Thursday, May 12, 2005

MENGGUGAT SISTEM PERBANKAN KAPITALIS

Mubyarto dan Awan Santosa



Bank-bank nasional pasca krismon 1997/98 praktis hidup dengan subsidi. Nilainya pun sungguh fantastis, BLBI sebesar Rp 145 trilyun, program penjaminan (blanket quarantee) sebesar Rp 74 trilyun, dan yang paling spektakuler karena membebani APBN kita sampai hari ini adalah obligasi rekapitalisasi (OR) dan bunganya yang masing-masing sebesar Rp 430 trilyun dan Rp 600 trilyun! Tiap tahun pemerintah harus membayar bunga OR setidaknya Rp 60-70 trilyun. Pemerintah telah “tersandera” karena memberikan “privelege” kepada pelaku-pelaku ekonomi (konglomerat) perbankan yang dianggap memiliki “kartu As” hancur-pulihnya ekonomi nasional. Dalam sistem ekonomi kapitalis-liberal pemodal besar (perbankan) dianggap sebagai sokoguru perekonomian nasional, sehingga dalam kondisi krisis harus diselamatkan, at any cost! Dan aktor di balik penggelontoran subsidi ini adalah IMF, yang menjadikannya syarat pencairan bantuan senilai US $ 9 milyar.

Tokh kebijakan tersebut sudah telanjur dibuat. Lagi pula suara-suara kritis yang menawarkan alternatif pengelolaan OR tidak pernah digubris. Namun alangkah lucunya ketika pemerintah kemudian berupaya mencabut subsidi BBM dan pupuk (ZA dan SP-36). Padahal nilai subsidi kedua komoditi ini jauh di bawah subsidi OR. Subsidi BBM turun dari Rp 41,3 trilyun pada tahun 2001 mejadi Rp 30,3 trilyun di tahun 2002 dan Rp 13,5 trilyun pada tahun 2003. Di sisi lain subsidi non BBM (mestinya plus kompensasi BBM) justru turun dari sebesar Rp 12,6 pada tahun 2002 menjadi hanya sebesar Rp 11,7 pada tahun 2003. Bahkan subsidi terhadap kedua jenis pupuk tersebut hanyalah sebesar Rp 400 milyar! Apa artinya? Jelas bahwa pemberlakukan atau pencabutan kebijakan subsidi (proteksi) tidak dibuat berdasar nalar teoritis (keilmuan), melainkan atas dasar kepentingan semata. Dalam sistem ekonomi kapitalis-liberal kepentingan pihak yang kuatlah yang akan selalu dimenangkan! Liberalisasi atau pasar bebas memang hanya omong kosong yang prakteknya tergantung kepentingan.

Kini kiranya makin sulit mengganggu gugat ratusan trlyun subsidi ke perbankan. Namun yang harus terus digugat adalah “kesadaran subsidi” dari para pengelola bank-bank rekap. Bahwa ada unsur “uang rakyat” yang sangat besar (bahkan dominan) dalam operasional bisnis mereka, bahkan sangat berpengaruh dalam menentukan laba/rugi bank mereka. Patut dicatat bahwa empat tahun pasca rekapitalisasi bank-bank tersebut nilai labanya disebabkan karena bunga obligasi yang diterima dari setoran pemerintah. Total bunga OR yang diterima 10 bank rekap papan atas per 31 Desember 2002 adalah sebesar Rp 36,1 trilyun, sedangkan laba yang dicetak adalah sebesar Rp 17,8 trilyun, sehingga secara “riil” bank-bank tersebut merugi sebesar Rp 18,4 trilyun (Kwik Kian Gie, 2003). Logikanya perbankan tidak seharusnya bertumpu lagi pada agenda-agenda liberalisasi keuangan/perbankan (pilar sistem ekonomi kapitalis-liberal) karena adanya ‘kontradiksi in terminis” (politik subsidi/proteksi) tersebut.


Moralitas Bank Bersubsidi
Bangsa ini memiliki pengalaman yang buruk perihal moral pelaku perbankan yang tidak bertanggungjawab. Jangankan memiliki “kesadaran disubsidi”, mereka sama sekali tak tahu diuntung, bahkan berusaha mengambil untung di tengah defisit keuangan pemerintah. Dana BLBI yang disimpangkan (mark-up, manipulasi, dan kolusi) jumlahnya sangat menyakitkan rakyat, yaitu diindikasikan sebesar Rp 138 trilyun atau 96% dari total bantuan (Baswir, 2004). Setelah itu pemerintah justru membebaskan mereka (Release and Discharge) dengan pengembalian dana yang tidak signifikan. Mereka benar-benar homo economicus yang motivasinya meraup untung sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan moral dan etika. Rasionalitas keserakahan inilah yang membentuk perilaku bankir-bankir jahat di Indonesia.

Subsidi yang diterima dari pemerintah (uang rakyat) bukannya digunakan sebesar-besar untuk penyaluran kredit ke ekonomi rakyat, melainkan justru diamankan dan diakumulasikan melalui instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Mereka menerapkan “aji mumpung” (moral hazard) untuk mendapatkan marjin setinggi-tingginya agar dapat menurunkan laba kumulatif yang negatif pasca krisis (Rochadi, 2004). Patut dicatat bahwa net interest margin (NIM) perbankan di Indonesia (sekitar 8,5%) merupakan salah satu yang tertinggi di dunia, bahkan NIM di Malaysia tidak lebih dari satu persen. Berdasar kajian Biro Riset InfoBank keuntungan perbankan nasional tahun 2004 merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara. Di lantai bursa, saham perbankan terus diburu karena mampu memberikan gain sebesar 60% per tahun (Kompas, 29-10-2004). Jelas bahwa subsidi ke perbankan telah dinikmati oleh investor (pemilik modal) di bank-bank tersebut tanpa perlu bekerja esktra keras. Bambang Sudibyo (2002) menyebut bahwa perekonomian berjalan karena riba, yaitu bunga obligasi senilai Rp 5 trilyun/bulan dan bunga SBI sekitar 12,6%/tahun.

Kesadaran disubsidi telah dikalahkan oleh image perbankan yang identik dengan “kemewahan”. Berapa banyak uang yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan acara-acara (pesta), bantuan-bantuan, undian berhadiah milyaran, dan yang jelas menggaji top manajemen dengan nilai yang sangat tinggi. Sementara itu, pimpinan-pimpinan bank bertingkah dan masih sombong seolah-olah telah mampu membukukan laba spektakuler atas jerih payah mereka sendiri (Kwik Kian Gie, 2003). Apakah memang tidak terpikirkan bahwa subsidi yang mereka terima diikuti dengan pengorbanan pada bidang-bidang lain (termasuk pertahanan nasional), sekaligus menghambat alokasi subsidi kepada penduduk miskin secara langsung dan memadai? Mereka ini harus sabar menunggu sekedar untuk memastikan diperolehnya alokasi dana 8,5 trilyun, yang itu pun belum tentu tepat sasaran kepada mereka. Sungguh tidak mencerminkan rasa keadilan. Perilaku bankir-bankir jahat tak ubahnya seperti “vampir” yang terus menerus menyedot darah dan tubuh perekonomian Indonesia (Faisal Basri, 2003).


Bank dan Pemerataan Pembangunan
Peran bank secara konvensional adalah sebagai perantara keuangan (financial intermediatory), lalu lintas pembayaran, dan sebagai alat (instrumen) kebijakan moneter. Dalam kontek bank pasca krisis (tersubsidi) di Indonesia mestinya peranan bank lebih dari sekedar peran konvensinal tersebut. Peranan perbankan tidak cukup sekedar sebagai agen pembangunan (agent of development), melainkan harus mampu menjadi agen pemerataan pembangunan (agent of development equity) atau agen redistribusi pendapatan/kekayaan/aset (agent of income/asset/wealth redistribution). Hal ini masuk akal mengingat peluang pembangunan di bidang, wilayah, dan kelompok sasaran tertentu (rakyat miskin/ekonomi rakyat) telah terpinggirkan karena alokasi sumber daya keuangan kepada sektor perbankan, yang turut melanggengkan ketimpangan struktural terutama antara si kaya dan si miskin, antarsektor ekonomi, bahkan antardaerah di Indonesia.

Sayangnya, fungsi bank sebagai perantara keuangan pun belum dijalankan secara maksimal. Meskipun tiap tahun nilai Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan selalu mengalami kenaikan (2000 : 33,2%, 2001 : 38,0%, 2002 : 43,2%, 2003 : 48,3%, dan 2004 : 55,3%), namun tetap saja nilanya jauh di bawah LDR bank di Singapura dan Malaysia yang masing-masing sebesar 80% dan 100%. Pulihnya kepercayaan terhadap perbankan justru terus mendorong kelebihan likuiditas (excess reserve) yang terdiri dari Sertifikat Bank Indonesia dan surat-surat berharga, dengan nilai mencapai Rp 460,9 trilyun atau sekitar 52% dari total dana pihak ketiga yang berjumlah sekitar Rp 800 trilyun (Rochadi, 2004).

Turunnya suku bunga deposito tidak serta merta diikuti penurunan suku bunga kredit, sehingga bank-bank menikmati spread (marjin keuntungan) yang sangat besar. Pihak bank beralasan bahwa pada tahun 2003 saja ada beberapa debitor yang belum menarik komitmen kredit yang sudah disetujui bank sebesar Rp 102,9 trilyun. Nilai kredit yang besar mengindikasikan bahwa debitor tersebut pastilah perusahaan kelas kakap yang masih dapat menunggu dan melihat situasi perekonomian. Berbeda dengan pelaku ekonomi rakyat yang jika mengajukan kredit pastilah dalam kondisi yang benar-benar membutuhkan. Data ini makin menunjukkan pentingnya perhatian bank terhadap pelaku ekonomi rakyat (usaha mikro) ketimbang kepada pengusaha besar yang terbukti lebih berisiko. Komitmen perbankan untuk mengembangkan microcredit hendaknya tidak berhenti di tataran jargon semata.

Kredit yang dialokasikan kepada usaha kecil (KUK) per Maret 2003 sebesar Rp 62,1 trilyun atau 16,5% dari total kredit sebesar Rp 376,1 trilyun, yang sebagian besar disalurkan oleh bank-bank BUMN (Anshoriy, 2004). Sistem intermediasi perbankan mengandung berbagai kontradiksi. Masyarakat harus percaya sepenuhnya terhadap perbankan, sedangkan bank menerapkan yang sebaliknya, sama sekali tidak mempercayai masyarakat, khususnya pelaku ekonomi rakyat (usaha mikro penduduk miskin). Watak bisnis adalah keberanian (kemauan) menanggung resiko, yang pasti ada dalam setiap kegiatan usaha, sedangkan bank berbisnis tanpa mau mengambil resiko, sungguh ironis. Padahal, fakta menunjukkan bahwa pihak yang seringkali tidak bertanggungjawab (tidak layak dipercaya) adalah internal bank itu sendiri. Ingatlah kembali insider lending bank pra-krisis, kejahatan BLBI, L/C fiktif, pembobolan BNI, BRI, Bank Asiatic, Bank Dagang Bali, Bank Global, dan terakhir Bank Persyarikatan Indonesia. Apakah itu melunturkan kepercayaan masyarakat?

Ketidakpercayaan bank terhadap kemampuan ekonomi rakyat dikukuhkan secara sistematis melalui pembuatan aturan-aturan yang meyulitkan akses mereka terhadap bank (agunan, prosedural, suku bunga tinggi). Ini merupakan cerminan ketidakpercayaan diri mereka sendiri, selain juga iktikad untuk terus membohongi diri. Bank-bank paham betul bahwa kredit macet bukan bersumber dari pelaku ekonomi rakyat, yang aksesnya saja sudah disumbat. Mereka terus saja tidak mengakui bahwa tidak ada data-data valid yang menunjukkan budaya ngemplang pelaku ekonomi rakyat. Kenyataan ini adalah bukti adanya kontradiksi dan diskriminasi perbankan yang memang menjadi ciri perbankan kapitalis-liberal, yang berdasar pada mekanisme pasar. Dalam hal ini termasuk penentuan suku bunga kredit mikro yang disamakan dengan suku bunga pasar. Seperti diuraikan di awal, pasar bekerja sesuai kepentingan kekuatan ekonomi, bukannya atas dasar pertimbangan teoritik yang dapat dipertanggungjawabkan. Kekuatan inilah yang menentukan kapan dan kapada siapa mekanisme pasar diberlakukan, demikian sebaliknya.

Sistem perbankan saat ini sulit diharapkan membuat bank-bank memerankan diri sebagai agen pemerataan pembangunan. Bahkan dapat berfungsi sebaliknya, bank hanyalah “sahabat bagi orang kaya” (Mubyarto, 2004), yaitu deposan-deposan dan debitur konglomerat yang memang menguasai pasar, sehingga makin mengukuhkan ketimpangan pembangunan di Indonesia. Sistem perbankan cenderung “menyedot” sumber daya keuangan daerah ke pusat-pusat ekonomi dan bisnis di Jakarta. Bank-bank di daerah pada umumnya difungsikan sebagai cabang dari bank pusat, sehingga tidak cukup tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan pembangunan di tingkat lokal. Pembangunan ekonomi dalam pola ini makin memperlebar jurang ketimpangan antardaerah, antar sektor ekonomi, dan antarpelaku ekonomi.

Aliran uang akan diikuti oleh aliran manusia. Demikian yang terjadi pada maraknya urbanisasi ke kota-kota besar (termasuk memilih bekerja ke luar negeri) yang menimbulkan komplikasi masalah sosial-politik. Uang yang dikelola bank lokal tidaklah memadai untuk membiayai pembangunan lokal (perdesaan) karena sebagian besar telah dikirim ke ibu kota propinsi atau ke Jakarta untuk membiayai investasi pengusaha besar dan disimpan dalam bentuk SBI. Sebuah paradok ketika terjadi antrean pengajuan modal ke bank-bank lokal atau ke lembaga-lembaga keuangan non bank, sementara dana Rp 460,9 trilyun menumpuk di SBI dan surat berharga lainnya. Fungsi bank sebagai agen pemerataan pembangunan hanya dapat dioptimalkan jika pola aliran uang ke pusat-pusat bisnis ini dihentikan melalui pengembangan bank-bank lokal (bank unit, bukan cabang). Bank lokal memiliki informasi dalam tataran lokal dan lebih dapat berperan sebagai subjek yang mengarahkan tujuan-tujuan pembangunan (Stigltz, 2004).


Mengapa Bank Sulit Memberdayakan Ekonomi Rakyat?
(Studi Kasus Perbankan di Kutai Barat, Kalimantan Timur)
Memberdayakan ekonomi rakyat di daerah terpencil Kutai Barat ternyata merupakan perjuangan berat bagi siapapun. Bahkan mereka yang percaya perbankan merupakan “agent of development” yang berperan kunci dalam memberdayakan ekonomi rakyat bisa “kecele” menyaksikan kenyataan pahit sulitnya bank bermitra akrab dengan pelaku-pelaku ekonomi rakyat yang miskin, baik di wilayah Ulu Riam di Mahakam Ulu, di kampung-kampung pegunungan, maupun di dataran rendah sepanjang Sungai Mahakam. Meskipun Pemda Kabupaten Kutai Barat sudah menunjuk Bank BPD Melak menyalurkan dana UMKM kepada usaha-usaha kecil “ekonomi rakyat” sebesar Rp 7,5 milyar dari dana APBD, tokh penerima dana-dana DPM (Dinas Pemberdayaan masyarakat) ini masih belum merasakan adanya perhatian dan perlakuan khusus terhadap mereka sebagai pihak-pihak yang berhak menerima perlakuan “istimewa” karena kemiskinannya.

Yulius Seran (37 th) adalah seorang penyandang cacat yang setiap hari menunggu dagangan “rupa-rupa” di pinggir jalan dekat Linggang Bigung. Ia “marah” ketika permintaan pinjaman Rp. 15 juta hanya diberi Rp. 7 juta padahal yang Rp. 8 juta sudah dijanjikan pada seorang teman yang sanggup membuatkan sepeda motor khusus agar ia dapat menggunakannya untuk berbelanja ke Melak sebulan sekali.

Meskipun belakangan diketahui Yulius Seran seorang yang jujur dan patuh mengangsur kreditnya setiap bulan, tokh Bank BPD tidak tergerak meluluskan sisa kredit yang dimintanya. Rupanya meminjamkan kredit kepada seorang miskin seperti Yulius Seran belum cukup meyakinkan pejabat bank “sebagai jalan melancarkan jalan baginya masuk surga”.

Bank adalah Mitra Orang Kaya
Sejak 3 tahun terakhir (2001-2003) jumlah dana masyarakat yang disimpan di 2 bank di Melak (BRI dan BPD) meningkat rata-rata 12,0% pertahun, yaitu dari Rp. 214,2 milyar (2001) menjadi Rp. 256,0 milyar (2002) dan Rp. 272,4 milyar (2003). Yang menarik persentase kenaikan dana pihak ke-3 yang disimpan di bank-bank ini sama sekali tidak diikuti kenaikan yang sepadan dalam jumlah kredit yang diberikan kepada pengusaha-pengusaha di Melak. LDR (Loan Deposit Ratio) meskipun cenderung naik tetapi hanya sebesar berturut-turut 2,2% (2001), 10,8% (2002), dan 13,8% (2003) dan sampai dengan September 2004 adalah 32,1%. Rupanya kalau tidak ada kredit “UMKM” yang disalurkan dari dana APBD Pemda kabupaten, tidak ada tanda-tanda perbankan “bersemangat” menyalurkan kredit kepada pengusaha-pengusaha di Melak, lebih-lebih kepada usaha-usaha kecil ekonomi rakyat.

Memang ironis. Di satu pihak usaha-usaha kecil lari ke “rentenir” dengan membayar bunga tinggi, tetapi di pihak lain orang-orang kaya menyimpan uang mereka di bank dalam bentuk deposito dengan menerima bunga “menarik”. Para pelepas uang dan deposan menikmati pendapatan bunga tinggi, dan sebaliknya orang miskin harus membayar bunga tinggi kepada orang-orang kaya.

Jika ekonomi rakyat dapat diberdayakan melalui kredit lunak sehingga kesejahteraannya meningkat, mengapa Pemda tidak terdorong untuk mengambil langka-langkah demikian dalam GSM (Gerakan Sendawar Makmur) dengan menyalurkan kredit mikro sebanyak mungkin kepada usaha-usaha ekonomi rakyat yang membutuhkannya. Ternyata kunci penyebabnya terletak pada diberlakukannya sistem ekonomi kapitalis yang telah dipilih oleh pemerintah pusat. Dalam sistem ekonomi kapitalis segala upaya dilakukan untuk melindungi kepentingan para pemodal/pemilik uang, yang dengan memberikan jaminan rasa aman pada para pemilik modal ini. Maka ada lembaga penjaminan kredit, dan dalam kaitan penyaluran kredit UMKM ada lembaga KKMB (Konsultan Keuangan Mitra Bank), yang dibiayai oleh sebagian bunga kredit yang dibayar penerima kredit (debitor). Mengapa tidak ada Konsultan Keuangan Mitra Ekonomi Rakyat (KKMER) meskipun jelas ekonomi rakyat inilah yang paling membutuhkan jasa konsultan, bukan justru bank yang sebenarnya tidak memerlukan konsultan keuangan itu.

Kalau perangsang dan perlindungan kepada para pemilik modal dalam sistem ekonomi kapitalis ini belum dianggap cukup, Bank Indonesia sudah sejak lama mengeluarkan SBI (Sertifikat Bank Indonesia) yang menjanjikan bunga menarik kepada dunia perbankan untuk menyimpan dana-dana yang dihimpunnya dari daerah-daerah di seluruh Indonesia. Penetapan tingkat bunga yang menarik selalu dijadikan alasan mudah bagi dunia perbankan untuk tidak menyalurkan dananya sebagai kredit kepada dunia usaha. Bunga SBI ini pernah mencapai 17,5% pertahun yang tentu saja menjadi alasan sangat kuat bagi setiap bank untuk mengirimkan dana-dana pihak ke-3 yang dihimpun di bank-bank di daerah-daerah di seluruh Indonesia untuk dikirim ke Jakarta.

Inilah faktor penyebab rendahnya nilai LDR (Loan Deposit Ratio) di setiap daerah, sehingga ketika banyak daerah-daerah miskin/tertinggal berteriak mengharapkan kredit yang murah dan mudah, tokh dana-dana perbankan yang terhimpun di daerah-daerah seperti itu justru dikirim ke kantor pusat bank yang bersangkutan. Bank-bank yang lebih banyak mengirim dana-dana dari daerah-daerah ke kantor pusat selalu mudah menerangkan perilaku keliru ini karena “kesulitan menemukenali” proyek-proyek ekonomi dan bisnis yang bankable yang dapat didanai, padahal yang benar bank-bank ini memang merasa lebih aman menggunakan dana-dana yang dihimpun dengan dibelikan SBI.


Kesimpulan
Jelas kiranya dari analisis ini bahwa perbankan di Indonesia tidak lain daripada lembaga pencari/pengejar untung, dan sama sekali bukan agent of development. Jika bank-bank kita lebih banyak merupakan perusahaan yang menomorsatukan pendapatan bunga, agar dapat membayar jasa bunga deposito yang menarik kepada deposan, bahkan termasuk tambahan hadiah-hadiah menarik seperti mobil dan rumah-rumah mewah, maka amat sulit menjadikan bank sebagai penggerak kegiatan ekonomi rakyat. Akibatnya bank juga tidak mungkin berperan sebagai lembaga yang mendukung upaya-upaya besar pemberantasan kemiskinan.

Kasus “kecil” perilaku perbankan di Kabupaten Kutai Barat dengan kemiskinan 42% tahun 2003-2004 menarik dijadikan contoh betapa besar hambatan yang dihadapi dalam program-program pemberantasan kemiskinan. Jika suatu daerah miskin sebagian warga masyarakatnya sudah berhasil “menjadi kaya” sehingga mampu menyimpan dana-dana yang dikumpulkannya di bank setempat, kiranya masuk akal bagi perbankan untuk memanfaatkan dana-dana tersebut bagi pemberdayaan ekonomi rakyat dan yang pada gilirannya mampu memberantas kemiskinan. Proses tolong-menolong antar pemilik modal dan ekonomi rakyat yang membutuhkan modal ini dalam era otonomi daerah seharusnya berkembang dengan baik dan bergairah. Tetapi mengapa hal ini tidak terjadi?

Dari analisis tersebut bisa dibuktikan bahwa alasan pokoknya adalah karena sistem ekonomi kapitalis-liberal/neoliberal sudah dijadikan pegangan pokok pemerintah pusat/ daerah yang diterapkan di mana-mana di seluruh Indonesia. Dalam sistem ekonomi kapitalis, para pemilik modal (kapitalis) merupakan pihak yang paling dipuja dan dihormati, yang kepentingannya paling dilindungi. Dari sinilah berkembang kepercayaan perlunya penciptaan iklim merangsang agar para pemodal (investor) asing bersedia datang ke Indonesia atau ke daerah-daerah tertentu untuk menanamkan modalnya.

Sebenarnya segera dapat dikenali satu kontradiksi. Jika suatu daerah berusaha menarik investor, yaitu mereka yang memiliki modal, mengapa modal yang terhimpun di bank dari orang-orang kaya setempat malah dikirim keluar daerah, dan justru tidak diputarkan atau ditanamkan dalam usaha-usaha setempat. Fenomena kontradiktif ini sampai kapan pun tetap tidak akan berubah, kecuali jika kita berani mengubah sistem ekonomi kita dari sistem ekonomi kapitalis menjadi sistem ekonomi Pancasila. Dalam sistem ekonomi Pancasila kebijakan perbankan tidak diarahkan untuk melindungi para pemilik modal secara berlebihan tetapi harus diubah menjadi upaya total pemberdayaan ekonomi rakyat dengan ukuran hasil akhir makin terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

No comments: