Thursday, May 12, 2005

REFORMASI AJARAN EKONOMI MELALUI KBK

Awan Santosa


Kita menghargai kebijakan Depdiknas yang memberlakukan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004 untuk mengoreksi sistem pengajaran yang selama ini diterapkan di sekolah. KBK dapat melengkapi “reformasi institusi pendidikan” yang sebelumnya dilakukan melalui pembentukan Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan. KBK merupakan bagian dari “reformasi sistem atau metode pendidikan”, yang diharapkan mendorong inovasi dan kemampuan (kompetensi) guru dan siswa dalam proses belajar-mengajar. Namun begitu, nampaknya ada hal penting yang “terlewat” dalam reformasi pendidikan ini, yaitu “reformasi substansi atau materi pendidikan”, yang sangat mempengaruhi keberhasilan pengajaran ilmu di sekolah. Dalam hal ini sangat mencolok belum adanya reformasi pengajaran ilmu ekonomi, yang terdapat dalam buku-buku teks ekonomi di sekolah lanjutan.

Apa yang keliru dalam pendidikan ekonomi di sekolah lanjutan? Sebelumnya kita perlu manyadari banyaknya gugatan terhadap ilmu ekonomi mainstream (konvensional-Neoklasik) dalam pikiran pakar-pakar ekonomi Indonesia seperti Prof Mubyarto, Prof Sri-Edi Swasono, Dr Hartoyo, dan terakhir adalah Prof AR Karseno, yang ikut angkat bicara mengkritik ekonomi Neoklasik dalam pidato guru besarnya. Di Barat sendiri, sebagai tempat lahirnya ilmu ekonomi mainstream, banyak berkembang pemikiran yang menggugat relevansi dan kebenaran ajaran ekonomi tyang begitu mendominasi pemikiran ekonomi dunia tersebut. Sebut saja pemikiran Stiglitz, Helbroner, Benjamin Ward, Boulding, Ted Turner, Ormerod, dan Steve Keen (Australia), dan paling gres adalah pemikiran aktivis anti-globalisasi (pasar bebas), yang baru saja bertemu di Forum Sosial Dunia (Mumbay, India,), yang menginginkan adanya tatanan dunia baru, bebas dari hegemoni ekonomi kapitalis-liberal dengan mengumandangkan semboyan “Another World is Possible”.

Apa arti semua itu? Jelas bahwa di negara Barat sendiri pun ada “kebutuhan” untuk mengoreksi ajaran ekonomi yang tidak “berdaya” untuk memecahkan masalah kemiskinan, ketimpangan, kerusakan lingkungan, dan makin “menjauh” dari ajaran agama. Lalu, mengapa kita yang hanya “mengimpor” ilmu ekonomi Barat yang makin “lemah” karena digugat habis-habisan tidak bereaksi serius untuk mencermati masalah ini? Ada benarnya juga ungkapan anekdot bahwa bangsa kita cenderung mudah meniru yang “keliru” dari dunia Barat daripada mempraktekkan “kelebihan” mereka.

Bukan Sekedar Masalah Metode
Jika pendidikan kita hanya berkutat pada reformasi model (metode) pengajaran tanpa melihat akar kekeliruan ajarannya, sama saja kita hanya mengotak-atik kulit, sedangkan isinya sama saja. Ibarat membangun rumah, pondasinya rapuh dan komposisi salah, namun hanya menyibukkan diri untuk “mempercantik” rumah dengan mengecat tembok, memasang genteng, jendela, dan pintu yang berkualitas tinggi.

KBK berpeluang memperbesar peran guru ekonomi. Hal ini karena KBK bertumpu pada inovasi metodologi pengajaran yang lebih memungkinkan guru dan siswa untuk merancang dan mengevaluasi proses belajar-mengajar, termasuk melalui kajian-kajian ekonomi riil di lapangan. Hanya saja, kompetensi siswa dalam bidang ekonomi tidak saja dipengaruhi oleh “cara belajarnya”, melainkan juga oleh “apa” yang ia pelajari. Jika salah satu kompetensi yang diharapkan adalah pemahaman dan kepedulian siswa akan masalah riil ekonomi rakyat-nya, maka sudah seharusnya sejak awal siswa dikenalkan dengan masalah-masalah kemiskinan, ketimpangan, kerusakan lingkungan, dan sebagainya, yang nyata-nyata dialami oleh bangsa Indonesia, sekaligus juga dipahamkan dengan tujuan nasional untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Namun, alangkah sulitnya pewujudan kompetensi ini jika materi-materi ekonomi dalam buku-buku teks ekonomi sedikit sekali membahas tentang masalah ini. Guru memang dapat diharapkan mengemban tugas ini, namun patutkah kita hanya “bergantung” pada komitmen dan peran guru saja, sedangkan buku-buku teks ekonomi bercorak ekonomi Neoklasik yang tidak relevan (bahkan “menyesatkan”) dengan masalah, budaya, dan kondisi riil sosial-ekonomi rakyat Indonesia kita biarkan tanpa koreksi yang mendasar?

Buku-buku teks ekonomi di sekolah lanjutan hanyalah derivasi ajaran ekonomi Neoklasik di perguruan tinggi yang “disederhanakan” sesuai dengan taraf berpikir siswa. Salah satu “kelemahan” mendasar ajaran ekonomi Neoklasik adalah terlalu “bias” kepada pengusaha (besar). Materi ekonomi yang diajarkan dalam ekonomi Neoklasik adalah materi-materi yang berpijak pada keyakinan manusia sebagai homo economicus, yang selalu mengejar self interest secara efisien. Efisiensi ekonomi dianggap hanya terwujud melalui maksimisasi profit dan minimisasi biaya. Demikian pula halnya, efisensi dipercaya hanya dapat dicapai melalui persaingan pasar (pasar bebas), sehingga ajaran yang ditonjolkan adalah persaingan (kompetitivisme), dan bukannya kerja sama atau kooperasi. Hal ini juga menampakkan kekeliruan ajaran ekonomi Neoklasik yang terlalu mengagung-agungkan “pasar”, dengan melupakan aspek kelembagaan sosial-budaya, politik, dan ideologi “gotong royong” yang dianut Indonesia.

Kita akan kesulitan mencari buku teks ekonomi yang memuat bahasan mengenai keadilan ekonomi (sosial), termasuk diantaranya bahasan kemiskinan dan ketimpangan yang dialami sedikitnya 35 juta pelaku ekonomi rakyat di Indonesia. Hal ini karena adanya anggapan bahwa keadilan bukanlah masalah dalam ilmu ekonomi, melainkan sudah masuk wilayah hukum ataupun politik. Jadi mudah dipahami apabila bahasan mengenai ekonomi rakyat “dihindari” dalam buku ajar ekonomi. Padahal lebih dari 90% pelaku usaha kita adalah ekonomi rakyat, yang berkecimpung dalam usaha berskala mikro, kecil, dan menengah. Alhasil, bagaimana kita dapat berharap siswa memiliki kompetensi untuk memahami masalah ekonomi riil bangsa dengan materi pengajaran seperti ini?


Ekonomi Alternatif : Mungkin atau Tak Terelakkan?
Selama ini materi-materi ajar ekonomi di sekolah lanjutan banyak “dipasok” oleh perguruan tinggi (fakultas ekonomi), sehingga ajaran ekonomi yang dipelajari relatif sama. Namun, ada perbedaan yang cukup esensial dalam aspek metodologi pengajaran di sekolah lanjutan dan PT. Jika pengajaran ekonomi di perguruan tinggi banyak dikritik karena menekankan pada metode (analisis) deduktif saja tanpa banyak melakukan penelitian ke lapangan (induktif), maka di sekolah lanjutan sudah mulai dikembangkan penelitian lapangan sebagai alternatif metode pengajaran. Di samping itu, guru-guru sekolah lanjutan nampaknya “fleksibel” dalam mengajarkan ilmu ekonomi yang lebih riil (real-life economy) kepada siswanya. Dalam KBK model ini dituntut untuk lebih banyak dipraktekkan sebagai bagian dari komposisi penilaian.

Sementara, mahasiswa di perguruan tinggi relatif mendapatkan ilmu ekonomi yang lebih saklek, eksak, dan “mesti benar (relevan)” karena sudah diaplikasikan dalam persamaan dan model-model matematis, termasuk dengan menggunakan program-program komputer. Tanpa perlu banyak turun ke lapangan, dosen ekonomi sudah merasa dapat mengajar beranekarupa masalah ekonomi dan pemecahannya secara lebih mendetail dan mendalam. Ilmu ekonomi sudah dikembangkan secara lebih spesifik, seperti halnya pengembangannya di dunia kedokteran Sayangnya,. pendalaman terhadap ilmu ekonomi tidak berujung pada kesadaran akan keterkaitan erat ilmu (aspek) itu dengan ilmu (aspek) lain, dan kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah ekonomi rill. Alhasil, banyak kritikan bahwa sarjana ekonomi yang dihasilkan adalah “sarjana textbook” (Mubyarto, 2004), sarjana yang gagap ideologi dan hanya menjadi “tukang” dalam tatanan ekonomi kapitalis-neoliberal.

Itulah alasan mengapa peluang mengoreksi ajaran ekonomi lebih banyak ditemukan di tataran sekolah lanjutan. Guru ekonomi relatif lebih openmind, sedangkan para ekonom justru lebih sulit diharapkan untuk mendukung upaya ini karena mereka sudah betul-betul “meyakini” bahwa ekonomi yang selama ini mereka ajarkan adalah benar, relevan, dan bermanfaat (Nelson, Economics as Religion, 2001). Bagaimana bisa keliru jika ajaran-ajaran ekonomi itu sudah berwujud formula-formula matematis, yang otomatis menjadi lebih “eksak”? Padahal, model-model itu hanyalah kelanjutan ajaran klasik Adam Smith yang awalnya berkutat dengan asumsi-asumsi dan “animasi” dalam teori ekonomi (Karseno, 2004). Ada perbedaan pandangan ekonomi yang sangat mencolok antara pakar ekonomi (Neoklasik) dengan masyarakat pada umumnya. Mungkinkah karena masyarakat kita yang tidak tahu ekonomi, atau justru karena ekonom kita yang berpikirnya di “dunia lain”?

Pemberlakuan (uji coba) KBK tahun 2004 harus kita maknai sebagai peluang untuk menata kembali pendidikan ekonomi di sekolah lanjutan, termasuk dengan mengoreksi ajaran-ajaran ekonomi yang keliru dan tidak relevan untuk diajarkan di Indonesia. Sekolah lanjutan (SMU) adalah pintu yang strategis karena menjadi tempat transisi siswa untuk memasuki dunia pendidikan tinggi ataupun terjun ke dunia kerja. Oleh karena itu, sudah saatnya para ahli (pelaku) pendidikan dan pakar ekonomi “berkoalisi” merumuskan pendidikan ekonomi alternatif untuk Indonesia, diantaranya melalui pembuatan buku-buku teks ekonomi yang lebih sesuai dan bermanfaat dalam menjawab segala permasalahan sosial-ekonomi rakyat Indonesia. Dalam pada itu, upaya yang dilakukan oleh Prof Mubyarto melalui Ekonomi Pancasila dengan mengajak guru-guru ekonomi memikirkan kembali ajaran ekonomi perlu segera ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang berkompeten dalam “reformasi pendidikan”, khususnya dalam bidang ekonomi.

Jika 100 ribu aktivis yang tergabung dalam Forum Sosial Dunia (FSD) sepakat mengusung semboyan “Another World Is Possible”, tidak berlebihan jika kita di Yogyakarta, sebagai pusat pendidikan dan revolusi nasional, berupaya memprakarsai pengembangan gagasan “Another Economics Is Possible” di Indonesia. Selalu ada kemungkinan untuk mengkritisi (mengoreksi) setiap ajaran ekonomi yang berasal dari dunia Barat (Amerika), yang tentu saja tidak begitu saja relevan atau benar untuk diterapkan secara mentah-mentah di Indonesia. Bahkan, jika ajaran-ajaran ekonomi telah benar-benar ‘bertentangan’ dengan agama dan sistem nilai (moral) bangsa, maka upaya perbaikan tidak lagi menjadi “mungkin” melainkan menjadi tak terelakkan, “Another Economics Is Inevitable”. Dan itu bisa dimulai dari sekolah lanjutan kita, untuk menopang “perjuangan” di perguruan tinggi.


Yogyakarta, 14 April 2004

No comments: