutuhan perkotaan dengan kontraprestasi yang sangat minimal. Anak-anak dan pemuda desa di pedalaman dididik dengan ajaran-ajaran “modern” bahwa kota besar adalah sumber penghidupan, mereka butuh barang-barang produksi perusahaan, dan bahwa desa adalah “kegelapan” dan kota adalah “kebahagiaan hidup”. Mereka dididik dengan buku-buku teks (Barat) yang sama dengan yang ada di kota-kota besar dengan cara mengajar yang kaku dan tidak inovatif. Alhasil, mereka “awam” dengan potensi, masalah, dan kebutuhan mereka sendiri. Maraklah urbanisasi, mengadu nasib di luar negeri, pemukiman kumuh, anak jalanan, yang sering berakhir penggusuran, penipuan, dan eksploitasi yang merampas hak-hak kemanusiaan mereka. Demikian, pendidikan yang tidak berorientasi pembangunan manusia dan pembangunan di tingkat lokal (daerah/desa) telah menjerumuskan SDM desa pada situasi keterjepitan ekonomi dan terampasnya harkat dan martabat sebagai manusia dan warga negara.


Reformasi Pendidikan Sebagai Gerakan Bersama
Pendidikan di Kutai Barat berada pada fase yang strategis untuk merombak (memperbaiki) landasan paradigma dan sistem pendidikan yang bertujuan memanusiakan manusia, berbasis lokal, dan memiliki keterkaiatan erat dengan misi melawan kemiskinan (dan pemiskinan) di Kutai Barat. Buramnya pendidikan nasional menjadi pelajaran bahwa pembangunan manusia Kutai Barat melalui pendidikan tidak perlu terjebak pada formalisme, pendekatan konvensional, dan program-program karikatif (artifisial) yang akhirnya terseret arus kapitalisme nasional dan global. Kajian lapangan di Kutai Barat dari bulan Juli 2003-Mei 2004 menunjukkan perlunya perombakan menyeluruh (reformasi total), yang tidak dapat dilakukan secara setengah-setengah (setengah hati), parsial (terpisah-pisah), dan melalui cara-cara konvensional. Gerakan Sendawar Makmur sebagai gerakan multistakeholder untuk menanggulangi kemiskinan yang dicetuskan setahun lalu harus dijadikan momentum untuk melakukan reformasi total pendidikan di Kutai Barat. Paling tidak ada enam pilar reformasi total pendidikan yang perlu dilakukan secara partisipatif, sinergis, dan tidak sekedar tambal sulam, yang meliputi reformasi paradigma, kebijakan anggaran (infrastruktur fisik, teknologi, dan informasi), kelembagaan, guru, metodologi (kurikulum, materi, dan cara mengajar), dan buku.

Desentralisasi fiskal dan pelimpahan tugas (wewenang) Pemerintah Pusat pada Pemerintah Kabupaten dalam rangka otonomi daerah (otda) belum banyak diikuti dengan upaya pengembangan otonomi pendidikan, terlebih otonomi sekolah, yang justru sangat dibutuhkan dalam pengembangan sosial-ekonomi dan kapasitas masyarakat lokal. Pendidikan masih mengikuti paradigma (pola pikir) terpusat (top-down) yang mengabaikan pengalaman dan karakteristik lokal dengan akibat tidak tergalinya realitas potensi dan masalah lokal, yang seharusnya menjadi pokok perhatian dalam pengembangan pendidikan. Dalam kasus Kutai Barat, antara Pemda, Dinas Pendidikan, dan stakeholder sekolah (Kepala Sekolah, Guru, Komite Sekolah, dan siswa) masih “canggung”untuk merumuskan paradigma apa yang seharusnya mereka gunakan dalam mengisi otda di bidang pendidikan.

Bupati Rama Asia sudah berprakarsa mengembangkan paradigma bottom-up dengan menggali partisipasi Dinas Pendidikan dan pihak sekolah, khususnya dalam merealisasikan program-program berdasar SK Bupati bulan April 2003 tentang Sekolah Model Binaan. Namun, karena lama terbiasa dalam kultur top-down nampaknya pihak Dinas Pendidikan dan pihak sekolah belum dapat memanfaatkan sepenuhnya perubahan paradigma ini. Beberapa kepala sekolah (SD, SMP, dan SMU) di sekitar pusat kabupaten yang dikunjungi mengaku belum berbuat banyak untuk mengembangkan sekolah mereka dengan peluang yang ada melalui SK Bupati tersebut. Rupanya masih tersisa warisan budaya Orde Baru, yaitu budaya minta petunjuk, menunggu perintah, dan budaya elitis, yang menyulitkan terbangunnya kesadaran budaya untuk bergerak bersama.

Perlu diwaspadai bahwa “strategi pertumbuhan” melalui pentahapan perhatian/prioritas (dari basis kabupaten) pada Sekolah Model Binaan oleh Dinas Pendidikan dapat memperlemah gerakan reformasi pendidikan. Di samping itu, kebijakan ini juga berpotensi menghambat upaya pemerataan (kesempatan) pendidikan yang sangat tidak menguntungkan sekolah di kecamatan perdalaman. Fokus pada sekolah di pusat kabupaten terbukti tidak menjamin keberhasilan program. Mengapa tidak menggerakkan program ini serentak di seluruh kecamatan dengan melibatkan partisipasi stakeholder pendidikan di tiap-tiap kecamatan secara luas? Inilah esensi perubahan paradigma pendidikan yang menjadi bagian integral dalam pewujudan “otonomi masyarakat kampung”.
Reformasi total pendidikan Kutai Barat harus merupakan gerakan bersama yang sistematis, partisipatif, dan terorganisir dengan target dan sasaran yang jelas. Gerakan bersama hanya dapat terwujud apabila ada kesadaran akan kebutuhan perubahan dari semua pihak di Kutai Barat baik dari pemerintah (birokrasi), unsur pendidikan, swasta, LSM maupun masyarakat luas. Tahap kesadaran kebutuhan perubahan dari seluruh stakeholder pendidikan di Kutai Barat dapat dibagi meliputi : Pertama, kesadaran bahwa berbagai masalah kemiskinan, keterbelakangan, dan ketimpangan di Kutai Barat bersumber dari masalah-masalah pada dunia pendidikan. Kedua, kesadaran bahwa kualitas dan pemerataan pendidikan di Kutai Barat masih jauh tertinggal dibanding daerah lain di Indonesia. Ketiga, kesadaran bahwa ketertinggalan pendidikan di Kutai Barat tidak dapat dikejar dengan cara-cara konvensional (klasik) melainkan dengan mengembangkan pendidikan yang benar, inovatif, dan sesuai dengan karakteristik sosial-budaya lokal. Keempat, kesadaran bahwa setiap orang (lembaga) bertanggung jawab untuk memberikan sumbangan kongkret bagi kemajuan pendidikan di Kutai Barat.


Kebijakan Anggaran Pendidikan
Dalam diskusi di Bappeda (Mei 2004) muncul dua fakta yang bertolakbelakang. Pejabat Dinas Pendidikan mengeluhkan minimnya alokasi anggaran untuk membiayai program-program bidang pendidikan. Sementara itu, peserta diskusi yang mantan panitia anggaran menyangsikan kemampuan Dinas, seandainya 20% APBD untuk sektor pendidikan benar-benar dapat diwujudkan. Di samping itu, dana sebenarnya tersedia asal program-program yang diajukan pihak Dinas realistis. Ketidaksinkronan ini menggelisahkan karena dalam kunjungan di beberapa kecamatan terlihat bahwa kebutuhan anggaran untuk memenuhi dan memperbaiki infrastruktur pendidikan begitu besar. Bagaimanapun anggaran pendidikan harus diupayakan mendekati persentase ideal (20%). Pendidikan memiliki arti yang sangat strategis bagi wilayah pedalaman seperti Kutai Barat. Oleh karena itu, harus disadari bahwa masalah pendidikan bukan saja menjadi masalah Dinas Pendidikan semata, melainkan masalah seluruh jajaran pejabat di Kutai Barat. Demikian pula halnya, masalah anggaran pendidikan bukan saja ditentukan oleh kapasitas Dinas Pendidikan melainkan komitmen bersama untuk memikirkan kemajuan pendidikan di Kutai Barat.

Kebijakan alokasi anggaran pendidikan mencerminkan seberapa besar kemauan politik Pemkab dalam membangun sumber daya manusia Kutai Barat. Dengan potensi APBD yang ada, seluruh jajaran pejabat Pemkab bersama lembaga pendidikan dan masyarakat dapat menyusun agenda reformasi pendidikan secara total (komprehensif) beserta kebutuhan penganggarannya. Kebijakan anggaran tidak cukup berhenti pada peningkatan kesejahteraan guru (gaji dan fasilitas) melainkan harus menyentuh ke setiap aspek kebutuhan sekolah dan peserta didik. Masih banyak keluarga miskin yang merasa terbebani oleh biaya sekolah dengan nilai yang sedikit sekalipun. Belum lagi kebutuhan anak-anak mereka akan buku yang masih terbatas karena minimnya alokasi anggaran pendidikan. Harus mulai dipikirkan untuk membebaskan biaya pendidikan bagi siswa SD-SMP terutama bagi keluarga termiskin. Termasuk pula diterapkannya kembali program-program beasiswa yang sempat dikurangi karena keterbatasan dana. Ini memerlukan keseriusan anggota DPRD dan Pemkab Kutai Barat untuk membuat kebijakan anggaran yang responsif terhadap masalah pendidikan dan kemiskinan di Kutai Barat dengan mengupayakan pendidikan murah dan berkualitas bagi penduduk miskin Kutai Barat.

Alokasi anggaran pendidikan yang lebih besar diperlukan untuk memperbaiki dan membangun infrastruktur pendidikan secara merata yang selama ini masih sangat minim. Dalam beberapa kunjungan lapangan di wilayah pedalaman terlihat bagaimana bangunan dan fasilitas sekolah sangat tidak memadai untuk proses belajar mengajar. Demikian pula halnya, rendahnya penggunaan teknologi (alat ajar) dan sarana komunikasi-informasi (koran) lokal masih menjadi hambatan dalam menunjang pendidikan di Kutai Barat. Dalam bagian lain, pemerataan akses pendidikan berkualitas melalui penyediaan asrama gratis bagi siswa-siswa SD di wilayah pedalaman perlu didukung alokasi anggaran yang memadai. APBD Kutai Barat tahun 2003 sebesar Rp 624,4 milyar dengan penghematan realisasi anggaran mencapai Rp 22 milyar sangat potensial untuk dimanfaatkan dalam program-program pengembangan infrastruktur pendidikan di Kutai Barat.


Revitalisasi Kelembagaan Pendidikan
Masalah pendidikan di Kutai Barat tidak terlepas dari rendahnya kapasitas lembaga (pengelola) pendidikan yang ada, Reformasi pendidikan melalui pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah memang membawa angin segar kemajuan. Hanya saja reformasi kelembagaan tidak boleh terpaku pada pembentukan lembaga baru yang merupakan kebijakan pusat (Dinas Pendidikan Nasional). Perubahan harus dimulai dari lembaga pendidikan yang sudah ada, yang memiliki peran vital dalam mengorganisasikan tujuan pendidikan di Kutai Barat yaitu Dinas Pendidikan Kutai Barat dan lembaga sekolah itu sendiri. Dinas Pendidikan selama ini masih belum menunjukkan kapasitas terbaiknya dalam mengelola dan mengembangkan program pendidikan karena penguasaan mereka terhadap data, kebutuhan, dan masalah pendidikan yang tidak komprehensif. Dalam program Sekolah Model Binaan misalnya, terlihat bahwa Dinas belum melakukan koordinasi dan pengorganisasian yang efektif sehingga komunikasi gagasan dengan sekolah terdekat pun belum dijalankan secara optimal. Bagaimana halnya dengan sekolah di pedalaman?

Begitu pun, beberapa sekolah di pusat kabupaten masih menghadapi kesulitan dalam menyusun dan mengembangkan program-program sekolah mereka. Akses yang lebih mudah terhadap pelayanan pemerintah kabupaten belum dimanfaatkan secara optimal untuk mengembangkan kelembagaan sekolah. Dalam hal ini agenda yang mendesak dalam rangka reformasi kelembagaan adalah pembangunan kapasitas kelembagaan melalui advokasi (pelatihan) bagi sekolah-sekolah dalam menyusun dan mengembangkan program-program sekolah mereka yang terkait dengan kegiatan belajar mengajar dan kegiatan manajerial lainnya. Upaya ini mendukung pelaksanaan “otonomi sekolah” yang secara nasional diwujudkan dalam model Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dengan syarat penekanannya pada karakteristik sosial-budaya lokal.

Kelembagaan pendidikan di Kutai Barat harus direvitalisasi menuju kepekaan perhatian terhadap situasi sosial-ekonomi yang dihadapi peserta didik. Untuk itulah perlunya memadukan program-program pendidikan dengan kebijakan dan program-program penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi rakyat Kutai Barat. Kelembagaan pendidikan baik Dinas, sekolah, Dewan pendidikan, maupun Komite Sekolah perlu memberikan sumbangan nyata dalam pengembangan Gerakan Sendawar Makmur melalui pengembangan gerakan bersama reformasi total pendidikan di Kutai Barat.


Kesejahteraan dan Kualitas Guru
Masalah pelik pendidikan Kutai Barat yang sudah sering diungkap adalah keterbatasan jumlah guru terutama di wilayah-wilayah pedalaman. Perhatian Pemkab sebenarnya cukup besar menyangkut peningkatan kesejahtaraan guru seperti dalam hal penggajian, pemberian fasilitas transpor (sepeda motor), dan pengiriman beberapa guru dalam pelatihan di luar daerah. Hanya saja, masalah kualitas, kuantitas, dan “ketetapan hati” guru tetap menjadi kendala dalam pengembangan pendidikan Kutai Barat. Bagaimana dapat meningkatkan kualitas jika guru-guru merasa enggan untuk berlama-lama mengajar di wilayah pedalaman terutama karena kendala sarana dan budaya.

Dalam hal ini diperlukan terobosan agar guru dapat berperan optimal dalam proses pembelajaran di sekolah. Dalam kunjungan lapangan di Kampung Jerang Melayu, Muara Pahu, ada usulan supaya sumber daya manusia lokal diberdayakan menjadi guru-guru dengan bekal pelatihan dan pendampingan dari Dinas Pendidikan. Guru lokal cenderung dapat all out karena mereka mengajar anak-anak mereka sendiri demi tujuan pembangunan wilayah mereka sendiri. Di sinilah peran guru-guru yang ada (terutama dari Jawa) dalam melakukan tranformasi pengetahuan, keahlian, dan sikap yang diperlukan oleh seorang guru. Terhadap guru yang ada, Pemkab juga harus mulai memikirkan “kesejahteraan intelektual dan spiritual” mereka. Fasilitas dan tunjangan tidak sebatas sarana-prasarana melainkan juga berupa tunjangan buku-buku bacaan relevan yang aktual (cara mengajar, dinamika pendidikan, dan ekonomi lokal), fasilitasi dalam kegiatan organisasi guru (MGMP), dan pelibatan guru-guru dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di daerah lain.

Guru-guru dapat menjadi pemberi motivasi dalam gerakan reformasi total pendidikan di Kutai Barat terutama melalui optimalisasi peran dan fungsi forum Musyawarah Guru. Forum ini dapat dijadikan media tukar pikiran, baik dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi guru maupun dalam menyusun dan mengembangkan program-program pendidikan di sekolah dan di masyarakat. Yang lebih penting forum ini dapat menjadi ajang berbagi pengalaman guru tentang cara mengajar yang tepat, topik-topik pelajaran yang relevan, sistematika (silabi) pelajaran yang benar, dan bagaimana membangun komitmen bersama antara kepala sekolah, guru, murid, orang tua, dan unsur pendidikan lain di Kutai Barat. Idealisasinya adalah, peningkatan kesejahteraan guru harus diikuti peningkatan kapasitas guru, dan penguatan antusiasme guru dalam mendidik anak-anak masa depan Kutai Barat.
Pendidikan Berbasis Lokal
Ketertinggalan pendidikan Kutai Barat menuntut terobosan-terobosan inovatif dan alternatif untuk tidak terjebak pada pakem “coba-coba” metode pendidikan yang sudah telanjur berkembang secara nasional. Ketertinggalan dapat dimaknai sebagai potensi karena mengandung keaslian yang masih membuka ruang berimprovisasi dengan menyadari bahaya terjerumus pada pola-pola pendidikan yang formalistik, materialistik, dan sarat dengan nilai-nilai asing (Barat), yang bertentangan dengan karakteristik sosial-budaya lokal. Pendidikan di Kutai Barat harus mulai direka kembali sehingga berbasis pada realitas sosial-budaya dan ekonomi lokal agar peserta didik tidak alpa dengan sejarah, alam, dan lingkungan sosial mereka. Upaya-upaya beberapa sekolah di Barong Tongkok dan Linggang Bigung yang mengembangkan kegiatan memanfaatkan lahan perlu ditumbuh kembangkan bersama.

Metode mengajar guru harus disesuaikan dengan kebutuhan untuk memberi pemahaman kepada peserta didik akan potensi dan masalah yang dihadapi daerahnya. Peserta didik harus diarahkan untuk mampu memikirkan bagaimana pemecahan masalah tersebut disertai aktualisasi nilai bahwa kelak hal itu akan menjadi tanggung jawab mereka. Metode ini mensyaratkan digantinya cara mengajar konvensional yang “menjejali” peserta didik dengan berbagai teori yang kemungkinan besar tidak sesuai dengan realitas yang mereka hadapi. Peserta didik harus diajak “paham kondisi daerah dan rakyatnya” daripada diberi ceramah-ceramah yang kadang sulit dicerna karena bersumber dari dunia yang berbeda dengan dunia sehari-hari mereka. Pengetahuan dan ilmu tidak seharusnya diberikan dengan tujuan pragmatis (ujian), melainkan dikaji relevansi dan manfaatnya, serta diberikan dengan metode-metode yang menarik, inovatif, dan penuh kreatifitas. Demikian pula halnya, guru harus mampu memberi pemahaman terhadap nilai-nilai pendidikan di luar sekolah (televisi) yang cenderung destruktif karena menyodorkan budaya kekerasan, kemewahan, dan seks secara vulgar.

Keleluasaan yang diberikan Departemen Pendidikan Nasional untuk mengembangkan silabus sendiri harus dimanfaatkan secara maksimal. Hal ini dapat dimulai dengan mengkaji kembali kurikulum dan muatan materi yang diajarkan di sekolah-sekolah. Silabi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) harus didesain dengan mempertimbangkan fakta-fakta masalah, potensi, dan karakteristik sosial-budaya dan ekonomi lokal. Demikian pula halnya, materi-materi yang diajarkan perlu disesuaikan dengan data-data lokal seperti dalam hal kehutanan, pertanian, geografi, pertambangan, dan fakta lokal lainnya. Oleh karena itu, buku-buku teks (terutama ilmu-ilmu sosial) yang digunakan pun perlu ditinjau kembali. Buku-buku ekonomi yang justru berpotensi mencerabut peserta didik dari akar sosial-budaya lokal karena berisi ajaran-ajaran dan data-data asing yang kapitalistik-neoliberal harus diganti dengan buku-buku yang bersifat kontekstual, atau minimal tidak diberikan secara textbook thinking. Inilah hakekat metode pendidikan untuk memecahkan masalah (problem posing education) sebagai bagian integral mewujudkan pendidikan berbasis lokal di Kabupaten Kutai Barat

Buku Sebagai Kebutuhan
Dalam kunjungan sekolah di Linggang Bigung ditemukan fakta bahwa rata-rata pemilikan buku pelajaran baru sebesar 50% dari siswa yang ada. Buku-buku tersebut harus dibeli, sehingga berakibat tidak ada kesempatan bagi siswa-siswa dengan latar belakang keluarga miskin untuk memilikinya. Bagaimanapun, buku teks yang relevan sangat penting dalam menunjang proses belajar siswa sehingga harus diupayakan untuk dimiliki setiap siswa. Pemkab dan Dinas Pendidikan perlu mencari cara agar buku-buku teks dapat dimiliki siswa secara merata di seluruh kecamatan di Kutai Barat. Hal ini terkait dengan alokasi anggaran pendidikan yang setiap tahun harus diupayakan untuk meningkat. Ketertinggalan pendidikan jangan sampai justru membuat berbagai pihak menyerah dan menerima keadaan minimnya sarana buku sebagai suatu kewajaran. Justru harus disadari bahwa buku sangat penting bagi pembangunan manusia Kutai Barat melebihi nilai pentingnya di daerah (kabupaten) lain.

Jika dana APBD masih belum memadai, Dinas Pendidikan dapat bekerja sama dengan Dinas (lembaga) lain untuk menyalurkan buku-buku pelajaran dalam bentuk kredit. Kredit ini harus tanpa bunga, angsuran ringan, proses cepat, dan tidak bersifat paksaan. Dalam hal ini, Dinas Pendidikan perlu menghitung kebutuhan buku per siswa per mata pelajaran di seluruh kecamatan di Kutai Barat. Pihak sekolah harus menjadi penanggung jawab program kredit buku karena paling memahami keadaan sosial-ekonomi siswa di sekolah mereka. Cara ini harus benar-benar dilandasi semangat membantu siswa dan bukannya justru memberatkan mereka. Terhadap siswa-siswa termiskin perlu diberikan beasiswa tidak saja berupa uang, pembebasan biaya sekolah, dan fasilitas sekolah, melainkan juga dalam bentuk buku-buku pelajaran. Cara selanjutnya adalah dengan mengembangkan kelompok-kelompok belajar siswa yang dapat saling bekerja sama dalam mempelajari isi buku-buku teks. Upaya ini harus diikuti gerakan penyadaran arti pentingnya buku dan gerakan gemar membaca sebagai kebutuhan pembangunan masyarakat Kutai Barat.


Penutup
Reformasi total pendidikan di Kutai Barat dapat dijadikan perwujudan kongkret program aksi Gerakan Sendawar Makmur (GSM) yang sudah memasuki tahun kedua. GSM akan kehilangan artinya jika mengabaikan permasalahan-permasalahan dan kebutuhan pengembangan pendidikan sebagai modal sosial dalam membangun manusia dan menanggulangi kemiskinan penduduk Kutai Barat. Sebagai tindak awal, seluruh pihak yang berkompeten dalam GSM dan pendidikan perlu menyamakan persepsi terhadap kebutuhan reformasi total pendidikan di Kutai Barat.

Dalam hal ini mitra Pemkab (Pustep UGM) dapat dilibatkan dalam memberikan sumbangan pemikiran yang kemudian perlu dirumuskan bersama sebagai program aksi yang membutuhkan pengorganisasian elemen-elemen pendidikan dan elemen GSM di Kutai barat. Demikian, upaya ini merupakan investasi sosial dan dan investasi manusia dalam program pembangunan jangka panjang yang harus dimulai sekarang dan hasilnya dapat dipetik di masa depan.
Yogyakarta, 25 Juni 2004

No comments: