Wednesday, May 11, 2005

Kenaikan BBM : Jalan Lurus Menghapus atau Melanggengkan Kemiskinan?

KENAIKAN HARGA BBM :
JALAN LURUS MENGHAPUS ATAU MELANGGENGKAN KEMISKINAN?

Mubyarto dan Awan Santosa


Sungguh mengagumkan membaca argumentasi pakar-pakar ekonomi pendukung kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM yang dimuat di Kompas (15-16-18/3/2005). Mereka begitu yakin bahwa kebijakan yang telah diputuskan pemerintah memang bersifat pro-rakyat dan membela penduduk miskin. Keyakinan ini diperkuat bukti empirik yang dianggap sahih untuk menggambarkan dampak positif kenaikan harga BBM, yang diikuti pemberian dana kompensasi, bagi pengurangan kemiskinan. Hasil simulasi kuantitatif LPEM-UI yang dilakukan Ikhsan-Dartanto-Usman menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan yang sebesar 16,2%, mula-mula akan naik sedikit menjadi 16,5% dengan kenaikan harga BBM, namun kemudian turun menjadi 13,7% setelah penyaluran dana kompensasi.

Bukti-bukti empirik data ex post dijadikan rasionalisasi karena memiliki trend yang sejalan dengan keyakinan akademik mereka, yaitu tingkat inflasi yang relatif rendah dan jumlah penduduk miskin yang selalu berkurang pada tahun-tahun setelah pengurangan subsidi BBM (2002-2004). Akhirnya, hasil kajian akademik ini menjadi dasar bagi kesimpulan mereka bahwa isu yang seharusnya diangkat adalah pengawasan penyaluran dana kompensasi, bukan isu-isu lain seperti yang sering dikemukakan para pengkritik (yang menolak) kebijakan kenaikan harga BBM.

Nalar akademik mereka sepintas sangat meyakinkan, apalagi didukung dalih mengurangi defisit APBN, subsidi BBM yang tidak tepat sasaran, dan efisiensi dalam penggunaan energi. Namun, dibalik semua pembenaran tersebut, ada masalah atau kontradiksi yang “disembunyikan” oleh (pakar-pakar ekonomi) pemerintah. Tulisan ini akan mencoba mengurai permasalahan tersebut agar pakar-pakar pemerintah dan masyarakat (terutama warga miskin) lebih memahami duduk perkara pencabutan subsidi BBM, sebagai bagian dari aneka permasalahan ekonomi bangsa yang komplek dan saling bertautan. Adalah tidak etis jika pemerintah terus menerus melakukan “lokalisasi” masalah dan mengarahkan opini publik tanpa menanggapi peluang-peluang dan pemikiran alternatif yang menjadi tuntutan masyarakat.

Penjelasan yang sering disampaikan pakar-pakar pemerintah, antara lain Anggito, Chatib Basri, dan Ikhsan, cenderung tidak menjawab atau menghindar dari kritik-kritik mendasar yang berulangkali saya kemukakan bersama Staf Ahli Pustep-UGM yang lain. Satu hal cukup mendasar, bahwa kebijakan pencabutan subsidi BBM memiliki kaitan yang erat dengan proses liberalisasi ekonomi ala Konsensus Washington yang sedang berjalan di seluruh penjuru dunia termasuk di Indonesia. Deretan fakta yang merefleksikan pertarungan ideologi kerakyatan/nasionalisme vs ekonomi neo-liberal di antaranya adalah munculnya hasil amandemen pasal 33 UUD ’45, UU Sumber Daya Air, RUU Ketenagalistrikan, dan RUU Migas, yang mendukung agenda privatisasi, yang diikuti pemindahan kepemilikan aset-aset strategis nasional kepada pihak swasta atau BUMN asing.

Fakta-fakta ini benar-benar riil, yang dapat mengarahkan analisis ekonomi-politik pada kepentingan pebisnis minyak (asing) dalam tarik-ulur pencabutan subsidi BBM. Jika pakar-pakar ekonomi pemerintah mengaca pada sejarah ekonomi bangsa, tidak sulit untuk memahami pengaruh kekuatan neo-liberal dalam penentuan kebijakan nasional. Dus, kita tidak perlu mengada-ada tentang adanya “teori konspirasi”. Masuk akal bila perusahaan-perusahaan minyak (asing) berhasrat besar menjalankan dan memperluas bisnis mereka di sektor hilir karena keuntungan “luar biasa” jika BBM dijual di Indonesia sesuai harga pasar internasional (tanpa subsidi).

Di sisi lain, keraguan akan digunakannya nalar teoritik yang utuh dan konsisten dalam pencabutan subsidi BBM sangat besar, karena pada saat yang sama subsidi kepada perbankan, yaitu bunga obligasi rekap Rp 40-50 trilyun per tahun yang dinikmati orang-orang super-kaya, tidak ada tanda-tanda untuk dicabut juga. Pakar-pakar pendukung pengurangan subdisi BBM beralasan bahwa pemberian subsidi BBM yang begitu besar mengurangi kemampuan negara untuk membantu mereka yang lemah. Jadi, mengapa alasan ini tidak juga diberlakukan dalam pemberian subsidi perbankan yang nilainya 4 kali lebih besar? Seharusnya pemerintah tidak menutup kemungkinan ini, karena di saat yang sama pemerintah berani mengambil keputusan “pahit” menaikkan harga BBM tanpa dukungan penuh DPR, ditentang mahasiswa dan masyarakat, dan jelas menambah beban hidup masyarakat. Dalam hal ini pemerintah telah menggiring opini publik bahwa “tidak ada alternatif lain” untuk menekan defisit APBN selain pencabutan atau pengurangan subsidi BBM.

Masih dalam kaitan dengan defisit APBN, perhitungan (bukan penelitian) pakar-pakar pendukung kenaikan harga BBM bahwa pada harga minyak dunia sekarang, subsidi BBM akan mencapai Rp 70 trilyun per tahun atau Rp 200 milyar per hari sungguh mendirikan bulu roma. Di sini dipakai asumsi bahwa Indonesia adalah 100% pengimpor minyak, padahal kenyataannya sekitar 50% produksi minyak Indonesia yang 1,1 juta barel per hari (seharga US$ 19,6 milyar) di ekspor. Artinya, pernyataan pakar-pakar ekonomi neoliberal tentang subsidi Rp 70 trilyun bukan fakta tetapi perhitungan di atas kertas “seandainya” Indonesia bukan produsen minyak. Mengapa pakar-pakar tersebut menggunakan cara berpikir yang semata-mata “ekonomi-rasional” tetapi sekaligus “membohongi” masyarakat awam? Jika harga ekspor minyak kita di pasar dunia naik sampai 2 kali lipat, mengapa kita abaikan kenaikan penerimaan devisa kita? Di saat yang sama, tentu pemerintah juga menikmati rejeki nomplok (windfall profit) dari kenaikan harga minyak di pasar internasional seperti yang pernah terjadi pada periode “bonanza minyak” 1974-1981.

Pemerintah terus saja “menghibur” rakyat dengan mengatakan bahwa dalam jangka pendek kebijakan ini memang menyakitkan, tetapi jangka panjang akan lebih baik bagi anggaran negara, kebijakan energi nasional, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Jargon yang sering dipakai adalah rakyat harus rela “bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”. Pernyataan ini mengingatkan saya pada masa kolonial di mana pemerintah Hindia Belanda mengatasnamakan kesejahteraan bersama di masa datang untuk melegitimasi penderitaan rakyat Indonesia. Rakyat miskin kita sejak dulu sampai sekarang tetap saja “sakit”, dan tidak pernah tahu kapan tiba waktunya merasa “senang”, sedangkan orang-orang super-kaya Indonesia tidak perlu “dipaksa sakit” dan terus-menerus menikmati fasilitas-fasilitas (subsidi) yang menguras APBN.

Pakar-pakar ekonomi pemerintah rupanya tidak mampu (dan tidak merasa perlu) untuk melepas mindset ekonomi neoklasik-liberal yang parsialistik dan mekanistik dalam menganalis permasalahan ekonomi. Mereka merasa cukup puas (dan cukup yakin) jika sudah mampu melakukan perhitungan-perhitungan (modelling) kuantitatif, yang kemudian mereka anggap sebagai bukti empirik. Padahal, di saat yang sama terpampang fakta-fakta empirik lain dari kajian (pendekatan) yang berbeda, yang hasilnya bertolakbelakang. Jika memang berniat baik, pemerintah mestinya belajar dari masa lalu tentang pengambilan kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak yaitu harus dilakukan secara terbuka, melalui kajian-kajian dan diskusi publik yang luas, sehingga dinamika ekonomi-politik (dibalik) kebijakan tersebut terpampang dengan jelas dapat dipahami.

Kenaikan harga BBM telah menyulitkan akses orang miskin terhadap minyak tanah, bensin, transportasi, dan sekolah, yaitu terutama dialami oleh masyarakat di kampung-kampung terpencil. Demikian pula dengan nasib nelayan miskin, industri rakyat, dan ekonomi rakyat, yang produksinya terancam (mandeg) karena harga BBM yang makin mahal. Betapa menyedihkan mendengar cerita Amelia, Nudin, dan Amaro, warga Desa Raknamo, Kupang Timur, sebuah desa terpencil, miskin, gelap gulita bila malam hari. Harga minyak tanah mencapai Rp 2.500,- per liter, yang memaksa mereka mengurangi pemakaian pelita. Kenaikan harga bensin juga ditanggapi dengan menganggurkan motor, dan ada yang menghentikan sekolah anak kecilnya, karena biaya transpor yang makin mahal (Kompas, 17/3/2005). Bahkan warga miskin di pedalaman Sulawesi harus rela mengganti konsumsi minyak tanah mereka dengan sabut kelapa atau kayu bakar. Sungguh memprihatinkan!

Ikhsan dan Chatib Basri rupanya memahami kemiskinan sekedar dalam hitungan angka-angka, yang tidak menggambarkan kondisi kemiskinan riil yang akan dibantu dana kompensasi. Analisis naik-turunnya kemiskinan memerlukan kajian utuh (komprehensif) terkait dengan sebab-sebab terjadinya dan sebab-sebab hapusnya kemiskinan. Hal ini sedikit disinggung Chatib Basri bahwa penurunan kemiskinan dalam kurun tahun 2002-2003 mungkin disebabkan oleh hal-hal lain di luar dana kompensasi, misalnya pertumbuhan ekonomi atau peningkatan upah riil. Kajian pengurangan kemiskinan mestinya mulai dari upaya menghilangkan sebab-sebab kemiskinan, bukan semata dilihat dari pemenuhan kebutuhan dasar penduduk miskin.

Kebijakan penyaluran dana kompensasi BBM lebih nampak sebagai belas kasihan (charity) dan “iming-iming” pemerintah, daripada upaya yang sungguh-sungguh untuk menghapus kemiskinan sampai ke akar-akarnya. Pola-pola kompensasi cenderung tidak memberdayakan pelaku ekonomi rakyat karena sekedar menempatkan penduduk miskin sebagai objek penerima bantuan. Tanpa adanya pola kompensasi pun pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar warganya yang miskin (Pasal 34 UUD 1945). Dalam hal ini, pemerintah seharusnya menitikberatkan pada upaya-upaya memecahkan masalah-masalah struktural yang menyebabkan kemiskinan, seperti belum adanya demokratisasi modal, anggaran yang tidak peka terhadap kondisi kemiskinan penduduk, kebijakan pemerintah yang lebih berpihak pada ekonomi konglomerat, serta penyebab-penyebab kemiskinan struktural lainnya.

Di sisi lain, model ekonomi, seperti pendapat Imam Sugema, memang bersifat sangat mekanis, padahal masyarakat (penduduk miskin) yang menjadi subjek kajian bersifat dinamis. Apalagi model ekonomi Neoklasik yang digunakan memiliki banyak asumsi “ceteris paribus”, yang bisa sangat keliru. Dalam kenyataannya, asumsi-asumsi tersebut sejak awal sudah diketahui tidak terjadi, oleh karena itu tidak dikemukakan dalam laporan LPEM UI, seperti halnya asumsi ketepatan penyaluran dana kompensasi, termasuk asumsi-asumsi khusus yang lazimnya dikemukakan untuk menyederhanakan. Model ini mengabaikan perbedaan dampak (sebaran) kenaikan harga BBM bagi rakyat miskin di daerah dan usaha yang berbeda-beda yang tidak dapat dilihat dari perspektif ekonomi makro semata. Sebagai bahan pengajaran (teks) memang kajian tersebut cukup memadai, tetapi sebagai alat pengambilan kebijakan rasanya masih terlalu terburu-buru.Textbook economics may be fine for teaching students, but not for advising government (Stiglitz dalam Mubyarto, Neoliberalisme : 12).

Saya menghargai semangat Anggito, sebagai “pakar pemerintah”, yang menyatakan bahwa keinginan pemerintah jelas agar Indonesia bisa mandiri dan tidak tergantung pada orang lain. Mudah-mudahan ini bukan sekedar lips service, yang jauh panggang dari apinya. Mengajak mandiri tetapi pada saat yang sama membiarkan, bahkan mendorong, liberalisasi ekonomi di segala sektor (penghapusan subsidi) berarti sedang menyiapkan perangkap bagi diri dan rakyat untuk tunduk kepada kemauan bangsa asing, sehingga kita akan kembali menjadi “kuli di negeri sendiri”.

Kontradiksi seperti inilah yang mudah meluluh-lantakkan upaya pemberdayaan ekonomi rakyat sebagai tulang punggung ekonomi nasional. Pemerintah harus jujur dan mau mengajak bicara rakyatnya secara terbuka dalam mencari alternatif-alternatif bagi pemecahan masalah struktural ekonomi-politik bangsa secara utuh (komprehensif), termasuk masalah liberalisasi ekonomi dan pencabutan subsidi BBM ini. Sebelum itu dilakukan, pemerintah seharusnya tidak perlu merasa malu untuk mencabut kebijakan tersebut karena tetap akan mendapat resistensi dari masyarakat meskipun mungkin akan “dipahami DPR”. Mudah-mudahan bangsa kita benar-benar makin cerdas, tidak lagi mudah dibodohi (dibohongi), dan makin mampu membedakan antara jalan lurus menuju penghapusan atau pelanggengan kemiskinan.



Yogyakarta, 21 Maret 2005

No comments: