Thursday, May 12, 2005

TAFSIR ULANG PERTUMBUHAN EKONOMI KITA

Awan Santosa



Janji utama yang sering dilontarkan para Capres/Cawapres peserta Pilpres 2004 adalah akan ditingkatkannya pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 6/7%. Mereka berasumsi bahwa pertumbuhan ekonomi (tinggi) sudah pasti akan diikuti dengan pembukaan lapangan kerja baru, dus pengangguran tertanggulangi. Benarkah? Marilah mengingat kembali sejarah pengejaran pertumbuhan ekonomi oleh rezim Orde Baru (Orba) yang hasilnya adalah krisis moneter 1997/98. Pada awalnya Orba dipuji-puji karena mampu membawa ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata 6%-7% per tahun selama kurang lebih 27 tahun (1969-1996). Artinya, sejak tahun 1969 hingga tahun 1996 ekonomi Indonesia telah tumbuh sebesar kurang lebih 189%. Indonesia telah beranjak dari negara berpendapatan rendah (dibawah USD 200) menjadi negara berpendapatan menengah (diatas USD 1000). Era itu ditandai nilai investasi yang tinggi, terutama sejak dikeluarkannya Undang-Undang PMA 1967 dan deregulasi perbankan tahun 1988 (Pakto). Namun, di kemudian hari “prestasi” dan “keajaiban” (salah satu Asian Miracle) ini tiba-tiba saja menjadi bahan cercaan karena dinilai sebagai “pertumbuhan yang semu” (erzat growth).

Pertumbuhan ekonomi Orba ditopang praktek KKN, utang pemerintah dan swasta (konglomerat) yang akut, dan sentralisme keuangan (ekonomi) oleh elit politik/ekonomi. Alhasil, pertumbuhan ekonomi 189% selama 27 tahun tidak mampu mengatasi masalah ketimpangan sosial-ekonomi baik ketimpangan pusat-daerah, antar golongan, dan antar individu dalam masyarakat. Lebih lagi, pertumbuhan itu telah menguras hutan, tambang, dan laut di negara kita. Namun, yang menjadi kaya hanyalah pemilik modal (dan penguasa), sementara pelaku ekonomi rakyat yang tinggal di daerah-daerah (pelosok) tetap saja miskin. Inilah buah dianutnya paham “trickle down approach”, yang mengasumsikan bahwa rakyat dengan sendirinya akan menikmati hasil pertumbuhan ekonomi yang diciptakan oleh pembangunan melalui liberalisasi investasi yang dilakukan segelintir elit ekonomi (perusahaan besar).


Kembalinya Paradigma Ekonomi Orde Baru
Tujuh tahun pasca krismon 1997/98, pemerintah (teknokrat ekonomi) dan kebanyakan ekonom dalam setiap pidato, seminar, atau tulisan, selalu berbicara bahwa Indonesia perlu “memulihkan ekonomi” Indonesia seperti sebelum krisis, dengan pertumbuhan ekonomi paling tidak 5% - 6% per tahun. Hal ini dilakukan agar tercipta lapangan kerja baru yang dapat menampung sekitar 9 juta penganggur terbuka di Indonesia. Mereka menasehatkan agar Indonesia menarik lebih banyak investor (asing) agar dapat menopang pertumbuhan ekonomi tersebut, sehingga tidak hanya ditopang konsumsi seperti sekarang ini.

Oleh karenanya, pemerintah pusat dan daerah harus pandai-pandai merias diri, kalau perlu merayu, agar investor mau menanamkan modalnya di wilayah mereka. Dus, dalil ekonomi mainstream-nya berbunyi : pembangunan nasional identik dengan pembangunan ekonomi, pembangunan ekonomi tidak lain adalah pertumbuhan ekonomi, dan pertumbuhan ekonomi mestilah dikejar dengan investasi, yang mesti diasosiasikan dengan investor asing, perusahaan besar, pokoknya para pemilik modal besar. Benarkah?

Pandangan ini memang tidak dapat begitu dapat dianggap tidak berbeda dengan pandangan ekonomi Orba. Setting-nya tentu saja sudah jauh berubah. Sekarang sudah berlangsung reformasi (era demokrasi), tidak ada lagi sentralisme ekonomi, utang sudah dikurangi, pemerintah sudah transparan (walaupun KKN masih merajalela). Namun, kalau kita berpikir secara mendasar, substansinya adalah sama saja. Reformasi (efek dari krismon) yang diharapkan mampu merombak sistem dan struktur ekonomi kapitalis-liberal yang timpang ternyata hanya dimaknai sebagai perubahan yang bersifat tambal sulam. Lagi-lagi kaum pemilik modal, korporat (konglomerat), dan perbankan, yang sudah terbukti “lemah” dan “tidak bertanggung jawab” justru menangguk keuntungan dari proses reformasi ekonomi ini. Kebijakan ekonomi memang mempunyai visi yang lebih demokratis dan populis dibanding rezim Orba, namun masih bersumber dari sumber “ajaran keliru” yang sama, yaitu ekonomi Neoklasik Barat.

Ekonomi Neoklasik Barat memiliki ciri analisis yang selalu “bias” kepada perusahaan besar yang dianggap efisien, kompetitif, dan paling berperan dalam mekanisme pasar. Dalam hal investasi, ajaran ekonomi ini beranggapan bahwa yang mampu melakukan investasi hanyalah perusahaan (besar) sebagai Rumah Tangga Produksi (RTP), sementara masyarakat hanya dapat berkonsumsi (sebagai Rumah Tangga Konsumen). Faktanya, peran ekonomi rakyat (sektor informal) di Indonesia, yang bergiat di usaha mikro dan kecil sangat besar dalam penyerapan tenaga kerja, bahkan terbukti menjadi penyangga sistem ekonomi nasional (Mubyarto, 2003). Kita tidak boleh lupa bahwa pekerja sektor formal yang menjadi korban PHK akibat krismon dapat “bertahan” karena ditampung di sektor ekonomi rakyat yang tidak “diperhitungkan” ini.

Pandangan bahwa pertumbuhan ekonomi melalui investasi (asing) dapat menciptakan lapangan kerja menunjukkan dianutnya kembali teori (paradigma) trickle down approach, yang dipuja oleh rezim Orba. Apakah masuknya modal dan pendirian (pengoperasian kembali) pabrik-pabrik memang dapat memecahkan masalah pengangguran tanpa menimbulkan masalah yang lebih sulit diatasi? Lagi pula apakah juga realistis harapan akan datangnya investor untuk membangun infrastruktur (sesuai keperluan) yang menyerap tenaga kerja Indonesia?

Jika saja pemerintah dan ekonom itu mau pergi ke pelosok-pelosok daerah mungkin pandangan yang dianutnya berubah. Seperti yang terlihat di Kabupaten Kutai Barat misalnya, investasi asing (penambangan batu bara, emas, dan eksploitasi hutan) bukan saja hanya memperkerjakan penduduk sekitar secara minimal, melainkan juga telah “menguras” kekayaan alam mereka berujung pada penggundulan hutan, pencemaran sungai, dan menipisnya kekayaan tambang (Abidin, 2003).

Pertumbuhan Oleh dan Untuk Ekonomi Rakyat
Ted Trainer dalam bukunya Toward a Sustainable Economy (Oxford, 1996) sudah mengingatkan akan adanya “limit of growth” (batas pertumbuhan). Pertumbuhan ekonomi harus “direm” sebelum terjadi kerusakan lingkungan, disharmoni sosial, dan degradasi moral yang sangat parah. Manusia pun mengikuti fase-fase pertumbuhan (fisik dan biologis) yang pada gilirannya juga harus “menurun” untuk berganti dengan pertumbuhan kedewasaan sosial, budaya, psikologis, dan moral/etika.

Analogi itu mirip dengan kondisi ekonomi kita. Jika pengejaran pertumbuhan ekonomi (melalui investasi asing) lebih berpotensi memperkaya mereka yang sudah kaya mengapa tidak mencari cara lain? Kurang tumbuh seperti apa elit di Jakarta misalnya, yang sudah mampu memiliki rumah megah, mobil mewah, hiburan yang meriah, akses teknologi-informasi, dan seabreg fasilitas hidup materiil lainnya. Apakah pembangunan ekonomi kita hanya membantu mereka untuk melampiaskan keserakahan dan individualisme tanpa terpikirkan bagaimana “membagi” hasil pembangunan itu?

Perlu ditegaskan bahwa saya tidak bermaksud menolak konsep pertumbuhan ekonomi dan investasi. Namun, mengapa kita tidak mempunyai persepsi lain (alternatif) terhadap kedua hal itu? Saya rasa pergaulan pemerintah dan sebagian ekonom kita yang terlalu terbiasa “didekte” pihak (ajaran) lain turut mengkondisikan sehingga kita sulit keluar dari pemikiran yang sudah “pakem” dan mainstream ini. Pertumbuhan ekonomi bukanlah konsep (bahkan mitos) yang perlu disebarluaskan dan dijadikan prioritas pemerintah seolah-olah itulah tujuan akhir bangsa kita, kecuali bila pertumbuhan itu adalah “dari”, “oleh”, dan “untuk” pelaku ekonomi rakyat.

Pertumbuhan ekonomi mestinya diperlakukan sebagai implikasi dari kebijakan (demokrasi) ekonomi pemerintah yang lebih memperhatikan nasib warga negara yang miskin (baik bekerja maupun menganggur) dan pelaku ekonomi rakyat yang serba kekurangan (keahlian, modal, jaringan pemasaran). Pertumbuhan ekonomi mestinya merupakan derivat dari pembangunan sosial, pembangunan manusia, dan pembangunan spiritual bangsa, baik melalui pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat lainnya. Mengapa pemerintah (dan teknokrat ekonominya) tidak segera berbicara “pertumbuhan moral”, “pertumbuhan (etos) sosial”, dan “pertumbuhan (kesadaran) hukum” untuk “berbagi” terutama bagi mereka yang sudah terpenuhi kebutuhan ekonomi (materiil) nya?

Pengangguran dan Investasi Ekonomi Rakyat
Kita paham bahwa investasi merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk membangun kemandirian ekonomi kita. Namun, berdasar kajian lapangan, saya selalu yakin bahwa investasi oleh ekonomi rakyat-lah yang lebih efektif dan efisien untuk dikembangkan. Ekonomi rakyat yang mendominasi sekitar 95% kegiatan ekonomi kita di sektor pertanian rakyat, perdagangan kecil, transportasi, jasa, dan industri rumah tangga/kecil itulah yang perlu dikembangkan. Investor (asing) hanya menginvestasikan uang (modal)nya untuk tujuan profit, sedangkan ekonomi rakyat juga menginvestasikan “hidup” mereka dalam kegiatan ekonomi yang mereka geluti. Mereka berekonomi tidak hanya atas dasar self interest belaka, melainkan dengan pertimbangan sosial dan moral yang sudah melekat dalam kehidupan mereka. Mereka tidak akan mengenal istilah “pelarian modal”, “ngemplang utang”, atau “merusak alam” seperti dilakukan konglomerat yang berakibat krismon 97.

Pemerintah tidak dapat mengelak dari tanggungjawab konstitusionalnya untuk menjamin pekerjaan yang layak bagi warga negaranya yang menganggur (Pasal 27 ayat 2 UUD 1945). Pemerintah juga tidak dapat terus menerus menjanjikan keajaiban investasi yang belum pasti, dan kalau sudah pasti pun belum tentu mengatasi masalah pengangguran tanpa menimbulkan masalah yang lebih berat lainnya. Lebih efektif apabila pemerintah “turun ke lapangan” untuk memetakan karakteristik dan persebaran (wilayah) pengangguran di Indonesia, sehingga dapat dicarikan alternatif kongkret pemecahaannya. Apa sebab mereka menganggur, punya keahlian tertentu atau tidak, menganggur tapi kaya atau miskin, dan persepsinya terhadap pekerjaan yang dapat menghidupinya. Bukankah selama ini kita berbicara panjang lebar tentang angka 30 juta penganggur (10 juta penganggur terbuka) tanpa tahu kebenaran dan sisi lain dari angka itu?

Rakyat memerlukan solusi-solusi kongkret dan tidak sekedar bergantung pada keyakinan teori ekonomi (Barat) yang sudah jelas tidak relevan. Bagaimana bisa bicara mengatasi pengangguran jika di saat yang sama pelaku ekonomi rakyat digusur-gusur tanpa solusi jelas, petani selalu dipermainkan tengkulak, banyak orang yang merangkap jabatan, upah buruh masih ditekan-tekan, kekayaan alam dikuras (dicuri) tanpa henti, kredit kecil masih jadi rebutan, dan biaya sekolah semakin mahal. Masalah-masalah riil inilah yang perlu lebih diprioritaskan pemecahannya, baru setelah itu akan terlihat hasilnya baik berupa pertumbuhan ekonomi, berkurangnya pengangguran, maupun naiknya nilai investasi yang ditopang oleh ekonomi rakyat.


Yogyakarta, 2 Agustus 2004

No comments: